“Udah, Jhen! Nggak usah diladenin!” pinta Yuna sambil
menarik lengan Jheni.
“Emosi aku, Yun. Emangnya kita kelihatan kayak maling apa
sampai ngomongin orang seenaknya. Itu mulut nggak punya etika sama sekali!”
sahut Jheni sambil menatap wajah Melan penuh kebencian.
“Baru sadar kalau muka kamu kayak maling?” sahut Bellina.
“Heh!?” Jheni menghentakkan kaki dan berteriak di depan
Bellina. “Kamu tuh yang maling. Udah ngerebut Lian dari Yuna, masih aja nggak
tahu diri!”
Manager Butik tidak bisa berkata-kata saat melihat empat
orang ini masih saja berdebat di hadapannya.
Bellina tersenyum sinis menatap Jheni. “Karena cewek
kayak Yuna bener-bener nggak berguna sama sekali. Kalau Yuna itu udah yang
paling bagus. Nggak mungkin dia lebih milih aku, kan?”
“Astaga!” Jheni tergelak mendengar ucapan Bellina.
“Dilihat dari Monas sana, jauh lebih baik si Yuna daripada kamu! Kamu aja yang
udah melakukan segala cara buat dapetin Lian. Sampai harus pura-pura hamil,
cuma buat nikahin dia dan dapetin hartanya dia.”
Bellina langsung membelalakkan matanya saat mendengar
ucapan Jheni. “Dari mana dia tahu kalau aku cuma pura-pura hamil?” batin
Bellina.
“Kenapa? Nggak bisa ngelak, kan? Secara, sampai sekarang
perut kamu masih datar-datar aja. Harusnya, kalau hamil beneran itu perut udah
makin buncit. Sama sekali nggak ada perubahan!” sahut Jheni.
“Kamu nggak usah sok tahu!” sahut Melan. “Perut Bellina
masih kecil karena usia kandungannya juga belum banyak. Kamu belum pernah
hamil, jadi nggak akan tahu.”
“Oh ya? Bukannya kalau udah hamil empat bulan, harusnya
perutnya udah kelihatan buncit?”
“Nggak semua ibu hamil punya kondisi badan yang sama,”
sahut Melan.
“Oh ya? Tapi ... waktu di rumah sakit, aku denger sendiri
kalau Bellina cuma pura-pura hamil,” sahut Yuna. Ia sudah tidak tahan
menyaksikan pertengkaran antara sahabat dan saudaranya itu.
Melan gelagapan mendengar ucapan Yuna. “Kamu!?”
Yuna tersenyum kecil. “Suatu saat, Lian bakalan tahu usia
kandungan kamu. Dia pasti nggak akan maafin kamu gitu aja karena udah
ngebohongin dia.”
Bellina terdiam. Ia hanya menghentakkan kaki dan mengajak
mamanya untuk keluar dari butik tersebut. “Awas kamu, Yun! Aku nggak bakalan
diem aja, aku pasti balas perbuatan kamu ke aku!” batinnya penuh kebencian.
“Mmh ... Mbak Fristi, kami mohon maaf soal ini. Kami ...”
Manager Butik tersebut mencoba meminta maaf karena tidak berhasil melerai
keributan.
Yuna tersenyum. “Nggak papa. Dia itu tante dan sepupu
aku. Nggak ada masalah yang serius. Mereka memang punya kelainan. Kalau kangen
sama aku, selalu bikin onar di mana aja.”
“Oh ya? Seperti itu?”
Yuna menganggukkan kepala.
“Mohon maaf atas ketidaknyamanannya! Mbak Fristi boleh
lihat-lihat kembali koleksi butik kami!”
Yuna menganggukkan kepala.
Manager Butik tersebut bergegas pergi, melanjutkan
pekerjaannya kembali.
Yuna dan Jheni kembali sibuk melihat-lihat gaun yang ada
di dalam butik tersebut. Mereka sepakat untuk membeli sebuah gaun dengan warna
dan model yang sangat serasi.
“Yun, si Bellina bener-bener parah ya. Dia pura-pura
hamil cuma karena pengen bisa masuk ke keluarga Wijaya?”
Yuna menganggukkan kepala.
“Bukannya kamu kerja di perusahaan mereka. Gimana kalau
ketemu sama Bellina di sana?”
“Ya, begitu juga.”
“Ngajak kamu berantem mulu?”
Yuna menganggukkan kepala.
“Astaga! Kamu yang sabar ya, Yun! Pasti nggak mudah
menjalani ini semua.”
Yuna menganggukkan kepala. “Di kantor, ada temen yang
peduli dan selalu belain aku saat berantem sama Bellina. Namanya Icha. Anaknya
baik, sederhana dan polos banget.”
“Oh ya? Aku seneng dengernya kalau di sana ada yang bisa
bantu kamu ngelawan Bellina.”
Yuna menganggukkan kepala. “Kemarin, tangan Icha sampai
luka karena nolong aku dari serangan Bellina.”
“What!? Luka? Ini parah banget, Yun. Kalau bisa sampai
luka, artinya dia udah keterlaluan.”
Yuna
tertawa kecil. “Iya. Emang bar-bar banget tuh dia!”
“Terus? Gimana keadaan dia sekarang? Nggak lapor ke
polisi aja, Yun?” tanya Jheni.
“Apaan sih!? Cuma masalah sepele, masa sampai lapor ke
polisi segala?”
“Yah, kan ini menyangkut nyawa seseorang juga.”
“Cuma luka sedikit aja, kok. Nggak begitu parah. Icha juga
nggak mau memperpanjang masalah.”
“Hmm ... temen kerja kamu itu baik banget ya?”
Yuna menganggukkan kepala. “Ntar aku kenalin ke kamu.”
“Beneran?”
Yuna menganggukkan kepala. “Dia juga lagi deket sama
Lutfi.”
“Lutfi?” Jheni berusaha mengingat-ingat pria yang
dimaksud oleh Yuna.
“Sahabatnya Chandra. Sahabat Yeriko juga.”
“Oh. Yang pakai Lamborghini merah itu?”
Yuna menganggukkan kepala.
“Terus, terus?”
“Kita bisa triple date. Nanti, aku atur waktu buat makan
malem bareng kalian!” seru Yuna sambil melompat kegirangan.
“Hmm ... tapi, aku sama Chandra belum jadian. Masih
temenan kayak biasa.”
“Sama. Lutfi sama Icha juga gitu. Tapi, mereka sama-sama
suka. Aku yakin, kalau sebentar lagi, mereka pasti bakalan jadian. Soalnya,
Lutfi itu beda banget sama Chandra. Dia lebih berani dan berinisiatif. Nggak
kayak Chandra yang pendiem dan lempeng aja hidupnya.”
Jheni tertawa kecil. “Menurut aku sih, dia nggak
pendiem-pendiem banget. Masih serem juga suami kamu.”
“Eh!? Kenapa jadi suamiku?”
“Chandra itu dingin. Tapi, suami kamu lebih dingin lagi.
Ibaratnya, kalau Chandra dinginnya tiga belas derajat celcius, suami kamu itu
dinginnya minus tiga belas derajat celcius.”
“Hahahaha.”
“Kenapa ketawa?”
“Suami aku emang dingin dan cuek sama orang lain. Tapi,
aslinya dia hangat dan penyayang banget!” sahut Yuna sambil tersenyum bahagia.
“Kalau nggak, aku nggak mungkin betah jadi istrinya.”
“Mmh ... iya juga, sih.”
“Daripada ramah sama semua orang? Kamu tahu sendiri kalau
suamiku itu ganteng dan kaya. Kalau dia ramah sama semuanya. Bakal banyak
pelakor di sekeliling kami.”
Jheni tertawa kecil. “Jangan sampai ada pelakor, lah! Itu
lebih horor dari ...” Jheni menghentikan ucapannya saat melihat Yuna tertunduk
lesu. “Kenapa?”
“Tapi ... aku punya banyak saingan yang jauh lebih cantik
dan lebih kaya dari aku. Mantan pacar Yeriko balik. Dia ...”
“Dia kenapa?”
“Dia deketin Yeriko lagi.”
“Terus, kamu diem aja?”
Yuna menggelengkan kepala. “Aku nggak akan ngelepasin
Yeriko gitu aja. Tapi, Refina itu cinta pertamanya Yeriko. Pasti susah banget
buat dilupain. Bisa-bisa, mereka balikan.”
“Kamu jangan berpikir terlalu jauh!” pinta Jheni.
“Iya juga, sih. Untungnya Yeriko cuek sama Refina. Tapi,
cewek itu lagi sakit. Aku sendiri nggak tega lihat kondisi mental dan fisiknya.
Kayaknya dia terpukul banget. Dia juga berusaha buat ambil Yeriko.”
“Yun, percaya deh sama suami kamu! Bukannya dia sayang
banget sama kamu?”
“Aku percaya, Jhen. Tapi namanya cowok. Kalau digodain
terus-terusan, pasti bakalan meleleh juga,” sahut Yuna lesu.
“Udah, ah! Jangan baperan gini! Selama semuanya baik-baik
aja, jalani seperti biasanya. Kalau sampai dia nyakitin kamu. Aku orang pertama
yang bakal maki dia habis-habisan!”
Yuna tersenyum menatap Jheni. “Kamu ... emang temenku
yang paling the best.”
Jheni balas tersenyum.
( You still have all of my ... You still have all of my ...
You still have all of my heart ...)
Yuna langsung merogoh ponsel dari dalam tasnya dan
menjawab panggilan telepon dari Yeriko.
“Halo ...!” sapa Yuna.
“Halo, Sayang! Kamu di mana?”
“Di jalan pulang, nih. Bareng Jheni.”
“Oh ... cepet pulang ya! Aku mau lihat keadaan Chandra.”
“Chandra kenapa?” tanya Yuna.
“Dia ... sakit.”
“Sakit? Terus, dia ada di mana sekarang? Sakit apa?”
“Di apartemennya dia. Kayaknya sih demam.”
Yuna langsung melirik ke arah Jheni yang ikut menyimak
pembicaraannya dengan Yeriko.
“Oke.
Aku cepet-cepet pulang!”
“Yun, mintain alamatnya Chandra!” pinta Jheni berbisik.
“Aku mau jenguk dia juga.”
Yuna mengangguk kecil. “Bisa kirimin alamat Chandra?
Jheni mau ke sana juga lihat keadaan si Chandra.”
“Oke.
Aku kirim lewat chat. Kamu buruan pulang ya! Aku tunggu di rumah”
“Siap, Bos!”
Yeriko langsung mematikan panggilan teleponnya.
Yuna menarik napas dalam-dalam sambil menoleh ke arah
Jheni yang terlihat sangat gelisah. Ia langsung meneruskan pesan yang dikirim
oleh Yeriko kepada Jheni.
“Makasih ya, Yun!”
Yuna menganggukkan kepala. “Kamu mau langsung ke sana?”
Jheni mengangguk. Ia meminta supir taksi untuk menepi dan
mencari taksi lain untuk pergi ke rumah Chandra. “Barang-barangku, bawa ke
rumah kamu dulu ya! Besok aku ambil!” pinta Jheni.
Yuna mengangguk. Ia langsung melambaikan tangannya begitu
Jheni sudah masuk ke dalam taksi lain.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan sungkan buat
sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment