Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Wednesday, February 26, 2025

Perfect Hero Bab 162 : Air Mata Amara || a Romance Novel by Vella Nine

 


Amara menggigit bibirnya saat perjalanan pulang. Wajah Chandra berkelebat di pikirannya. Sudah lama berlalu, di saat seperti ini, ia merasa kalau Chandra masih menyukainya.

 

“Kenapa kalian takut sama anak muda itu? Emangnya, dia bisa apa?” tanya Indri sambil menatap suaminya yang duduk di balik kemudi.

 

“Ma, Yeriko itu bukan anak muda sembarangan. Perusahaan kita lagi krisis. Nyari masalah sama dia, sama aja bunuh diri!” sentak Ery.

 

“Krisis?” Indri mengernyitkan dahi menatap suaminya. “Gimana bisa?”

 

“Banyak masalah di perusahaan,” jawab Ery sambil menghentikan mobilnya di depan rumah. Ia menatap beberapa orang pria bertubuh kekar yang menghadang mobilnya.

 

“Mereka siapa, Pa?” tanya Indri.

 

“Nggak tahu.”

 

Salah seorang pria melangkah maju dan langsung memukul bagian depan mobil menggunakan balok kayu yang dibawanya.

 

“Astaga!” Indri langsung memegang dadanya. Jantungnya berdebar kencang.

 

“Mereka siapa, Ma!?” Amara yang duduk di belakang ikut berteriak.

 

“Mama nggak tahu!”

 

“Begal!?”

 

“Jangan sembarangan! Masa begal di depan rumah kita?”

 

“Terus siapa? Mereka semua bawa kayu. Apa tukang pukul?” tanya Amara.

 

“Pa, Papa nggak punya hutang kan?” seru Indri.

 

Ery menggelengkan kepala.

 

“Terus, mereka siapa?”

 

“Papa nggak tahu!”

 

“KELUAR KALIAN!” seru preman tersebut sambil menaikkan satu kakinya ke bagian depan mobil Bantley milik ayah Harry.

 

“Jangan keluar, Pa! Bahaya,” pinta Amara.

 

“Iya. Mereka semua bawa pukulan. Kalau keluar, bisa celaka,” sahut Indri.

 

Ery melepas safety belt dan menoleh ke arah Amara yang duduk di kursi belakang. “Kamu telepon polisi!”

 

Amara mengangguk dan langsung menghubungi kantor polisi terdekat.

 

Ery membuka pintu mobil dan keluar perlahan.

 

“Harry di mana?” tanya Preman tersebut sambil mengacungkan tongkat baseball me arah Ery.

 

“Harry? Dia lagi dinas di luar kota.”

 

“Bohong!” sentak preman tersebut.

 

“Kalian ada perlu apa nyari anak saya?” tanya Ery.

 

“Anak kamu itu, punya hutang yang besar sama bos kami. Hari ini, kami datang menagih sesuai perjanjian.”

 

“Berapa hutangnya dia?”

 

“Delapan ratus juta.”

 

“Apa!? Kalian mau meras kami? Nggak mungkin dia punya hutang sebanyak itu!” sahut Ery.

 

Preman itu memainkan kayu yang dipegangnya. “Harry di mana?”

 

“Nggak ada di sini. Mungkin, dia ada di rumahnya.”

 

“Dia udah nyerahin rumahnya ke kami. Dia nggak akan punya nyali buat balik ke rumah itu lagi.”

 

“Apa!? Nggak mungkin. Nggak mungkin dia sampai kayak gini,” tutur Ery sambil memutar-mutar tubuhnya. Ia langsung menoleh ke dalam pintu mobil dan menatap Amara.

 

“Kami kasih waktu tiga hari. Kalau Harry nggak muncul dan bayar hutangnya, kami pastikan dia pulang ke rumah orang tuanya tanpa tangan dan kaki!”

 

“Berani-beraninya kalian ngancam saya!?”

 

Preman tersebut langsung melayangkan kayu ke arah Ery.

 

Ery berusaha menghindarinya hingga kayu tersebut mendarat di kaca mobil.

 

“Pa ...!” teriak Indri. Ia bergegas keluar dari mobil dan membantu suaminya.

 

Amara juga ikut keluar dari mobil karena preman yang lain memecahkan kaca mobil dan terus memukuli mobil Ery dengan membabi buta.

 

“Tolong!” teriak Amara.

 

“Pa, Papa nggak papa?” tanya Indri.

 

“Nggak papa. Lebih baik, kalian pergi dari sini!” pinta Ery.

 

“Nggak, Pa. Aku nggak akan ngebiarin Papa di sini sendirian.”

 

“Pergi!” teriak Ery.

 

Indri bersikeras membantu suaminya. Ia menarik lengan suaminya agar pergi bersamanya.

 

Amara berteriak histeris minta tolong sambil menangis. Ia membuka ponsel dan kembali menelepon kantor polisi.

 

“Heh!? Kamu telepon siapa?” Salah seorang preman menyodorkan kayu ke hadapan Amara.

 

Amara menggelengkan kepala.

 

“Bisa suruh Harry datang ke sini sekarang juga?”

 

Amara menggelengkan kepala lagi.

 

Pria itu langsung mengangkat kayu dan bersiap memukul Amara.

 

“Mereka panggil polisi!” seru pria yang lain. “Awas ya! Kami pasti balik lagi!” ancamnya sambil bergegas pergi meninggalkan Amara dan orang tua Harry.

 

“Ma ...!” teriak Ery saat melihat istrinya tiba-tiba pingsan dan kepalanya mengeluarkan darah.

 

“Pa, Ma ...!” teriak Amara sambil menghampiri kedua mertuanya yang tersungkur di tanah.

 

“Cepet telepon ambulance!” perintah Ery sambil memeluk istrinya.

 

Amara mengangguk, ia membuka ponsel dengan tangan bergetar.

 

“Halo ...! Tolong kirimkan ambulance ke jalan Wijaya Kusuma nomer dua puluh! Umh ...” Amara mengangguk dan langsung mematikan ponselnya.

 

“Papa nggak papa?” tanya Amara.

 

Ery merintih kesakitan, ia masih merasakan pukulan keras di bahunya. “Nggak papa,” jawabnya.

 

“Sebentar lagi ambulance datang. Biar Amara yang pegang Mama!” pinta Amara sambil meraih tubuh Indri.

 

“Sebenarnya, Harry ke mana?” tanya Ery.

 

Amara menggelengkan kepala. “Dia cuma bilang, ada kerjaan di luar kota.”

 

“Gimana bisa dia punya hutang sebanyak itu?” tanya Ery sambil berusaha bangkit. “Anak itu memang nggak berguna!” makinya. Ia bersandar di mobilnya yang sudah terlihat mengenaskan.

 

“Aku nggak tahu. Hampir setiap malam dia pulang dalam keadaan mabuk.”

 

“Kamu tahu kalau rumahnya dia diambil orang?”

 

Amara menggelengkan kepala.

 

“Sekarang, kalian tinggal di mana?”

 

“Di rumahku, Pa.”

 

Ery mengangguk-anggukkan kepala. “Kebiasaan judinya masih jalan?”

 

Amara menganggukkan kepala.

 

“Huft, dia pasti punya hutang karena main judi. Hutangnya sampai sebanyak itu. Anak nggak tahu diri!” maki Ery.

 

Amara terdiam. Ia tak menyangka kalau hidupnya akan mengalami banyak kesulitan setelah berpisah dengan Chandra. Banyak hal yang ia sesali saat ini. Andai ia masih bersama Chandra, mungkin hidupnya akan jauh lebih baik. Chandra selalu memperlakukan dirinya dengan baik.

 

Beberapa saat kemudian, ambulans datang dan langsung membawa mereka bertiga ke rumah sakit terdekat. Mereka langsung mendapatkan perawatan di UGD.

 

“Dok, kondisi Mama saya gimana?” tanya Amara usai menyelesaikan keperluan administrasi untuk pengobatan mertuanya.

 

“Lukanya nggak terlalu parah. Setelah sadar, dia akan baik-baik aja,” jawab dokter yang baru saja selesai menangani luka di kepala Indri.

 

Amara mengangguk tanda mengerti. “Makasih, Dok!”

 

Dokter tersebut mengangguk dan melangkah pergi.

 

Amara langsung menghampiri Indri yang terbaring di salah satu ranjang di ruang UGD. Ia duduk di ranjang kosong yang ada di sebelahnya sambil menunggu mama mertuanya itu sadar.

 

“Pa, papa istirahat aja! Biar aku yang jagain Mama,” tutur Amara sambil menatap papa mertuanya.

 

Ery mengangguk. Ia berbaring di ranjang kosong yang ada di ruangan UGD tersebut.

 

Amara melihat jam yang ada di ponselnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB. Ia merasa, akhir-akhir ini hidupnya sangat melelahkan. Harus menghadapi Harry yang memiliki temperamen tinggi. Belum lagi soal usahanya yang kini juga sedang dalam masalah.

 

Beberapa saat kemudian, Indri tersadar.

 

“Ma ...!” Amara langsung menghampiri Indri begitu melihat mamanya sudah sadarkan diri.

 

Indri menatap Amara. Wajahnya sangat tidak bersahabat. Ia membuang pandangannya ke arah lain.

 

Amara mengernyitkan dahi melihat perubahan sikap mama mertuanya tersebut.

 

“Ma ...!”

 

“Pergi dari sini!” pinta Indri tanpa memandang Amara.

 

“Ma, aku salah apa?”

 

Indri langsung menoleh ke arah Amara. “Kamu sadar nggak? Setelah kamu masuk ke keluarga kami, banyak masalah yang datang. Si Harry sampai terlibat hutang sebanyak itu. Apa lagi kalau bukan karena kamu yang pembawa sial!”

 

“Ma ...!” Mata Amara berkaca-kaca. Ia tak menyangka kalau mama mertuanya akan mengatakan hal yang begitu menyakitkan. “Kenapa Mama bilang begitu?”

 

“Emang iya. Dulu, keluarga kami baik-baik aja. Kehidupan kami juga stabil dan bagus. Semenjak kamu masuk ke keluarga kami. Ada aja masalah. Kamu emang nggak becus jadi istrinya Harry.”

 

Air mata Amara berderai mendengar kalimat Indri. Ia merasa, kalimat itu seperti sebilah pisau yang sedang menyayat-nyayat hatinya. Ia berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Indri.

 

Amara mempercepat langkahnya dan berlari keluar dari rumah sakit. Ia duduk di kursi taman bersama derai air mata yang terus membasahi pipinya. Ia tak bisa menahan kesedihannya. Di saat seperti ini, ia teringat pada Chandra yang selalu memperlakukannya dengan baik.

 

Walau tak pernah mengajaknya bersenang-senang, Chandra tak pernah membuatnya bersedih. Bahkan Chandra selalu memaafkan dirinya yang telah berselingkuh beberapa kali.

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah baca sampai sini. Tunggu part-part manis di cerita selanjutnya ya ...

 Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas