Yuna
melenggang memasuki kantor Wijaya Group dengan ceria. Minggu ini adalah minggu
terakhir dia bekerja di kantor Wijaya Group. Ia ingin meninggalkan kesan baik
pada teman-teman departemennya sebelum berpisah.
“Pagi
...!” sapa Yuna ceria.
“Pagi
juga,” sahut karyawan yang lainnya.
“Hei,
Tuan Puteri akhirnya masuk kerja juga. Udah sembuh kakinya?” tanya Juan.
Yuna
menganggukkan kepala. “Kenapa? Kangen ya sama aku?” tanya Yuna sambil tertawa
kecil. Ia langsung duduk di kursi meja kerjanya.
“Iya.
Ruangan sepi tanpamu, Yun. Kayak hatiku,” sahut Juan.
“Preett
...!” Yuna mencebik ke arah Juan.
“Godain
istri orang, ntar dihajar suaminya baru tahu rasa,” sahut Icha.
“Ahciyeee
... kamu cemburu, Cha?” tanya Juan.
“Idih,
ngapain cemburu sama kamu?” sahut Icha sambil memutar bola matanya.
Yuna
tertawa kecil. “Kayaknya, Juan makin jago ngegombal. Jangan-jangan, udah punya
pacar ya?”
Juan
tersenyum sambil mengelus dagunya. “Juan gitu loh. Siapa cewek yang nggak mau
sama cowok ganteng kayak aku? Kalo nggak ada Pak Yeriko, kamu pasti udah
tergila-gila sama aku.”
Yuna
dan Icha tertawa bersamaan. “Ngimpi!”
“Astaga
...! Kalian ini memang nggak bisa lihat orang senang,” sahut Juan.
Yuna
terkekeh geli. Ia menoleh ke arah Icha yang duduk di sebelahnya. “Cha, gimana
hubungan kamu sama Lutfi?” tanyanya lirih.
“Baik
banget,” jawab Icha sambil tersenyum.
“Mama
kamu gimana? Udah ngerestuin atau belum?”
Icha
mengangguk sambil tersenyum.
“Beneran?
Wah ... udah dapet lampu ijo nih dari mama kamu?” tanya Yuna penuh semangat.
“Hehehe.
Ya, begitulah.”
“Tinggal
kamu yang ngegaet camer,” tutur Yuna.
“Eh!?
Aku belum siap buat itu.”
“Kenapa?”
Icha
menarik napas dalam. “Lutfi juga nggak pernah ngebahas soal orang tua dia.”
“Mmh
...” Yuna mengetuk-ngetuk dagunya.
“Kenapa?”
“Nggak
papa. Oh ya, minggu ini masa magang aku habis. Gimana kalo aku traktir kalian
makan siang?”
“Eh!?
Emangnya kamu nggak mau lanjut kerja di sini lagi setelah magang?”
“Mmh
... belum tahu, Cha. Aku masih mau di rumah dulu.”
“Yah,
kantor pasti sepi banget kalo nggak ada kamu.”
“Kalo
mau rame, ajak si Bellina berantem,” sahut Yuna lirih.
“Idih
... mana berani cari masalah sama dia. Aku nggak pandai berdebat kayak kamu.”
“Hahaha.”
Yuna tergelak mendengar ucapan Icha.
“Oh
ya, aku pergi fotocopy dulu!” pamit Yuna sambil bangkit dari tempat duduknya.
Ia membawa beberapa dokumen yang akan ia salin.
Yuna
melangkah keluar dari ruang kerjanya. Menyusuri koridor menuju ruang fotocopy.
Langkahnya terhenti saat melihat Bellina berada di hadapannya.
“Hadeh
... males banget ketemu sama ini orang,” batin Yuna. Ia berbalik dan melangkah
pergi.
“Heh!
Mau ke mana?” Bellina langsung menarik lengan Yuna.
Yuna
memutar bola matanya. “Bel, kamu nggak ada bosennya gangguin aku mulu?”
tanyanya sambil berbalik menatap Bellina.
Bellina
tergelak mendengar pertanyaan Yuna. “Aku cuma pengen lihat wajah kamu aja.
Gimana? Udah jadian sama Andre?”
Yuna
menatap Bellina tanpa berkedip. Ia melipat kedua tangan di dada dan melangkah
mendekati Bellina.
Bellina
tertawa kecil menatap Yuna. “Hartanya Yeriko udah kamu habisin ya? Makanya,
sekarang ngincar Andre buat jadi mangsa baru kamu?”
Yuna
tersenyum sinis. “Aku bukan cewek yang deketin cowok karena harta.”
“Oh
ya? But, everybody know. Kamu cuma deketin cowok-cowok kaya doang. Siapa yang
nggak kenal Yeriko sama Andre? Dua-duanya CEO perusahaan besar.”
“Bel,
kamu nggak usah nyari masalah sama aku. Kamu tahu sendiri kalo Andre itu temen
kita dari kecil. Bukan cowok yang baru aja aku kenal.”
Bellina
tersenyum kecil menanggapi ucapan Yuna. “Tapi, dia suka banget sama kamu, kan?
Kamu pikir, aku nggak tahu kalo Andre lagi ngejar kamu? Kamu tuh udah bersuami,
Yun. Mana ada cowok yang mau ngejar-ngejar istri orang kalau bukan karena kamu
yang kecentilan!”
“Heh!
Jaga mulut kamu ya!” sentak Yuna. “Kamu kira aku cewek apaan!?” dengusnya.
Bellina
tersenyum menatap Yuna. “Kamu jual diri kamu cuma buat uang, kan?”
PLAK!
Telapak
tangan Yuna langsung mendarat di pipi Bellina.
Bellina
menarik napas dalam-dalam sambil memegangi pipinya yang terasa panas dan perih.
Ia menatap Yuna penuh amarah dan langsung mendorong dada Yuna.
“Kamu
berani sama aku?” teriak Bellina.
“Kenapa
nggak berani? Kita sama-sama makan nasi. Kalo kamu tiap hari makan besi, baru
aku takut sama kamu,” sahut Yuna.
“Kamu!?”
Bellina melayangkan tangannya ke arah Yuna. Namun, dengan cepat Yuna menahan
lengan Bellina dan mencengkeramnya sangat erat.
“Bel,
sebelum kamu ngata-ngatain orang lain. Lebih baik kamu ngaca dulu, deh!” pinta
Yuna. “Bukannya kamu yang ngelakuin segala cara buat dapetin hartanya Lian?”
Bellina
tak menyahut. Ia berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Yuna.
Yuna
tersenyum sinis. “Kamu bahkan ngerebut Lian dari saudara kamu sendiri.
Sekarang, kamu juga pura-pura hamil cuma buat dapetin Lian. Biar dia mau
nikahin kamu secepatnya, iya kan?”
Bellina
menatap sengit ke arah Yuna.
“Kamu
kira, kita bisa dibegoin kayak kamu ngebegoin si Lian? Kalo kamu hamil,
harusnya perut kamu udah mulai buncit. Kenapa masih flat aja?”
“Kamu
beneran nggak hamil?” Lian tiba-tiba sudah berdiri di dekat Yuna dan Bellina.
Bellina
membelalakkan mata menatap Lian. “Kamu nggak usah percaya omongannya Yuna. Dia
cuma ngada-ngada. Aku udah periksa kandungan rutin. Kamu nggak percaya sama
aku?”
Yuna
tersenyum menatap Lian. “Coba aja kamu bawa dia periksa sendiri! Dia yang
bohong atau aku yang bohong?” tutur Yuna sambil melepas tangan Bellina dari
cengkeramannya.
Lian
menatap dingin ke arah Bellina.
“Li,
kamu nggak usah percaya sama dia!” pintanya. “Dia cuma mau ngancurin hubungan
kita karena dia itu masih nggak rela lihat kita hidup bahagia.”
“Sorry
ya!” sahut Yuna. “Hidupku sekarang jauh lebih bahagia dari hidup kalian,” sahut
Yuna sambil berlalu pergi meninggalkan Bellina dan Lian.
“Ayo,
sekarang juga kita ke rumah sakit!” pinta Lian sambil menarik lengan Bellina.
“Li,
aku nggak bohongin kamu. Aku beneran hamil. Aku ...”
“Jelasin
nanti setelah periksa di rumah sakit!” pinta Lian sambil melangkahkan kakinya
keluar dari kantor.
“Li,
kenapa sih kamu lebih percaya sama Yuna daripada sama aku?” tanya Bellina saat
Lian membukakan pintu mobil untuknya.
Lian
menatap wajah Bellina. “Kalo kamu nggak salah, kenapa harus setakut ini?”
“Aku
nggak takut,” jawab Bellina. Ia tetap tak bisa menyembunyikan perasaan
gugupnya.
“Masuk!”
pinta Lian dingin.
Bellina
masuk ke dalam mobil perlahan. Ia menatap gedung kantor Lian penuh amarah.
“Awas kamu, Yun! Aku bakal bikin perhitungan sama kamu!” batinnya.
Lian
bergegas masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya menuju rumah sakit.
Pikirannya terus tertuju pada Yuna. Wanita cantik yang pernah menjadi pacarnya
selama tujuh tahun dan tak pernah menipunya.
Makasih udah baca sampai sini.
Tunggu part-part manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku
makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang
udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment