“Yan,
menurut kamu bagusnya bikin pesta outdoor atau indoor ya?” tanya Rullyta saat
berkunjung ke rumah Yana.
“Dua-duanya
bagus.”
“Aku
sih maunya indoor aja. Kalo outdoor takutnya hujan. Pasti ribet.”
“Rencananya
mau ambil bulan berapa acaranya?”
“Bulan
Juli.”
“Mmh
... kayaknya bulan Juli belum musim penghujan. Kalau Agustus, agak
mengkhawatirkan.”
“Iya,
sih. Tapi, akhir-akhir ini cuaca nggak nentu. Kalo bikin pesta outdoor,
resikonya hujan.”
“Pake
pawang aja!”
“Eh!?”
Rullyta mengernyitkan dahinya. “Pawang?”
Yana
menganggukkan kepala.
“Boleh
juga, sih. Nanti aku coba diskusi lagi deh sama Yuna.”
Yana
tersenyum sambil menyeruput teh yang ada di tangannya. “Kelihatannya, kamu
deket banget sama menantu kamu itu?”
Rullyta
menganggukkan kepala. “Dia itu ... sederhana, baik dan lucu. Karena ibunya udah
meninggal, dia nganggep aku udah kayak ibunya sendiri. Aku juga suka banget
sama dia.”
“Itu
bagus. Kadang, ada anak menantu yang menganggap orang tuanya seperti orang
lain. Anak saya yang pertama, istrinya begitu. Jarang banget mau main ke rumah.
Apalagi mau ngobrol-ngobrol kayak gini.”
“Masa
sih?”
Yana
menganggukkan kepala. “Kalo sama suaminya ya sayang banget. Tapi, kalo sama
saya biasa aja. Main ke sini kalau udah saya telepon karena udah kangen sama
cucu.”
“Aku
pikir, hubungan kalian baik-baik aja.”
“Emang
baik-baik aja. Kami nggak pernah bertengkar, jarang juga bicara. Yah,
biasa-biasa aja.”
“Oh.
Kalo si Yuna, intens banget komunikasi sama aku. Ngalah-ngalahin Yeri ngasih
perhatiannya. Kadang, aku ngerasa si Yuna yang jadi anak kandungku ketimbang
Yeri. Tahu sendiri, Yeri itu dingin dan suka bantah omongan mamanya.”
“Hahaha.
Anak laki-laki memang kebanyakan kayak gitu.”
“Iya.
Kayaknya, dia itu nggak pernah ngehirauin kalau mamanya ngomel. Tapi, kalo Yuna
yang ngocehin dia, dia nurut aja, tuh.”
“Yah,
namanya juga cinta.”
“Hehehe.
Iya juga, sih. Nggak nyangka kalau Yeriko bisa juga nikah. Aku agak khawatir
karena udah sedewasa itu, nggak pernah bawa cewek ke rumah.”
“Emang
belum waktunya. Apa yang kamu khawatirkan? Dia laki-laki dan sudah mapan.
Perempuan mana yang nggak mau sama dia?” sahut Yana sambil tertawa kecil.
“Banyak
perempuan yang mau sama dia. Tapi, nggak ada satu pun yang bikin dia tertarik.
Kakeknya sampe harus turun tangan nyarikan dia jodoh. Semuanya dia tolak.
Padahal, kakeknya itu nyarikan perempuan yang cantik dan kaya. Dia tetep nggak
mau. Diam-diam, dia udah nikahin cewek yang nggak kami kenal sama sekali.”
“Dia
pasti sudah memperhitungkan Yuna sebelumnya,” sahut Yana sambil tersenyum
menatap Rullyta.
Rullyta
menganggukkan kepala. “Semua orang mengira, dia bakal nyari istri yang
berkelas. Ternyata, dia lebih suka wanita sederhana kayak Yuna. Yuna tuh nggak
neko-neko. Sederhana banget. Bayangin aja, nikah sama Yeri tanpa gaun
pengantin, tanpa cincin dan dia nggak pernah ngebahas harta Yeri sama sekali.”
“Sekarang,
dia malah kerja di perusahaan lain. Padahal, Yeri nggak akan kekurangan buat
ngidupin dia.”
“Iya
juga, ya? Kenapa dia nggak pilih di rumah aja? Bukannya malah santai?”
“Huft,
entahlah. Dia bilang, pengen bisa mandiri. Dia bilang, kalau suatu hari Yeriko
ninggalin dia, dia sudah punya karir yang stabil.”
Yana
menahan tawa mendengar pernyataan Rullyta. “Menantu kamu itu lucu juga. Dia
bahkan udah punya persiapan. Apa dia selalu mikir kalau suaminya bakal
ninggalin dia?”
“Entahlah.
Mungkin karena Yeri dikelilingi banyak perempuan cantik. Apalagi masalah yang
lagi mereka hadapi saat ini. Bikin Yuna selalu ngerasa kalau Yeriko bakal
ninggalin dia.”
“Hmm
... iya juga, sih. Tapi, aku lihat dia perempuan yang kuat.”
Rullyta
menganggukkan kepala. “Aku rasa begitu. Tapi, aku sendiri nggak pernah tahu
sebenarnya dia seperti apa. Yang aku tahu, Yeriko cinta banget sama dia. Aku
cuma takut, mereka nggak bisa mempertahankan rumah tangga mereka. Baru aja
nikah, ujian mereka udah sebesar ini.”
“Kamu
harus ngasih dukungan terus ke mereka!”
Rullyta
mengangguk.
“Oh
ya, malam ini nginap di sini aja! Gimana?” pinta Yana.
“Nginap?”
“Iya.
Udah lama nggak main ke sini. Sesekali nginap nggak papa, kan?”
“Tapi
...”
“Kebetulan,
Bapak lagi dinas ke luar kota. Kita bisa punya banyak waktu buat
cerita-cerita.”
“Mmh
... oke.”
“Nah,
gitu dong!”
Rullyta
tersenyum menatap sahabatnya. “Oh ya, lusa ada waktu nggak?” tanya Rullyta.
“Kenapa?”
“Ke
Singapura, yuk!”
“Nggak
bisa. Aku lagi persiapan untuk pameran Dekranasda. Mana bisa mau keluyuran ke
luar negeri.”
“Ke
Singapura doang. Deket, Yan. Dua hari aja, kok. Pameran kan pasti udah ada
anggota yang nanganin, kan?”
“Mau
ngapain di sana?”
“Mau
ngecek toko yang di sana.”
“Oh
ya, kamu punya cabang toko di sana ya?”
Rullyta
menganggukkan kepala.
“Nggak
salah kalau Yeriko jadi pebisnis yang tangguh. Mamanya juga pintar berbisnis.”
“Ah,
kamu terlalu berlebihan,” sahut Rullyta.
Yana
tersenyum kecil. “Oh ya, kabar Kakek Ali gimana? Sehat, kan?”
Rullyta
menganggukkan kepala. “Lumayan sehat.”
“Lumayan?”
Yana mengernyitkan dahi.
“Yah,
Papa memang sudah tua. Dia rajin olahraga, kondisi badannya lumayan sehat.
Tapi, penyakit jantungnya bisa aja kambuh sewaktu-waktu. Aku sedikit kesulitan
nyembunyikan masalah rumah tangga Yeriko kali ini. Apalagi, itu mempengaruhi
saham perusahaan. Kalau Yeri nggak bisa nyelesaiin secepatnya. Aku khawatir
kakek bakal tahu.”
“Kamu
khawatir sama kemampuan anak kamu sendiri? Biasanya, kamu selalu percaya diri?”
“Masalahnya
beda, Yan. Ini bukan murni urusan bisnis. Dia harus ngadepin mantan pacar dan
istrinya juga. Entahlah, dia bisa ngelarin semuanya atau nggak.”
“Apa
itu artinya ... dia bakal makin hebat kalau berhasil menyelesaikan ini dengan
baik?” tanya Yana.
“Mmh
...” Rullyta menopang dagu dengan kedua tangannya. Ia memutar bola mata dan
menatap Yana. “Aku harap begitu,” tuturnya sambil tersenyum.
Yana
tersenyum. Ia bangkit dari duduknya. “Aku mau nunjukin sesuatu ke kamu.”
“Apa?”
“Ayo!”
Rullyta
bangkit, ia mengikuti langkah Yana menuruni anak tangga dan masuk ke salah satu
ruangan yang ada di sudut rumahnya.
“Wow
...!” Rullyta mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
“Ini
karya seniman-seniman lokal yang aku kumpulin. Mereka anak-anak muda yang
berbakat.”
Rullyta
memerhatikan sebuah tas rajut berwarna biru malam. “Ini, harganya berapa?”
“Nggak
dijual. Ini khusus untuk dipamerkan aja.”
“Kamu
bisa pesen lagi sama senimannya kan?”
“Iya.”
“Ini
buat aku ya!” pinta Rullyta. “Kayaknya, cantik banget kalau dipake Yuna.”
“Kamu
mau ngasih ini buat menantu kamu?”
Rullyta
menganggukkan kepala.
“Ambillah!”
“Serius?”
Yana
menganggukkan kepala.
“Oke.
Aku ambil. Kamu pesen lagi sama senimannya!”
Yana
menganggukkan kepala sambil tersenyum. “Gampang.”
Rullyta
tersenyum senang. Setiap kali melihat barang bagus, ia selalu teringat pada
menantu kesayangannya itu. “Kamu tahu sendiri, aku suka banget sama anak
perempuan. Apalagi, Yuna itu ... cantik dan lucu. Setiap lihat barang bagus,
aku selalu teringat sama anak itu.”
Yana
tersenyum kecil. Ia mengambil sebuah kotak kayu yang ada di atas meja dan
menunjukkan sebuah gelang yang ada di dalamnya. “Lihat! Ini cocok untuk Yuna.”
“Wah
...! Ini buatan tangan juga?”
Yana
menganggukkan kepala. “Ambillah! Kasihkan ke Yuna!” pintanya. “Anggap aja, ini
hadiah dari aku.”
Rullyta
menganggukkan kepala. “Dia pasti seneng banget sama gelang batu kayak gini.”
“Oh
ya?”
“Iya.”
Rullyta memerhatikan gelang yang ada di dalam kotak kayu tersebut. Ia merasa,
gelang itu sangat cantik dan cocok untuk Yuna. “Makasih, ya!”
Makasih udah baca sampai sini.
Tunggu part-part manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku
makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang
udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment