Jheni langsung menekan bell saat tiba di depan pintu
apartemen Chandra. Ia menunggu selama beberapa menit sampai pintu apartemen
tersebut terbuka.
“Jheni?” Chandra mengernyitkan dahi saat membuka pintu
dan mendapati Jheni sudah berdiri di sana. “Ku kira Yeriko yang ke sini,”
tuturnya lemas. Ia langsung melangkah lunglai menuju sofa yang ada di ruang
tamu dan menjatuhkan tubuhnya begitu saja.
Jheni mengikuti langkah Chandra. Ia menatap Chandra yang
pucat. “Kamu sakit apa?” tanya Jheni. “Pucet banget!” Ia mendekati Chandra dan
memeriksa suhu tubuh Chandra dengan punggung tangannya.
“Aku nggak papa,” jawab Chandra sambil tersenyum menatap
Jheni. “Kamu tahu dari mana kalau aku tinggal di sini?” tanyanya dengan
tatapan sayu.
“Aku minta alamat kamu dari Yuna. Kamu udah makan?”
Chandra menggelengkan kepala.
“Aku masakin buat kamu. Kamu makan ya! Punya obat
penurun demam?”
Chandra menggelengkan kepala. “Nggak tahu masih ada atau
nggak. Biasanya, ada di laci meja itu,” jawabnya sambil menunjuk laci meja
televisi.
Jheni langsung menghampiri meja tersebut dan mencari obat
yang bisa ia gunakan untuk menurunkan demam. “Nggak ada obatnya. Sementara, aku
kompres kamu dulu ya! Abis masak, aku carikan obat di apotek.”
Chandra mengangguk kecil. Tubuhnya terasa sangat lemas
dan hanya bisa berbaring di sofa.
Jheni tersenyum. Ia segera mengambil air hangat dan
mengompress dahi Chandra. Ia juga mengambil selimut dari dalam kamar Chandra
dan langsung menyelimutinya.
Tatapan Chandra masih kosong, membuat Jheni semakin iba
dengan keadaan pria itu. Ia segera membuatkan makanan untuk Chandra agar
kondisi tubuh pria itu segera pulih.
Beberapa menit kemudian, Jheni sudah membawakan bubur dan
sup hangat untuk Chandra. Ia duduk di samping Chandra sambil menunggu Chandra
terbangun dari tidurnya.
“Kenapa sih kamu selalu kayak gini? Masih mikirin dia
terus?” tanya Jheni lirih sambil mengusap lembut rambut Chandra.
Chandra langsung membuka mata begitu Jheni menyentuh
kepalanya.
Jheni langsung menarik tangannya. “Mmh ... aku udah
bikinin bubur dan sup hangat buat kamu. Makan dulu ya!” pintanya.
Chandra bangkit perlahan dan duduk di sofa. Ia meraih
mangkuk sup buatan Jheni. “Makasih! Maaf, udah ngerepotin kamu.”
“Nggak papa. Oh ya, aku ke apotek dulu. Belikan obat buat
kamu. Nggak papa kan aku tinggal sebentar?”
Chandra menganggukkan kepala.
Jheni tersenyum. Ia bergegas pergi ke salah satu apotek
terdekat.
Beberapa menit kemudian, Jheni sudah kembali ke apartemen
Chandra. Ia tersenyum senang karena Chandra sudah menghabiskan makanan yanh ia
suguhkan.
“Ukur suhu tubuh kamu dulu!” pinta Jheni sambil
menyodorkan thermometer ke hadapan Chandra. “Pindah ke kamar ya!” pinta Jheni.
Chandra menganggukkan kepala.
Jheni membantu Chandra untuk pindah ke kamarnya. Setelah
mengukur suhu tubuh Chandra dan memberikan obat, ia meminta Chandra untuk
beristirahat.
“Mau ke mana?” tanya Chandra saat Jheni bangkit dari
tempat duduknya.
“Mau beresin dapur dulu. Tadi, belum aku beresin.”
“Oh.”
Jheny tersenyum dan melangkah menuju dapur. Ia
membersihkan semua peralatan yang telah ia pakai untuk memasak. Kemudian, ia
kembali ke kamar Chandra untuk memeriksa suhu tubuhnya.
“Chan, apa kamu tinggal sendirian?”
Chandra menganggukkan kepala.
“Orang tua kamu ke mana?”
“Mereka tinggal di Amerika.”
“Kenapa nggak ikut tinggal sama mereka?”
“Ada kerjaan aku di sini.”
“Oh. Kamu nggak ambil pembantu?” tanya Jheni lagi.
Chandra menggelengkan kepala.
“Sebaiknya, kamu ambil pembantu. Jadi, kalau sakit kayak
gini ada orang yang merawat kamu.”
Chandra tersenyum menatap Jheni. “Kenapa kamu mau
ngerawat aku?”
“Eh!? Karena ... kita kan teman. Sudah seharusnya aku
peduli sama kamu.”
“Apa kamu ... kayak gini juga sama semua cowok?”
Jheni menggelengkan kepala. “Sebaiknya, kamu istirahat
dulu! Ini juga sudah malam.” Jheni bangkit dari duduknya.
“Kamu mau ke mana?”
“Mau pulang.”
“Temenin aku sebentar!” pinta Chandra sambil menahan
lengan Jheni dan menatap gadis itu dengan tatapan sayu.
Jheni terdiam menatap Chandra. Ia tak tega meninggalkan
Chandra seorang diri. Kemudian duduk kembali ke kursi.
“Oke. Aku tunggu kamu sampai kamu tidur,” tutur Jheni
sambil tersenyum manis.
Chandra tersenyum menatap Jheni. Ia merasa sangat nyaman
saat Jheni berada di dekatnya. Ia menutup matanya perlahan dan tidak melepaskan
tangan Jheni. Malah memeluk lengan gadis itu ke dadanya.
Jheni tertegun. Jantungnya berdebar kencang saat tangan
Chandra menggenggam erat tangannya dalam pelukan. “Oh, My God! Aku harus
gimana?” batin Jheni berteriak. Ingin sekali melompat setinggi-tingginya untuk
mengekspresikan kebahagiaannya. Namun, ia berusaha menahan diri dan hanya
tersenyum menatap wajah Chandra.
Jheni menguap beberapa kali. Ia tidak bisa pergi karena
tangan Chandra masih menggenggam tangannya. Ia menjatuhkan kepalanya ke kasur.
Tepat di sisi wajah Chandra dan ikut terlarut dalam mimpi.
Chandra terbangun dari tidurnya setelah beberapa jam. Ia
mendapati Jheni masih terlelap di sampingnya sambil duduk di kursi. Ia
tersenyum menatap wajah Jheni. Untuk pertama kalinya, ia merasa menjadi orang
yang paling disayangi di dunia ini. Semenjak berhubungan dengan Amara,
tunangannya itu tak pernah meluangkan waktu untuk merawatnya ketika ia sakit.
Biasanya, Amara akan mengirim suster untuk menjaga dan merawat Chandra.
Chandra menoleh ke arah jam dinding yang sudah
menunjukkan jam empat pagi. Ia masih ingin berlama-lama menatap wajah Jheni.
“Apa seperti ini rasanya diperhatikan?” batinnya dalam hati.
Chandra memperbaiki anak rambut yang berantakan menutupi
wajah Jheni. Membuat Jheni langsung terbangun dari tidurnya.
“Eh!? Sorry! Udah ganggu tidur kamu.”
“Nggak papa. Kamu udah baikan?” tanya Jheni. Ia langsung
menyentuh dahi Chandra dengan punggung tangannya. “Kayaknya, udah nggak terlalu
panas. Ukur lagi suhu badannya ya!” pinta Jheni. Ia mengambil thermometer dan
memasukkannya ke dalam mulut Chandra. “Aku ambilin air hangat dulu.”
Chandra menganggukkan kepala. “Apa dia belum sadar kalau
ini sudah hampir pagi?” batin Chandra.
Jheni masuk kembali ke dalam kamar sambil membawa segelas
air hangat. Ia mengambil thermometer dari mulut Chandra. “Tiga tujuh koma lima.
Udah turun panasnya.”
Chandra tersenyum menatap Jheni. “Makasih ya! Udah
temenin aku.”
Jheni menganggukkan kepala. “Aku siapin sarapan dulu buat
kamu.”
“Jhen ...!” panggil Chandra lirih.
“Ya.”
“Kamu nemenin aku sampai pagi. Apa kamu nggak dicari sama
orang tua kamu?”
Jheni tersenyum kecil. “Sama kayak kamu. Aku juga tinggal
sendirian. Orang tuaku ada di Palembang.”
“Kenapa nggak ikut sama mereka?”
“Mmh ... karena aku suka tinggal di sini. Jadi, waktu
Mama sama Papa pindah ke sana, aku nggak bisa ikut mereka. Awalnya sih, aku
ikut ke sana. Cuma satu bulan aja. Aku nggak betah tinggal di sana.”
“Kenapa?”
“Mungkin karena aku suka kerjanya freelance dan
temen-temen aku banyak di sini. Di sana, nggak ada yang aku kenal dan aku susah
dapet job. Ujung-ujungnya dapet job di sini lagi.”
“Oh.” Chandra manggut-manggut tanda mengerti.
“Aku bikinin sarapan dulu ya!” pamit Jheni sambil
menunjuk ke arah dapur.
Chandra mengangguk. Ia ikut bangkit dari tempat tidurnya.
“Aku temenin.”
“Kamu istirahat aja dulu!”
“Udah enakan, kok.”
Jheni tersenyum. Ia segera melangkah keluar dari kamar
Chandra dan berjalan menuju dapur.
Chandra terus menatap Jheni yang serius berkutat di
dapur. Biasanya, ia berada di dapur itu seorang diri. Kini, ada seseorang yang
menguasai dapur rumahnya. Ia merasa, Jheni seperti nyonya pemilik rumah ini.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan sungkan buat
sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment