“Hei,
chatting sama siapa? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Yeriko sambil
melompat ke atas ranjang dan berbaring di sebelah Yuna.
“Sama
Jheni,” jawab Yuna sambil tertawa kecil.
Yeriko
menarik Yuna ke pelukannya dan ikut membaca chat dari Jheni.
“Lihat!
Mereka udah makin dekat,” tutur Yuna.
“Jheni
lagi di rumah Chandra?”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Jam
segini masih di rumah Chandra?” tanya Yeriko. “Waktu yang bagus,” tuturnya
sambil menatap jam dinding yang ada di kamarnya.
“He-em.”
Yuna tersenyum sambil menatap layar ponselnya. “Oh ya, tadi siang aku lihat
berita, mertuanya Amara jadi tahanan KPK. Bukannya kemarin malam, kita baru
ketemu sama dia? Kenapa sekarang udah jadi tahanan KPK? Tuhan cepet banget
ngebalas orang kayak dia.”
“Itu
belum seberapa.”
“Eh!?”
Yuna langsung mendongakkan kepala menatap Yeriko. “Kamu ngerencanain sesuatu?”
“Bukannya
aku udah pernah bilang kalo mau ngasih pelajaran buat Harry sama Amara?”
Yuna
membelalakkan matanya. “Sampe masuk penjara? Kamu kejam banget?”
“Mereka
harus tahu lagi berhadapan sama siapa,” jawab Yeriko.
“Apa
semua orang memang takut sama kamu karena kamu sekejam ini?”
“Aku
kejam? Bukannya
mereka yang kejam?”
Yuna
meringis sambil
menatap Yeriko.
“Kamu
nggak takut sama aku?” dengus Yeriko.
Yuna
tertawa sambil menggelengkan kepala.
“Kenapa
nggak takut?”
“Mmh
... karena ...”
“Apa?”
“Aku
lebih takut kalo lagi nggak sama kamu,” jawab Yuna sambil menyandarkan
kepalanya di dada Yeriko.
Yeriko
tersenyum kecil sambil mengelus lembut kepala Yuna. “Yun ...!”
“Umh
...”
“Kamu
beneran nggak takut ada di sampingku?”
Yuna
menggelengkan kepala.
“Kenapa?”
“Karena
aku percaya sama kamu.”
“Hmm
... kamu memang menakutkan,” celetuk Yeriko lirih.
“Apa?”
“Nggak
papa.”
Yuna
menatap wajah Yeriko selama beberapa saat. “Apa kamu punya hal yang kamu
takutkan?”
Yeriko
menganggukkan kepala.
“Apa
itu?”
“Nggak
boleh tahu.”
“Kenapa?”
“Nanti
kamu pakai kelemahanku buat nindas aku.”
“Emangnya
aku sejahat itu?” dengus Yuna sambil memonyongkan bibirnya.
Yeriko
menggelengkan kepala. “Kamu lebih berbahaya dari aku,” jawabnya sambil mengecup
bibir Yuna.
“Iih
... kamu!?”
Yeriko
langsung menarik lengan Yuna. “Ayo makan!” ajaknya.
“Bibi
War masak apa?” tanya Yuna sambil bergelayut manja di pundak Yeriko.
“Selalu
ada masakan kesukaan kamu,” jawab Yeriko sambil merangkul pinggang Yuna dan
bergegas turun ke ruang makan.
“Malam,
Bi ...!” sapa Yuna sambil menatap Bibi War yang sedang menata makanan di meja.
“Masih
sore, kalian nggak jalan-jalan. Ini malam minggu,” sahut Bibi War.
“Malam
minggu?” Yeriko mengernyitkan dahinya.
“Nggak,
Bi. Malam minggu jalanan terlalu padet. Enakan di rumah nonton drama,”
Bibi
War menahan tawa. “Jalanan padet bukan alasan. Kenapa? Mas Yeri nggak ngajak
kamu jalan ke luar?” tanyanya sambil melirik Yeriko.
“Eh!?
Ah, Bibi ini ... jalanan beneran padet, macet kalo malam minggu gini. Bibi
bayangin aja, di kota ini penduduknya lebih dari tiga juta orang. Kalau
separuhnya itu anak-anak muda, bukannya bakal ada satu setengah juta penduduk
kota ini yang bakal keluar malam mingguan. Gelora Bung Tomo yang kapasitasnya
lima puluh ribu orang aja jalanan sampe macet. Apalagi ini malam mingguan, tiga
puluh kali lipat dari kapasitas GBT. Bibi bayangin aja, gimana macetnya?” jelas
Yuna.
Yeriko melipat kedua tangan sambil memerhatikan wajah Yuna.
“Masa
sih? Biasanya nggak pernah kayak gitu?” tanya Bibi War lagi.
“Ah,
itu kan dulu waktu Bibi masih muda. Sekarang mah udah beda, Bi,” sahut Yuna
meringis.
“Gitu
ya?”
“He-em.”
Yuna mengangguk dan duduk di kursi. Ia langsung menikmati makan malamnya
bersama Yeriko.
“Ehem
...!” Yeriko berdehem di sela-sela makannya.
“Kenapa?”
tanya Yuna sambil menoleh ke arah Yeriko.
“Dua
hari lagi konferensi pers. Kamu ... udah punya gaun?”
“Banyak.”
“Hah!?
Kamu mau pake gaun lama?”
Yuna
mengangguk. “Semuanya masih bagus-bagus.”
“Konferensi
ini penting banget. Kamu mau pake baju sembarangan?”
“Eh!?”
“Abis
makan, ikut aku!”
“Ke
mana?”
“Nggak
usah banyak tanya! Cepetan makannya!”
Yuna
mengangguk dan bergegas menghabiskan makan malamnya.
Usai
menyelesaikan makan malam, Yeriko menarik Yuna keluar rumah.
“Kita
mau ke mana?” tanya Yuna.
“Masuk!”
perintah Yeriko sambil membuka pintu mobil untuk Yuna.
Yuna
mengerucutkan bibirnya.
Yeriko
bergegas masuk dan melajukan mobilnya menuju butik langganan keluarga.
“Ayo,
kita cari gaun baru buat kamu!” ajak Yeriko sambil masuk ke dalam butik.
Yuna
tersenyum, ia ikut masuk ke dalam butik.
“Selamat
malam, Tuan Ye!” sapa seorang pramuniaga.
“Malam
...”
“Kebetulan
sekali, jas pengantin Tuan Ye sudah selesai dijahit. Mau dicoba?”
Yeriko
menoleh ke arah Yuna sambil tersenyum. “Mau coba?”
Yuna
mengangguk sambil tersenyum.
Pramuniaga
tersebut menggiring Yeriko dan Yuna memasuki ruang VIP.
“Oh
ya, tolong bawain gaun yang terbaru dan terbaik punya kalian minggu ini!” pinta
Yeriko.
Pramuniaga
tersebut menganggukkan kepala. “Ini baju pengantin kalian, silakan dicoba!”
“He-em.”
“Saya
keluar dulu buat ambil gaun yang Tuan Ye minta.”
Yeriko
menganggukkan kepala.
Yuna
tersenyum menatap kepergian pramuniaga tersebut. Matanya langsung tertuju pada
jas pernikahan yang akan dikenakan oleh Yeriko. “Wah ...! Ini keren banget!
Ayo, dicoba! Aku mau lihat suamiku pake ini. Pasti ganteng banget!” seru Yuna
penuh gairah.
Yeriko
tersenyum kecil sambil melangkah menghampiri Yuna. “Bantu aku pakai!”
Yuna
mengangguk. Ia segera membantu Yeriko mencoba jas pengantinnya.
“Nah,
kan ... ganteng banget!” seru Yuna.
“Beneran?”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Kamu,
coba punyamu!” pinta Yeriko.
Yuna
mengangguk dan langsung melepas kaos yang ia kenakan.
“Yun,
kamu nggak malu lepas baju di sini?”
“Malu
kenapa? Ini private room. Nggak ada yang lihat selain kamu,” jawab Yuna.
Yeriko
tersenyum kecil.
“Aargh
...!” teriak Yuna sambil menatap tubuhnya dari balik cermin.
“Kenapa
teriak?” tanya Yeriko sambil menutup kedua telinganya.
“Bajunya
pas!” seru Yuna. “Ini ... badanku yang mengecil atau bajunya yang dibesarin
ya?” tanyanya sambil menurunkan volume suaranya.
“Baguslah
kalau pas,” sahut Yeriko.
“Aku
mau ngecek timbanganku. Penjaga toko mana ya? Kayaknya, mereka punya timbangan
badan.” Yuna celingukan sambil mencari timbangan badan di sudut-sudut lantai.
“Nggak
usah cari timbangan!” pinta Yeriko. “Yang penting, gaunnya udah pas.”
“Permisi,
Tuan Ye! Ini gaun-gaun koleksi terbaru kami.” Seorang pramuniaga kembali masuk
ke dalam ruangan sambil mendorong stand hanger yang berisi beberapa gaun
terbaru.
“Oke.”
Yeriko mengangguk dan langsung mengamati gaun tersebut satu persatu. “Coba
ini!” Yeriko melemparkan gaun berwarna magenta ke arah Yuna.
Yuna
langsung menangkap gaun tersebut dan mengamatinya. “Bagus!” bisiknya. Ia
langsung melepas gaun pengantinnya dan mencoba gaun yang diberikan oleh Yeriko.
“Gimana?”
tanya Yuna.
“Mmh
...” Yeriko mengelus dagu sambil menatap Yuna. Ia kembali melihat deretan gaun
dan melemparkan gaun warna violet ke arah Yuna.
“Aku
nggak mau warna ini!” tutur Yuna sambil melempar gaun tersebut ke atas sofa.
“Ini!”
Yeriko kembali memilih gaun berwarna putih dengan renda mawar berwarna merah di
bagian pinggangnya.
Yuna
langsung mencoba gaun tersebut. “Gimana? Bagus?” tanyanya sambil menatap
tubuhnya di cermin. “Aku suka ini!”
“Ya
udah, itu aja!” sahut Yeriko.
Yuna
mengangguk. Ia segera melepas gaun tersebut dan mengenakan kembali pakaian
rumahnya.
“Yer,
makasih ya udah beliin gaun yang bagus,” tutur Yuna sambil menatap Yeriko saat
keluar dari butik.
Yeriko
mengangguk. “Asal kamu senang. Semuanya buat kamu.”
“Beneran?”
Yeriko
menganggukkan kepala.
“Kamu
juga buat aku ya!” pinta Yuna.
“Aku
udah punya kamu.”
Yuna
tertawa bahagia dan langsung memeluk tubuh Yeriko. “Apa pun kesulitan yang akan
aku hadapi, asal masih memelukmu ... aku nggak akan pernah menyerah,” bisik
Yuna dalam hatinya.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah baca sampai sini. Tunggu part-part
manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa
kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih
seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment