“Ciyee.. yang kemarin diantarin Lutfi. Sekarang senyum-senyum sendiri mulu.
Gimana? Udah jadian?” tanya Yuna.
Icha menggelengkan kepala sambil tersenyum malu. “Belum.”
“Huft, si Lutfi itu emang nggak peka ya? Gimana kalau kamu yang ngomong
duluan?”
“Ngomong apaan?” tanya Icha.
“Ya, ngomong cinta lah!”
“Nggak berani, Yun. Apa pantes kalau cewek yang nyatain cinta duluan?”
“Yaelah, zaman sekarang mah, mau cewek atau cowok sama aja.”
“Idih, kalo sampe ditolak. Malunya sampai tujuh turunan!” dengus Icha.
“Mmh ... iya juga, sih. Eh, menurut kamu ... si Lutfi itu ada rasa apa
nggak sama kamu? Kalau aku lihat, dia care banget sama kamu.”
Icha tersenyum menatap Yuna. “Iya. Dia peduli dan penyayang banget. Tapi,
hubungan kita cuma sebatas teman.”
“Kamu nggak ngarep lebih?”
Icha terdiam. Ia hanya menggigit bibir bawahnya. Ia sendiri tak yakin bisa
menjalin hubungan dengan seorang pria. Saat ini, ia berusaha untuk mengejar
karir. Ia takut, hubungan percintaan akan menghancurkan masa depannya.
“Eh, udah mau jam dua belas. Aku mau turun dulu. Suamiku mau jemput aku
buat makan siang bareng,” tutur Yuna sambil merapikan meja kerjanya.
“Hmm .. enak banget sih punya suami yang romantis. Hampir tiap hari diajak
makan siang bareng. Nggak kayak aku yang setiap hari cuma makan di kantin,”
celetuk Icha.
Yuna tertawa kecil menatap Icha. “Aku WA si Lutfi nih biar ajak kamu makan
siang. Gimana?” goda Yuna.
“Nggak usah, Yun!” pinta Icha. “Aku nggak mau jadi bahan gosip. Aku nggak
sekuat kamu.”
Yuna tersenyum sambil menepuk pundak Icha dan bergegas keluar dari ruang
kerjanya.
Di depan pintu utama kantornya, mobil Yeriko sudah terparkir dengan baik
dan menunggu kedatangan Yuna.
Yuna tersenyum dan langsung masuk ke dalam mobil. “Udah lama nunggu?” tanya
Yuna sambil memasang safety belt ke pinggangnya.
“Baru nyampe,” jawab Yeriko. Ia menjalankan mobilnya perlahan keluar dari
halaman kantor Wijaya Group.
“Oh.”
“Kita makan siang di kantor aja ya! Aku udah nyuruh bibi bikinin bekal buat
kita.”
Yuna menganggukkan kepala. “Oh ya, si Lutfi lagi deket sama Icha. Chandra
lagi deket sama Jheni. Menurut kamu gimana?” tanya Yuna sambil mengeluarkan
kalung berlian dari dalam dompet dan memakainya.
Yeriko menoleh ke arah Yuna. “Tumben dipakai kalungnya?”
Yuna tersenyum kecil. Ia juga memakai cincin turun temurun yang diberikan
Mama Rullyta. “Aku mau ke kantor kamu sebagai Nyonya Ye. Aku nggak mau bikin
kamu malu. Ntar, mereka ngira kalau suamiku beneran pelit sama istrinya.”
Yeriko tertawa kecil mendengar ucapan Yuna. “Kamu ini ada-ada aja. Lebih
baik, kamu pakai terus dan jangan dilepas lagi!” pinta Yeriko.
“Mmh ... tapi, di kantorku aku cuma karyawan biasa. Nggak mungkin setiap hari pakai barang-barang mewah.
Aku takut, ada yang nggak senang.”
“Semua orang di kantor kamu udah tahu kan kalau kamu istriku? Kamu nggak
berpikiran kalau mereka juga bakal mengira aku sebagai suami yang pelit?”
“Hihihi. Iya juga, ya?”
Yeriko tersenyum kecil. “Pakai terus kalung dan cincinnya ya! Kalau kamu
nggak suka, nanti aku carikan yang baru.”
“Eh!? Bukan! Bukan nggak suka. Aku suka banget, kok. Aku cuma takut
dijambret orang aja di jalan.”
“Emangnya kapan kamu berkeliaran di jalanan? Setiap hari aku udah
antar-jemput kamu.”
Yuna tersenyum sambil menatap Yeriko. “Iya, suamiku tersayang!” sahutnya
sambil menyubit pipi Yeriko.
Yeriko tersenyum dan terus melajukan mobilnya menuju kantor.
Sesampainya di kantor Galaxy Group. Semua karyawan tersenyum dan menyapa
Yuna dengan ramah. Yuna juga memberikan senyumannya pada setiap karyawan yang
berpapasan dengan mereka.
“Selamat siang, Nyonya Yeri!” sapa salah seorang karyawan.
“Selamat siang!” sahut Yuna sambil tersenyum dan melambaikan tangan dengan
ramah. Ia bisa merasakan atmosfer yang begitu hangat di dalam kantor Yeriko.
“Istri Bos Ye, bener-bener mengagumkan!” celetuk salah seorang karyawan.
“Iya. Cantik, sederhana, cara berpakaiannya aku suka banget.” Karyawan yang
lain menimpali.
Semua karyawan kantor membicarakan Yuna dan Yeriko.
Yeriko membawa Yuna naik ke ruang kerjanya. “Kalau mau istirahat. Istirahat
aja di dalam!” perintah Yeriko sambil menunjuk pintu kamar yang ada di dalam
ruang kerja Yeriko.
“Mmh ... aku laper. Kita makan dulu, gimana?” Yuna menatap bekal makanan
yang sudah ada di atas meja.
Yeriko menganggukkan kepala. Mereka duduk di salah satu meja rapat dan
menikmati makan siang bersama.
“Tadi pagi Mama telepon. Persiapan pernikahan kita udah sembilan puluh
persen. Dia minta minggu ini kita bisa ambil foto pre-wedding. Tapi, aku masih
ada janji ketemu klien.”
“Nggak papa. Kamu urus dulu kerjaan kamu. Nanti, biar aku ngomong ke Mama.”
“Kalau cuma keluar sebentar, aku masih bisa. Makanya, aku minta Mama
buat nggak ambil foto di luar negeri. Nggak papa, kan?”
Yuna tersenyum kecil. “Nggak papa. Nggak pakai foto pre-wedding juga nggak
masalah.”
“Mama yang minta. Buat undangan.”
“Oh.” Yuna mengangguk-anggukkan kepala. “Mau bikin berapa undangan?”
“Nggak banyak. Seratus atau dua ratus biji aja. Cuma buat temen deket dan
kolega aja.”
“Karyawan perusahaan kamu kan banyak. Mereka nggak diundang?”
Yeriko menggelengkan kepala. “Ntar, bikin acara syukuran di kantor aja.”
“Oke.” Yuna mengangguk-anggukkan kepala.
“Mmh ... hari ini, nggak usah balik ke kantor kamu lagi. Bisa nggak?” tanya
Yeriko.
“Kenapa?”
“Di sini aja. Temenin aku.”
Yuna tersenyum kecil. “Emangnya, nggak ada jadwal meeting?”
Yeriko menggelengkan kepala.
“Mmh ... kalo gitu, gimana kalau kita pergi makan ice cream?”
“Ice cream?”
Yuna menganggukkan
kepala.
“Boleh juga,” tutur Yeriko.
Yuna tersenyum menatap Yeriko. Mereka segera menghabiskan bekal makan siang
dan bergegas keluar dari kantor GG.
Yeriko menuruti
keinginan Yuna dan membawa istrinya tersebut untuk menikmati ice cream di salah
satu kedai ice cream.
“Biar aku yang pesenin ya!” pinta Yuna. “Kamu cari tempat duduk yang enak!”
Yeriko menganggukkan kepala.
Yuna tersenyum, ia melenggang penuh ceria dan ikut berbaris dalam antrian
untuk mendapatkan ice cream.
Beberapa menit kemudian, Yuna menghampiri Yeriko sambil membawa dua mangkuk
ice cream dengan varian rasa dan warna yang berbeda.
Yeriko mengernyitkan dahi saat Yuna menyodorkan ice cream rasa strawberry
ke arahnya. “Nggak kebalik?” Yeriko menatap ice cream rasa cokelat yang
dipegang Yuna.
“Udahlah. Makan aja! Rasa strawberry juga enak, kok.”
Yeriko tak banyak protes. Ia memakan ice cream rasa strawberry yang
diberikan oleh Yuna.
Yuna tersenyum kecil menatap Yeriko. “Gimana? Enak kan?”
Yeriko menganggukkan kepala. “Abis ini kita langsung pulang ya!”
Yuna menganggukkan kepala.
“Oh ya, ntar sore aku mau jalan sama Jheni. Boleh nggak?” tanya Yuna.
“Ke mana?”
“Jalan-jalan aja ke mall. Soalnya, udah lama banget nggak jalan sama dia.”
Yeriko tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia merasa sangat senang jika
istrinya bisa menjalani kehidupan normal seperti wanita pada umumnya. Pergi
jalan-jalan, berbelanja dan makan bersama dengan teman baiknya.
“Makasih!” Yuna tersenyum manja ke arah Yeriko.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan sungkan buat
sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment