“Gimana caranya aku ngadepin Yuna?” gumam Refi sambil
menggigit jemari tangannya. “Kayaknya, aku emang masih butuh bantuan Deny. Tapi
...”
Refi menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya
perlahan. Setelah merasa hatinya lebih baik, ia mengoperasikan kursi rodanya
keluar dari ruang rawatnya. Perlahan menyusuri koridor dan masuk ke lift khusus
disabilitas. Ia turun ke lantai bawah dan mengoperasikan kursi rodanya menuju
taman.
Refi duduk di taman selama beberapa saat sambil menatap
layar ponselnya. Ia tersenyum kecil membaca kehebohan berita yang ia buat. Ia
juga melihat beberapa video lamanya saat masih mengejar karirnya di Paris.
“Yer, dulu aku terlalu egois. Aku selalu mementingkan
diriku sendiri, ngelupain kamu yang selalu setia mendukung dan menungguku.
Sekarang, aku nggak pernah bisa balik ke masa lalu itu lagi,” tutur Refi dengan
mata berkaca-kaca.
“Yer, bisakah kamu buka hatimu lagi buat aku?” Refi
menundukkan kepala, terisak seorang diri di taman yang sepi.
Setelah beberapa menit, Refi kembali masuk ke gedung rumah
sakit. Menjalankan kursi rodanya perlahan menyusuri koridor, menaiki lift dan
kembali ke lantai ruang rawatnya.
“Pasien yang di ruangan ini ke mana?” tanya salah seorang
perawat.
“Biasanya keluar ke taman.”
“Nggak ada yang nemenin?” tanya salah seorang perawat
sambil membereskan ruangan Refi.
“Lama-lama males banget nemenin dia. Cerewet, ribet, galak
juga.”
“Iya. Eh, katanya dia pelakor ya?”
“Kayaknya, sih. Mas-mas ganteng yang sering ke sini itu,
ternyata udah punya istri. Kelihatannya dia ngincar mas-mas itu.”
“Masa sih? Kamu tahu dari mana?”
“Aku nggak sengaja denger pembicaraan mereka waktu aku
tugas jaga.”
“Oh ya? Terus?”
“Ya gitu. Mas-masnya nggak hirauin dia.”
“Padahal, dia cantik banget. Apa istrinya dia lebih cantik
lagi? Makanya nggak tergoda.”
“Biar cantik banget kalau nggak normal, siapa juga yang
mau? Mending istri yang biasa aja tapi bisa ngurus keluarga di rumah. Kalo
cacat, malah sibuk ngurusin istri,” celetuk perawat yang lainnya.
“Mmh ... nggak gitu juga kali. Kalo cinta sejati itu, susah
seneng sama-sama. Mau sehat atau sakit, tetep aja cintanya nggak berkurang,”
sahut perawat satunya.
“Iya juga sih. Tapi, Mas itu kan udah beristri. Wajar kan
kalo dia lebih milih istrinya daripada pelakor itu.”
“Banyak juga cowok yang lebih milih pelakor daripada
istrinya.”
“Heran, kenapa ada pelakor di dunia ini? Kalo sampe aku
yang ketemu pelakor, udah kusuntik mati tuh pelakornya.”
“Hahaha. Kejam banget!”
“Masih kejam pelakor, ngancurin rumah tangga orang.
Apalagi, aku lihat berita yang beredar malah terbalik sama yang aku dengar
waktu itu.”
“Emang ada beritanya?”
“Ada. Kamu ini kudet banget sih?”
“Huft, aku ini udah punya anak dua. Kalo udah sampe rumah,
dah sibuk ngurus anak-anak sama rumah. Mana sempat mau ngepoin gosip. Emangnya,
gosip di luar sana gimana?”
“Kalo dari berita yang aku baca, Mbak Refi itu yang
pacarnya Mas ganteng itu dan istrinya yang udah ngancurin hubungan mereka.”
“Jadi, sebenarnya yang pelakor yang mana?”
Perawat yang ditanya mengedikkan bahu.
“Kalo aku sih, lebih suka sama istrinya mas-mas itu. Dia
ramah banget, murah senyum dan kelihatannya sopan.”
“Iya. Beda jauh kalo sama Mbak Refi. Mbak Refi mah galak,
suka marah-marah dan merintah-merintah sesukanya.”
“Huft, iya juga. Sayangnya, dia pasien VIP. Kalo bukan,
kubiarkan aja dia ngurus dirinya sendiri.”
Ketiga perawat itu terus membicarakan keburukan Refi.
Membuat Refi yang mendengarkan dari balik pintu merasa sangat geram. Ia
langsung mendorong pintu ruangannya dan menatap tiga perawat yang sedang
merapikan ruang rawatnya.
“Kalian dibayar buat gosipin aku!?” sentak Refi.
Perawat yang ada di dalam ruangan tersebut saling pandang.
“Nggak, sih. Kita dibayar buat ngerawat pasien. Bukan jadi
babunya pasien kami,” sahut salah seorang perawat dengan berani.
“Iya juga, sih. Lagian, keluarga kamu ke mana sih? Nggak
ada satu pun yang datang buat nemenin kamu. Anak malang, ckckck,” ucap perawat
yang lain sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Keluarga aku di luar negeri semua!” sahut Refi kesal.
“Oh. Berarti keluarga kamu kaya banget dong? Dari luar
negeri ke sini, butuh waktu nggak nyampe tiga hari, kok. Kenapa mereka nggak
ada yang peduli sama kamu?”
“Biasa, orang kaya mah yang datang duitnya, bukan orangnya.
Makanya, dia bayar banyak perawat buat ngelayani dia.”
“Oh, iya juga ya? Bener, bener, bener! Kasihan juga ya?
Banyak uang, tapi nggak bisa dapetin kasih sayang dari keluarga. Pantes aja
sampe ngemis-ngemis cinta dari suami orang.”
“Apa kamu bilang!?” sentak Refi sambil menunjuk pasien muda
bertubuh tinggi. “Aku bisa laporin kamu ke direktur rumah sakit ini biar kamu
dipecat!” ancamnya.
Perawat tersebut tersenyum sinis. “Silakan! Kita lihat, apa
direktur rumah sakit bakal percaya sama cewek stres kayak kamu? Jelas-jelas,
kamu yang butuh psikiater. Dirut kami bukan orang bodoh yang bisa percaya sama
kamu gitu aja. Lagian, aku juga udah capek ngelayani pasien yang sifatnya
kayak kamu.”
“Kamu!? Bener-bener mau cari mati, hah!?” sentak Refi.
Perawat tersebut tak menghiraukan ucapan Refi. Ia melangkah
pergi meninggalkan Refi diikuti dengan dua perawat lainnya.
“Aargh ...! Bitch kalian semua!” seru Refi. Ia langsung
menyalakan ponsel dan menelepon seseorang.
“Den, aku butuh bantuan kamu!” pinta Refi begitu panggilan
teleponnya tersambung.
“Bantuan apa lagi? Bukannya yang kamu mau udah aku kelarin
semua?”
“Ada tugas tambahan yang harus kamu kerjain.”
“Apa itu?”
Refi menarik napas dan menjelaskan rencana yang harus ia
lakukan untuk menghadapi Yuna dan Yeriko di konferensi pers.
“Kamu tahu berapa bayaran yang harus kamu kasih ke aku?”
tanya Deny dari ujung telepon.
“Aku kasih berapa pun yang kamu minta.”
Deny tertawa kecil. “Aku bukan cuma mau uang. Kamu ngerti
kan maksud aku?”
“Ngerti. Aku kasih setelah kamu berhasil nyelesaikan misi
kamu.”
“Aku minta malam ini juga.”
“Apa kamu bilang? Kamu udah gila ya?”
“Hahaha.”
“Kamu nyuruh aku nyelinap keluar lagi dari rumah sakit?”
“Apa yang mau aku lakuin besok, tergantung sama keputusan
kamu malam ini.”
“Oke, oke. Aku ke sana malam ini. Kirim orang kamu buat
jemput aku!”
“Oke. Sampai ketemu lagi cantik!”
Refi langsung mematikan panggilan teleponnya. Hanya Deny,
satu-satunya orang yang berada di belakangnya selama ini.
Refi mengoperasikan kursi rodanya mendekati ranjang. Ia
mengambil beberapa lembar pakaian dan meletakkannya di atas ranjang. Perlahan,
tangannya berpegangan kuat pada tepi ranjang dan berusaha bangkit dari kursi
rodanya. Walau masih bertumpu pada benda-benda di sekitarnya, kini ia sudah
bisa berdiri, hanya saja masih kesulitan melangkahkan kakinya.
“Apa aku bener-bener bisa kembali kayak dulu lagi?”
gumamnya. Ia berusaha mengangkat tubuhnya naik ke ranjang dan mengganti
pakaiannya sebelum pergi meninggalkan rumah sakit.
Beberapa menit kemudian, Refi sudah berada di lobi.
Menunggu orang suruhan Deny menjemputnya.
“Ayo!” Seorang pria bertubuh kekar, mengenakan jaket
berwarna hitam dengan topi dan masker di kepalanya. Meraih kursi roda Refi dan
langsung membawanya keluar.
“Den, kamu sendiri yang ke sini?” tanya Refi.
“Kenapa kalo aku yang ke sini? Kamu nggak suka?”
Refi menggelengkan kepala. Ia menarik napas dalam-dalan
sambil memeluk tas tangan miliknya.
Deny langsung mendorong kursi roda Refi menuju parkiran. Ia
menggendong tubuh Refi dan memasukkannya ke dalam mobil. Kemudian, melipat
kursi roda dan memasukkan ke dalam mobilnya juga.
Deny langsung melajukan mobilnya menuju hotel tempat ia
tinggal.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus.
Jangan lupa
kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih
seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment