“Aw ...! Sakit, Har!” seru Amara sambil menahan
rambutnya yang dijambak oleh Harry.
“Mana uang kamu?” dengus Harry sambil
mendekatkan wajahnya ke wajah Amara.
Amara bisa langsung mencium aroma alkohol yang
menyengat dari tubuh Harry. “Aku nggak punya uang.”
“Bohong!” sahut Harry sambil mencekik rahang
Amara.
“Usahaku lagi krisis, aku bener-bener nggak
punya uang. Lagian, kamu udah punya hutang banyak banget. Apa nggak bisa
ninggalin kebiasaan kamu berjudi?”
“Apa kamu bilang!? Kamu mau ngatur aku, hah!?
Kamu pikir, kamu ini siapa?”
“Aku ini istri kamu. Harusnya, kamu yang ngasih
aku uang!” sahut Amara kesal.
“Kamu udah berani bentak aku, hah!? Kapan aku
nggak ngasih kamu uang? Aku selalu kasih apa aja yang kamu mau. Sekarang, aku
jadi kayak gini juga gara-gara kamu!”
“Gara-gara aku!? Kamu numpahin semua kesalahan
ke aku? Jelas-jelas, kamu yang ngabisin uang kamu buat foya-foya.”
“Kamu juga ikut nikmati uang aku kan? Aku
sekarang udah bangkrut dan kamu nggak mau dukung aku?”
“Har, usaha aku juga lagi krisis. Aku nggak
bisa bantu kamu.”
“Perempuan nggak berguna!” maki Harry sambil
melangkah menuju sofa.
“Apa kamu bilang? Kamu sadar nggak sama diri
kamu sendiri? Kamu yang nggak berguna jadi suami. Setiap hari cuma mabuk sama
main judi, doang!” sahut Amara sambil menghampiri Harry.
“Aargh ...! Kamu jangan bikin aku tambah
pusing!” teriak Harry.
“Kenapa? Kamu sekarang dikejar-kejar sama
preman penagih hutang itu? Kamu kira, aku nggak tahu? Mama kamu sampe masuk
rumah sakit gara-gara masalah ini.”
Harry bangkit dan langsung mendorong tubuh
Amara ke dinding. “Kamu memang pembawa sial!” teriaknya. “Sebelum masuk ke
keluargaku, semuanya baik-baik aja. Sekarang, usahaku bangkrut, perusahaan Papa
bangkrut, dia sekarang ada di penjara. Semuanya gara-gara kamu!”
Amara menatap Harry dengan mata berkaca-kaca.
“Aku nggak nyangka kalau kamu tega kayak gini sama aku. Aku bener-bener nyesel
udah milih kamu jadi suamiku!” tuturnya sambil menangis.
“Aku juga nyesel udah jadiin kamu sebagai
istriku!” Harry mendorong tubuh Amara hingga tersungkur di lantai. Ia melangkah
masuk ke dalam kamar Amara. Mendekati lemari dan mencari barang-barang berharga
milik Amara.
“Jangan, Har! Itu perhiasan aku!” Amara
langsung menerobos masuk kamar dan merebut kotak perhiasan yang ada di tangan
Harry.
“Aku harus bayar hutangku!” sentak Harry sambil
menatap Amara. “Kasih ke aku perhiasan itu!”
“Nggak, Har. Perhiasan ini aku beli pake uang
aku sendiri sebelum nikah sama kamu!” tegas Amara. “Aku nggak akan ngelepasin
ini buat kamu.”
“Aku juga sering beliin kamu perhiasan!” sentak
Harry. “Kamu udah mulai perhitungan sama aku?”
“Perhiasan yang kamu kasih ke aku, semuanya
udah ludes kamu pake judi. Ini semua punya aku!”
“Aku pinjam!” Harry berusaha merebut kotak
perhiasan tersebut dari tangan Amara. Amara dengan gigih tetap mempertahankan
kotak perhiasan yang ada di tangannya.
Harry menatap Amara sambil melebarkan kelopak
matanya. Tangannya langsung menyambar leher Amara dan menekannya kuat.
“Aw ...! Sakit, Har!” teriak Amara dengan suara
yang hampir tak terdengar. Ia menjatuhkan kotak perhiasan hingga berserakan di
lantai. Kedua tangannya berusaha melepas cengkeraman tangan Harry dari
lehernya.
Harry langsung menoleh ke lantai, matanya
berbinar melihat koleksi perhiasan milik Amara. Ia melepas cengkeraman
tangannya dari leher Amara dan langsung mengambil perhiasan yang berserakan di
lantai.
“Aku bisa lunasin hutang-hutangku pakai
perhiasan ini,” tutur Harry sambil memeluk kotak perhiasan milik Amara.
“Jangan, Har!” teriak Amara sambil menarik
lengan Harry dan berusaha mengambil kotak perhiasannya kembali.
Harry menatap tajam ke arah Amara. Ia langsung
mendorong tubuh Amara.
“Aw ...!” Amara merintih saat punggungnya
terbentur bibir meja.
“Kamu berani ngelawan suami kamu sendiri?”
sentak Harry sambil menendang tubuh Amara yang sudah tersungkur di lantai.
“Nggak, Har! Ampun!” teriak Amara sambil
menangis.
Harry mengambil hanger besi yang tergeletak di
atas meja dan memukuli Amara.
“Sakit, Har!” rintih Amara sambil menangis.
Harry berdiri menatap tubuh Amara yang terduduk
lemah di lantai. Ia menarik napas dan melemparkan hanger tersebut ke lantai. Ia
bergegas pergi meninggalkan Amara sambil membawa kotak perhiasan milik Amara.
“Har, jangan dibawa pergi!” seru Amara sambil
terisak.
Harry tak menghiraukan teriakan Amara. Ia terus
melangkahkan kakinya keluar dari rumah Amara. Perhiasan yang dimiliki Amara
cukup banyak dan mahal. Ia bisa menggunakannya untuk membayar hutang judi dan
bersenang-senang di luar sana.
Amara menangis sejadi-jadinya. “Kenapa kamu
berubah jadi jahat dan kasar kayak gini?” Ia bangkit dari lantai dan duduk di
tepi ranjang.
Amara menatap luka-luka yang ada di lengannya.
Bayangan Chandra, berkelebat di pelupuk matanya yang basah. “Andai aku bisa
kembali kayak dulu lagi. Chandra nggak akan pernah biarin aku luka kayak gini,”
tuturnya sambil mengusap air mata yang tak berhenti berderai.
Amara menatap ponsel yang tergeletak di atas
meja. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Jemari
lentiknya menghapus air mata yang membasahi pipinya. Ia meraih ponsel tersebut,
menatap layar ponsel selama beberapa saat.
“Chan, kamu cowok paling baik yang pernah aku
temui,” bisik Amara. “Aku yakin, kamu pasti bisa maafin aku, kan?” tanyanya
sambil menatap nama kontak yang tertera di layar ponselnya.
Amara langsung menelepon Chandra. Ia harap,
Chandra bisa membantunya keluar dari masalahnya kali ini.
“Halo ...!” sapa seseorang di ujung sana begitu
panggilan telepon Amara tersambung.
Amara terdiam selama beberapa saat. “Kenapa
yang angkat perempuan?” tanyanya dalam hati.
“Halo ...! Ada apa ya? Kok, nggak ngomong?”
“Eh, halo ...! Ini siapa ya? Chandra ada?”
“Chandra lagi mandi.”
“Mandi?” Amara langsung mematikan panggilan
teleponnya. Ia menundukkan kepala dan kembali terisak.
“Ternyata, kamu udah nemuin perempuan lain? Apa
aku udah nggak punya tempat lagi di hati kamu? Pagi-pagi kayak gini, udah ada
perempuan di rumah kamu.”
“Aargh ...!” Amara berteriak histeris sambil
melempar ponselnya ke dinding.
“Chan, kamu selalu maafin dan nerima aku lagi
saat aku jalan sama cowok lain. Apa sekarang, kamu udah dapet cewek lain dan
nggak ada kesempatan lagi buat aku?”
“Andai aku belum nikah, mungkin semuanya bakal
lebih mudah. Aku bisa lepas dari Harry dengan mudah, aku bisa kembali sama kamu
dengan mudah. Chan, maafin aku ....!”
Amara membuka laci meja, mengambil kotak P3K
dan mengeluarkan obat dari kotak tersebut. Dengan perlahan, ia mengoleskan obat
antiseptik menggunakan cotton bud ke bekas luka yang ada di tangannya.
Amara merintih menahan sakit. Air matanya terus
mengalir saat mengingat Chandra yang begitu lembut memperlakukan dirinya. Ia
telah beberapa kali melukai Chandra dan laki-laki itu tetap menerimanya kembali
tanpa syarat.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah baca sampai sini. Tunggu part-part
manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa
kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih
seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment