“Jelasin!”
pinta Ratna sambil menatap Icha dan Lutfi.
“Ada
hubungan apa antara kamu dan anak saya?”
“Cuma
temen, Ma,” jawab Icha.
“Kenapa
sembunyi?”
“Takut
dimarahi Mama,” jawab Icha.
“Katanya
cuma makan bareng? Kenapa harus takut? Ada yang kamu sembunyikan dari Mama?”
Icha
menggelengkan kepala.
“Maaf,
Tante. Ini salah saya. Bukan salah Icha.”
“Dua-duanya
salah!” sahut Ratna.
“Maaf,
Tante ...”
“Kenapa
kamu bisa ada di rumah anak saya?” tanya Ratna.
“Sudah
empat hari saya perjalanan dinas ke luar kota. Sore ini, saya baru balik ke
sini. Jadi, saya berinisiatif masak untuk Icha karena beberapa hari nggak bisa
ketemu dan ...”
“Kamu
masakin buat Icha?”
Lutfi
menganggukkan kepala.
“Kenapa?
Apa hubungan pertemanan harus sedekat ini? Kamu sampai masakin buat Icha?”
“Ma,
kita temen baik,” sahut Icha.
“Mama
tanya sama dia. Bukan sama kamu!”
“Mmh
... “ Lutfi menarik napas dalam-dalam dan menegakkan tubuhnya. “Saya suka sama
anak Tante.”
“Apa!?”
“Saya
suka sama Icha.”
Ratna
mengernyitkan dahi. “Ini apa-apaan?” serunya kesal. “Dari tadi kalian mau
mempermainkan saya, heh!? Kenapa omongan kalian berubah-ubah?”
“Kali
ini serius, Tante. Saya sama Icha. Mmh ... kami ... kami ...”
“Apa?”
“Kami
udah pacaran.”
Icha
langsung menoleh ke arah Lutfi. “Kenapa ngomong gitu?” bisiknya.
“Sejak
kapan?” tanya Ratna ketus.
“Baru
seminggu.”
Ratna
langsung menatap Icha. “Kamu udah berani pacaran?”
Icha
terdiam. Ia tak berani menjawab pertanyaan mamanya.
“Tante,
Icha sudah dewasa. Kenapa masih dilarang pacaran?”
“Tante
nggak ngelarang dia pacaran. Tapi dia hidup di tempat orang. Jauh dari orang
tua. Gimana kalo dia berhubungan sama laki-laki yang cuma manfaatin dia aja?”
“Tante,
saya serius sayang sama Icha. Saya janji, bakal mencintai dia, menjaga dan
melindungi dia. Tante nggak usah khawatir!” sahut Lutfi sambil mengacungkan
jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan.
“Apa
kamu bisa dipercaya?” Ratna menatap wajah Lutfi penuh curiga.
Lutfi
merogoh dompet di sakunya dan mengeluarkan kartu nama. “Ini kartu nama saya.
Tante bisa hubungi saya. Saya standby dua puluh empat jam.” Ia mengulurkan
kartu nama kepada Ratna yang berdiri di hadapannya.
Ratna
meraih kartu dari tangan Lutfi. Ia tersenyum kecil dan langsung menyimpan kartu
tersebut ke dalam tasnya.
“Oke.
Tante percaya sama kamu. Kalau sampe kenapa-kenapa sama Icha, kamu orang
pertama yang Tante cari!”
Lutfi
menganggukkan kepala.
“Makannya
udah selesai kan? Kamu udah boleh pulang.”
Lutfi
mengangguk. Ia bangkit dari tempat duduknya. “Aku pulang dulu, kamu baik-baik
ya!” tutur Lutfi sambil menatap Icha.
Icha
menganggukkan kepala.
“Mmh
... Tante, saya pamit pulang dulu.”
Ratna
mengangguk.
Lutfi
bergegas keluar dari rumah Icha.
Ratna
melipat kedua tangan di depan dada sambil menatap Icha.
Icha
meringis menatap mamanya. “Mama mau nginap di sini?”
“Udah
jauh-jauh datang dari Kalimantan, kamu mau Mama langsung bulik?”
Icha
menggelengkan kepala. “Nggak, Ma.” Ia bangkit dan langsung memeluk mamanya.
“Kangen banget sama Mama. Mama mau makan apa? Kita keluar sambil jalan-jalan.
Gimana?”
Ratna
tersenyum kecil menanggapi pertanyaan Icha. “Oke.”
Icha
tersenyum bahagia sambil mengeratkan pelukannya. “Oke. Aku mandi dulu!”
Beberapa
menit kemudian, Icha dan mamanya pergi makan ke salah satu tempat makan
favorite Icha yang berada tak jauh dari rumahnya.
“Cha,
pacar kamu itu kerjanya apa?”
“Dia
punya usaha sendiri.”
“Usaha
apa?”
“Villa
sama hotel,” jawab Icha.
“Dia
pengusaha kaya, Cha?” tanya Ratna.
“Mmh
... aku rasa begitu.”
“Astaga!
Icha. Kamu nggak salah pilih pacar kan?”
“Eh!?
Kenapa, Ma? Dia baik.”
“Cha,
keluarga kita biasa-biasa aja. Kamu pikir, punya hubungan sama orang kaya itu
gampang? Banyak hal yang harus kamu hadapi. Sebelum terlanjur jauh, lebih baik
kamu pikirkan lagi!” pinta Ratna.
Icha
menggigit bibir bawahnya.
“Ulun
kada malarang ikam mau suka sama lakian mana haja Galuh ae. Tapi beingat jua
kita ini siapa! Ikam kira jadi mantu orang sugih tuh enak? Lihat si Naimah,
anaknya Julak Wadai yang deket rumah tuh. Nikah lawan urang sugih, kada sampe
dua bulan sudah cerai. Muntung martuhanya pang kayak cabai, pedes banget.” (( muntung = mulut, martuha =
mertua))
“Ma,
Mama berpikir terlalu jauh. Aku sama Lutfi cuma pacaran. Bukan mau nikah.”
“Apa
gunanya pacaran kalo kada nikah?”
“Ma,
pacaran itu proses!” sahut Icha. “Proses untuk saling mengenal lebih dekat.
Kalo cocok, besanding di pelaminan. Kalo kada cocok, diundang ke pelaminan.
Pian kada pusing mamikirkan. Ulun masih muda.” (( pian = Anda, ulun = aku))
Ratna
menghela napas panjang. “Anak zaman sekarang, kalo dikasih tahu sama orang tua.
Bisa aja jawabnya.”
Icha
meringis sambil menatap mamanya. “Makan yang banyak, Ma!” pintanya. “Besok, aku
ajak Mama pergi belanja. Mama boleh beli apa aja yang Mama suka.”
“Kamu
mau nyogok Mama?”
Icha
menggelengkan kepala. “Uang Mama lebih banyak dari uangku. Kayaknya, nggak
perlu disogok, hehehe.”
“Emangnya
Mama nggak hafal sama kelakuan kamu? Baik-baik sama Mama kalo ada maunya
doang,” sahut Ratna.
Icha
meringis sambil menatap mamanya. Ia langsung menoleh ke ponsel yang berdering
di atas meja. “Ma, Yuna telepon aku. Aku angkat dulu ya?”
“Yuna
atau pacar kamu?” tanya Ratna saat Icha bangkit dari tempat duduknya.
“Yuna,
Ma.”
“Kenapa
harus pergi angkat teleponnya?”
“Di
sini bising. Aku ke toilet dulu,” jawab Icha sambil berlari pergi ke arah
toilet.
“Halo
...! Yun, ada apa?” tanya Icha begitu ia menjawab panggilan telepon dari Yuna.
“Tadi
si Lutfi chat aku. Dia bilang, mama kamu datang dan mergokin dia ada di rumah
kamu?”
“He-em.”
Icha menganggukkan kepala.
“Emangnya
bener, Mama kamu marah-marah gitu?”
“Nggak,
kok.”
“Dia
bilang, Mama kamu marah-marah pake bahasa daerah gitu. Mama kamu nggak suka
sama Lutfi?”
“Nggak
juga sih, Yun. Dia nggak bilang suka, nggak benci juga.”
“Terus?
Apa perlu bantuanku buat jelasin ke mama kamu?”
“Nggak
perlu, deh. Mama udah nggak ngebahas Lutfi lagi, kok. Tenang aja, aku bisa
ngatasi Mama, kok.”
“Serius?”
“He-em.”
Icha menganggukkan kepala.
“Ya
udah. Baik-baik, ya! Jangan sampe bikin Lutfi patah hati!”
“Hehehe.
Iya. Makasih ya, Yun!”
“Makasih
untuk apa?”
“Karena
udah perhatiin aku.”
“Hmm
... kalian bukan orang lain buat aku. Udah seharusnya aku peduli.”
Icha
tersenyum kecil. Ia merasa sangat bahagia karena bisa mendapat sahabat sebaik
Yuna.
“Ya
udah. Udah dulu, ya! Aku matiin teleponnya,” pamit Yuna. “Bye!” serunya sambil
mematikan panggilan telepon.
Icha
tersenyum sambil menatap layar ponselnya. Ia melangkahkan kakinya menghampiri
mamanya yang sedang menikmati makan malam bersamanya.
TING
...!
Icha
langsung membuka layar ponsel dan membaca pesan yang dikirim oleh Lutfi.
“Gimana
Mama kamu? Masih marah?” tanya Lutfi.
“Tenang
aja. Semua baik-baik aja, kok.”
“Oke.
Besok sore aku jemput kamu.”
“Oke.”
Icha tersenyum sambil membalas chat dari Lutfi.
“Simpan
dulu hp-nya kalau lagi makan!” sentak Ratna.
“Eh!?
Iya, Ma.” Icha langsung menyimpan ponselnya ke dalam tas.
Ratna
sangat berharap kalau Icha bisa fokus menghabiskan waktu bersamanya dan tidak
terganggu dengan kehadiran orang lain.
Makasih udah baca sampai sini.
Tunggu part-part manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku
makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang
udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment