“Abis
jengukin Refi?” tanya Yuna sambil bergelayut manja di tubuh Yeriko. Mereka berjalan bergandengan setelah
keluar dari mobil.
Yeriko
menganggukkan kepala.
“Gimana
keadaannya?”
“Lumayan
baik.”
“Gimana?
Dia mau datang?”
Yeriko
menganggukkan kepala.
“Kamu
pasti ngerayu dia ya?” goda Yuna.
Yeriko
menggelengkan kepala.
“Terus,
gimana caranya bikin dia mau datang?”
“Aku
punya cara sendiri.”
“Nggak
ngerayu-ngerayu gitu? Bilang dia cantik atau apa gitu?”
Yeriko
tertawa kecil. “Nggak perlu.”
“Why?”
“Kamu
mau dia ngejar-ngejar aku lagi?”
Yuna
menggelengkan kepala.
“Kenapa
masih mikir kalo aku bakal ngerayu dia?”
“Nggak
papa. Biar dia makin nge-bucin. Hehehe.” Yuna meringis
sambil mengeratkan pelukannya. “Asal kamu tetep meluk aku kayak gini. Aku nggak
takut.”
Yeriko
mengetuk dahi Yuna. “Kucing nakal!” celetuknya.
Yuna
memonyongkan bibirnya sambil menatap Yeriko.
Yeriko
langsung menyambar bibir Yuna.
“Iih
... dilihatin banyak orang!” tutur Yuna sambil memukul dada Yeriko.
“Biar
aja. Biar yang jomblo makin panas,” sahut Yeriko sambil melirik Jheni dan
Chandra yang masih
ada di belakangnya.
“Iih
... jahat!” dengus Yuna. Mereka melangkah memasuki area taman kota yang berada
tak jauh dari Pantai Kenjeran.
Chandra
tersenyum melihat keharmonisan Yuna dan Yeriko dari kejauhan. Di kepalanya, ada
hal yang tiba-tiba ingin ia rencanakan. Ia memainkan kunci di tangannya sambil
menunggu Jheni keluar dari mobil.
“Lama
banget? Ngapain?” tanya Chandra begitu melihat Jheni keluar dari mobil.
“Aku
nyari tali rambutku. Rasanya, udah aku masukin di dalam tas. Abisnya, tadi agak
buru-buru berangkatnya.” Jheni masih terus mencari di dalam tasnya sambil
melangkah perlahan.
“Ini?”
tanya Chandra sambil menunjukkan tali rambut yang melingkar di pergelangan
tangannya.
Jheni
menghela napas sambil menatap Chandra. “Kenapa nggak bilang kalo tali rambutnya
ada sama kamu?” tanya Jheni.
“Kamu
nggak nanya. Aku nggak tahu kalo kamu nyari ini.”
“Kenapa
bisa ada sama kamu?”
“Jatuh.
Aku ambil.”
“Iih
... sini!” Jheni berusaha menyambar lengan Chandra, tapi cowok itu justru
menjauhkan lengannya.
“Heh!?
Apa maksudnya? Mau main-main sama aku?” seru Jheni.
Chandra
menggelengkan kepala sambil melipat kedua tangan di belakang punggungnya.
“Kalo
gitu, balikin ke aku! Kalo nggak, aku marah nih!” Jheni membuang wajah dan
berbalik membelakangi Chandra.
“Awas
Jhen!” seru Chandra sambil menarik tubuh Jheni yang hampir tersambar mobil yang
tiba-tiba melintas.
Jheni
tertegun saat tubuhnya terjatuh di pelukan Chandra. Matanya tak berkedip saat
menatap dirinya memenuhi manik mata Chandra.
Chandra
menelan ludah sambil menatap wajah Jheni yang hanya berjarak
beberapa sentimeter dari wajahnya. Debar jantungnya tak teratur dan sulit ia
kendalikan.
“Sorry
...!” ucap Chandra lirih sambil melepas pelukannya.
“Eh,
nggak papa. Aku yang nggak hati-hati. Makasih ya!” sahut Jheni sambil tersenyum
kecil. Ia menundukkan kepala sambil menyelipkan rambut ke belakang telinganya.
Ia melangkah perlahan memasuki area taman kota sambil mengatur napasnya
beberapa kali.
Chandra
tersenyum kecil dan langsung mengikuti langkah Jheni dari belakang.
Jheni
mempercepat langkahnya, menghampiri Yuna dan Yeriko yang sudah berjalan
mendahuluinya.
Chandra
ikut berlari mengejar langkah Jheni. "Kamu mau jadi obat nyamuk?"
tanyanya sambil menarik lengan Jheni.
"Eh!?"
Jheni berbalik menatap Chandra.
"Kita
ke sana aja!" Chandra menunjuk ke arah yang berlawanan dengan Yuna dan
Yeriko.
Jheni
tersenyum dan mengikuti ajakan Chandra. “Mereka lagi ada masalah. Difitnah ini
itu soal rumah tangganya. Tapi, masih aja harmonis banget,” tutur Jheni.
Chandra
tersenyum kecil. “Yeriko orangnya tenang, Yuna juga cewek yang penurut. Selama
bisa ngimbangin alurnya Yeri, semua bakal baik-baik aja.”
“Emangnya,
mereka lagi ngerencanain sesuatu? Bilang Yuna, sebentar lagi mau konferensi
pers?”
Chandra
menganggukkan kepala. “Refi juga udah setuju buat dateng dan jelasin semuanya.”
“Serius?”
“Iya.”
“Dia
mau datang?”
“Iya.”
“Apa
kalian nggak takut?”
“Takut
kenapa?”
“Siapa
tahu aja, dia datang buat nambah kekacauan.”
“Aku
rasa nggak berani.”
“Nggak
berani gimana? Dia aja berani fitnah Yuna sampe segitunya.”
“Yeriko
pasti udah punya pertimbangan sendiri.”
“Huft,
aku tetep aja mengkhawatirkan Yuna.”
“Yeriko
pasti ngelindungi dia.”
“Kamu
yakin banget?”
“Karena
dia sayang banget sama Yuna.”
“Tahu
dari mana? Bisa aja kan dia cuma pura-pura sayang. Secara, mereka itu nikah
tanpa kenalan dulu. Aku juga nggak habis pikir, kenapa banyak banget masalah
yang harus mereka hadapi? Aku pikir, dengan menikah sama Yeriko. Semua
penderitaan Yuna sudah berakhir.”
“Kamu
temen yang baik. Yuna beruntung punya sahabat kayak kamu.”
“Dia
juga baik. Rasanya, nggak rela kalo lihat orang baik selalu ditindas.” Jheni
menatap Yeriko dan Yuna dari kejauhan.
Chandra
menatap wajah Jheni. Ia bisa merasakan ketulusan hati Jheni, menyayangi
sahabatnya seperti saudara sendiri. Bukan hanya menyayangi sahabatnya, tai juga
menyayangi Chandra, kasih sayang yang belum mampu ia balas sampai saat ini.
Di
sisi lain, Yuna dan Yeriko berdiri sambil menatap lautan yang terbentang luas
di hadapan mereka.
“Dulu,
tempat ini belum sebagus ini,” tutur Yuna.
“Kamu
punya kenangan di tempat ini.”
Yuna
menganggukkan kepala. “Tepatnya di pantai itu. Waktu SMA, kami sering main di
sana,” tuturnya sambil menunjuk pantai yang tak jauh dari taman tempat mereka
berdiri.
“Sama
Lian?” tanya Yeriko.
Yuna
menganggukkan kepala. “Sama Bellina juga. Waktu itu, hubungan kami masih sangat
baik. Aku bahkan nggak tahu kalau ternyata, mereka udah selingkuh di belakang
aku. Semuanya kelihatan bahagia dan ...”
“Ah,
sudahlah. Aku nggak mau kamu sedih karena ingat masa lalu.” Yeriko merangkul
Yuna dan membalikkan tubuh istrinya membelakangi pantai.
“Aku
nggak sedih.”
“Beneran?”
Yuna
mengangguk sambil tersenyum. “Kalau bukan karena mereka mengkhianati aku, aku
nggak akan pernah kenal sama kamu,” tutur Yuna sambil menengadahkan kepala
menatap Yeriko.
Yeriko
tersenyum kecil dan memeluk Yuna lebih erat. Ia menatap anak-anak kecil yang
berlarian di taman bersama dengan orang tuanya.
Yuna
menyadari tatapan Yeriko yang tertuju pada anak-anak kecil yang berlarian di
hadapan mereka.
“Yer
...!”
“Umh.”
Yeriko langsung menatap wajah Yuna.
“Mereka
lucu-lucu ya?”
Yeriko
mengangguk sambil tersenyum.
“Mmh
... kalo punya anak nanti, pengen cewek atau cowok?”
“Cowok.”
“Kenapa?”
“Biar
bisa nerusin perusahaan.”
“Kalau
dikasih cewek, gimana?”
“Nggak
masalah. Biar ada yang masakin papanya setiap hari.”
“Kamu
mau nyuruh anak kita jadi tukang masak? Tega banget!”
“Nggaklah.
Bercanda doang. Kalo punya anak cewek, pasti secantik ibunya. Mana boleh kena
asap dapur,” sahut Yeriko.
“Mmh
... tapi, cewek kan harus bisa masak, ngurus rumah, ngurus suami dengan baik
...”
“Kamu
mikirnya terlalu jauh,” sela Yeriko. “Bisa bayar orang buat itu semua.”
“Nggak
bisa!”
“Kenapa?”
Yeriko mengernyitkajn dahi.
“Anak-anak
kita, harus hidup sederhana. Mandiri dan nggak dilayani sama orang lain!” tegas
Yuna.
“Kamu
lagi nyinggung aku?” dengus Yeriko.
Yuna
meringis. Ia melepas tangan Yeriko dari pundaknya dan berlari menjauh.
“Hei,
awas kamu ya!” Yeriko mengejar Yuna dan menangkap tubuhnya.
“Aargh
...! Ampun ...!” seru Yuna yang tak lagi bisa bergerak dalam dekapan Yeriko.
“Kamu
berani main-main sama Tuan Ye!?” bisik Yeriko.
Yuna
menggeleng sambil tertawa lepas. Mereka menghabiskan waktu bersama penuh bahagia.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus.
Jangan lupa
kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih
seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment