“Yer,
di bawah ada apa sih? Kok, ribut banget?” tanya Yuna yang masih enggan membuka
mata.
“Nggak
tahu,” jawab Yeriko yang masih setengah sadar dari mimpinya.
“Ini
jam berapa?” tanya Yuna lagi.
Yeriko
mengangkat kepala, memicingkan mata menatap jam dinding yang ada di kamarnya.
“Masih jam empat subuh. Tidur lagi! Aku masih ngantuk.”
“Aku
juga masih ngantuk,” sahut Yuna dengan suara melayang.
Tok
... tok ... tok ...!
“Ini
masih pagi banget. Kenapa udah ada yang ngetok pintu kamar kita?” gumam Yuna.
“Buka
pintunya! Aku masih ngantuk.” Yeriko berbalik membelakangi Yuna.
“Aku
juga masih ngantuk,” sahut Yuna. Ia memaksa diri mengangkat tubuhnya dan
bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah perlahan menuju pintu sambil mengucek
matanya. Ia langsung membuka pintu kamarnya.
“Halo
...!” sapa seorang pria yang sudah berdiri di depan pintu kamar.
Yuna
langsung melebarkan pandangannya. Ia mengucek matanya beberapa kali. “Irvan!?”
serunya. “Ngapain pagi-pagi ke sini?”
“Siapa?”
tanya Yeriko saat mendengar teriakan Yuna.
“Irvan,”
jawab Yuna.
Yeriko
mengangkat tubuhnya sambil menatap ke arah pintu. “Van, ngapain sih pagi-pagi
udah ganggu orang? Lagi enak-enaknya kelonan.”
Irvan
tertawa kecil. “Sorry ...! Bu Rully yang nyuruh aku ke sini pagi-pagi. Suruh
dandanin Mbak Yuna. Katanya, mau ada konferensi pers gitu ya?”
Yuna
langsung mengernyitkan dahi menatap Irvan. “Mama Rully? Emangnya mau konferensi
pers harus pake make up artis segala ya?”
“Harus,
dong! Biar kelihatan cantik dan mengagumkan di depan kamera.”
Yeriko
turun dari tempat tidur. Ia melangkah mendekati pintu. “Urus, Van!” pintanya
sambil menepuk bahu Irvan. Ia keluar dari kamar dan melangkah menuju ruang
kerjanya.
“Kamu
mau ke mana?” seru Yuna sambil menatap punggung suaminya.
“Lanjut
tidur,” jawabnya santai. Ia bergegas masuk ke ruang kerja yang tak jauh dari
kamarnya dan berbaring di sofa.
Yuna
mengernyitkan dahi. “Enak banget, malah tidur lagi,” celetuknya.
“Udah,
biarin aja! Laki-laki mah santai. Nggak perlu dandan berjam-jam kayak
perempuan.” Irvan masuk ke dalam kamar Yuna.
“Ayo,
bawa masuk semua!” pinta Irvan pada dua orang asistennya.
Dua
asisten Irvan langsung menyeret koper dan masuk ke dalam kamar Yuna.
Yuna
merebahkan tubuhnya ke atas kasur. “Van, bisa nggak kalo dandaninnya jam enam
aja? Aku masih ngantuk banget.”
“Nggak
bisa. Harus perawatan tubuh full biar seger waktu acara nanti. Rania sama Sinta
yang bakal ngerawat kamu. Aku turun dulu!”
“Mmh
.. dipijit?”
“Iya.”
“Baguslah.
Aku bisa sambil tidur,” sahut Yuna. “Lama-lama aja di bawah!” seru Yuna sambil
menatap punggung Irvan yang melangkah keluar dari kamarnya. “Kopi buatan Bibi
War enak banget,” tambahnya sambil tertawa senang.
“Mbak,
kita mulai sekarang ya?”
“Lama
atau nggak nih?” tanya Yuna pada dua asisten Irvan.
“Satu
setengah jam. Sisa waktunya, Mas Irvan yang make up.”
“Oh.
Oke.”
Dua
asisten Irvan memasang matras di atas tempat tidur Yuna.
“Di
bawah aja!” pinta Yuna sambil menunjuk lantai.
Dua
asisten tersebut mengangguk dan menurunkan matras tersebut ke lantai.
“Bisa
ngomel sampe setahun suamiku kalo tempat tidurnya dikotorin,” celetuk Yuna.
“Maaf,
Mba.”
“Udah,
nggak papa.” Yuna langsung turun dari tempat tidur dan melepas pakaiannya. Ia
langsung menelungkupkan tubuhnya di atas matras kecil yang dibawa oleh Irvan
untuknya.
“Kita
lulur sambil pijat dulu ya, Mbak.”
Yuna
mengangguk. “Yang enak mijatnya!” pintanya. “Ntar aku kasih bonus kalo pijatan
kamu enak.”
“He-em.”
Rania menganggukkan kepala. “Sin, kamu siapin airnya buat berendam ya!”
Sinta
mengangguk. Ia bergegas masuk ke kamar mandi dan menyiapkan peralatannya untuk
memandikan Yuna.
Yuna
menenggelamkan wajahnya ke bantal yang ada di bawahnya. Pijatan-pijatan kecil
dari tangan Rania, membuatnya kembali terlarut dalam mimpi.
“Mbak,
Mbak Yuna!” panggil Rania lirih di telinga Yuna.
“Hmm
...”
“Sudah
selesai, Mbak. Waktunya berendam.”
Yuna
mengangkat dan meliukkan tubuhnya. Ia menggulung kain yang menyelimuti tubuhnya
dan berjalan menuju kamar mandi. Aroma segar dari bunga-bungaan menyeruak ke
seluruh ruang kamar mandinya.
“Wangi
banget!” tutur Yuna. Ia langsung melangkah masuk dan berendam di dalam bathtub.
“Mbak,
laper atau nggak?” tanya Sinta.
Yuna
menggeleng dan menyandarkan kepalanya.
“Haus?”
Yuna
mengangguk.
“Aku
ambilkan minum dulu. Mbak Yuna mau minum apa?”
“Apa
aja.”
Sinta
mengangguk dan bergegas keluar dari kamar mandi. Ia langsung turun ke dapur.
“Bi,
Mbak Yuna biasanya minum apa?”
“Oh.
Mijatnya udah?”
Sinta
mengangguk. “Sekarang lagi berendam.”
“Kasih
cokelat hangat atau susu aja, Sin,” sahut Irvan yang sedang duduk di meja
makan.
Sinta
mengangguk.
“Biar
Bibi aja yang siapin buat Mbak Yuna. Kamu temenin Mbak Yuna aja di atas. Nanti,
Bibi antar ke atas.”
“Nggak
papa, Bi. Ada Rania di atas.”
“Oh.
Kamu tunggu dulu! Biar Bibi yang buatkan minum buat Mbak Yuna.”
Sinta
mengangguk. Ia memerhatikan Bibi War yang sedang membuatkan cokelat hangat
untuk Yuna.
“Ini,
kasih ke Mbak Yuna!” Bibi War menyodorkan nampan berisi segelas cokelat hangat
dan beberapa potong buah-buahan segar di atas piring.
Sinta
mengangguk. “Makasih, Bi!”
Bibi
War mengangguk.
Sinta
bergegas naik ke kamar Yuna dan langsung membawa nampan tersebut ke hadapan
Yuna.
“Mmh
... Mbak!” panggil Sinta lirih karena Yuna menyandarkan kepala sambil
memejamkan matanya.
Yuna
langsung membuka mata dan menatap Sinta. “Ya.”
“Ini,
minuman dan cemilan yang disiapin sama Bibi.”
“Oke.
Makasih, ya!” Yuna mengambil gelas dari nampan dan meminumnya. “Taruh aja di
situ! Nanti aku makan,” pinta Yuna sambil menunjuk meja kecil yang ada di
samping bathtub.
Sinta
mengangguk dan bergegas keluar dari kamar mandi.
Usai
berendam dan membersihkan tubuhnya. Yuna akhirnya duduk di meja rias bersama
Irvan yang sudah ada di dalam kamarnya.
“Baju
kamu cantik banget! Pasti mahal ya?” tanya Irvan sambil memakaikan Hairdresser
Cape Gown ke tubuh Yuna.
Yuna
tersenyum kecil. “Nggak juga, kok.”
“Huu
... nggak juga, tapi harganya jutaan.”
“Nggak
tahu kalo soal harga.”
“Dibeliin
Yeri?”
Yuna
mengangguk.
“Dia
itu emang suami idaman. Kalo aku jadi cewek, udah aku kejar-kejar tuh dia,”
celetuk Irvan sambil mengeluarkan peralatan tempurnya untuk mengubah wajah Yuna
menjadi lebih memesona.
“Untungnya
kamu bukan cewek,” sahut Yuna sambil tertawa kecil.
“Biar
cowok, kalo Yeriko mau, aku juga mau.”
“Apa!?”
Yuna langsung memutar kepalanya menatap Irvan.
“Bercanda.
Kamu serius banget,” sahut Irvan. “Duduk yang bagus! Ntar make up-nya
berantakan!” perintah Irvan.
Yuna
memonyongkan bibirnya, ia kembali menatap wajahnya di cermin.
“Jangan
cemberut kayak gitu! Jelek tahu!” seru Irvan. “Aku nggak mau make-up kalo kamu
masih kayak gini.”
“Iya.
Iya. Cepet make up-nya. Ntar kamu godain suamiku pula,” sahut Yuna.
“Nggak,
Mbak Yuna yang cantik. Aku cuma bercanda.” Irvan mulai merias wajah Yuna dengan
serius.
“Van
...!”
Irvan
tak menyahut panggilan Yuna.
“Mas
Irvan!” seru Yuna.
“Eh!?
Kenapa?”
“Mmh
... apa bener, di luar sana banyak cewek yang suka sama Yeriko?”
Irvan
mengangguk. “Siapa sih cewek yang nggak mau punya pasangan kayak Yeriko? Semua
juga mau, kali. Udah ganteng, kaya raya pula.”
Yuna
memonyongkan bibirnya mendengar pendapat Irvan.
“Kamu
harusnya senang, dong. Dari jutaan cewek di dunia ini, Yeriko milih kamu
sebagai istri. Pasti nggak mudah ya dapetin hatinya dia? Walau ganteng, dia itu
dingin dan sombong banget.”
“Tahu
dari mana?”
“Mmh
... aku ini make-up artist. Banyak model yang aku kenal. Mereka semua ngincar
suami kamu. Tapi ... mereka bilang, Yeriko terlalu dingin dan nggak mudah buat
ditaklukan.”
“Oh
ya?” Yuna merasa sangat bahagia karena ia berhasil mendapatkan hati Yeriko
dengan mudah.
“Masih
lama, Van?” tanya Yeriko sambil bersandar di bibir pintu kamarnya.
Irvan
dan Yuna langsung menoleh ke arah pintu. “Lumayan. Kenapa?”
“Nggak
papa.” Yeriko melangkah perlahan memasuki kamarnya. “Aku mau mandi.”
“Kamu
mau pakai jas yang mana?” tanya Yuna sambil menatap Yeriko yang akan masuk ke
dalam kamar mandi.
“Sesuaikan
aja!” pintanya.
Yuna
mengangguk sambil tersenyum. Ia sudah menyiapkan kemeja hitam dan jas warna
maroon untuk Yeriko, agar senada dengan warna mawar yang ada pada gaun yang ia
kenakan. “Van, pakai itu serasi nggak sama gaunku?” tanya Yuna sambil menunjuk
pakaian Yeriko yang telah ia siapkan.
Irvan
mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.
Yuna langsung tersenyum riang menanggapi reaksi Irvan
yang begitu baik.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus.
Jangan lupa
kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih
seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment