“Aargh
...!” teriak Refi sambil memukul kursi rodanya sendiri. Ia mengambil ponsel
dari sakunya dan langsung menelepon seseorang.
“Halo
...!”
“Halo,
kamu di mana?” tanya Refi.
“Di
rumah. Kenapa?”
“Aku
butuh bantuan?”
“Apa?”
Refi
mengatakan semua rencananya pada orang tersebut.
“Gimana?”
tanya Refi.
“Ck,
agak berat dan beresiko. Aku pikir-pikir dulu!”
“Aku
bakal bayar berapa pun yang kamu mau. Asal mau bantu aku!” seru Refi.
“Oh
ya, aku lupa kalau kamu orang yang kaya raya. Seharusnya, kamu sudah tahu
berapa uang yang sepantasnya kamu keluarkan untuk ini.”
“Oke.
Aku bakal transfer ke rekening kamu. Sisanya, aku bayar setelah kamu berhasil.”
“Kamu
tahu kalau aku bukan cuma mau uang kamu.”
“Oke.
I see ... aku bakal kasih apa pun yang kamu minta.”
“Oke.”
Refi
langsung menutup panggilan teleponnya. “Dasar, cowok licik!” celetuknya kesal.
Ia menyandarkan kepalanya ke kursi. “Yun, aku bersumpah kalau bakal bikin hidup
kamu menderita!” ucapnya penuh kebencian.
Di
sisi lain, Yuna terus berpikir selama di perjalanan. Ia merasa ada yang tidak
beres dengan pertemuannya dengan Refi kali ini. Sepertinya, Refi memang
berusaha memancing emosinya.
“Duh,
Yuna ...!” bisik Yuna sambil mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri. “Apa yang lagi
direncanakan sama Refi kali ini? Dia ngajak ketemu bukan untuk minta maaf, tapi
malah ngajak berantem,” tutur Yuna dalam hati. Perasaannya makin tak karuan.
Sepertinya, ia telah melakukan kesalahan karena memenuhi permintaan Refi untuk
bertemu.
Sesampainya
di rumah, Yuna berjalan tak bersemangat sambil memainkan tas tangannya. Ia
terus melamun hingga tak menyadari kehadiran Yeriko yang sedang duduk di sofa
ruang tamu, melewatinya begitu saja.
Yeriko
mengernyitkan dahi melihat sikap istrinya yang tak biasa. Ia bangkit dan
mengikuti langkah Yuna perlahan hingga masuk ke dalam kamar.
Yuna
langsung menelungkupkan tubuhnya ke atas kasur. “Yuna ...! Bodoh ... bodoh ...
bodoh!” makinya sambil memukul-mukul kasur di bawahnya.
“Ada
apa?” tanya Yeriko.
Yuna
mengangkat kepala sambil membelalakkan matanya, kemudian membalikkan tubuhnya
menatap Yeriko. Ia bangkit dan meraih tangan Yeriko yang berdiri di hadapannya.
“Mmh
... tadi aku ketemuan sama Refi.”
Yeriko
mengernyitkan dahi. “Di mana?”
“Di
rumah sakit.”
“Kenapa?”
tanya Yeriko. “Dia bikin ulah lagi?”
“Nggak
sih. Dia cuma ... mmh ... awalnya dia minta maaf soal pemberitaanku di media.
Tapi dia sama sekali nggak tulus minta maafnya. Malah ngajak berantem.”
Yeriko
tertawa kecil.
“Kenapa
ketawa?” tanya Yuna sambil mengernyitkan dahinya.
“Nggak
papa. Aku lagi ngebayangin aja kamu berantem sama Refi.”
“Kamu
seneng kalau aku berantem sama mantan pacar kamu itu?” seru Yuna kesal.
“Nggaklah.
Aku cuma seneng aja lihat wajah kamu kalau lagi marah,” tutur Yeriko sambil
mencubit kedua pipi Yuna.
Yuna
memonyongkan bibirnya. “Huft, sebenarnya aku nggak mau berantem sama dia. Kalau
lihat kondisinya dia, aku ngerasa kasihan. Tapi, sikapnya bener-bener nyebelin.
Bisa-bisanya dia secara terang-terangan mau ngambil suami orang. Udah gitu,
nyebar gosip ke media kalau aku yang jadi selingkuhan. Ngeselin banget, kan?”
cerocos Yuna.
Yeriko
duduk di samping Yuna. “Sifat Refi memang seperti itu. Dia terlalu berambisi.
Aku harap, kamu nggak terpancing sama dia.”
“Gimana
nggak terpancing. Dia selalu membandingkan aku sama dia. Kalian sudah lama
saling mengenal bahkan menjalin hubungan dalam waktu yang lama. Sedangkan aku,
memang baru aja masuk ke dalam kehidupan kamu. Apa kamu ... bener-bener sudah
ngelupain masa lalu kamu sama dia?”
Yeriko
menganggukkan kepala. “Kamu masih meragukan perasaanku ke kamu?”
Yuna
menggelengkan kepala. “Aku cuma sedikit terganggu sama masa lalu kalian. Aku
takut ...”
“Semua
akan baik-baik aja!” sahut Yeriko sambil merengkuh tubuh Yuna. “Walau
bagaimanapun, Refi adalah tanggung jawabku sampai dia benar-benar sembuh. Aku
minta maaf karena sikap dia bikin kamu jadi kayak gini.”
Yuna
menengadahkan kepalanya menatap Yeriko. “Kamu ... minta maaf untuk dia?”
Yeriko
menganggukkan kepala. “Dia jadi seperti ini karena aku. Aku khawatir, dia akan
melukai kamu.”
Yuna
menatap wajah Yeriko dengan mata berkaca-kaca.
“Kenapa?”
Yeriko tertegun menatap mata Yuna. “Apa aku ada salah ngomong?” batinnya dalam
hati.
Yuna
terus menatap Yeriko. “Apa kamu ... nggak
akan melindungi aku saat Refi yang berusaha melukaiku? Kenapa kamu
mengkhawatirkannya?” bisik Yuna dalam hati.
Yeriko
tersenyum sambil mengelus pundak Yuna. “Aku pasti bantu kamu menghadapi Refi.”
Yuna
tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia meletakkan kepalanya di dada Yeriko.
Air matanya menetes begitu saja. Ia tetap tidak bisa menahan perasaannya. Saat
ini, ia merasa begitu buruk. “Mungkin benar kata Refi, Yeriko masih menyimpan
perasaan cintanya untuk Refi walau hanya sedikit,” bisik Yuna dalam hati.
“Cepetan
mandi!” pinta Yeriko. “Aku tunggu di bawah! Hari ini, aku bikin masakan spesial
buat kamu.”
Yuna
mengusap air mata dan melepaskan tubuhnya dari pelukan Yeriko. Ia tersenyum
menatap wajah Yeriko. “Kamu yang masak?”
Yeriko
menganggukkan kepala.
Yuna
tersenyum senang. Ia bangkit dan bergegas mandi, sementara Yeriko menunggunya
di meja makan.
“Mas,
apa Mbak Yuna baik-baik aja?” tanya Bibi War sambil menyuguhkan secangkir kopi
untuk Yeriko.
Yeriko
menganggukkan kepala. “Sudah lebih baik. Bibi jangan menanyakan apa pun ke
dia!” pintanya.
Bibi
War menganggukkan kepala.
“Oh
ya, Bi. Besok pagi, Bibi nggak usah masak. Biar aku yang masak buat Yuna.”
Bibi
War menganggukkan kepala. “Mau masak apa? Biar Bibi siapkan bahan-bahannya.”
“Kertas
sama pena!”
Bibi
War bergegas mengambil buku catatan dan pena yang ada di dapurnya dan
memberikannya pada Yeriko.
Yeriko
langsung mencatat bahan makanan dan memberikannya kepada Bibi War.
Bibi
War tersenyum menatap catatan yang ada di tangannya dan bergegas pergi
meninggalkan Yeriko di meja makan.
Beberapa
menit kemudian, Yuna turun dari kamarnya dan menghampiri Yeriko. Matanya
berbinar saat melihat makanan di atas meja.
Yeriko
tersenyum menatap Yuna. “Ayo, makan!”
Yuna
mengangguk dan duduk di kursi. “Mmh ... kamu sering bikinin aku masakan enak.
Tapi aku nggak pernah masak buat kamu. Gimana kalau besok, aku masakin buat
kamu?” tanya Yuna sambil menyendok makanannya.
“Emang
bisa masak?” tanya Yeriko.
“Bisa.”
“Enak?”
Yuna
memonyongkan bibir sambil memutar bola matanya. “Mmh ... nggak tahu.”
Yeriko
tersenyum sambil mengetuk dahi Yuna. “Aku nggak izinin kamu kena asap dapur!”
Yuna
tersenyum bahagia. Ia merasa hidupnya sebagai seorang istri sangatlah santai.
“Oh
ya, aku denger dari Icha kalau si Lutfi juga bisa masak. Apa kalian memang
cowok-cowok koki?”
Yeriko
tertawa kecil. “Aku, Chandra dan Lutfi pernah masuk ke pendidikan militer.
Harus bisa masak.”
“Oh
ya?”
Yeriko
menganggukkan kepala.
“Aku
pengen denger cerita kalian waktu belajar masak!” pinta Yuna. “Bukannya Refi
bilang kalau Yeriko belajar masak karena dia?” batin Yuna.
“Nanti
aku ceritain. Habiskan dulu makanannya!” pinta Yeriko.
Yuna tersenyum dan kembali melahap makanannya sampai habis untuk
mendengarkan cerita Yeriko selanjutnya.
Makasih udah baca sampai sini.
Tunggu part-part manis di cerita selanjutnya ya ...
Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku
makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang
udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment