“Ayo, kita ke apartemen Chandra. Kasihan dia sendirian di sana,” ajak
Yeriko begitu Yuna sampai di rumah.
“Nggak usah, deh!” sahut Yuna sambil mengerdipkan matanya.
“Kenapa? Kalo kamu nggak mau ikut. Aku berangkat sendirian aja.”
“Eh, jangan! Ntar malah ganggu.”
“Ganggu kenapa?” Yeriko mengernyitkan dahi.
“Jheni udah pergi ke sana. Biar dia yang ngerawat Chandra.”
“Gitu ya?”
Yuna menganggukkan kepala. “Kamu nggak usah khawatir! Jheni pasti bisa
merawat Chandra dengan baik. Lebih baik, kita kasih mereka kesempatan buat
lebih deket lagi.”
Yeriko menganggukkan kepala. Ia langsung membantu membawa tas belanja Yuna
dan mengajaknya naik ke kamar.
“Oh ya, tadi aku abis dari butik. Fitting gaun pengantin karena Mama Rully
bilang kalau gaun pengantin udah selesai dijahit.”
“Oh ya? Kenapa aku nggak dikabarin?” tanya Yeriko sambil meletakkan tas
belanja Yuna ke atas meja.
“Karena jas kamu belum selesai dibuat. Jadi, aku ke sana duluan. Ditemenin sama Jheni sekalian.”
“Oh ... terus?”
Yuna terduduk lesu di sofa kamar. “Bajunya sempit,” jawabnya tak
bersemangat.
“Kenapa? Mereka salah jahit? Salah ngukur badan kamu? Jangan-jangan ...
tertukar sama ukuran badan orang lain. Setahuku, mereka itu penjahit
profesional. Udah biasa bikinkan baju buat keluargaku. Kenapa bisa jadi kayak
gini? Bener-bener nggak bisa dipercaya!” cerocos Yeriko. Ia langsung merogoh
ponsel dari sakunya.
“Mau telepon siapa?” tanya Yuna.
“Telepon butik. Ini baju pernikahan kita. Mereka ngasal banget bikinnya. Kalau perlu, kita ganti
designer lain.”
“Jangan!” pinta Yuna sambil merebut ponsel Yeriko.
“Kenapa?” Yeriko mengernyitkan dahi. Ia tidak memahami pemikiran Yuna.
“Bukan mereka yang salah. Aku yang salah,” tutur Yuna lirih.
Yeriko semakin tidak mengerti maksud Yuna.
Yuna memonyongkan bibirnya. “Berat badanku yang naik empat kilo!” seru Yuna
sambil menangis histeris tanpa air mata.
Yeriko menahan tawa mendengar pernyataan Yuna.
“Kenapa malah ngetawain?” tanya Yuna manja. “Aku gemukan. Pasti lucu banget
kan?”
Yeriko tertawa kecil. Ia langsung merengkuh kepala Yuna di dadanya. “Aku
suka kamu yang kayak gini. Badan kamu udah pas, kok. Nggak gemuk banget dan
nggak kurus banget. Ntar, aku suruh orang butik buat perbaiki ukuran baju
kamu.”
“Nggak usah!”
“Kenapa?”
“Bukan ukuran bajunya yang harus diperbaiki. Tapi berat badanku yang harus
diturunkan. Aku harus diet biar baju pengantinnya cukup.”
“Aku suka kamu yang kayak gini. Cuma naik empat kilo doang. Nggak kelihatan
gemuk, kok. Nggak usah diet ya!” pinta Yeriko.
“Tapi ... kalau aku nggak diet, baju pengantinnya bakalan sempit waktu aku
pakai. Bisa jadi, berat badanku nambah terus. Kamu senang kalau badanku kayak
Doraemon?”
Yeriko mengangguk sambil tersenyum.
“Iih ... nyebelin!” dengus Yuna sambil memukul dada Yeriko. “Aku nggak mau
jadi gemuk. Ntar kamu nggak sayang lagi sama aku.”
“Yang bilang begitu siapa?” tanya Yeriko.
“Aku.”
Yeriko tertawa kecil. Ia langsung mengusap ujung kepala Yuna. “Aku malah
pengen istriku jadi gemuk.”
“Kenapa?”
“Lebih montok dan seksi.”
Yuna memonyongkan bibirnya di hadapan Yeriko.
“Nggak akan ada lagi cowok-cowok yang ngejar kamu kalau kamu gemuk,” tutur
Yeriko sambil menahan tawa.
“Iih ... ngeselin! Kamu ngolok kan?”
“Nggak, Yun,” jawab Yeriko sambil tersenyum.
“Kenapa ketawa-ketawa? Pasti ngolok kan? Modus aja bilang aku montok dan
seksi. Kalo aku gemuk, yang ada kamunya malah ngejar-ngejar cewek lain!”
“Aku nggak bilang begitu!” sahut Yeriko. “Kenapa bikin persepsi sendiri?”
“Apalagi coba? Mana ada cowok yang suka pasangannya gemuk. Yang ada malah
minder. Emangnya nggak malu kalau ketemu kolega bisnis dan lihat istri kamu ini
gemuk?”
Yeriko menggelengkan kepala. “Aku nggak bakal malu. Malah seneng. Karena
aku berhasil melihara istriku dengan baik.”
“Emangnya aku hewan peliharaan?” dengus Yuna.
“Bukanlah. Udahlah, nggak usah berdebat masalah berat badan. Aku tetap
sayang sama kamu walau timbangan kamu naik setiap bulan. Kita makan yuk! Aku
laper.”
“Makan!?” Yuna mengernyitkan dahi.
Yeriko mengangguk. “Bibi War, masak makanan enak hari ini.”
Yuna memonyongkan bibirnya. “Gimana caranya menolak makanan enak? Huaaa ...
hiks ... hiks ...”
Yeriko tersenyum kecil menatap Yuna. “Nggak boleh nolak!”
“Tapi ...”
Yeriko langsung menarik Yuna keluar dari kamar. Mereka bergegas turun
menuju meja makan. Yeriko tersenyum senang sambil menunjukkan hidangan makan
malam yang dibuatkan oleh Bibi War.
“Beruang ...!” panggil Yuna sambil berbalik menatap Yeriko dan membelakangi
meja makan.
“Hmm ...”
“Aku ....”
“Nggak perlu diet dan menghindari makanan enak. Besok pagi, kamu harus
mulai ikut jogging!”
“Jogging?”
Yeriko menganggukkan kepala. “Diet nggak makan, itu menyiksa badan. Nggak
baik juga buat kesehatan. Besok pagi, ikut aku jogging ya!”
“Mmh ...”
Yeriko langsung menjepit hidung Yuna. “Kenapa males banget kalo olahraga?”
“Bukan males, aku cuma ...” Yuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Cuma apa?”
“Nggak suka olahraga.” Yuna meringis ke arah Yeriko.
“Mulai sekarang, harus dibiasakan olahraga. Mau badannya makin gemuk?”
Yuna menggelengkan kepala.
“Kalo gitu, harus rajin olahraga! Sekarang, kita makan dulu! Kasihan Bibi
War yang udah capek-capek masak buat kita.”
Yuna menganggukkan kepala.
Yeriko tersenyum kecil. Ia menoleh ke arah Bibi War yang berada di dapur
sambil mengerdipkan matanya.
Usai makan bersama. Yuna dan Yeriko kembali ke kamarnya. Yuna segera mandi
karena sejak pulang dari berbelanja, ia tidak langsung mandi.
Yeriko berdiri di depan jendela kamar sambil menatap langit yang ada di
hadapannya. Ia langsung menoleh ke atas meja begitu mendengar ponselnya
berdering. Perlahan, ia melangkah mendekati meja dan langsung menerima
panggilan telepon dari Riyan.
“Halo ...!” sapa
Yeriko.
“Halo, Pak. Ada beberapa hal yang ingin
saya laporkan. Salah satunya, soal
Harry Prayogi.”
“Iya. Gimana?” tanya Yeriko.
“Saya sudah ngatur semuanya dengan baik sesuai instruksi Pak Bos.
Perusahaan keluarga mereka, akan bangkrut secara perlahan.”
“Bagus. Buat semuanya terlihat sealami mungkin! Jangan sampai mereka tahu
kalau kita yang ada di balik semua ini!” pinta Yeriko.
“Siap, Pak Bos!”
“Ada lagi?” tanya Yeriko.
“Soal pengembangan proyek yang di Kalimantan dan Sumatera ...”
“Gimana hasilnya?”
“Hasil survey,
semuanya oke.”
“Bagus. Jalankan semuanya!”
“Iya, Pak Bos!”
“Ada lagi?”
“Nggak ada.”
“Oke.” Yeriko langsung mematikan sambungan teleponnya.
“Abis telponan sama siapa?” tanya Yuna yang baru saja keluar dari kamar
mandi.
“Riyan.”
“Ada masalah di kerjaan?”
Yeriko menggelengkan kepala.
Yuna tersenyum. Ia melangkahkan kakinya menuju lemari untuk mencari pakaian
tidur dan memakainya. Ia langsung menghampiri Yeriko yang berdiri di dekat
jendela kamar sambil menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit.
Yeriko tersenyum dan langsung menarik Yuna ke pelukannya. “Yun ...!”
panggilnya lirih.
“Ya.”
“Kalau aku cuma laki-laki biasa. Apa kamu bakalan tetep sayang sama aku?”
Yunq menengadahkan kepalanya menatap Yeriko. “Bukannya aku memang mencintai
kamu sebagai laki-laki biasa?”
Yeriko tersenyum dan langsung mengecup hidung Yuna. “Kalau aku bukan
pemilik GG, apa kamu bakal tetep cinta sama aku?”
Yuna menganggukkan kepala. Ia menatap lekat wajah Yeriko. “Apa kamu juga
cinta sama aku?”
Yeriko menganggukkan kepala.
“Sejak kapan?”
“Sejak ...” Yeriko berpikir sejenak. “Sejak kamu ... bikin aku tersenyum
pertama kalinya.”
“Kapan itu?”
“Aku nggak ingat,” jawab Yeriko sambil mengeratkan pelukannya.
“Iih ... tega banget sih nggak diingat!?”
“Kamu sendiri, sejak kapan jatuh cinta sama aku?”
“Mmh ... awalnya aku nggak suka sama kamu. Kamu itu dingin, jahat dan
menyebalkan. Tapi ... semenjak kamu selalu ada buat aku. Kamu menjadi
satu-satunya pria yang terlihat dalam duniaku.”
Yeriko tersenyum. Ia merasa sangat bahagia. Ia langsung mencium bibir Yuna
dan mengajaknya bercinta.
Usai melayani suaminya, Yuna langsung mandi bersama dengan Yeriko. Mereka
pergi tidur bersama sambil berpelukan.
Baru saja memejamkan mata, ponsel Yeriko tiba-tiba berdering.
“Halo ...!” sapa Yeriko sambil memejamkan mata.
“Pak, kami dari rumah sakit. Mbak Refina, sekarang ada di atap gedung. Dia
sangat depresi dan ingin bunuh diri.”
“Apa!? Saya ke sana sekarang!”
Yeriko langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia ingin berpamitan dengan
Yuna. Namun, istrinya baru saja tertidur dan ia tidak tega mengganggu tidur
istrinya. Ia langsung melompat dari tempat tidur. Meraih jaket dari dalam
lemari. Ia menyambar dompet dan kunci mobil yang ada di atas meja dan berlari
keluar dari kamar.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan sungkan buat
sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment