Chandra
enggan membuka mata, namun suara perabotan dapurnya yang saling bersentuhan
membuatnya bangkit dari tempat tidur. Ia mengendus aroma makanan dari arah
dapur begitu membuka pintu kamarnya.
Chandra
melangkahkan kakinya menuju dapur. “Pagi ...!” sapanya pada gadis yang sedang
menguasai dapurnya.
“Pagi
...! Sudah bangun?” sahut Jheni.
Chandra
menganggukkan kepala. Ia menguap beberapa kali dan duduk di kursi. “Pagi-pagi
udah ke sini. Nggak kerja?”
Jheni
menggelengkan kepala. “Hari ini aku free. Kamu kerja?”
Chandra
menganggukkan kepala. “Aku izin dulu!” tuturnya sambil menatap layar ponsel.
“Eh,
kenapa izin?”
“Kamu
di sini. Masa aku tinggal kerja?”
“Nggak
papa, kali. Aku langsung pulang kalo udah selesai sarapan.”
“Nggak
papa. Aku juga lagi males ke tempat kerja,” sahut Chandra.
“Kenapa?”
tanya Jheni sambil meletakkan hidangan ke atas meja.
“Nggak
banyak kerjaan. Oh ya, aku mandi dulu ya!”
Jheni
menganggukkan kepala.
Chandra
bergegas masuk kembali ke dalam kamarnya.
Jheni
tersenyum sambil menatap pintu kamar Chandra. Walau Chandra tak pernah
mengatakan cinta kepadanya, tapi hubungan mereka sudah jauh lebih baik.
Terlebih, Chandra telah mempercayakan kunci rumahnya di tangan Jheni. Ia bisa
bebas keluar masuk ke rumah Chandra seperti rumahnya sendiri.
“Akhirnya,
kelar juga.” Jheni tersenyum sambil menatap sarapan yang telah ia siapkan untuk
Chandra.
Pandangan
Jheni tiba-tiba beralih pada ponsel Chandra yang berdering.
“Amara?”
Ia langsung meraih ponsel Chandra dan menjawab panggilan telepon dari Amara.
“Halo
...!” sapa Jheni begitu ia menjawab panggilan telepon dari Amara.
Jheni
mengernyitkan dahi karena Amara tak kunjung membalas sapaannya.
“Halo
...! Ada apa ya? Kok, nggak ngomong?” tanya Jheni.
“Eh,
halo ...! Ini siapa ya? Chandra ada?”
“Chandra
lagi mandi,” jawab Jheni santai.
“Mandi?”
“He-em.
Kenapa?” Jheni langsung menatap layar ponsel Chandra. “Kok, langsung dimatiin?”
gumamnya. Ia kembali meletakkan ponsel Chandra ke atas meja.
Beberapa
menit kemudian, Chandra menghampiri Jheni yang sudah duduk di meja makan.
“Udah
beres masaknya?” tanya Chandra sambil menatap hidangan yang sudah tersedia di
atas meja.
Jheni
mengangguk.
“Sering-sering
aja kayak gini!” tutur Chandra, ia tersenyum sambil mengusap ujung kepala
Jheni, kemudian duduk di samping gadis itu.
“Ayo,
makan!” ajak Jheni. Ia mengambilkan makan untuk Chandra.
Chandra
tersenyum sambil menatap wajah Jheni.
“Kenapa
lihatin aku kayak gitu?” tanya Jheni tersipu.
“Nggak
papa. Hari ini, kamu free kan?”
Jheni
mengangguk. “Kenapa?”
“Bisa
temenin aku?”
“Ke
mana?”
“Ke
suatu tempat. Kamu pasti suka.”
“Oh
ya?” Jheni mengangguk-anggukkan kepalanya. “Eh, tadi ada si Amara telepon.
Sorry ...! Aku jawab teleponnya, tapi dia nggak ada ngomong.”
“Oh.”
Jheni
mengernyitkan dahi menatap Chandra. “Cuma oh?”
“Terus,
mau apa?”
“Mantan
pacar kamu nelpon. Kangen kali sama kamu.”
“Biarkan
aja! Dia udah nikah juga. Buat apa kangen sama aku?”
Jheni
tersenyum menatap Chandra. “Emang kamu nggak kangen? Beneran udah move on nih?”
godanya.
Chandra
tersenyum kecil menatap Jheni.
“Telepon
balik, gih! Siapa tahu, dia butuh kamu,” tutur Jheni.
“Nggak
perlu.”
“Seriusan
nggak perlu?” goda Jheni lagi.
“Serius.”
“Ciyee
... udah move on? Selamat ya!” tutur Jheni sambil mengulurkan tangannya ke arah
Chandra.
“Apa-apaan!?”
sahut Chandra sambil menepis tangan Jheni.
“Idih,
marah? Masih belum bisa lupain Ama ...” ucapan Jheni terhenti saat Chandra
membungkam mulutnya dengan potongan daging. Ia langsung mengunyah daging
tersebut.
“Nggak
usah bercanda terus! Makan!” perintah Chandra.
Jheni
meringis dan meneruskan makannya.
“Eh,
waktu kamu masih sama Amara, apa dia suka datang ke sini juga?” tanya Jheni.
“Jarang.”
“Kenapa?”
Chandra
mengedikkan bahunya. “Dia sibuk sama usahanya.”
“Oh.
Dia nggak punya kunci rumah kamu? Bisa aja kan dia tiba-tiba datang ke sini
karena kamu ...”
“Dia
nggak akan datang ke sini kalo aku nggak minta,” sahut Chandra.
“Oh.
Kenapa kamu kasih kunci rumah kamu ke aku?”
“Mmh
... biar kamu bisa bikinin aku sarapan setiap hari.”
Jheni
mengernyitkan dahi. “Kamu mau manfaatin kebaikanku?” dengusnya.
“Nggak.
Ntar siang, aku yang traktir kamu makan enak.”
“Beneran?”
Chandra
mengangguk. “Kamu sama Yuna emang punya hobi yang sama ya?”
“Eh!?”
“Sama-sama
suka makan.”
“Iya,
dong. Siapa yang nggak demen makan? Apalagi gratis. Hehehe.”
Chandra
tersenyum kecil menatap Jheni. “Jhen ...!”
“Umh.”
“Kamu
... udah pernah pacaran?”
Jheni
menganggukkan kepala.
“Berapa
kali?”
“Sekali.
Waktu masih SMA. Masih cinta monyet.”
“Oh.”
“Kenapa?
Kamu sendiri, udah pernah pacaran berapa kali?”
“Belum
pernah.”
“Hah!?
Amara itu ...?”
“Langsung
tunangan. Dijodohin sama keluarga.”
“Oh.
Jadi, awalnya kamu cuma dijodohin. Terus, jatuh
cinta beneran?”
“Belum
bisa dibilang jatuh cinta,” jawab Chandra sambil menyuap makanan ke mulutnya.
“Kenapa?”
Chandra
menarik napas dalam-dalam sambil menatap Jheni. “Makin ke sini, aku makin
menyadari kalau sebenarnya perasaanku ke dia itu bukan cinta. Tapi tanggung
jawab.”
Jheni
mengernyitkan dahinya.
“Aku
nggak mau ngecewain keluarga. Ada banyak hal yang jadi alasan buat tetep
pertahanin dia. Terutama keluarga besar kami.”
“Oh.”
Jheni mengangguk-anggukkan kepala. “Apa ... kayak kamu bertanggung jawab sama
Refi?”
Chandra
menganggukkan kepala. “Ya.”
“Oh
ya, gimana kabarnya dia sekarang? Aku geregetan banget. Bisa-bisanya dia cari
masalah sama Yuna. Aku tahu banget Yuna itu gimana. Hidupnya udah banyak
menderita. Aku nggak rela Yuna dijahatin sama Refi. Kalo bukan kamu sama Yeri
yang nahan aku, udah kucabik-cabik muka tuh cewek!”
Chandra
tersenyum kecil. “Kondisi psikisnya Refi nggak baik. Jangan sampai dia menyerah
sama hidupnya. Setidaknya, ini cara yang bisa kami lakuin buat mempercepat
kesembuhan kaki Refi.”
“Terus,
setelah sembuh, apa rencana kalian?”
“Yeriko
pasti udah ngatur semuanya. Dia planner yang handal.”
“Kamu
ini masih aja belain Yeriko. Masalah Yuna udah viral di medsos gara-gara Refi.
Dia nyantai aja. Ngeselin banget!”
“Nggak
bisa nyelesaikan masalah dengan gegabah. Dia emang selalu tenang ngadepin
setiap masalah. Semuanya, pasti udah dia rencanain.”
“Moga
aja dia buang si Refi ke segitiga bermuda sana!” seru Jheni. “Ngeri kali tuh
orang.”
“Kenapa
kamu yang emosi? Yuna kelihatan santai aja.”
“Kelihatannya
aja santai. Kalo datang ke rumah, tetep aja mewek-mewek!” sahut Jheni kesal.
Chandra
mengernyitkan dahi menatap Jheni.
“Eh,
kamu jangan bilangin ke Yeri ya!”
“Kenapa?”
“Yuna
nggak mau membebani Yeri. Dia bilang, perusahaannya juga lagi bermasalah.”
Chandra
tertawa kecil.
“Kenapa
ketawa?” dengus Jheni.
“Yeri nggak
pernah ngeluhin masalah perusahaan. Dia justru lebih banyak memikirkan
hubungannya sama Yuna. Artinya, masalah perusahaan masih bisa dia atasi dengan
baik.”
“Gitu
ya?”
Chandra
menganggukkan kepala.
“Eh,
tapi beneran. Jangan sampe kasih tahu ke Yeri!”
“Asal
sesuai sama penutup mulutnya. Aku bakal diam.”
“Kamu
mau meras aku?”
Chandra
tertawa kecil. “Menurut kamu?”
“Iih
... nyesel kali aku ngomong ke kamu!”
Chandra
tersenyum kecil. Ia bangkit dari tempat duduknya. “Ayo!”
“Ke
mana?”
“Kalo
hari ini kamu bisa bikin aku puas. Aku bakal tutup mulut.”
“Apa!?
Kamu kira aku cewek apaan!?” seru Jheni kesal.
“Kamu
jangan salah paham dulu! Aku mau ajak kamu main di luar.”
“Main
apa?”
“Aih,
kebanyakan tanya! Ayo!” Chandra langsung menyambar tangan Jheni.
Chandra
membawa Jheni keluar rumah untuk jalan-jalan menikmati keindahan kota Surabaya.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah baca sampai sini. Tunggu part-part
manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa
kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih
seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment