“Kerjaannya
masih banyak?” tanya Yuna sambil melingkarkan tangannya ke leher Yeriko.
Yeriko
menganggukkan kepala. “Kenapa? Udah ngantuk?”
Yuna
menggelengkan kepala. “Baru jam sembilan. Belum ngantuk.”
Yeriko
menengadahkan kepala, menatap Yuna yang berdiri di belakang kursinya. Ia
mengambil map yang ada di atas meja kerja dan memberikannya pada Yuna.
“Apa
ini?” tanya Yuna.
“Baca!”
pinta Yeriko.
Yuna
meraih map tersebut dan membukanya. Ia langsung melihat profil seorang pria
yang ada di dalamnya. “Deny Kaswara? Ini siapa?”
“Baca
dulu semua!” pinta Yeriko. “Baru boleh tanya.”
Yuna
memonyongkan bibirnya ke arah Yeriko. Ia membuka lembar berikutnya dan
mendapati beberapa foto. Ia masih tak mengerti dengan dokumen yang diberikan
oleh Yeriko. “Apaan sih? Nggak kenal sama orang ini,” celetuk Yuna sambil
meletakkan kembali map tersebut ke atas meja.
“Huft
...” Yeriko menghela napas. Ia memutar kursinya menghadap ke arah Yuna. “Kamu
ini ... bener-bener nggak ngerti?”
Yuna
menggelengkan kepala.
“Dia
ini, fotografer yang bantuin Refi nyebar gosip di luar sana.”
“Dia
wartawan juga?”
Yeriko
menganggukkan kepala.
“Mmh
... terus? Mau kamu apain?” tanya Yuna.
“Tadi
Mama telepon, tiga hari lagi kami bakal ngadain konferensi pers soal berita
yang beredar. Departemen Humas udah ngirim jadwalnya ke aku. Kemungkinan besar,
Deny akan ada di konferensi pers.”
“He-em.
Terus?”
“Kamu
harus ikuti rencanaku buat jebak dia!” pinta Yeriko.
“Oh.
Oke.” Yuna mengangguk-anggukkan kepala.
Yeriko
mengernyitkan dahi menatap Yuna. “Kenapa kamu santai banget?”
“Bukannya
kamu juga santai?”
“Eh!?”
“Mama
bilang, perusahaan lagi ada masalah besar. Kamu bilang semuanya baik-baik aja.
Apa aku nggak pantas buat tahu masalah kamu?”
Yeriko
tersenyum kecil. “Ini cuma masalah kecil. Mama Rully yang terlalu
membesar-besarkan masalah ini. Setelah konferensi pers, semuanya bakal kembali
seperti semula.”
“Beneran?”
Yeriko
menganggukkan kepala.
“Aku
khawatir kalau ...”
“Kamu
mengkhawatirkan aku atau perusahaan?” tanya Yeriko sambil menarik pinggang Yuna
agar mendekat ke tubuhnya.
“Kamu,”
jawab Yuna sambil mencubit hidung Yeriko.
“Bukan
perusahaan?”
Yuna
menggelengkan kepala.
“Kamu
nggak peduli sama perusahaan?”
“Eh!?
Bukan gitu. Kalo aku mengkhawatirkan kamu, artinya aku mengkhawatirkan apa pun
yang berhubungan sama kamu. Tetap kamu yang paling penting buat aku,” tutur
Yuna sambil mencubit kedua pipi Yeriko.
“Mmh
... kalau aku bilang, perusahaan butuh kamu. Apa kamu mau masuk ke
perusahaanku?”
Yuna
memutar bola matanya.
“Apa
Wilian lebih penting dari aku?”
Yuna
menggelengkan kepala. “Aku cuma karyawan magang. Masuk ke perusahaan kamu,
bukannya bakal jadi pengacau?”
“Siapa
yang bilang begitu? Aku percaya sama kemampuanmu.”
“Hmm
... bisa dipertimbangkan. Tapi, aku juga percaya sama kemampuan suamiku. Dia,
pasti bisa ngatasi masalah perusahaan dengan baik. Perusahaan nggak butuh aku.”
“Oke.
Aku yang butuh kamu.”
Yuna
tersenyum kecil dan langsung mengecup bibir Yeriko. “Aku yang butuh kamu,”
tuturnya sambil duduk di pangkuan Yeriko. Ia langsung memeluk tubuh Yeriko dan
bermanja-manja di tubuh suaminya.
“Oh
ya, minggu ini ... masa magang aku habis.”
“Oh
ya? Apa perlu kita rayain?”
“Boleh.”
“Apa
rencana kamu selanjutnya?”
Yuna
melingkarkan tangannya ke leher Yeriko. “Belum punya rencana apa pun. Mau jadi
Nyonya Ye sepenuhnya. Boleh?”
Yeriko
tersenyum menatap Yuna. “Beneran?” Matanya berbinar saat mendengar Yuna akan
berhenti bekerja.
Yuna
menganggukkan kepala. “Gimana? Boleh?”
“Sangat
boleh,” jawab Yeriko sambil menempelkan hidungnya ke hidung Yuna. “Baik-baik
jadi Nyonya Ye!” bisiknya.
Yuna
mengangguk sambil tersenyum.
Yeriko
balas tersenyum, ia langsung mengulum bibir Yuna yang begitu manis selama
beberapa saat. Ia baru menghentikan ciumannya ketika ponselnya tiba-tiba
berdering.
“Siapa?”
tanya Yuna saat melihat Yeriko menatap layar ponselnya.
“Temen
lama.”
“Angkatlah!”
pinta Yuna sambil bangkit dari pangkuan Yeriko. “Aku mau ke bawah dulu.”
Yeriko
mengangguk dan langsung menjawab telepon dari teman sekolahnya.
“Halo
...! David, how are you?” sapa Yeriko sambil menatap Yuna yang berjalan keluar
dari ruang kerjanya.
“Fine.
Lagi apa?”
“Lagi
nyantai. Ada kabar terbaru?” tanya Yeriko.
“Sesuai
rencana. Dia sekarang kabur karena nggak bisa bayar hutang judinya.”
“Kabur
ke mana?”
“Nggak
tahu. Aku udah sita rumah pribadinya. Sekarang, dia mungkin sembunyi di suatu
tempat. Seharusnya, dia nggak pergi jauh dari kota ini.”
“Oh
ya? Bagus. Tekan dia terus!”
“Oke.”
“Kamu
memang bisa diandalkan,” tutur Yeriko.
“Tenang
aja! Aku udah kirim orang-orangku buat ngejar dia terus. Oh ya, sebenarnya ada
masalah apa antara kamu sama dia? Kenapa kamu sampai sekejam ini?” tanya David.
Yeriko
tertawa kecil. “Masalah kecil.”
“Hahaha.
Masalah kecil bisa bikin Tuan Ye semurka ini? Kamu pikir aku percaya?”
Yeriko
tertawa kecil. “Dia sedikit ngeganggu.”
“Ganggu
perusahaan kamu?”
“Ganggu
orang terdekatku.”
“Istrimu?”
“Chandra.”
“Chandra?
Apa hubungannya sama kamu?”
“Kami
sudah seperti keluarga. Masalah dia, masalahku juga. Aku pasti kelarin sampe
tuntas.”
“Hahaha.
Nggak ada orang lain yang lebih kejam dari kamu, Yer.”
Yeriko
tersenyum kecil menanggapi ucapan David. “Aku rasa, Raja judi kayak kamu jauh
lebih kejam dari aku.”
“Hahaha.
Sama aja, kamu jauh lebih licik dari aku. Cara mainnya aja yang beda. Kamu
pakai cara yang jauh lebih terhormat.”
Yeriko
mengangguk-anggukkan kepala.
“Oh
ya, udah dulu. Aku masih ada urusan. Kalau ada kabar terbaru, aku bakal kabarin
kamu secepatnya.”
“Oke.
Thanks!”
“Oke.”
David langsung mematikan panggilan teleponnya.
Yeriko
tersenyum kecil dan meletakkan ponselnya ke atas meja. Ia bangkit, melangkahkan
kakinya menuruni anak tangga dan menghampiri Yuna yang sedang berkutat di
dapur.
“Masak
apa?” tanya Yeriko.
“Eh!?”
Yuna langsung membalikkan badannya menatap Yeriko. “Masak mie instan. Mau?”
“Boleh.”
“Oke.
Aku masakin.”
Yeriko
menganggukkan kepala. Ia terus memerhatikan Yuna yang sedang memasak di dapur.
“Kamu
udah mulai pintar pakai dapur ini?” tegur Yeriko.
Yuna
langsung memutar kepalanya menatap Yeriko. “Kamu pikir, aku bakal ngacauin
dapur ini lagi?” dengusnya.
Yeriko
tersenyum kecil. “Besok masuk kerja?”
Yuna
menganggukkan kepala. “Ini minggu terakhir aku kerja. Harus meninggalkan kesan
yang baik buat perusahaan. Mmh ... aku pengen ngajak temen-temen kantor makan
bareng sebelum aku berhenti kerja. Boleh?”
Yeriko
menganggukkan kepala. “Bawa aku!” pintanya.
Yuna
menganggukkan kepala. Ia meletakkan dua mangkuk mie yang sudah selesai ia masak
ke atas nampan dan membawanya ke meja makan.
“Aku
bisa tenang kalau kamu di rumah,” tutur Yeriko sambil menikmati mie instan
buatan Yuna. “Setidaknya, kamu nggak harus berantem sama sepupu kamu
terus-terusan.”
Yuna
tersenyum lebar. “Mmh ... sebenarnya, aku suka banget sama suasana di tempat
kerja itu. Walau Bellina sering banget ngajak berantem. Tapi, semua temen di
departemenku care banget sama aku. Aku pasti bakal kangen banget saat-saat
kerja bareng mereka.”
Yeriko
tersenyum kecil. “Kalau kangen sama mereka, bisa ajak mereka makan di luar!”
“Mmh
... iya juga, sih. Apa boleh?”
“Kenapa
nggak boleh? Asal kamu senang, aku juga ikut senang.”
“Makasih!”
sahut Yuna dengan gaya manjanya.
Yeriko
terus tersenyum. Tak ada hal lain yang lebih membahagiakan baginya selain
melihat senyum manis di bibir istri tercintanya itu.
Makasih udah baca sampai sini.
Tunggu part-part manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku
makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang
udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment