“Aargh ...!” teriak Refi begitu Yuna dan Rullyta keluar
dari ruangannya. “Brengsek!” makinya.
“Yuna ...! Aku nggak bakal ngebiarin kamu hidup tenang!”
teriak Refi.
“Kenapa semua orang jadi benci sama aku? Kenapa? Kenapa
perhatian semua orang beralih ke Yuna? Kamu, Yun. Bener-bener cewek brengsek!”
teriak Refi sambil menjatuhkan semua barang yang ada di atas meja.
Refi menatap piring, gelas dan botol obat yang sudah
berserakan di lantai. “Kalian udah bikin hidup aku berantakan. Aku bakal
ngebalas semua yang udah kalian lakuin ke aku!”
Drrt ... drrt ... drrt ...
Refi langsung menatap layar ponsel.
“Cowok brengsek!” makinya sambil menjawab panggilan
telepon.
“Halo, cantik! Apa kabar?” sapa seseorang di ujung telepon.
“Mmh ...”
“Semua perintah kamu udah aku kerjain dengan baik. Jangan
lupa bayar sisanya!”
“Ya. Aku ngerti.”
“Kamu juga ngerti kalau aku nggak cuma mau uang kan?”
“Iya. Aku ngerti.”
“Oke. Aku udah siapin kamar. Kamu tahu gimana caranya
keluar dari rumah sakit kan?”
Refi tak menjawab.
“Kamu nggak coba buat kabur kan?”
“Nggak.”
“Semua rahasia kamu ada di tanganku. Jangan macam-macam
kalau masih mau rahasia kamu aman!”
“Umh...”
“Bagus. Aku udah siapin orang buat jemput kamu. Sampai
ketemu lagi, gadis cantik!”
Refi langsung mematikan teleponnya. “Aargh ...!” teriaknya.
“Kenapa semuanya jadi kayak gini?” Ia terisak dan terus mengamuk di ruangannya.
Beberapa perawat dan dokter langsung masuk ke ruangan untuk
menenangkan Refi.
“Dok, kondisi mental pasien terus seperti ini setiap kali
bertemu dengan orang lain. Apa lebih baik kalau dia nggak ketemu sama siapa
pun?” tutur perawat setelah dokter menyuntikkan obat penenang.
“Kalau gitu, awasi orang-orang yang datang nengokin dia!”
“Baik, Dok.”
“Coba kamu hubungi Dokter Frisca! Dia harus lebih intensif
mengatasi trauma psikis Refina.”
“Oke, Dok.”
Dokter tersebut menarik napas dan bergegas keluar dari
ruang rawat Refina.
“Kasihan banget cewek ini,” celetuk perawat yang bertugas.
“Iya. Mungkin karena dia kehilangan kaki sekaligus
kehilangan pacarnya.”
“Hmm ... untungnya dia di sini nggak coba buat bunuh diri.”
“Oh, iya. Di rumah sakit sebelumnya, dia coba buat lompat
dari gedung ya?”
Dua perawat tersebut terus membicarakan Refina. Tak ada
yang mengetahui berita heboh yang disebarkan oleh Refina lewat internet,
termasuk semua petugas di rumah sakit.
Di sisi lain, Yuna merasa sangat bahagia karena mendapat
dukungan dari banyak orang untuk menghadapi Refina. Ia melenggang sambil
bersenandung saat menuruni anak tangga menuju dapur. Ia menyeduh susu jahe dan
membawanya naik ke ruang kerja Yeriko.
“Malam ...!” sapa Yuna ceria saat masuk ke ruang kerja
Yeriko.
Yeriko langsung menoleh ke arah pintu sambil tersenyum saat
Yuna melangkah menghampirinya.
“Aku buatin susu buat kamu, diminum ya!” pinta Yuna sambil
meletakkan cangkir yang ia bawa.
Yeriko menganggukkan kepala.
“Masih banyak kerjaannya?” tanya Yuna sambil melingkarkan
kedua lengannya di leher Yeriko.
Yeriko menengadahkan kepala menatap Yuna yang berdiri di
belakang kursinya. “Mau bantuin?”
“Boleh?”
Yeriko menganggukkan kepala. “Sini!” Ia menarik tubuh Yuna
ke pangkuannya.
“Bantuin apa, nih?” tanya Yuna bersemangat.
“Ini.” Yeriko membuka salah satu aplikasi game yang ada di
laptopnya.
Yuna langsung menatap wajah Yeriko. “Kamu? Kerja atau
nge-game?”
“Kerja kalau sendiri. Kalau berdua, bukannya lebih enak
main?”
“Aku nggak bisa main game beginian,” sahut Yuna.
“Kenapa?”
“Susah.”
“Sini, aku ajarin!”
“Gimana?” tanya Yuna.
“Tekan ini buat jalan, ini buat lompat, ini buat nembak.
Ngerti?”
Yuna menganggukkan kepala. Ia langsung mengikuti intruksi
dari Yeriko.
“Itu musuh. Tembak!” seru Yeriko.
Yuna berusaha menembak, namun gagal, ia justru tertembak
mati.
“Astaga! Musuh udah di depan mata. Kenapa malah ketembak?
Lemah!”
Yuna mengerucutkan bibirnya dan langsung menutup laptop
Yeriko.
“Eh!? Kenapa ditutup?”
“Males main ginian,” sahut Yuna kesal. “Aku nggak bisa main
perang-perangan kayak gini.”
“Jadi, bisanya main apa?” tanya Yeriko sambil memutar tubuh
Yuna menghadap ke arahnya.
“Mmh ...” Yuna memutar bola matanya.
“Gimana kalau mainin aku aja?” tanya Yeriko sambil
tersenyum menatap Yuna.
“Maksud kamu?” Yuna mendekatkan wajahnya ke wajah Yeriko.
Yeriko memeluk pinggang Yuna dan mengulum bibir gadis itu.
“Kamu abis makan apa?” tanya Yeriko melepas ciumannya.
Yuna meringis. “Makan ice cream.”
“Rasa durian?”
Yuna menganggukkan kepala.
Yeriko memutar bola matanya.
“Kenapa? Aromanya enak, kan?”
Yeriko menganggukkan kepala. “Kamu belum ngantuk?”
Yuna menggelengkan kepala.
“Aku lanjutin kerjaanku dulu. Kamu tunggu di sana ya!”
pinta Yeriko sambil menunjuk sofa yang ada di hadapannya.
Yuna menganggukkan kepala. Ia bangkit dari pangkuan Yeriko
dan melangkahkan kakinya menuju sofa.
Yeriko kembali membuka laporan di laptopnya. Sesekali ia
melirik Yuna yang sedang membaca buku.
Yuna membaca deretan tulisan yang ada di dalam buku. Ia
merasa, bacaan Yeriko sangat membosankan. Semuanya serius dan ia sulit sekali
memahami setiap katanya. Bahkan, deretan tulisan itu terlihat beterbangan ke
mana-mana dan tak mampu ia baca lagi.
Yuna menguap beberapa kali.
“Tadi pergi sama Mama?” tanya Yeriko.
“Eh!?” Yuna menganggukkan kepala.
“Pergi ke mana?” tanya Yeriko. Matanya tetap fokus menatap
laptop di hadapannya.
“Ke rumah sakit.”
Yeriko langsung mengalihkan pandangannya ke wajah Yuna.
“Nemuin Refi?”
“Kok, tahu?”
“Kamu pergi sama mama. Gimana aku nggak tahu?”
“Kalo gitu, kenapa masih nanyain aku ke mana?” celetuk
Yuna.
“Cuma mau mastiin aja. Kalo udah ngantuk, tidur di kamar!”
Yuna menganggukkan kepala. Ia bangkit dari sofa dan
melangkah perlahan menuju pintu. Ia meraih gagang pintu sambil menoleh ke arah
Yeriko. Ia enggan membuka pintu, justru menyandarkan kepalanya di pintu.
Yeriko menatap Yuna lewat ekor matanya. Ia tertawa melihat
tingkah Yuna. Istrinya itu terlihat begitu imut dan lucu saat membenamkan
wajahnya di pintu. Ia menutup laptop dan melangkah perlahan menghampiri Yuna.
“Kenapa? Nggak bisa tidur sendiri?” bisik Yeriko sambil
memeluk Yuna dari belakang.
“Eh!?” Yuna langsung membalikkan tubuhnya menatap Yeriko.
Ia tersenyum dan langsung melingkarkan lengannya ke leher Yeriko. “Udah tahu,
kenapa masih nyuruh aku pergi sendiri?”
Yeriko tersenyum kecil. “Oke. Kita tidur sekarang.” Ia
menggendong Yuna dan membawanya masuk ke dalam kamar. Yeriko langsung
menjatuhkan tubuh Yuna ke atas tempat tidur.
“Oh ya. Besok, Mama ngajak aku ke tempat ... mmh ...” Yuna
mengetuk-ngetuk bibir sambil berpikir. “Istri Walikota gitu.”
“Oh, Tante Yana?”
“Kamu kenal?”
Yeriko menganggukkan kepala. “Temen baik Mama sejak masih
sekolah.”
“Oh ...”
“Jam berapa ke sana?”
“Mama nggak bilang jam berapa. Dia cuma bilang, mau jemput
besok.”
“Oke. Ntar kabarin aja! Aku nyusul kalo kerjaanku udah
kelar.”
“Beneran nyusul?”
Yeriko menganggukkan kepala. Ia mengganti pakaiannya dan
berbaring di samping Yuna.
“Yer ...!” bisik Yuna sambil mengendus dada Yeriko.
“Hmm ...”
“Apa perusahaan lagi bermasalah karena aku?”
“Nggak.”
“Jujur! Mama bilang kalau ...”
“Cuma masalah kecil. Sudah diatasi.”
“Beneran?” Yuna menatap wajah Yeriko.
Yeriko mengangguk kecil. Ia mengecup dahi Yuna sambil
mengelus pundaknya. “Ayo, tidur!”
Yuna mengangguk. Ia memainkan bibirnya di dada Yeriko.
Yeriko langsung menekan tubuh Yuna. “Bukannya aku ngajak
kamu tidur? Udah mulai nggak patuh ya? Masih mau ngajak main-main?”
Yuna meringis menanggapi ucapan Yeriko.
Yeriko langsung menggigit leher Yuna.
“Aargh ...! Ada vampire,” teriak Yuna.
“Vampire? Kalau gitu, kamu harus nyerahin darahmu setiap
malam!”
“Hahaha.” Mereka tertawa bersama dan menghabiskan banyak
waktu untuk bercinta.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah baca sampai sini. Tunggu part-part
manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa
kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih
seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment