Rullyta mengeratkan bibirnya. Ia semakin kesal dengan sikap
Refi yang masih bersikeras mengganggu rumah tangga anaknya.
“Angga!” teriak Rullyta sambil menoleh ke arah pintu.
“Ya, Bu!” seorang pria muda masuk ke dalam ruangan dan
langsung menghampiri Rullyta.
“Ambilkan kotak yang ada di mobil! Bawa ke sini!”
perintahnya.
“Siap, Bu!” Angga, salah satu anak buah Rullyta bergegas
keluar dan mengambil barang yang dimaksud oleh Rullyta.
Beberapa menit kemudian, kotak tersebut sudah ada di tangan
Rullyta. Ia langsung melemparkan kotak tersebut ke pangkuan Refi.
“Kamu yang kirim ini!?” sentak Rullyta.
Refi terdiam. Ia menatap kotak yang ada di pangkuannya.
“Kamu pikir, aku nggak tahu kalau kamu yang ngirim ini?”
Rullyta semakin kesal dengan Refi yang tak kunjung mengakui kesalahannya.
Refi menatap tajam ke arah Rullyta dan Yuna. Ia sangat
kesal karena kedatangan Rullyta bukan untuk membelanya, melainkan membela Yuna.
Rasa benci di dalam hati Refi semakin bertambah setiap kali melihat wajah Yuna.
Refi tersenyum sinis. “Ya, memang aku yang kirim ini.”
“Maksud kamu apa?” tanya Yuna. “Kamu mau ...”
“Aku memang mau ngelukain kamu!” seru Refi. “Kalau aku
nggak bisa dapetin Yeriko, nggak ada satu orang pun yang bisa miliki dia!”
tegas Refi sambil mendelik ke arah Yuna.
Yuna tertawa kecil. “Aku udah miliki dia sepenuhnya,” sahut
Yuna sambil menatap Refi.
“Kamu ...!?” Refi meraih gelas yang ada di sisinya dan
langsung melemparkan ke arah Yuna.
Yuna menghindari gelas tersebut dengan cepat dan
membiarkannya jatuh berderai ke lantai.
“Yuna, kamu nggak papa?” Rullyta panik sambil memerhatikan
tubuh Yuna.
“Kamu udah gila ya!” sentak Rullyta sambil menghampiri
Refi. “Kalau sampai Yuna kenapa-kenapa, aku nggak bakal lepasin kamu seumur
hidup!”
“Ibu nggak papa?” Angga dan dua orang anak buah Rullyta
masuk ke dalam ruangan begitu mendengar suara keributan dari dalam ruangan.
“Nggak papa.”
Refi menatap Yuna penuh amarah. Ia mencengkeram kuat
selimut yang ada di tempat tidurnya. Pundaknya naik turun seiring dengan
napasnya yang tak teratur.
“Dasar, psikopat!” maki Rullyta.
Refi tak peduli dengan makian Rullyta. Ia tak lagi
berpura-pura baik karena Rullyta sudah tahu banyak tentang dirinya. Rullyta
pasti sudah menyelidiki kehidupan Refi beberapa tahun belakangan ini. Ia merasa
tak ada artinya lagi di hadapan Rullyta.
“Asal kamu tahu, keluarga Hadikusuma cuma ngakuin Yuna
sebagai menantu. Nggak akan ada orang lain yang kami akui selain dia!” tegas
Rullyta.
Refi terdiam. Ia tak bisa mengatakan apa pun di depan
Rullyta.
“Kalau kamu masih bikin ulah lagi, keluarga kami akan
langsung turun tangan buat ngelarin kamu tanpa toleransi lagi!” ancam Rullyta.
“Yun, ayo kita pulang!” Rullyta meraih lengan Yuna dan
membawanya keluar dari ruang rawat.
Yuna mengikuti langkah Rullyta. Ia masih bisa mendengar
teriakan histeris dari ruangan Refi. Beberapa perawat dan dokter langsung
berlari masuk ke dalam ruangan tersebut.
“Ma, apa dia baik-baik aja?”
Rullyta menghela napas sembari menatap ke arah Yuna. “Kamu
ini terlalu baik atau bodoh?”
Yuna mengernyitkan dahi menatap Rullyta.
“Mama baru aja belain kamu mati-matian, kamu masih
merhatiin dia?” dengus Rullyta.
“Aku cuma kasihan aja lihat dia ...”
“Mama nggak ngerti otak kamu ini isinya apa?” tanya Rullyta
sambil menoyor kening Yuna.
Yuna memonyongkan bibirnya sambil memegangi keningnya
sendiri. “Ada yang salah?” batinnya.
Rullyta tertawa kecil. Walau kesal, ia sangat menyukai Yuna
yang baik hati dan begitu manis. Ia menggandeng lengan Yuna dan bergegas keluar
dari rumah sakit.
“Ngga, tolong kamu hubungi Riyan!” pinta Rullyta saat ia
sudah berada di dalam mobil.
“Baik, Bu.” Angga langsung menelepon Riyan.
“Saya belum suruh kamu ngapain. Mau ngomong apa ke Riyan?”
tanya Rullyta.
“Eh!?” Angga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Suruh
ngapain, Bu?”
“Ck, kamu ini ... selalu aja gitu,” celetuk Rullyta.
Yuna menahan tawa sambil menatap Angga yang duduk di
belakang kemudi.
“Kamu tanya ke Riyan, apa dia udah nemuin orang yang
nyebarin gosip ke media?”
Angga mengangguk. Ia langsung mengikuti perintah Rullyta.
“Halo ...!” sapa Riyan begitu panggilan teleponnya
tersambung.
“Halo, Yan. Apa kamu sudah dapet informasi soal ...”
“Akun anonim yang nyebar gosip?”
“He-em. Kok tau kalau aku mau nanya itu?”
Riyan tertawa kecil. “Otakmu bawa ke bengkel!”
“Eh!?”
Riyan tergelak dan langsung mematikan panggilan telepon
dari Angga.
Rullyta menggelengkan kepala mendengar pembicaraan Riyan
dan Angga.
Angga memasang safety belt dan langsung menyalakan mesin
mobilnya. Ia bergegas melajukan mobilnya menuju rumah Yeriko.
“Ma, apa anak buah Mama dan Yeri memang sering kayak gitu?”
Rullyta tertawa kecil. “Kadang, mereka itu memang lucu.
Kalau Riyan sama Angga, memang sering kayak gitu. Riyan itu asisten Yeri.
Yeriko ngelatih dia bagus banget. Pintar, berbakat dan cekatan. Kalau Angga,
kamu tahu sendiri. Angga cuma supir Mama. Otaknya kurang se-ons. Mereka lumayan
dekat dan sering kayak gitu,” jelasnya sambil tertawa.
Yuna ikut tertawa mendengar ucapan Rullyta. “Mmh ... tapi,
Angga punya keunggulan lain dibanding Riyan.”
“Apa itu, Nyonya Muda?” Angga langsung menoleh ke arah Yuna
dan sangat bersemangat.
“Lihat jalanan!” sentak Rullyta sambil memukul kursi
belakang Angga.
“Angga lebih ganteng dari Riyan, sedikit.”
“Ehem ...” Angga langsung merapikan kerah bajunya sambil
melihat wajahnya di kaca spion.
“Hihi ... sedikit aja, Ngga. Masih banyak Riyan,” tutur
Yuna lagi.
Angga menghela napas kecewa. Tubuhnya seketika lemas. “Aku
memang nggak bisa lebih unggul dari Riyan.”
“Kalau mau nyamain dia, kamu harus banyak berlatih sama
Yeri,” sahut Rullyta.
“Eh!? Nggak usah, Nyonya. Saya jadi supir aja.”
“Kenapa? Bukannya bagus ya bisa jadi asisten Yeriko?” tanya
Yuna.
“Semua anak buah Mama, takut sama Yeri. Dia lebih berbahaya
dari kakek,” tutur Rullyta.
“Oh ya?”
Rullyta tersenyum kecil. “Oh ya, besok Mama ada janji mau
ketemu sama istri walikota. Kamu ikut Mama ya!” pintanya.
“Eh!? Ketemu sama pejabat, Ma?”
Rullyta menganggukkan kepala. “Gimana?”
“Mmh ... aku nggak pede ketemu sama pejabat.”
“Dia sahabat Mama. Orangnya baik banget. Kamu nggak perlu
sungkan.”
“Oh ya? Tapi ...”
“Besok Mama jemput kamu.”
Yuna mengangguk. Ia tetap tidak bisa menolak ajakan
Rullyta.
“Mmh ... Ma. Aku boleh tanya sesuatu?” tanya Yuna sambil
menggigit bibir bawahnya.
“Apa?” tanya Rullyta.
“Papanya Yeriko ke mana ya? Aku nggak pernah ...”
Rullyta langsung meraih jemari tangan Yuna dan tersenyum ke
arah Yuna.
“Jangan pernah tanyakan soal papanya Yeri!” pintanya.
Yuna mengangkat kedua alisnya.
“Nggak ada satu orang pun yang boleh mengungkit soal
papanya Yeri. Terutama di depan Yeri.”
Yuna mengangguk. Ia tidak lagi menanyakan keberadaan ayah
Yeriko. Walau ia sangat penasaran, tapi ia tidak bisa memaksakan diri untuk
mencari tahu keberadaan papa Yeriko. Ia terus bertanya-tanya dalam hatinya.
“Kenapa dirahasiakan? Apa dia sudah meninggal? Kalau sudah
meninggal, kenapa harus disembunyikan beritanya? Kalau masih hidup ... ah,
sudahlah, Yun. Jangan berpikir terlalu jauh,” batin Yuna bertanya-tanya.
Rullyta mengantarkan Yuna sampai ke depan rumah.
“Ma, nggak masuk dulu?” tanya Yuna.
Rullyta menggelengkan kepala. “Mama sudah pergi terlalu
lama. Kakek pasti nyariin Mama.”
“Ah, Mama pergi ke rumah anak sendiri. Apa yang mau
dikhawatirkan?” sahut Yuna.
“Kamu bisa aja. Yaudah Mama pulang dulu ya! Bye!” Rullyta
melambaikan tangan dan langsung menutup kaca mobil.
Yuna membalas lambaian tangan Rullyta. Ia tersenyum senang
dan bergegas masuk ke dalam rumah.
Makasih udah baca sampai sini.
Tunggu part-part manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku
makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang
udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment