Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Sunday, February 16, 2025

Perfect Hero Bab 130 : Perhatian untuk Chandra || a Romance Novel by Vella Nine

 


Jheni langsung menekan bell saat tiba di depan pintu apartemen Chandra. Ia menunggu selama beberapa menit sampai pintu apartemen tersebut terbuka.

 

“Jheni?” Chandra mengernyitkan dahi saat membuka pintu dan mendapati Jheni sudah berdiri di sana. “Ku kira Yeriko yang ke sini,” tuturnya lemas. Ia langsung melangkah lunglai menuju sofa yang ada di ruang tamu dan menjatuhkan tubuhnya begitu saja.

 

Jheni mengikuti langkah Chandra. Ia menatap Chandra yang pucat. “Kamu sakit apa?” tanya Jheni. “Pucet banget!” Ia mendekati Chandra dan memeriksa suhu tubuh Chandra dengan punggung tangannya.

 

“Aku nggak papa,” jawab Chandra sambil tersenyum menatap Jheni. “Kamu tahu dari mana kalau aku tinggal di sini?” tanyanya dengan tatapan sayu.

 

“Aku minta alamat kamu dari Yuna. Kamu udah makan?”

 

Chandra menggelengkan kepala.

 

“Aku masakin buat kamu. Kamu makan ya! Punya obat penurun demam?”

 

Chandra menggelengkan kepala. “Nggak tahu masih ada atau nggak. Biasanya, ada di laci meja itu,” jawabnya sambil menunjuk laci meja televisi.

 

Jheni langsung menghampiri meja tersebut dan mencari obat yang bisa ia gunakan untuk menurunkan demam. “Nggak ada obatnya. Sementara, aku kompres kamu dulu ya! Abis masak, aku carikan obat di apotek.”

 

Chandra mengangguk kecil. Tubuhnya terasa sangat lemas dan hanya bisa berbaring di sofa.

 

Jheni tersenyum. Ia segera mengambil air hangat dan mengompress dahi Chandra. Ia juga mengambil selimut dari dalam kamar Chandra dan langsung menyelimutinya.

 

Tatapan Chandra masih kosong, membuat Jheni semakin iba dengan keadaan pria itu. Ia segera membuatkan makanan untuk Chandra agar kondisi tubuh pria itu segera pulih.

 

Beberapa menit kemudian, Jheni sudah membawakan bubur dan sup hangat untuk Chandra. Ia duduk di samping Chandra sambil menunggu Chandra terbangun dari tidurnya.

 

“Kenapa sih kamu selalu kayak gini? Masih mikirin dia terus?” tanya Jheni lirih sambil mengusap lembut rambut Chandra.

 

Chandra langsung membuka mata begitu Jheni menyentuh kepalanya.

 

Jheni langsung menarik tangannya. “Mmh ... aku udah bikinin bubur dan sup hangat buat kamu. Makan dulu ya!” pintanya.

 

Chandra bangkit perlahan dan duduk di sofa. Ia meraih mangkuk sup buatan Jheni. “Makasih! Maaf, udah ngerepotin kamu.”

 

“Nggak papa. Oh ya, aku ke apotek dulu. Belikan obat buat kamu. Nggak papa kan aku tinggal sebentar?”

 

Chandra menganggukkan kepala.

 

Jheni tersenyum. Ia bergegas pergi ke salah satu apotek terdekat.

 

Beberapa menit kemudian, Jheni sudah kembali ke apartemen Chandra. Ia tersenyum senang karena Chandra sudah menghabiskan makanan yanh ia suguhkan.

 

“Ukur suhu tubuh kamu dulu!” pinta Jheni sambil menyodorkan thermometer ke hadapan Chandra. “Pindah ke kamar ya!” pinta Jheni.

 

Chandra menganggukkan kepala.

 

Jheni membantu Chandra untuk pindah ke kamarnya. Setelah mengukur suhu tubuh Chandra dan memberikan obat, ia meminta Chandra untuk beristirahat.

 

“Mau ke mana?” tanya Chandra saat Jheni bangkit dari tempat duduknya.

 

“Mau beresin dapur dulu. Tadi, belum aku beresin.”

 

“Oh.”

 

Jheny tersenyum dan melangkah menuju dapur. Ia membersihkan semua peralatan yang telah ia pakai untuk memasak. Kemudian, ia kembali ke kamar Chandra untuk memeriksa suhu tubuhnya.

 

“Chan, apa kamu tinggal sendirian?”

 

Chandra menganggukkan kepala.

 

“Orang tua kamu ke mana?”

 

“Mereka tinggal di Amerika.”

 

“Kenapa nggak ikut tinggal sama mereka?”

 

“Ada kerjaan aku di sini.”

 

“Oh. Kamu nggak ambil pembantu?” tanya Jheni lagi.

 

Chandra menggelengkan kepala.

 

“Sebaiknya, kamu ambil pembantu. Jadi, kalau sakit kayak gini ada orang yang merawat kamu.”

 

Chandra tersenyum menatap Jheni. “Kenapa kamu mau ngerawat aku?”

 

“Eh!? Karena ... kita kan teman. Sudah seharusnya aku peduli sama kamu.”

 

“Apa kamu ... kayak gini juga sama semua cowok?”

 

Jheni menggelengkan kepala. “Sebaiknya, kamu istirahat dulu! Ini juga sudah malam.” Jheni bangkit dari duduknya.

 

“Kamu mau ke mana?”

 

“Mau pulang.”

 

“Temenin aku sebentar!” pinta Chandra sambil menahan lengan Jheni dan menatap gadis itu dengan tatapan sayu.

 

Jheni terdiam menatap Chandra. Ia tak tega meninggalkan Chandra seorang diri. Kemudian duduk kembali ke kursi.

 

“Oke. Aku tunggu kamu sampai kamu tidur,” tutur Jheni sambil tersenyum manis.

 

Chandra tersenyum menatap Jheni. Ia merasa sangat nyaman saat Jheni berada di dekatnya. Ia menutup matanya perlahan dan tidak melepaskan tangan Jheni. Malah memeluk lengan gadis itu ke dadanya.

 

Jheni tertegun. Jantungnya berdebar kencang saat tangan Chandra menggenggam erat tangannya dalam pelukan. “Oh, My God! Aku harus gimana?” batin Jheni berteriak. Ingin sekali melompat setinggi-tingginya untuk mengekspresikan kebahagiaannya. Namun, ia berusaha menahan diri dan hanya tersenyum menatap wajah Chandra.

 

Jheni menguap beberapa kali. Ia tidak bisa pergi karena tangan Chandra masih menggenggam tangannya. Ia menjatuhkan kepalanya ke kasur. Tepat di sisi wajah Chandra dan ikut terlarut dalam mimpi.

 

Chandra terbangun dari tidurnya setelah beberapa jam. Ia mendapati Jheni masih terlelap di sampingnya sambil duduk di kursi. Ia tersenyum menatap wajah Jheni. Untuk pertama kalinya, ia merasa menjadi orang yang paling disayangi di dunia ini. Semenjak berhubungan dengan Amara, tunangannya itu tak pernah meluangkan waktu untuk merawatnya ketika ia sakit. Biasanya, Amara akan mengirim suster untuk menjaga dan merawat Chandra.

 

Chandra menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan jam empat pagi. Ia masih ingin berlama-lama menatap wajah Jheni. “Apa seperti ini rasanya diperhatikan?” batinnya dalam hati.

 

Chandra memperbaiki anak rambut yang berantakan menutupi wajah Jheni. Membuat Jheni langsung terbangun dari tidurnya.

 

“Eh!? Sorry! Udah ganggu tidur kamu.”

 

“Nggak papa. Kamu udah baikan?” tanya Jheni. Ia langsung menyentuh dahi Chandra dengan punggung tangannya. “Kayaknya, udah nggak terlalu panas. Ukur lagi suhu badannya ya!” pinta Jheni. Ia mengambil thermometer dan memasukkannya ke dalam mulut Chandra. “Aku ambilin air hangat dulu.”

 

Chandra menganggukkan kepala. “Apa dia belum sadar kalau ini sudah hampir pagi?” batin Chandra.

 

Jheni masuk kembali ke dalam kamar sambil membawa segelas air hangat. Ia mengambil thermometer dari mulut Chandra. “Tiga tujuh koma lima. Udah turun panasnya.”

 

Chandra tersenyum menatap Jheni. “Makasih ya! Udah temenin aku.”

 

Jheni menganggukkan kepala. “Aku siapin sarapan dulu buat kamu.”

 

“Jhen ...!” panggil Chandra lirih.

 

“Ya.”

 

“Kamu nemenin aku sampai pagi. Apa kamu nggak dicari sama orang tua kamu?”

 

Jheni tersenyum kecil. “Sama kayak kamu. Aku juga tinggal sendirian. Orang tuaku ada di Palembang.”

 

“Kenapa nggak ikut sama mereka?”

 

“Mmh ... karena aku suka tinggal di sini. Jadi, waktu Mama sama Papa pindah ke sana, aku nggak bisa ikut mereka. Awalnya sih, aku ikut ke sana. Cuma satu bulan aja. Aku nggak betah tinggal di sana.”

 

“Kenapa?”

 

“Mungkin karena aku suka kerjanya freelance dan temen-temen aku banyak di sini. Di sana, nggak ada yang aku kenal dan aku susah dapet job. Ujung-ujungnya dapet job di sini lagi.”

 

“Oh.” Chandra manggut-manggut tanda mengerti.

 

“Aku bikinin sarapan dulu ya!” pamit Jheni sambil menunjuk ke arah dapur.

 

Chandra mengangguk. Ia ikut bangkit dari tempat tidurnya. “Aku temenin.”

 

“Kamu istirahat aja dulu!”

 

“Udah enakan, kok.”

 

Jheni tersenyum. Ia segera melangkah keluar dari kamar Chandra dan berjalan menuju dapur.

 

Chandra terus menatap Jheni yang serius berkutat di dapur. Biasanya, ia berada di dapur itu seorang diri. Kini, ada seseorang yang menguasai dapur rumahnya. Ia merasa, Jheni seperti nyonya pemilik rumah ini.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas