“Kamu
udah lama di sini?” tanya Icha saat masuk rumah dan mendapati Lutfi sedang
memasak di dapurnya.
Lutfi
menganggukkan kepala. “Hari ini, aku masakin khusus buat kamu. Anggap aja,
permintaan maaf karena beberapa hari ini nggak bisa ketemu sama kamu.”
“Aku
tahu kamu sibuk. Baru balik dari Jogja, langsung ke sini?”
Lutfi
menganggukkan kepala.
“Kenapa
nggak pulang ke rumah kamu dulu?”
“Karena
rindu,” jawab Lutfi sambil melepas apron dari tubuhnya.
“Bisa
aja ngegombalnya,” celetuk Icha sambil menggantung tasnya di dinding.
“Ayo,
makan!” ajak Lutfi sambil menarik kursi untuk Icha.
Icha
tersenyum dan langsung duduk. “Thanks.”
Lutfi
tersenyum. Ia duduk di hadapan Icha dan menikmati makan bersama.
“Mmh
... Cha ...!” panggil Lutfi sambil menatap wajah Icha.
“Ya.”
“Minggu
depan ada waktu nggak?”
“Kenapa?”
“Aku
mau ajak kamu ke Pulau Derawan.”
“Nggak
bisa, Lut. Aku kerja.”
“Sehari
doang, Cha. Sabtu berangkat, minggu kita udah balik ke sini.”
“Males,
ah. Capek doang.”
“Eh!?”
“Lut,
perjalanan dari Bandara Balikpapan ke Pulau Derawan itu butuh waktu berjam-jam.
Udah gitu, jadwal penerbangan ke sana juga nggak setiap hari. Mana bisa mau ke
Derawan cuma sehari doang,” jelas Icha.
“Cha,
aku bisa nyewa helikopter buat ke Derawan. Perjalanan dari sini ke Balikpapan
cuma satu jam aja. Abis itu, aku sewa helikopter ke sana. Paling, dua jam udah
nyampe.”
Icha
menghela napas. “Ya, ya, ya. Kalau banyak duit emang gitu. Kamu ke sana buat
urusan kerjaan juga kan? Aku mau ngapain? Nggak mungkin mau liburan kalo kamu
kerja.”
“Kan
bisa sambil liburan, Cha. Aku cuma mau lihat lokasi aja.”
“Aku
nggak bisa.”
“Cha
...!” rengek Lutfi manja.
Icha
menghela napas sambil menatap wajah Lutfi. “Lut, itu terlalu jauh. Kalo cuma ke
Bali atau ke Jogja, aku bisa aja.”
“Nggak
bisa ambil cuti? Aku telepon Lian, nih. Kalo mau, sekalian main ke rumah orang
tua kamu. Satu minggu. Gimana?”
“Eh!?
Buat apa main ke rumah orang tua aku?”
“Kenalan,
Cha. Masa aku nggak boleh kenalan sama orang tua kamu.”
“Boleh.
Tapi nggak sekarang!”
“Besok?”
“Nggak
juga!” seru Icha kesal. “Kita baru aja jadian. Aku nggak mau orang tuaku tahu
kalau aku udah punya pacar.”
“Kenapa?”
“Ribet.
Mama orangnya super cerewet. Aku pasti dibunuh sama dia kalo ketahuan pacaran.”
“Bukannya
kamu udah dewasa. Kenapa masih dilarang pacaran?”
“Lut,
bukan dilarang. Tapi ... aku pasti disuruh nikah cepet-cepet. Mama bilang, kalo
aku punya suami, dia nggak perlu khawatir lagi karena ada yang jagain aku. Kalo
aku cuma pacaran doang dan nggak mau nikah, Mama bilang ... lebih baik aku
pulang ke Kalimantan dan cari kerja di sana.”
“Jangan,
Cha!” sahut Lutfi.
“Ya
udah. Lebih baik kamu kenalan sama orang tuaku, kalo emang hubungan kita
serius.”
“Emangnya
sekarang nggak serius? Aku serius sama kamu, Cha. Mau nikah sekarang juga, aku
udah siap.”
“Aku
belum siap,” jawab Icha dingin.
“Kenapa?”
“Aku
masih terlalu muda. Baru mulai kerja. Setelah kehidupanku stabil, baru aku
pertimbangkan buat nikah.”
“Cha,
apa kamu takut kalo aku nggak bisa ngidupin kamu?”
“Sedikit.”
“Hah!?”
“Kita
baru aja jadian. Banyak hal yang masih belum aku pahami tentang kamu. Kita
jalani aja dulu.”
Lutfi
menatap serius ke wajah Icha.
Icha
tersenyum sambil menyuap makanan ke mulutnya.
Tok
... tok ... tok ...!
Icha
dan Lutfi langsung menoleh ke arah pintu.
“Siapa?”
tanya Lutfi sambil menatap wajah Icha.
“Nggak
tahu. Mungkin si Yuna.” Ia bangkit dari tempat duduk dan melangkah perlahan
menghampiri pintu rumahnya.
Icha
membuka pintu rumahnya. Ia membelalakkan mata begitu melihat wanita setengah
baya berdiri di depan pintu. Ia langsung menutup pintu rumahnya kembali. Ia
langsung mengunci pintu dan berbalik membelakangi pintu.
“Astaga!”
Icha berlari menghampiri Lutfi yang masih duduk di meja makan.
“Kenapa?”
Lutfi melongo menatap Icha yang terlihat ketakutan.
“Mamaku
datang!” seru Icha. “Ngumpet dulu!”
“Ngumpet
di mana?” tanya Lutfi.
Icha
langsung menarik lengan Lutfi. “Di sini!” Ia menyembunyikan tubuh Lutfi di
balik tirai jendela.
“Duh,
masih kelihatan!” seru Icha. Ia kembali menarik lengan Lutfi. “Di sini aja!”
Icha menunjuk meja dapur.
“Yakin?”
“Iya.
Nanti aku bawa Mama keluar jalan-jalan. Kamu langsung pulang ya!”
Lutfi
mengernyitkan dahi menatap Icha. “Kenapa harus sembunyi sih, Cha? Kita kan
nggak ngapa-ngapain.”
“Iih
... Mama itu ribet dan pemarah banget. Nggak usah banyak tanya! Sembunyi!
Cepet!”
Lutfi
langsung memasukkan tubuhnya ke bawah meja. “Astaga! Baru ini aku pacaran kayak
gini. Emangnya aku ini jelek banget sampe dia nggak mau ngenalin aku ke
mamanya? Aku ini Tuan Muda keluarga Anput, semua orang tua pengen aku jadi
menantunya. Ini malah disembunyiin. Mana sempit banget ini tempatnya,” omel
Lutfi.
“Aduh!”
Lutfi mengelus kepalanya yang terbentur meja. “Lutfi, menyedihkan banget
nasibmu,” gumamnya.
Icha
menarik napas dalam-dalam. Ia merapikan rambut dan pakaiannya, kemudian
melangkah perlahan menuju pintu dan membukakan pintu untuk mamanya.
“Sore,
Ma!” sapa Icha sambil tersenyum manis.
Wajah
Ratna berubah suram sambil menatap tajam ke arah Icha. Ia langsung melangkah
masuk ke dalam rumah Icha. “Kamu lagi ngapain? Kenapa lama banget buka
pintunya?”
“Oh
... eh, rumahku tadi berantakan banget. Mama kan nggak suka kalo berantakan.
Jadi, aku beresin dulu sebelum mama masuk. Mama ke sini, kok nggak ngasih kabar
dulu ke aku?”
Ratna
mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan sambil melangkahkan kakinya. “Kamu
abis makan sama siapa?” tanyanya sambil menunjuk meja makan.
“Eh!?
Itu, Ma. Tadi si Yuna ke sini.”
“Yuna?”
“Iya.
Temen kantor yang sering aku ceritain ke Mama. Waktu itu pernah vidcall sama
Mama juga, kan? Aku belum sempat beresin,” jawab Icha sambil membereskan meja
makan dan membawanya ke dapur.
Ratna
melangkah mengikuti Icha.
“Ma,
mau minum apa?” tanya Icha sambil menarik lengan mamanya menjauhi dapur. “Mama
duduk aja ya! Aku ambilin minum.” Icha bergegas mengambil air minum dan
menyodorkannya ke hadapan Ratna.
“Kamu
nggak lagi nyembunyikan orang di rumah ini kan?” tanya Ratna.
“Eh!?
Enggak, Ma.” Icha menggelengkan kepala. “Mama curigaan banget.”
“Kamu
nggak bermaksud buat bohongin Mama, kan?”
“Enggak,
Ma. Mana berani aku ngebohongin Mama.”
“Sekarang
udah berani?” tanya Ratna ketus.
Icha
menggelengkan kepala.
“Itu
sepatu siapa?” tanya Ratna sambil menunjuk rak sepatu dengan dagunya.
Icha
membelalakkan mata sambil memutar kepalanya. “Mampus!” batinnya sambil
menggigit bibir.
“Jelasin
ke Mama!” pinta Ratna.
“Emh
... anu, Ma. Itu ... mmh ... kemarin aku nggak sengaja ngotorin sepatunya
temen. Jadi, aku bawa pulang buat dibersihin. Besok aku kembaliin, kok.”
“Bewaluh
ikam, Cha!” sahut Ratna. “Disuruh bulik kampung kada mau, di sini ikam jadi
papuyu bagincu.”
(( Bewaluh = berbohong, papuyu bagincu = julukan untuk wanita nakal)
“Ma
...!” teriak Icha dengan mata berkaca-kaca. “Mama tega banget sih ngatain anak
sendiri kayak gitu? Aku di sini beneran kerja, Ma.”
Ratna
semakin kesal dengan Icha yang masih terus mengelak. “Kaluarkan pang lakian
yang ikam simpan itu!” sentaknya. ((ikam = kamu))
“Nggak
ada Ma, aku nggak ada simpan laki-laki di sini,” sahut Icha.
“Oke.”
Ratna mengangguk-anggukkan kepala. “Kalo masih nggak mau ngaku, sekarang juga
ikut Mama balik ke Kalimantan!”
“Ma
... aku masih magang.”
“Kada
usah kerja! Kalo cuma ngasih makan ikam sorang haja, Mama lawan Abah kamu masih
bisa.” (( sorang
= 1 orang))
“Aku
nggak mau pulang!” sahut Icha.
“Kamu
udah nggak sayang sama orang tua kamu. Apa kata orang kalau mereka tahu, kamu
di sini kerjanya jual diri? Nyimpan laki-laki di rumah?”
“Ma,
aku nggak kayak gitu. Kenapa sih Mama masih aja ngatain anak sendiri kayak
gitu.”
“Kalo
gitu, sekarang juga ikut Mama pulang!” Ratna langsung menarik lengan Icha.
“Nggak,
Ma. Aku masih mau di sini,” tutur Icha sambil menangis.
Lutfi
menundukkan kepala sambil memejamkan mata. Ia tak tahan mendengar perkelahian
Icha dan Mamanya. Ia menarik napas dan memutuskan untuk keluar dari
persembunyiannya.
“Tante
...!” panggil Lutfi sambil menatap Icha dan mamanya.
Ratna
langsung berbalik, ia menatap Lutfi yang berdiri di dapur Icha. “Kamu punya
nyali buat keluar juga? Ngapain kamu di sini?”
Lutfi
melangkah perlahan mendekati Ratna. “Tante jangan salah paham dulu. Aku sama
Icha, cuma makan bareng aja.”
“Makan
bareng?”
Lutfi
menganggukkan kepala.
“Cha,
kamu udah bohongin Mama dari awal. Buat laki-laki kayak gini, kamu tega
bohongin orang tua kamu sendiri?”
Icha
menggelengkan kepala.
“Jelas-jelas,
tadi kamu bilang kalo kamu makan sama Yuna. Ternyata sama dia?”
Icha
menggigit bibir sambil menganggukkan kepala.
Ratna
menarik napas panjang. Ia menatap Lutfi dan Icha bergantian. “Duduk!”
perintahnya.
Icha
dan Lutfi duduk berdampingan di sofa sambil menundukkan kepala.
Makasih udah baca sampai sini.
Tunggu part-part manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku
makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang
udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment