Amara
menggigit bibirnya saat perjalanan pulang. Wajah Chandra berkelebat di
pikirannya. Sudah lama berlalu, di saat seperti ini, ia merasa kalau Chandra
masih menyukainya.
“Kenapa
kalian takut sama anak muda itu? Emangnya, dia bisa apa?” tanya Indri sambil
menatap suaminya yang duduk di balik kemudi.
“Ma,
Yeriko itu bukan anak muda sembarangan. Perusahaan kita lagi krisis. Nyari
masalah sama dia, sama aja bunuh diri!” sentak Ery.
“Krisis?”
Indri mengernyitkan dahi menatap suaminya. “Gimana bisa?”
“Banyak
masalah di perusahaan,” jawab Ery sambil menghentikan mobilnya di depan rumah.
Ia menatap beberapa orang pria bertubuh kekar yang menghadang mobilnya.
“Mereka
siapa, Pa?” tanya Indri.
“Nggak
tahu.”
Salah
seorang pria melangkah maju dan langsung memukul bagian depan mobil menggunakan
balok kayu yang dibawanya.
“Astaga!”
Indri langsung memegang dadanya. Jantungnya berdebar kencang.
“Mereka
siapa, Ma!?” Amara yang duduk di belakang ikut berteriak.
“Mama
nggak tahu!”
“Begal!?”
“Jangan
sembarangan! Masa begal di depan rumah kita?”
“Terus
siapa? Mereka semua bawa kayu. Apa tukang pukul?” tanya Amara.
“Pa,
Papa nggak punya hutang kan?” seru Indri.
Ery
menggelengkan kepala.
“Terus,
mereka siapa?”
“Papa
nggak tahu!”
“KELUAR
KALIAN!” seru preman tersebut sambil menaikkan satu kakinya ke bagian depan
mobil Bantley milik ayah Harry.
“Jangan
keluar, Pa! Bahaya,” pinta Amara.
“Iya.
Mereka semua bawa pukulan. Kalau keluar, bisa celaka,” sahut Indri.
Ery
melepas safety belt dan menoleh ke arah Amara yang duduk di kursi belakang.
“Kamu telepon polisi!”
Amara
mengangguk dan langsung menghubungi kantor polisi terdekat.
Ery
membuka pintu mobil dan keluar perlahan.
“Harry
di mana?” tanya Preman tersebut sambil mengacungkan tongkat baseball me arah
Ery.
“Harry?
Dia lagi dinas di luar kota.”
“Bohong!”
sentak preman tersebut.
“Kalian
ada perlu apa nyari anak saya?” tanya Ery.
“Anak
kamu itu, punya hutang yang besar sama bos kami. Hari ini, kami datang menagih
sesuai perjanjian.”
“Berapa
hutangnya dia?”
“Delapan
ratus juta.”
“Apa!?
Kalian mau meras kami? Nggak mungkin dia punya hutang sebanyak itu!” sahut Ery.
Preman
itu memainkan kayu yang dipegangnya. “Harry di mana?”
“Nggak
ada di sini. Mungkin, dia ada di rumahnya.”
“Dia
udah nyerahin rumahnya ke kami. Dia nggak akan punya nyali buat balik ke rumah
itu lagi.”
“Apa!?
Nggak mungkin. Nggak mungkin dia sampai kayak gini,” tutur Ery sambil
memutar-mutar tubuhnya. Ia langsung menoleh ke dalam pintu mobil dan menatap
Amara.
“Kami
kasih waktu tiga hari. Kalau Harry nggak muncul dan bayar hutangnya, kami
pastikan dia pulang ke rumah orang tuanya tanpa tangan dan kaki!”
“Berani-beraninya
kalian ngancam saya!?”
Preman
tersebut langsung melayangkan kayu ke arah Ery.
Ery
berusaha menghindarinya hingga kayu tersebut mendarat di kaca mobil.
“Pa
...!” teriak Indri. Ia bergegas keluar dari mobil dan membantu suaminya.
Amara
juga ikut keluar dari mobil karena preman yang lain memecahkan kaca mobil dan
terus memukuli mobil Ery dengan membabi buta.
“Tolong!”
teriak Amara.
“Pa,
Papa nggak papa?” tanya Indri.
“Nggak
papa. Lebih baik, kalian pergi dari sini!” pinta Ery.
“Nggak,
Pa. Aku nggak akan ngebiarin Papa di sini sendirian.”
“Pergi!”
teriak Ery.
Indri
bersikeras membantu suaminya. Ia menarik lengan suaminya agar pergi bersamanya.
Amara
berteriak histeris minta tolong sambil menangis. Ia membuka ponsel dan kembali
menelepon kantor polisi.
“Heh!?
Kamu telepon siapa?” Salah seorang preman menyodorkan kayu ke hadapan Amara.
Amara
menggelengkan kepala.
“Bisa
suruh Harry datang ke sini sekarang juga?”
Amara
menggelengkan kepala lagi.
Pria
itu langsung mengangkat kayu dan bersiap memukul Amara.
“Mereka
panggil polisi!” seru pria yang lain. “Awas ya! Kami pasti balik lagi!”
ancamnya sambil bergegas pergi meninggalkan Amara dan orang tua Harry.
“Ma
...!” teriak Ery saat melihat istrinya tiba-tiba pingsan dan kepalanya
mengeluarkan darah.
“Pa,
Ma ...!” teriak Amara sambil menghampiri kedua mertuanya yang tersungkur di
tanah.
“Cepet
telepon ambulance!” perintah Ery sambil memeluk istrinya.
Amara
mengangguk, ia membuka ponsel dengan tangan bergetar.
“Halo
...! Tolong kirimkan ambulance ke jalan Wijaya Kusuma nomer dua puluh! Umh ...”
Amara mengangguk dan langsung mematikan ponselnya.
“Papa
nggak papa?” tanya Amara.
Ery
merintih kesakitan, ia masih merasakan pukulan keras di bahunya. “Nggak papa,”
jawabnya.
“Sebentar
lagi ambulance datang. Biar Amara yang pegang Mama!” pinta Amara sambil meraih
tubuh Indri.
“Sebenarnya,
Harry ke mana?” tanya Ery.
Amara
menggelengkan kepala. “Dia cuma bilang, ada kerjaan di luar kota.”
“Gimana
bisa dia punya hutang sebanyak itu?” tanya Ery sambil berusaha bangkit. “Anak
itu memang nggak berguna!” makinya. Ia bersandar di mobilnya yang sudah
terlihat mengenaskan.
“Aku
nggak tahu. Hampir setiap malam dia pulang dalam keadaan mabuk.”
“Kamu
tahu kalau rumahnya dia diambil orang?”
Amara
menggelengkan kepala.
“Sekarang,
kalian tinggal di mana?”
“Di
rumahku, Pa.”
Ery
mengangguk-anggukkan kepala. “Kebiasaan judinya masih jalan?”
Amara
menganggukkan kepala.
“Huft,
dia pasti punya hutang karena main judi. Hutangnya sampai sebanyak itu. Anak
nggak tahu diri!” maki Ery.
Amara
terdiam. Ia tak menyangka kalau hidupnya akan mengalami banyak kesulitan
setelah berpisah dengan Chandra. Banyak hal yang ia sesali saat ini. Andai ia
masih bersama Chandra, mungkin hidupnya akan jauh lebih baik. Chandra selalu
memperlakukan dirinya dengan baik.
Beberapa
saat kemudian, ambulans datang dan langsung membawa mereka bertiga ke rumah
sakit terdekat. Mereka langsung mendapatkan perawatan di UGD.
“Dok,
kondisi Mama saya gimana?” tanya Amara usai menyelesaikan keperluan
administrasi untuk pengobatan mertuanya.
“Lukanya
nggak terlalu parah. Setelah sadar, dia akan baik-baik aja,” jawab dokter yang
baru saja selesai menangani luka di kepala Indri.
Amara
mengangguk tanda mengerti. “Makasih, Dok!”
Dokter
tersebut mengangguk dan melangkah pergi.
Amara
langsung menghampiri Indri yang terbaring di salah satu ranjang di ruang UGD.
Ia duduk di ranjang kosong yang ada di sebelahnya sambil menunggu mama
mertuanya itu sadar.
“Pa,
papa istirahat aja! Biar aku yang jagain Mama,” tutur Amara sambil menatap papa
mertuanya.
Ery
mengangguk. Ia berbaring di ranjang kosong yang ada di ruangan UGD tersebut.
Amara
melihat jam yang ada di ponselnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB. Ia
merasa, akhir-akhir ini hidupnya sangat melelahkan. Harus menghadapi Harry yang
memiliki temperamen tinggi. Belum lagi soal usahanya yang kini juga sedang
dalam masalah.
Beberapa
saat kemudian, Indri tersadar.
“Ma
...!” Amara langsung menghampiri Indri begitu melihat mamanya sudah sadarkan
diri.
Indri
menatap Amara. Wajahnya sangat tidak bersahabat. Ia membuang pandangannya ke
arah lain.
Amara
mengernyitkan dahi melihat perubahan sikap mama mertuanya tersebut.
“Ma
...!”
“Pergi
dari sini!” pinta Indri tanpa memandang Amara.
“Ma,
aku salah apa?”
Indri
langsung menoleh ke arah Amara. “Kamu sadar nggak? Setelah kamu masuk ke
keluarga kami, banyak masalah yang datang. Si Harry sampai terlibat hutang
sebanyak itu. Apa lagi kalau bukan karena kamu yang pembawa sial!”
“Ma
...!” Mata Amara berkaca-kaca. Ia tak menyangka kalau mama mertuanya akan
mengatakan hal yang begitu menyakitkan. “Kenapa Mama bilang begitu?”
“Emang
iya. Dulu, keluarga kami baik-baik aja. Kehidupan kami juga stabil dan bagus.
Semenjak kamu masuk ke keluarga kami. Ada aja masalah. Kamu emang nggak becus
jadi istrinya Harry.”
Air
mata Amara berderai mendengar kalimat Indri. Ia merasa, kalimat itu seperti
sebilah pisau yang sedang menyayat-nyayat hatinya. Ia berbalik dan melangkah
pergi meninggalkan Indri.
Amara
mempercepat langkahnya dan berlari keluar dari rumah sakit. Ia duduk di kursi
taman bersama derai air mata yang terus membasahi pipinya. Ia tak bisa menahan
kesedihannya. Di saat seperti ini, ia teringat pada Chandra yang selalu
memperlakukannya dengan baik.
Walau
tak pernah mengajaknya bersenang-senang, Chandra tak pernah membuatnya
bersedih. Bahkan Chandra selalu memaafkan dirinya yang telah berselingkuh
beberapa kali.
Makasih udah baca sampai sini.
Tunggu part-part manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku
makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang
udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment