“Hai ...!” sapa Rullyta begitu sampai di private room Kawi
Lounge Sheraton.
“Hai ...!” balas Yana dengan ramah sambil memberi salam
cipika-cipiki.
“Kenalin, ini menantu saya.” Rullyta memperkenalkan Yuna
pada Yana.
“Oh ya? Cantik banget!” puji Yana sambil menatap Yuna.
Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Sore, Tante!”
sapanya ramah. “Saya Fristi Ayuna, biasa dipanggil Yuna.” Yuna mengulurkan
tangannya ke arah Yana.
“Nama yang cantik, kayak orangnya.” Yana menyambut uluran
tangan Yuna. “Panggil aja saya Bunda Yana!” pintanya.
“Bunda Yana?”
Yana menganggukkan kepala. “Semua anak-anak saya manggil
bunda. Bahkan, komunitas-komunitas dan lembaga di kota ini juga manggil Bunda.
Jadi, nggak perlu sungkan!”
“Oh. Hehehe. Iya, Bunda.” Yuna menganggukkan kepala.
“Ayo, duduk!” pinta Yana.
Rullyta dan Yuna duduk bersama dengan istri walikota
tersebut.
“Hei, kamu mantu diam-diam aja? Gimana bisa nutupin dari
sahabat kamu sendiri?” tanya Yana sambil menatap Rullyta.
Rullyta tersenyum menanggapi pertanyaan Yana. “Aku nggak
nutupin. Aku sendiri nggak tahu sama sekali rencana pernikahan mereka. Yeri itu
memang keterlaluan. Nikahin anak orang, Mamanya nggak dikasih tahu sama
sekali.”
“Eh!? Kenapa bisa begitu?”
“Huft, entahlah. Aku nggak habis pikir sama anak itu.
Lihat!” Rullyta menoleh ke arah Yuna. “Dia nikahin cewek secantik ini. Bahkan
cincin pernikahan pun dia nggak ngasih. Keterlaluan banget!”
“Ma, jangan terlalu berlebihan! Aku nggak pernah
mempermasalahkan itu,” sela Yuna.
“Gimana nggak mempermasalahkan? Yeriko itu nggak kekurangan
uang. Gimana bisa dia nikahin kamu tanpa ngasih cincin pernikahan?” tanya Yana
sambil menatap Yuna.
“Mmh ...”
“Apa waktu kamu nikah, kamu nggak tahu kalau Yeriko itu
kaya raya?”
Yuna menggelengkan kepala.
Yana dan Rullyta tertawa bersamaan.
“Kenapa?” Yuna menatap Rullyta dan Yana bergantian.
“Nggak papa. Nggak papa,” jawab Rullyta dan Yana
berbarengan.
“Oh ya. Dulu, kamu kuliah di mana?” tanya Yana sambil
menuangkan teh untuk Rullyta dan Yuna.
“Melbourne,” jawab Yuna lirih.
“Wah, ternyata lulusan luar negeri! Pasti, keluarga kamu
bukan orang sembarangan.”
“Ah, Tante bisa aja. Saya sekolah di luar negeri karena
dapet beasiswa juga.”
“Oh ya? Itu bagus banget! Nggak semua orang bisa dapet
beasiswa. Udah cantik, pintar juga. Sayangnya, udah kenal sama Yeriko duluan.
Kalau nggak, Bunda pasti udah jodohin kamu sama anak Bunda.”
“Yana, apa kamu berniat mau rebutan menantu sama aku?”
dengus Rullyta.
“Hahaha. Selera Yeriko memang bagus banget. Dia pinter cari
istri. Kalau dia belum jadi istri Yeriko, kayaknya kita emang harus rebutan.
Hahaha.”
“Kalau soal rebutan, kayaknya Yeriko lebih unggul,” sahut
Rullyta penuh percaya diri.
“Ya, ya, ya. Aku percaya.” Yana manggut-manggut. “Oh ya,
kamu kerja atau di rumah aja?” tanya Yana sambil menatap Yuna.
“Kerja, Bunda,” jawab Yuna sambil tersenyum.
“Kerja? Kenapa nggak di rumah aja? Yeriko nggak akan
kekurangan uang buat ngidupin kamu.”
“Yan, Yuna ini perempuan yang mandiri. Udah tahu suaminya
punya banyak uang, malah milih buat nyari uang sendiri. Dia bahkan menolak
kerja di perusahaan Yeri. Malah kerja di perusahaan orang lain,” jelas Rullyta.
“Oh ya?” Yana tersenyum menatap Yuna.
“Mama juga perempuan yang mandiri. Aku pengen banget bisa
kayak Mama. Setidaknya, aku bisa ngandalin diriku sendiri.”
“Aha, bener juga. Mama mertua kamu ini, bener-bener wanita
yang mandiri. Dia bahkan bisa menghadapi semuanya sendiri. Membesarkan Yeriko
seorang diri sampai bisa jadi kayak sekarang ini.”
Yuna tersenyum kecil. Ia menyeruput teh yang ada di
depannya. Ia tak berani mengatakan apa pun, terutama tentang masa lalu keluarga
Yeriko yang memang tidak ia ketahui sama sekali.
“Sudahlah. Nggak usah bahas soal aku. Sekarang udah tua.
Nggak pantes buat dipuji-puji,” sahut Rullyta.
“Jadi, kita puji yang muda-muda aja?”
“Iya. Kalau kita terus yang dipuji, yang muda nggak
kebagian. Hahaha.”
Yuna tersenyum menanggapi candaan dua wanita di depannya.
“Oh ya, minggu ini Dekranasda mau ngadain pameran. Kalian
boleh datang kalau ada waktu.”
“Oh ya? Ada pameran apa aja, Bun?” tanya Yuna. Ia terlihat
sangat antusias saat mendengar ada pameran yang akan diselenggarakan oleh
pemerintah.
“Pameran produk UMKM, seni, teknologi dan literatur.”
“Wah ... kayaknya menarik!?” seru Yuna.
“Kamu suka pameran?” tanya Yana.
Yuna mengangguk sambil tersenyum senang.
“Kalau gitu, kamu harus datang!”
Yuna menganggukkan kepala.
“Ajakin Yeriko!” pinta Yana.
“He-em.” Yuna menganggukkan kepala.
“Yan, apa minggu ini kamu lihat gosip di media?” tanya
Rullyta.
“Aku lumayan sibuk minggu ini. Ada berita apa?” tanya Yana.
“Ada artis cari sensasi. Mau ngacau keluarga kami.”
“Hah!? Serius?”
Rullyta menganggukkan kepala.
Yana langsung membuka ponsel dan menelusuri berita tentang
keluarga Hadikusuma.
“Ini artis mana ya? Kok, aku nggak pernah lihat?”
“Dia lebih banyak di luar negeri. Setelah Yeriko nikah, dia
balik ke sini dan terobsesi jadi istrinya Yeriko. Dia kira, aku mau punya
menantu gila kayak gitu!?” tutur Rullyta kesal.
“Hmm ... punya mantu artis, pasti banyak resikonya.
Apalagi, kehidupan artis jauh beda sama kehidupan kita.” Yana menimpali.
“Iya. Baru kayak gini aja, perusahaan Yeri udah jadi
sorotan media. Sahamnya tiba-tiba merosot. Dia, pasti kerja keras banget buat
ngadepin krisis di perusahaannya,” keluh Rullyta.
Yuna melirik ke arah Rullyta sambil menyeruput tehnya.
“Bukannya semalam, Yeri bilang kalau perusahaannya baik-baik aja? Kenapa dia
bohongin aku?” batin Yuna.
“Hmm ... Yeriko memang anak muda yang berbakat. Terlebih,
dia udah sukses di usia mudanya. Pastinya, dia bakal jadi sorotan banyak cewek
cantik. Terutama artis-artis yang memang mengincar pengusaha muda dan tampan
kayak Yeriko,” tutur Yana sambil menatap Rullyta.
“Ah, kamu terlalu berlebihan memuji Yeriko. Biarpun dia
sukses di dunia bisnis. Tapi, dia nggak pernah ramah sama orang lain. Dingin,
keras kepala dan pembangkang. Cuma satu orang di dunia ini yang bisa jinakin
dia.”
“Oh ya? Siapa?”
Rullyta menunjuk Yuna dengan dagunya.
“Aha ... bener-bener. Emang cuma wanita yang bisa menguasai
pria.”
Yuna tersenyum kecil menatap Yana. Pipinya menghangat
hingga tak bisa menyembunyikan rona merah di wajahnya.
“Yun, gimana caranya menaklukan pria sedingin Yeriko?”
tanya Yana.
“Mmh ...” Yuna tidak tahu harus mengatakan apa. Dia tidak
mungkin mengatakan kalau ia dipaksa menikah oleh Yeriko.
“Yan, perempuan punya seribu cara untuk menaklukan hati
laki-laki,” sahut Rullyta. “Yeriko yang ngejar Yuna. Dia udah jatuh cinta pada
pandangan pertama.”
“Oh ya?” Yana menatap Yuna. “Kamu memang cantik banget.
Bunda yang wanita tua ini aja langsung jatuh cinta saat lihat kamu. Pantes aja
Yeriko tiba-tiba nikah. Ternyata ...”
Yuna meringis sambil menatap Yana. “Ah, Bunda bisa aja. Aku
masih biasa aja kalau dibandingkan sama cewek-cewek yang pernah deket sama
Yeriko.”
“Buat Mama, kamulah yang paling luar biasa buat Mama,”
sahut Rullyta sambil mengelus pundak Yuna.
“Kamu tahu kalau suami kamu dikelilingi banyak cewek
cantik?” tanya Yana.
Yuna menganggukkan kepala.
“Huft, artinya ... kamu harus menguatkan hati menghadapi
suami kamu dimiliki banyak orang. Kayak Pak Walikota.”
“Eh!? Maksud Bunda?”
“Bapak itu ya, sibuk banget ngurusin warganya. Banyak
banget ibu-ibu yang sering ngajakin foto bareng sama Bapak. Bapak Walikota,
sangat mencintai mereka. Jadi, Bunda harus berbesar hati untuk berbagi cinta
dengan seluruh warga kota.”
“Hmm ... gitu ya? Apa Bunda nggak pernah cemburu?”
“Huft, awalnya cemburu banget. Tapi, Bapak itu orang yang
sangat perhatian dan sayang banget sama keluarga. Nggak mungkin Bunda nggak
percaya sama dia. Toh, jadwalnya dia, Bunda tahu semua. Kayaknya, waktunya dia
lebih banyak sama ajudannya ketimbang sama Bunda.”
Yuna tersenyum menatap Yana. Ternyata, hal yang ia hadapi
hari ini belumlah seberapa jika dibandingkan dengan Walikota yang memang sangat
dibutuhkan oleh banyak warganya.
“Waktu kami baru aja nikah. Banyak hal yang harus kami
hadapi. Setiap rumah tangga, pasti ada lika-liku dan ujian hidupnya
masing-masing. Bukan soal besar kecilnya ujian yang harus dihadapi. Tapi soal
bagaimana kita menghadapinya dan tetap saling menguatkan hingga akhir.”
Yuna tersenyum. Ia sangat mengerti perkataan Bunda Yana.
Baginya, Bunda Yana memang sosok wanita yang berkharisma.
“Kamu jangan khawatir sama masalah yang sedang kalian
hadapi! Selama kalian bisa saling percaya dan menguatkan, kalian pasti bisa
melewati cobaan dan ujian sesulit apa pun itu,” tutur Yana sambil menyentuh
punggung tangan Yuna.
Yuna menganggukkan kepala. Ia kini punya tekad yang lebih
kuat lagi untuk mempertahankan rumah tangganya.
Makasih udah baca sampai sini.
Tunggu part-part manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku
makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang
udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment