Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Wednesday, February 26, 2025

Perfect Hero Bab 178 : Sandiwara || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Buat apa nyari aku? Mau ngajak berantem lagi?” tanya Yuna sambil menatap Refi.

 

Refi tersenyum menanggapi pertanyaan Yuna. “Yun, aku terlalu lemah buat ngajak kamu berantem. Kamu lihat sendiri, aku bahkan nggak punya kekuatan buat berdiri tegak. Gimana bisa aku ngajak kamu berantem?”

 

Yuna menarik napas, ia mencoba menenangkan perasaannya. Ia tersenyum sambil menatap Refina. “Terus?”

 

“Aku cuma mau minta maaf sama kamu.”

 

“Nggak perlu,” sahut Yuna ketus.

 

“Aku serius, Yun. Aku mau datang ke sini karena mau minta maaf. Setelah ini, aku nggak bakal ganggu hidup kalian lagi.”

 

Yuna tersenyum sambil menatap Refi. “Aku harap, kamu bener-bener bisa berubah. Aku tahu, nggak mudah menghadapi hidup kamu yang kayak gini. Kamu boleh bersandar sama siapa aja. Tapi, jangan sampai kamu ngerusak kebahagiaan orang lain buat dapetin ambisi kamu.”

 

“Yun, aku nggak pengen ngerusak kebahagiaan kalian. Tapi, kamu juga harus tahu kalau aku beneran sayang sama Yeriko. Cuma dia satu-satunya orang yang peduli sama aku selama ini. Please, Yun! Biarin aku sama dia, setidaknya sampai kakiku bener-bener sembuh!” pinta Refi.

 

Yuna menghela napas menatap Refi. “Ref, aku nggak pernah ngelarang Yeriko ketemu sama kamu. Dia sama Chandra udah ngelakuin banyak hal biar kamu bisa sembuh dan kembali ke kehidupan normal kamu. Kamu jangan manfaatin kebaikan Yeri!” pintanya. “Aku nggak akan ngelepasin suamiku!” tegas Yuna.

 

Refi menggigit bibirnya menatap Yuna. “Apa kamu selalu tahu kalau Yeri jenguk aku ke rumah sakit?”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum. “Aku yang minta dia buat jenguk kamu. Walau aku nggak suka sama kamu, aku masih punya hati. Aku juga percaya sama Yeri, dia nggak akan ngehianati aku.”

 

“Gimana kalo ternyata dia bohongin kamu?” tanya Refi.

 

“Mmh ... cukup ngasih hukuman kecil.” Yuna mendekatkan bibirnya ke telinga Refi. “Aku suruh dia tidur di luar kamar dan aku pastikan dia nggak akan tahan ngabisin waktu dua puluh empat jam tanpa belaian istrinya,” bisik Yuna di telinga Refi. Ia kembali menegakkan tubuhnya dan tersenyum manis ke arah Refi.

 

Refi menatap Yuna penuh kebencian. “Kamu sengaja mau manas-manasin aku?”

 

“Oh. Kamu panas?” Yuna mengedarkan pandangannya. “Nanti, aku suruh Yeriko buat nambah AC di sini.” Ia tersenyum ke arah Refi.

 

“Setan kamu, Yun!” maki Refi.

 

Yuna tersenyum kecil menatap Refi. “Emang harus jadi setan buat ngadepin iblis kayak kamu!” dengus Yuna sambil menjulurkan lidahnya.

 

Refi makin emosi melihat tingkah Yuna. “Aku heran, kenapa Yeriko bisa tergila-gila sama cewek berandal kayak kamu. Kalo dia tahu kelakuan asli kamu, udah pasti dia bakal ninggalin kamu secepatnya.”

 

Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Refi. “Yeriko yang ngajarin aku kayak gini buat ngadepin kamu. So, kamu nggak perlu repot-repot mikirin soal image aku di depan Yeri. Lebih baik, kamu pikirin aja diri kamu sendiri!”

 

Refi menatap Yuna penuh amarah. Ia menatap wajah Yuna dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak akan bisa melawan perkataan Yuna. Satu-satunya cara, adalah membuat dirinya terlihat sangat lemah agar mendapatkan simpati dari banyak orang.

 

Yuna mengernyitkan dahi begitu melihat Refi meneteskan air mata. “Gila, nih cewek!” batin Yuna sambil mendelik ke arah Refi. “Bisa-bisanya dia tiba-tiba nangis kayak gini?” gumam Yuna

 

Yuna mengedarkan pandangannya. Ia khawatir kalau reaksi Refi kali ini akan mengundang banyak pasang mata ke arahnya, terutama mata kamera wartawan yang ada di depan gedung.

 

“Yun, aku tahu kamu benci banget sama aku karena aku suka sama suami kamu. Apa kamu nggak bisa maafin aku dan bersikap baik sama aku?” tanya Refi sambil terisak.

 

“Ref, nggak usah nangis juga kali,” sahut Yuna. “Kamu sengaja mau menarik perhatian banyak orang?”

 

“Aku cuma mau minta maaf sama kamu, Yun. Maafin aku ...”

 

“Iya, aku maafin kamu!” seru Yuna. “Nggak usah nangis lagi!” pinta Yuna sambil berbalik dan melangkah pergi.

 

“Yun!” panggil Refi sambil bangkit dari kursi rodanya dan menahan lengan Yuna.

 

Yuna memutar tubuhnya menatap Refi yang ada di belakangnya.

 

Refi langsung melepas genggaman tangannya dan menjatuhkan tubuhnya ke lantai.

 

“Ref, kamu nggak papa?” Yuna berjongkok dan langsung meraih pundak Refi untuk membantunya bangkit. “Sini, aku bantu!”

 

Refi langsung menepis kedua tangan Yuna sambil menangis.

 

“Ref ...! Kenapa?”

 

“Aargh ...!” teriak Refi sambil menangis histeris. “Tolong ...!” teriaknya sambil menoleh ke arah pintu gedung.

 

Wartawan yang berkerumun di depan pintu gedung langsung menerobos masuk. Mereka menghampiri Yuna dan Refi. Dengan cepat, mata kamera mereka membidik Yuna dan Refi.

 

Pikiran Yuna seketika kosong begitu melihat segerombolan wartawan dan kamera yang menyorot ke arahnya. Ia langsung bangkit sambil menatap Refi yang masih terisak di lantai.

 

“Yun, aku tahu aku salah. Aku ke sini cuma mau minta maaf karena nggak bisa nurutin permintaan kamu buat ngerahasiain hubungan kita. Kenapa kamu jahat banget sama aku? Aku udah minta maaf  berkali-kali. Kamu masih aja bersikap kasar sama aku,” tutur Refi bersama derai air matanya.

 

“Hah!?” Mulut Yuna menganga tanpa suara. Ia langsung mengedarkan pandangannya dan menatap wartawan yang ada di hadapannya satu per satu. Ia tak menyangka kalau sekarang ia sudah masuk ke dalam perangkap Refi untuk kesekian kalinya.

 

“Kalian lihat sendiri, kan? Dia sering banget ngancam aku. Waktu itu, aku lompat dari gedung memang karena paksaan dari dia. Saat aku mau minta maaf, dia malah mau nyelakain aku lagi,” tutur Refi sambil menatap semua wartawan yang ada di hadapannya.

 

“Apa bener yang diucapkan Mbak Refi?” tanya salah seorang wartawan yang mendapat dukungan dari semua wartawan yang ada di sana.

 

Yuna tertawa kecil menanggapi pertanyaan wartawan. Ia langsung menatap Refi sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Refi. “Bangun!” pintanya.

 

Refi membuang wajahnya, ia sama sekali tak ingin menyambut uluran tangan Yuna.

 

Yuna tertawa kecil. “Kamu pintar banget kalo akting,” tutur Yuna. Ia menoleh ke arah semua wartawan yang ada di ruangan itu. “Kalian lihat sendiri! Dia yang menolak bantuanku, bukan aku yang nyelakain dia.”

 

 “Bohong! Mana ada maling mau ngaku! Pasti kamu yang udah dorong Refi sampe jatuh!” sahut wartawan yang berdiri di paling belakang.

 

“Dorong? Siapa yang bilang aku dorong Refi? Ref, kamu nggak ada bilang ke mereka juga kan?” tanya Yuna sambil menatap Refi. “Kamu mau ngarang cerita lagi?” sentak Yuna sambil menunjuk pria berkacamata yang ada di paling belakang.

 

“Aku nggak ngarang. Aku bisa lihat dari luar kalo kamu dorong Refi sampe jatuh.”

 

Yuna langsung menatap pria berkacamata yang meneriaki dirinya. “Emangnya kamu punya bukti?” tanya Yuna. “Jelas-jelas dia yang jatuhin dirinya sendiri ke lantai,” jelasnya. Ia menatap Refi yang masih duduk di lantai. “Ref, jelasin ke mereka!” pinta Yuna.

 

“Apa bener yang diucapkan Mbak Yuna?” tanya salah seorang wartawan sambil mengarahkan kameranya ke wajah Refi.

 

“Hiks ... hiks ... Sebenarnya ... dia emang dorong aku. Tapi, dia ngancam buat nggak ngasih tahu siapa pun. Di sini, nggak ada satu orang pun yang percaya sama aku,” jelas Refi terisak.

 

“Kamu!?” Yuna geram menatap wajah Refi. “Mau kamu apa sih, Ref? Aku sama suamiku udah baik banget sama kamu. Kamu malah kayak gini ke aku?”

 

 “Huu ... mana ada penjahat mau ngaku!” seru pria berkacamata yang ada di barisan belakang.

 

“Diam kamu!” sahut Yuna sambil menunjuk wajah pria itu. “Kamu kira, aku nggak tahu siapa kamu? Kamu sengaja berkomplot sama Refi buat jatuhin aku di depan semua orang kan? Deny Kaswara? Kamu juga yang ikut andil dalam konspirasi buatan Refi.”

 

“Kamu jangan nuduh sembarangan tanpa bukti!” sahut Deny yang ada di balik kerumunan wartawan.

 

“Aku punya banyak bukti. Kita lihat aja nanti!” sahut Yuna.

 

Deny menerobos kerumunan wartawan dan langsung berhadapan dengan Yuna. “Bukti apa yang kamu punya? Keluarin sekarang juga kalo emang punya!” Ia menantang Yuna.

 

“Kami akan keluarin buktinya saat konferensi pers kalo kamu masih cari masalah sama kami,” tutur Yeriko yang tiba-tiba muncul dan langsung menghampiri Yuna.

 

Yuna tersenyum ke arah suaminya.

 

Yeriko melingkarkan lengannya ke pinggang Yuna sambil menatap Refi yang masih duduk di lantai. “Bangun, Ref! Akting kamu cukup sampe sini!” pinta Yeriko.

 

Refi mengepal tangan sambil menatap Yuna dan Yeriko yang ada di hadapannya. Ia memukul lantai dan berusaha bangkit.

 

Yuna bergerak ingin membantu Refi bangkit, namun tangan Yeriko menahannya.

 

“Dia udah bisa bangun sendiri,” tutur Yeriko.

 

“Tapi ...” Yuna tetap saja mengkhawatirkan keadaan Refi.

 

Yeriko menunjuk Refi dengan dagunya. Benar saja, Refi sudah bisa bangkit sendiri dan kembali duduk di kursi roda.

 

Yuna tersenyum senang melihat perkembangan kaki Refi. Ia berharap Refi bisa sembuh secepatnya dan berhenti menempel pada Yeriko.

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus. Baca juga karyaku yang lain ...

 Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas