“Yun,
pagi ini aku ada meeting di Malang. Kamu, berangkat naik taksi nggak papa?”
tanya Yeriko sambil mengenakan pakaiannya usai mandi.
“Mmh
... pantes aja pagi-pagi banget udah rapi,” sahut Yuna. “Berapa hari di sana?”
“Selesai
meeting langsung balik ke sini.”
“Oh.
Kirain nginap, hehehe.” Yuna membantu Yeriko memakai dasi dan jasnya.
“Kalau
aku nginap, aku pasti bawa kamu.”
Yuna
tertawa kecil. “Buat apa bawa aku? Buat ganggu kerjaan kamu?”
“Buat
... nemenin aku tidur.”
Yuna
tersenyum sambil menatap tubuh Yeriko.
“Kamu
nggak papa naik taksi? Lutfi sama Chandra masih di Gili. Jadi, aku nggak bisa
minta tolong mereka buat antar kamu.”
“Biasanya
juga naik taksi kalau kamu sibuk. Nggak usah ngerepotin orang lain!”
“Kamu
nganggep mereka orang lain?”
“Mmh
...” Yuna menunduk sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Yeriko
memeluk pinggang Yuna. “Aku berangkat duluan. Kamu sarapan sendirian, nggak
papa kan?”
Yuna
menganggukkan kepala.
Yeriko
tersenyum dan langsung mengecup kening Yuna. “Aku pergi dulu, Riyan udah nunggu
di bawah.”
Yuna
mengangguk. “Aku antar.”
Mereka
bergegas turun dari kamar. Yuna mengantar suaminya sampai ke halaman rumah.
“Pagi,
Nyonya Muda!” sapa Riyan yang sedang berdiri di samping mobil.
“Pagi!”
sahut Yuna. “Udah lama di sini? Kenapa nggak masuk?” tanya Yuna.
“Baru
aja sampai. Kalau masuk, ntar dibikinin kopi sama Bibi. Malah jadi lama,” sahut
Riyan.
Yuna
tertawa kecil.
“Aku
berangkat dulu ya! Karena perjalanan lumayan jauh. Nggak boleh telat terlalu
lama,” tutur Yeriko.
Yuna
mengangguk sambil tersenyum. “Hati-hati ya! Bawain aku apel malang!”
Yeriko
tersenyum sambil menatap Yuna. “Tumben, biasanya nggak pernah minta oleh-oleh?”
“Sesekali
nggak papa, kan?”
Yeriko
menganggukkan kepala. “Aku pergi dulu!” Ia mengecup kening istrinya dan
bergegas pergi.
Yuna
menghela napas lega dan tersenyum. Ia kembali masuk ke dalam rumah. Setelah
bersiap dan sarapan, Yuna bergegas berangkat ke tempat kerjanya.
Sesampainya
di tempat kerja, Yuna terkejut dengan kerumunan wartawan yang tiba-tiba
menghampiri dan mengambil foto wajahnya dengan terburu-buru.
“Mbak,
bisa klarifikasi hubungan Mbak Ayuna dengan Pak Yeriko?”
“Apa
benar kalau Mbak Ayuna adalah orang ketiga dibalik retaknya hubungan Yeriko dan
Refina?”
Yuna
menutup wajah menggunakan tas tangannya dan tidak ingin menjawab pertanyaan
yang diajukan oleh wartawan. Ia berusaha menerobos kerumunan wartawan yang
mengelilinginya. Namun, ia sangat kesulitan.
“Mbak,
tolong kasih klarifikasi ke media!”
“Apa
berita yang tersebar itu benar?”
“Semua
orang menghujat sikap Mbak Ayuna. Apakah tidak ada yang perlu diklarifikasi?”
“Apakah
benar kalau Mbak Ayuna mengintimidasi Refi dan menyuruhnya melompat dari atap
gedung?”
Yuna
tidak sanggup mendengar begitu banyak pertanyaan yang menghujani dirinya. Ia
berusaha keluar dari kerumunan wartawan dengan susah payah.
“Pak,
tolong Yuna!” pinta Icha pada security yang mengerumuni Yuna. Ia sangat
khawatir dengan Yuna yang dikerumuni banyak wartawan dan ia tidak bisa membantu
Yuna keluar.
Dua
orang security kantor langsung membantu Yuna membukakan jalan.
Yuna
bernapas lega, ia langsung berlari menghindari kerumunan wartawan yang
mengerumuninya.
“Aw
...!” teriak Yuna. Belum sampai masuk ke pintu kantor. Yuna malah tersandung di
tangga terakhir dan membuat kakinya terkilir.
Icha
yang melihat Yuna terjatuh, langsung melangkah menghampiri Yuna. Namun, ia
kalah cepat dengan Andre yang tiba-tiba sudah berlutut di sisi Yuna.
“Yun,
kamu nggak papa?” tanya Andre sambil memerhatikan lutut Yuna yang berdarah.
“Nggak
papa. Cuma lecet sedikit,” jawab Yuna.
“Ayo,
bangun!” Andre langsung membantu Yuna untuk bangkit.
Wartawan
yang ada di sana semakin menjadi. Mereka langsung mengambil foto-foto Andre dan
Yuna.
Yuna
gelagapan saat melihat banyak kamera membidik ke arahnya.
“Mas,
apa hubungan anda dengan Mbak Yuna?” tanya salah satu wartawan. Diikuti dengan
cecaran wartawan lainnya.
Andre
mengedarkan pandangannya. Menatap wartawan yang ada di hadapannya satu per
satu. Ada begitu banyak pertanyaan dan cukup membuatnya geram.
“Stop!”
teriak Andre. “Kalian semua, pergi dari sini!”
Semua
wartawan terdiam dan saling pandang. Mereka saling berbisik dan mulai melangkah
pergi satu per satu. Beberapa di antaranya, masih mencoba membidik Yuna dengan
kameranya.
Yuna
dan Andre menghela napas lega.
“Makasih
ya, udah bantuin!” tutur Yuna.
Andre
menganggukkan kepala. Ia membantu Yuna masuk ke dalam lobi kantor dan duduk di
salah satu kursi.
Yuna
meringis sambil memegangi kakinya yang terluka.
“Yun,
kamu nggak papa?” tanya Icha ikut khawatir.
“Nggak
papa. Cuma lecet sedikit.”
“Yun,
darahnya banyak banget. Ini mah nggak sedikit,” sahut Icha sambil menatap luka
yang ada di lutut Yuna.
Yuna
tersenyum ke arah Icha. “Ada tisu?”
Icha
mengangguk dan langsung memberikan tisu pada Yuna.
Yuna
meraih tisu dari tangan Icha dan mengelap darah segar yang mengalir di kakinya.
“Kenapa
wartawan itu tiba-tiba muncul dan bar-bar banget?” tutur Icha.
Andre
menghela napas sambil menunjukkan majalah yang ia bawa.
Yuna
dan Icha langsung membaca headline dan foto yang ada di cover majalah tersebut.
“Yun
...!” Icha langsung menatap wajah Yuna. “Ini ...”
“Huft,
ternyata emang bener dugaanku,” tutur Yuna sambil menunduk lesu.
“Kenapa?”
tanya Andre.
“Refi
sengaja ngajak ketemu cuma buat ngejebak aku,” jawab Yuna sambil memijat
keningnya yang tiba-tiba berdenyut.
“Ya
ampun, jahat banget sih cewek itu? Dia itu beneran mantan pacarnya Yeriko?”
tanya Icha.
Yuna
mengangguk perlahan.
“Sudahlah.
Lebih baik, kita ke rumah sakit dulu!” ajak Andre. “Luka kamu harus segera
diobati.”
Yuna
mengangguk.
Andre
menggenggam kedua pundak Yuna dan membantunya berdiri. Ia bergegas membawa Yuna
ke rumah sakit.
Icha
menggigit jarinya saat melihat Andre membawa Yuna pergi. Ia langsung mengambil
ponsel dan menghubungi Lutfi.
“Halo
...! Aku bisa minta nomer hp Yeriko?” tanya Icha.
“Bisa.
Ada apa, Cha?” tanya Lutfi.
“Ada
masalah sama Yuna.”
“Kakak
Ipar kenapa?”
“Dia
sekarang lagi ke rumah sakit.”
“What!?
Dia sakit apa?”
“Jatuh
di depan kantor waktu banyak wartawan nyerang dia.”
“Dia
...?”
“Kamu
belum baca gosip yang beredar?”
“Belum.”
“Ya
udah. Kalau nggak sibuk, buka internet. Sekarang, kamu kirim nomer Yeriko. Aku
harus kabari dia.”
“Oke.”
Lutfi langsung mematikan panggilan telepon dari Icha dan mengirimkan nomer
Yeriko kepada Icha.
Tanpa
pikir panjang, Icha langsung menelepon Yeriko dan memberitahukan cedera yang
dialami oleh Yuna.
“Sekarang,
Yuna di mana?” tanya Yeriko lewat telepon.
“Sudah
ke rumah sakit,” jawab Icha.
“Sama
kamu?”
“Nggak.
Aku masih di kantor.”
“Dia
ke rumah sakit sama siapa?”
“Sama
... Andre,” jawab Icha lirih.
“Oh.
Oke. Makasih udah ngabarin, Cha!”
“He-em.”
Icha menganggukkan kepala.
“Aku
langsung ke rumah sakit setelah pulang dari Malang. Aku bisa minta tolong?”
“Apa?”
“Tolong
susul Yuna ke rumah sakit ya! Jangan biarin dia berduaan aja sama Andre! Aku
masih meeting satu jam lagi. Mungkin, setelah jam makan siang baru sampai di
Surabaya.”
“Oh.
Oke.”
“Makasih,
Cha!”
“Iya.”
Yeriko
langsung mematikan sambungan teleponnya.
Icha
menarik napas dalam-dalam. Ia masuk ke ruang departemennya untuk meminta izin
menemani Yuna di rumah sakit. Setelahnya, ia langsung bergegas melajukan sepeda
motornya menuju rumah sakit.
Makasih udah baca sampai sini.
Tunggu part-part manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku
makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang
udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment