“Li, bisa mampir ke warung dulu nggak? Aku haus
banget,” pinta Bellina. Ia mencoba mengulur waktu agar tidak sampai ke rumah
sakit secepatnya. Ia berharap, saat sampai di rumah sakit, jadwal pemeriksaan
di poli kandungan sudah tutup.
Lian membuka laci dashboard. “Itu, ada air
minum!” tuturnya sambil menunjuk botol mineral yang ada di dalamnya.
Bellina langsung mengambil botol minum
tersebut. Ia berusaha mencari cara untuk menggagalkan Lian ke rumah sakit.
Tapi, pikirannya buntu dan tidak tahu harus melakukan apa. Terlebih, sikap Lian
yang begitu dingin, membuatnya tak berani mengatakan banyak hal.
“Mmh ... aku laper,” celetuk Bellina.
Lian tak menghiraukan ucapan Bellina. Ia terus
melajukan mobilnya menuju rumah sakit.
Bellina menggigit bibirnya. Ia mencoba untuk
terlihat santai agar Lian tidak mencurigai kebohongannya kali ini.
Sesampainya di rumah sakit, Lian langsung
mendaftar untuk melakukan pemeriksaan ke dokter kandungan.
“Li, aku ke toilet dulu ya!” pamit Bellina
sambil bangkit dari kursi ruang tunggu.
Lian mengangguk. “Jangan lama-lama!” pintanya.
“Iya.” Bellina bergegas pergi meninggalkan
Lian. Ia langsung menelepon mamanya.
“Halo ...!” sapa Melan begitu panggilan telepon
Bellina tersambung.
“Ma, Lian maksa aku periksa ke rumah sakit.
Gimana dong?”
“Hah!? Emangnya kamu nggak bisa cari alasan?”
“Nggak bisa. Sekarang, aku udah di rumah sakit.
Semua ini gara-gara Yuna.”
“Dia yang ngebocorin ini semua?”
“Iya.”
“Anak itu, memang minta dikasih pelajaran.
Berani-beraninya dia bikin masalah sama Mama!” ucap Melan geram.
“Terus, aku harus gimana, dong?”
“Kamu tenang aja! Kamu bisa cari alasan yang
bagus supaya Lian mau maafin kamu.”
“Tapi, Ma ...”
“Pakai cara seperti biasa. Dia pasti mudah buat
kamu taklukan.”
“He-em. Oke. Kalo gitu, aku matiin teleponnya.
Lian bakal tambah marah kalo aku kelamaan di toilet.”
“Oke. Kamu pasti bisa!”
“He-em.” Bellina langsung mematikan panggilan
teleponnya. Ia bergegas menghampiri Lian yang masih menunggu di kursi tunggu.
Beberapa menit kemudian, Bellina dan Lian
dipanggil masuk ke ruang pemeriksaan.
Bellina menarik napas dalam-dalam sebelum
melangkah masuk. Ia berharap, kali ini Tuhan akan berpihak kepadanya.
“Baru pertama kali periksa?” tanya dokter
begitu Bellina masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
Bellina mengangguk kecil.
Lian melipat kedua tangan menatap Bellina.
“Bukannya udah beberapa kali periksa?” tanyanya dalam hati.
Bellina salah tingkah menghadapi tatapan Lian.
Ia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh tunangannya itu. Lian sudah mengetahui
kalau ia beberapa kali pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan
kandungan.
“Baring dulu!” pinta dokter tersebut.
Bellina mengangguk. Ia naik ke ranjang pasien
dan berbaring.
Dokter tersebut langsung melakukan USG untuk
melihat kondisi janin yang ada di rahim Bellina.
“Kandungannya baru usia dua bulan. Masih berupa
embrio. Denyut jantungnya bagus,” tutur dokter tersebut. “Nanti, kembali USG
kalau sudah usia lima bulan ya! Kita lihat lagi perkembangan janinnya!”
Bellina tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Jaga asupan makanan dan jangan terlalu lelah!”
pinta dokter. “Kondisi kandungan di usia muda sangat rentan.”
Bellina mengangguk lagi.
Dokter tersebut mempersilakan Bellina keluar
usai melakukan pemeriksaan.
Bellina menghela napas lega begitu ia keluar
dari ruang pemeriksaan.
Lian menatap tajam ke arah Bellina dan langsung
menarik lengan Bellina. Ia terus melangkah keluar dan menekan tubuh Bellina ke
dinding. “Bukannya kandungan kamu harusnya udah umur empat bulan? Selama ini,
kamu memang bohongin aku?”
Bellina terdiam. Ia hanya menggigit bibir dan
tak berani menatap wajah Lian.
“Kamu gila ya!” sentak Lian. “Hal penting kayak
gini kamu bikin lelucon!”
“Maaf ...!” tutur Bellina dengan mata
berkaca-kaca. “Awalnya, aku memang bohongin kamu. Tapi, kali ini aku emang
beneran hamil, Li.”
“Bell, aku selalu percaya sama kamu. Kenapa
kamu malah bohongin aku kayak gini?”
“Aku nggak mau kehilangan kamu.”
“Aku pasti nikahin kamu, Bel. Tapi nggak kayak
gini caranya. Nggak perlu pura-pura hamil buat dapetin perhatian aku!” tegas
Lian.
“Aku nggak bermaksud kayak gitu.”
“Terus, udah kayak gini maksudnya apa?” seru
Lian.
Bellina terdiam. Ia mencoba mencari jawaban
yang tepat untuk pertanyaan Lian kali ini.
“Aargh ...!” Lian meninju dinding yang ada di
sebelah wajah Bellina. Ia menghela napas kesal dan melangkah pergi meninggalkan
Bellina.
“Lian ...!” panggil Bellina sambil mengikuti
langkah Lian.
“Aku perlu waktu buat sendiri.” Lian
mempercepat langkahnya.
“Li ... Lian ...! Dengerin aku dulu!” seru
Bellina.
Lian tak menghiraukan panggilan Bellina. Ia
terus melangkah pergi, meninggalkan Bellina di rumah sakit.
Bellina menghentakkan kakinya. Ia tidak terima
dengan sikap Lian yang meninggalkannya begitu saja. “Yuna ...! Ini semua
gara-gara kamu!”
Lian tak menghiraukan Bellina. Ia melangkah
keluar dari rumah sakit, bergegas mengambil mobil dan melajukan mobilnya menuju
pantai yang berjarak 7.6 kilometer dari pusat kota dengan jarak tempuh sekitar
dua puluh menit.
Lian menyandarkan tubuhnya di mobil sambil
menatap pantai yang terbentang luas di hadapannya. Ia menyeruput bir kaleng
yang ada di tangannya. Di tepi pantai, ia melihat Yuna tertawa riang, bermain
pasir dan berlarian ke sana ke mari bersama teman-temannya yang masih
mengenakan seragam sekolah.
Lian tersenyum kecil mengenang masa-masa
indahnya bersama dengan Yuna. “Yun, aku terlalu bodoh. Udah nyia-nyiain kamu
gitu aja. Andai semua bisa kembali kayak dulu lagi.”
“Bellina bener-bener menyulitkan aku. Saat kita
masih sama-sama, kamu begitu ceria, penuh semangat dan pandai bikin orang lain
tersenyum. Bahkan sampai sekarang, kamu masih nggak berubah. Aku yang terlalu
bodoh. Sudah terlambat menyadarinya,” tutur Lian. Ia menengadahkan kepalanya
menatap langit yang luas.
Lian tersenyum menatap gumpalan awan yang terus
bergerak di atasnya. “Yuna ...!” panggilnya lirih. “Maafin aku ...! Bahkan
sampai sekarang aku masih nggak bisa lihat awan cinta yang kamu lukis buat aku.
Bodoh!” ucap Lian sambil menertawakan dirinya sendiri.
Perasaan Lian semakin tak karuan. Yuna dan
Bellina memang saudara sepupu. Tapi, keduanya memiliki karakter yang jauh
berbeda. Setiap kali Bellina mengatakan hal buruk tentang Yuna, saat itu juga
ia memiliki rasa bersalah yang begitu besar dalam hatinya.
“Bellina ... ada berapa banyak kebohongan yang
udah kamu buat?” seru Lian sambil memijat keningnya yang berdenyut.
Kini, ia terjebak dalam pelukan Bellina. Tidak
bisa pergi meninggalkan ibu dari anaknya. Ia sangat berharap kalau suatu hari
Bellina bisa merubah sikapnya.
Lian merosot ke bawah, duduk bersandar di
ban mobilnya sambil terus meminum beberapa kaleng bir yang ia bawa. “Oh ...
Wilian! Kenapa hidupmu begitu menyedihkan?”
Makasih udah baca sampai sini.
Tunggu part-part manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku
makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang
udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment