Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Wednesday, February 26, 2025

Perfect Hero Bab 165 : Camer Galak || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Jelasin!” pinta Ratna sambil menatap Icha dan Lutfi.

 

“Ada hubungan apa antara kamu dan anak saya?”

 

 “Cuma temen, Ma,” jawab Icha.

 

“Kenapa sembunyi?”

 

“Takut dimarahi Mama,” jawab Icha.

 

“Katanya cuma makan bareng? Kenapa harus takut? Ada yang kamu sembunyikan dari Mama?”

 

Icha menggelengkan kepala.

 

“Maaf, Tante. Ini salah saya. Bukan salah Icha.”

 

“Dua-duanya salah!” sahut Ratna.

 

“Maaf, Tante ...”

 

“Kenapa kamu bisa ada di rumah anak saya?” tanya Ratna.

 

“Sudah empat hari saya perjalanan dinas ke luar kota. Sore ini, saya baru balik ke sini. Jadi, saya berinisiatif masak untuk Icha karena beberapa hari nggak bisa ketemu dan ...”

 

“Kamu masakin buat Icha?”

 

Lutfi menganggukkan kepala.

 

“Kenapa? Apa hubungan pertemanan harus sedekat ini? Kamu sampai masakin buat Icha?”

 

“Ma, kita temen baik,” sahut Icha.

 

“Mama tanya sama dia. Bukan sama kamu!”

 

“Mmh ... “ Lutfi menarik napas dalam-dalam dan menegakkan tubuhnya. “Saya suka sama anak Tante.”

 

“Apa!?”

 

“Saya suka sama Icha.”

 

Ratna mengernyitkan dahi. “Ini apa-apaan?” serunya kesal. “Dari tadi kalian mau mempermainkan saya, heh!? Kenapa omongan kalian berubah-ubah?”

 

“Kali ini serius, Tante. Saya sama Icha. Mmh ... kami ... kami ...”

 

“Apa?”

 

“Kami udah pacaran.”

 

Icha langsung menoleh ke arah Lutfi. “Kenapa ngomong gitu?” bisiknya.

 

“Sejak kapan?” tanya Ratna ketus.

 

“Baru seminggu.”

 

Ratna langsung menatap Icha. “Kamu udah berani pacaran?”

 

Icha terdiam. Ia tak berani menjawab pertanyaan mamanya.

 

“Tante, Icha sudah dewasa. Kenapa masih dilarang pacaran?”

 

“Tante nggak ngelarang dia pacaran. Tapi dia hidup di tempat orang. Jauh dari orang tua. Gimana kalo dia berhubungan sama laki-laki yang cuma manfaatin dia aja?”

 

“Tante, saya serius sayang sama Icha. Saya janji, bakal mencintai dia, menjaga dan melindungi dia. Tante nggak usah khawatir!” sahut Lutfi sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan.

 

“Apa kamu bisa dipercaya?” Ratna menatap wajah Lutfi penuh curiga.

 

Lutfi merogoh dompet di sakunya dan mengeluarkan kartu nama. “Ini kartu nama saya. Tante bisa hubungi saya. Saya standby dua puluh empat jam.” Ia mengulurkan kartu nama kepada Ratna yang berdiri di hadapannya.

 

Ratna meraih kartu dari tangan Lutfi. Ia tersenyum kecil dan langsung menyimpan kartu tersebut ke dalam tasnya.

 

“Oke. Tante percaya sama kamu. Kalau sampe kenapa-kenapa sama Icha, kamu orang pertama yang Tante cari!”

 

Lutfi menganggukkan kepala.

 

“Makannya udah selesai kan? Kamu udah boleh pulang.”

 

Lutfi mengangguk. Ia bangkit dari tempat duduknya. “Aku pulang dulu, kamu baik-baik ya!” tutur Lutfi sambil menatap Icha.

 

Icha menganggukkan kepala.

 

“Mmh ... Tante, saya pamit pulang dulu.”

 

Ratna mengangguk.

 

Lutfi bergegas keluar dari rumah Icha.

 

Ratna melipat kedua tangan di depan dada sambil menatap Icha.

 

Icha meringis menatap mamanya. “Mama mau nginap di sini?”

 

“Udah jauh-jauh datang dari Kalimantan, kamu mau Mama langsung bulik?”

 

Icha menggelengkan kepala. “Nggak, Ma.” Ia bangkit dan langsung memeluk mamanya. “Kangen banget sama Mama. Mama mau makan apa? Kita keluar sambil jalan-jalan. Gimana?”

 

Ratna tersenyum kecil menanggapi pertanyaan Icha. “Oke.”

 

Icha tersenyum bahagia sambil mengeratkan pelukannya. “Oke. Aku mandi dulu!”

 

Beberapa menit kemudian, Icha dan mamanya pergi makan ke salah satu tempat makan favorite Icha yang berada tak jauh dari rumahnya.

 

“Cha, pacar kamu itu kerjanya apa?”

 

“Dia punya usaha sendiri.”

 

“Usaha apa?”

 

“Villa sama hotel,” jawab Icha.

 

“Dia pengusaha kaya, Cha?” tanya Ratna.

 

“Mmh ... aku rasa begitu.”

 

“Astaga! Icha. Kamu nggak salah pilih pacar kan?”

 

“Eh!? Kenapa, Ma? Dia baik.”

 

“Cha, keluarga kita biasa-biasa aja. Kamu pikir, punya hubungan sama orang kaya itu gampang? Banyak hal yang harus kamu hadapi. Sebelum terlanjur jauh, lebih baik kamu pikirkan lagi!” pinta Ratna.

 

Icha menggigit bibir bawahnya.

 

“Ulun kada malarang ikam mau suka sama lakian mana haja Galuh ae. Tapi beingat jua kita ini siapa! Ikam kira jadi mantu orang sugih tuh enak? Lihat si Naimah, anaknya Julak Wadai yang deket rumah tuh. Nikah lawan urang sugih, kada sampe dua bulan sudah cerai. Muntung martuhanya pang kayak cabai, pedes banget.” (( muntung = mulut, martuha = mertua))

 

“Ma, Mama berpikir terlalu jauh. Aku sama Lutfi cuma pacaran. Bukan mau nikah.”

 

“Apa gunanya pacaran kalo kada nikah?”

 

“Ma, pacaran itu proses!” sahut Icha. “Proses untuk saling mengenal lebih dekat. Kalo cocok, besanding di pelaminan. Kalo kada cocok, diundang ke pelaminan. Pian kada pusing mamikirkan. Ulun masih muda.” (( pian = Anda, ulun = aku))

 

Ratna menghela napas panjang. “Anak zaman sekarang, kalo dikasih tahu sama orang tua. Bisa aja jawabnya.”

 

Icha meringis sambil menatap mamanya. “Makan yang banyak, Ma!” pintanya. “Besok, aku ajak Mama pergi belanja. Mama boleh beli apa aja yang Mama suka.”

 

“Kamu mau nyogok Mama?”

 

Icha menggelengkan kepala. “Uang Mama lebih banyak dari uangku. Kayaknya, nggak perlu disogok, hehehe.”

 

“Emangnya Mama nggak hafal sama kelakuan kamu? Baik-baik sama Mama kalo ada maunya doang,” sahut Ratna.

 

Icha meringis sambil menatap mamanya. Ia langsung menoleh ke ponsel yang berdering di atas meja. “Ma, Yuna telepon aku. Aku angkat dulu ya?”

 

“Yuna atau pacar kamu?” tanya Ratna saat Icha bangkit dari tempat duduknya.

 

“Yuna, Ma.”

 

“Kenapa harus pergi angkat teleponnya?”

 

“Di sini bising. Aku ke toilet dulu,” jawab Icha sambil berlari pergi ke arah toilet.

 

“Halo ...! Yun, ada apa?” tanya Icha begitu ia menjawab panggilan telepon dari Yuna.

 

“Tadi si Lutfi chat aku. Dia bilang, mama kamu datang dan mergokin dia ada di rumah kamu?”

 

“He-em.” Icha menganggukkan kepala.

 

“Emangnya bener, Mama kamu marah-marah gitu?”

 

“Nggak, kok.”

 

“Dia bilang, Mama kamu marah-marah pake bahasa daerah gitu. Mama kamu nggak suka sama Lutfi?”

 

“Nggak juga sih, Yun. Dia nggak bilang suka, nggak benci juga.”

 

“Terus? Apa perlu bantuanku buat jelasin ke mama kamu?”

 

“Nggak perlu, deh. Mama udah nggak ngebahas Lutfi lagi, kok. Tenang aja, aku bisa ngatasi Mama, kok.”

 

“Serius?”

 

“He-em.” Icha menganggukkan kepala.

 

“Ya udah. Baik-baik, ya! Jangan sampe bikin Lutfi patah hati!”

 

“Hehehe. Iya. Makasih ya, Yun!”

 

“Makasih untuk apa?”

 

“Karena udah perhatiin aku.”

 

“Hmm ... kalian bukan orang lain buat aku. Udah seharusnya aku peduli.”

 

Icha tersenyum kecil. Ia merasa sangat bahagia karena bisa mendapat sahabat sebaik Yuna.

 

“Ya udah. Udah dulu, ya! Aku matiin teleponnya,” pamit Yuna. “Bye!” serunya sambil mematikan panggilan telepon.

 

Icha tersenyum sambil menatap layar ponselnya. Ia melangkahkan kakinya menghampiri mamanya yang sedang menikmati makan malam bersamanya.

 

TING ...!

 

Icha langsung membuka layar ponsel dan membaca pesan yang dikirim oleh Lutfi.

 

“Gimana Mama kamu? Masih marah?” tanya Lutfi.

 

“Tenang aja. Semua baik-baik aja, kok.”

 

“Oke. Besok sore aku jemput kamu.”

 

“Oke.” Icha tersenyum sambil membalas chat dari Lutfi.

 

“Simpan dulu hp-nya kalau lagi makan!” sentak Ratna.

 

“Eh!? Iya, Ma.” Icha langsung menyimpan ponselnya ke dalam tas.

 

Ratna sangat berharap kalau Icha bisa fokus menghabiskan waktu bersamanya dan tidak terganggu dengan kehadiran orang lain.

 

 

 (( Bersambung ... ))

 

Makasih udah baca sampai sini. Tunggu part-part manis di cerita selanjutnya ya ...

 Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas