Yuna menghentikan makannya saat ponselnya tiba-tiba
berdering. Ia merogoh ponsel dari dalam tas dan menatap layar yang tertulis
nama ‘My Beautiful Mom’. Tanpa pikir panjang, ia langsung menjawab telepon.
“Halo ...!” sapa Yuna.
“Halo ...! Anak Mama yang cantik! Lagi di mana nih?”
“Ah, Mama bisa aja. Mama juga cantik. Aku lagi di mall
bareng Jheni, sahabat aku Ma.”
“Lagi belanja?”
“Iya.”
“Belanja apa?”
“Mmh ... nggak banyak sih. Aku cuma beli daleman doang
sama kaos buat di rumah. Mama di mana nih?”
“Mama masih di Singapura. Kamu udah makan?”
“Ini lagi makan.”
“Oh. Mama ada beliin beberapa gaun dan tas baru buat
kamu.”
“Ma, Mama selalu aja begitu. Aku sama sekali nggak ...”
“Anak Mama nggak boleh terlihat biasa aja. Siapa tahu,
ada pesta kecil-kecilan atau harus jalan sama Yeriko. Masa, mau pakai baju yang
itu-itu aja?”
Yuna tertawa kecil. “Tapi, gaun yang Mama beliin juga
masih banyak.”
“Mama udah beliin buat kamu. Nggak boleh protes! Mama
suka banget sama modelnya. Pasti cocok banget dipake sama kamu.”
“Iya, Ma. Makasih banyak,” sahut Yuna. Ia tidak pernah
bisa menolak pemberian dari Mama mertuanya.
“Oh ya, tadi orang butik kabarin Mama. Katanya, gaun
pengantin kamu sudah selesai dijahit. Kamu bisa ke sana buat fitting?”
“Eh!? Beneran? Cepet banget jadinya?” tanya Yuna.
“Hmm ... buat Mama, mereka udah terlalu lama
ngerjainnya.”
Yuna meringis. “Iya, Ma. Kebetulan aku lagi nggak sibuk
juga. Ntar aku ke sana sekalian bareng Jheni.”
“Oke. Kalai gitu, Mama tutup dulu teleponnya ya! Masih
banyak kerjaan.”
“He-em.” Yuna menganggukkan kepala.
Rullyta langsung mematikan sambungan teleponnya.
“Siapa, Yun?” tanya Jheni penasaran.
“Mama mertuaku,” jawab Yuna. Ia melanjutkan makannya.
“Enak banget punya mama mertua kayak gitu. Perhatian
banget,” tutur Jheni sambil menatap Yuna.
Yuna tersenyum kecil. “Abis ini, temenin aku ke butik
ya!” pintanya.
“Mau ngapain?”
“Mau fitting baju pengantin. Kata mama, bajunya udah
kelar dijahit.”
“Wah! Seriusan!?” Jheni terlihat sangat gembira mendengar
kabar baik dari sahabatnya.
Yuna mengangguk sambil tersenyum manis. “Makanya, temenin
aku ke sana ya!”
“Oke.” Jheni tersenyum sambil menautkan jari telunjuk dan
ibu jarinya.
Usai menghabiskan makan siangnya bersama Jheni. Yuna
langsung menuju ke salah satu butik yang telah dipilih ibu mertuanya untuk
membuatkan gaun pengantin.
“Selamat Siang ...!” sapa customer service yang ada di
meja depan saat Yuna masuk ke kamar.
“Siang, Mbak! Saya mau fitting baju pengantin.”
“Atas nama siapa?”
“Fristi Ayuna Linandar dan Yeriko Sanjaya Hadikusuma.”
“Oh
.. oke. Fittingnya sudah disediakan di VIP Room. Langsung masuk saja, Mbak! Designer
kami ada di dalam sana.”
“Oke.” Yuna langsung melangkahkan kakinya menuju Vip
Room.
“Yun, enak banget ya jadi menantu orang kaya. Cari gaun
pengantin aja diperlakukan khusus banget. Aku bahkan baru tahu kalau di butik
ada ruangan VIP segala. Kirain, di rumah sakit doang,” celetuk Jheni sambil
mengiringi langkah Yuna.
Yuna tersenyum kecil. Ia masuk ke salah satu ruang VIP
untuk melihat baju pengantin yang akan ia kenakan pada hari pernikahan.
“Sebenarnya sama aja sih. Jhen. Kalau di VIP Room, privasi kita lebih terjaga
aja dan pelayanannya emang khusus.”
“Oh ya?”
Yuna mengangguk. Ia menatap salah satu pekerja yang
sedang merapikan sebuah gaun pengantin. “Siang!” sapa Yuna.
“Selamat Siang!” Karyawan tersebut langsung menoleh ke
arah Yuna. “Mbak Fristi ya?”
Yuna menganggukkan kepala.
Karyawan tersebut langsung mempersiapkan gaun pengantin
milik Yuna yang baru saja selesai dijahit. “Ini, Mbak. Silakan dicoba dulu!
Kalau ada yang perlu ditambahkan atau dikurangi, langsung sampaikan kepada
kami.”
Yuna menganggukkan kepala. Ia segera mencoba gaun
pengantin tersebut dibantu oleh karyawan dan juga Jheni.
“Gimana, Jhen?” tanya Yuna saat melihat dirinya memakai
gaun pengantin. Ia berdiri di depan cermin besar yang ada di dalam ruangan
tersebut.
“Cantik banget, Yun!” seru Jheni.
“Serius? Tapi, kok rada begah ya?”
“Sempit, Mbak?” tanya karyawan yang melayani Yuna.
Yuna menganggukkan kepala.
“Kami mohon maaf, gaunnya akan segera kami perbaiki
supaya bisa pas di badan Mbak Fristi.”
Yuna meringis. “Kayaknya, yang salah bukan gaunnya. Tapi
badanku gemukan, deh.”
Jheni mendelik menatap Yuna.
“Mbak, ada timbangan nggak ya?”
“Ada, Mbak. Sebentar saya ambilkan.” Karyawan tersebut
bergegas pergi mengambilkan timbangan berat badan untuk Yuna.
Yuna mengembungkan pipinya di depan cermin,
mengempiskannya lagi. Ia mengamati wajah dan tubuhnya beberapa kali, kemudian
menepuk-nepuk pipinya.
“Huft, kayaknya ... aku emang gemukan deh, Jhen.
Kelihatan nggak sih?”
“Biasanya, kamu selalu makan banyak dan nggak
gemuk-gemuk. Berarti, pupuknya Yeriko manjur banget,” sahut Jheni terkekeh.
“Apaan sih!?” Yuna tersipu mendengar ucapan Jheni.
Beberapa menit kemudian, karyawan butik masuk ke dalam
ruangan sambil membawakan timbangan untuk Yuna. “Ini, Mbak.”
Yuna langsung menimbang berat badannya. “Berapa, Jhen?”
tanya Yuna yang tidak bisa menundukkan kepalanya untuk melihat berat badannya
sendiri.
“Lima
puluh empat,” jawab Jheni.
“What!?”
Yuna langsung
turun dari timbangan tersebut. “Beneran kan? Beratku naik lagi dua kilo. Waktu
ngukur badan kemarin, kayaknya berat badanku masih stabil di angka lima puluh
dua. Ini parah banget! Aku harus rajin olahraga biar berat badanku turun.”
“Mmh ... Mbak, jasnya suamiku udah jadi atau belum?”
tanya Yuna.
“Kalau untuk setelan jasnya belum selesai dijahit, Mbak.”
“Ini udah cocok aja, sih. Nggak ada yang perlu
ditambahkan atau dikurangi. Aku yang harus diet karena berat badanku bertambah.
Nanti, aku balik fitting lagi kalau jas suamiku udah kelar. Gimana?”
Karyawan tersebut menganggukkan kepala.
“Oke. Kalau gitu, kami pulang dulu ya! Jangan bilang ke
Ibu Rullyta kalau gaunnya sempit ya!”
“Siap, Mbak!”
Yuna tersenyum. Ia mengerdipkan mata dan langsung
mengajak Jheni keluar dari ruang VIP.
“Yun, kita lihat-lihat baju dulu yuk!” ajak Jheni saat
melihat ada banyak deretan baju-baju cantik yang ada di butik tersebut.
“Boleh.”
Mereka berkeliling sambil melihat-lihat gaun pesta dan
gaun pengantin yang terpajang di ruangan tersebut.
“Yun, gaunnya cantik-cantik banget!” seru Jheni. “Jadi
pengen nikah cepet-cepet kalau lihat kayak gini, mah.”
“Ya udah, suruh aja si Chandra langsung ngelamar kamu.”
“Astaga! Ngolok banget sih, bikin dia suka sama aku aja
belum berhasil. Mau minta dinikahin. Gatel amat yak gue!?”
Yuna tertawa lebar. Namun, tawanya terhenti saat melihat
Melan dan Bellina tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Ia langsung menelan
ludah begitu mendapati tatapan Melan. “Tante Melan?”
“Masih inget sama Tante?” tanya Melan balik.
Yuna memaksa bibirnya tersenyum. “Ini nenek sihir kenapa
ada di sini juga?” batinnya.
“Kamu ngapain ada di sini?” tanya Melan.
“Mmh ... lagi nyobain gaun pengantin,” jawab Yuna.
“Di sini gaun pesta semua. Gaun pengantin ada di sana,”
sahut Melan sambil menunjuk sudut ruangan lain dengan dagunya.
“Emangnya kenapa kalau kita mau lihat-lihat gaun pesta
juga? Ada yang salah?” tanya Jheni.
“Mmh ... nggak ada, sih. Tapi, orang miskin kayak kamu
nggak mungkin bisa beli gaun di sini,” tutur Melan sambil tertawa kecil.
“Heh!? Nenek sihir!” sentak Jheni tanpa basa-basi. “Asal
kamu tahu ya, biarpun aku miskin, aku masih bisa beli mulutmu pake uangku
sendiri!”
“Oh ya? Emang kamu punya uang berapa buat beli mulut
mamaku?” balas Bellina.
“Seribu!” dengus Jheni. “Karena mulut kalian itu
sama-sama murahan!”
Melan langsung melotot ke arah Jheni. Ia tidak terima
begitu saja ucapan Jheni yang merendahkan dirinya. “Hati-hati kalau ngomong
sama orang tua! Kualat baru tahu rasa!”
“Nggak bakalan kualat sama orang tua jahat kayak kamu!”
balas Jheni. Ia tidak menyerah begitu saja dan terus melawan cacian yang keluar
dari mulut Melan.
“Ada apa ini?” Seorang Manager toko menghampiri saat
mendengar suara keributan di dalam butiknya.
Melan tersenyum kecil. “Dua cewek miskin ini, kenapa bisa
masuk ke dalam butik? Mereka, masuk ke sini pasti mau nyuri. Mereka nggak punya
uang buat beli baju mahal. Jadi, Mbaknya harus hati-hati sama gerak-gerik
mereka yang mencurigakan ini.”
Jheni langsung membelalakkan matanya begitu mendengar
ucapan yang keluar dari mulut Melan. “Gila! Ini orang ngomongnya lembut banget
tapi nyelekit dan fitnah banget. Dari dulu, selalu nggak berubah. Masih aja
menindas Yuna,” batin Jheni. Ia semakin kesal melihat wajah Melan.
“Kalau bukan tantenya Yuna, udah kucakar-cakar mukamu!”
sahut Jheni.
Melan tersenyum sinis. Ia tidak akan menyerah begitu saja
melawan Jheni. Teman Yuna yang sangat menyebalkan di matanya.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan sungkan buat
sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment