“Mmh ... makasih ya! Udah antarin aku sampai rumah,”
tutur Icha sambil duduk di kursi ruang tamunya.
Lutfi menganggukkan kepala. “Kamu beneran tinggal di sini
sendirian?”
Icha menganggukkan kepala.
Lutfi mengedarkan pandangannya. Ruangan berukuran 6x7
meter itu terlihat sangat rapi. Sepasang sofa di ruang tamu dan televisi
menyapanya saat ia baru saja masuk pintu. Di sudut ruangan, ada dapur kecil dan
meja makan kecil yang hanya cukup untuk empat orang.
“Mmh ... kenapa? Rumah aku terlalu sempit ya?” tanya
Icha.
“Nggak. Rumah kamu girly banget,” jawab Lutfi sambil
memerhatikan beberapa hiasan rumah yang lucu dan hampir semua bernuansa merah
jambu.
Icha tersenyum ke arah Lutfi. “Oh ya, Kamu mau minum
apa?” tanyanya sambil bangkit dari sofa.
“Eh!? Nggak usah!” Lutfi langsung menahan lengan Ichs dan
memintanya duduk kembali. “Kamu baru aja keluar dari rumah sakit. Lebih baik
kamh duduk manis di sini. Aku bisa bikin minum sendiri.”
“Mmh ...”
“Kamu udah makan?” tanya Lutfi.
Icha mengangguk.
“Makan siang?”
“Iya.”
“Mmh ... kalo gitu, kamu minum obat dulu dan istirahat
ya!” pinta Lutfi sambil berjalan ke dapur. Mengambilkan segelas air putih untuk
Icha.
Icha tersenyum bahagia melihat Lutfi. Baru pertama
kalinya ada seorang pria tampan yang masuk ke dalam rumahnya. Memberikan begitu
banyak perhatian kepada dirinya.
Lutfi tersenyum saat Icha sudah selesai meminum obatnya.
“Kamu istirahat dulu ya! Aku siapin makanan buat kamu.”
“Eh!?” Icha melongo saat mendengar ucapan Lutfi. “Aku
udah makan.”
“Itu kan makan siang. Sekarang, sudah jam empat sore. Aku
siapin makanan buat kamu makan malam. Kamu pergi istirahatlah!” pinta Lutfi.
“Tapi ...”
“Tangan kamu masih sakit, nggak mungkin bisa masak kan?
Biar aku yang masakin.”
“Mmh ... “ Icha menggigit bibirnya. “Bisa?”
Lutfi mengangguk pasti. “Bisa. Kamu pergi istirahat ke
kamarmu aja!”
Icha menganggukkan kepala. Ia bangkit dari sofa dan
bergegas masuk ke dalam kamar. Perasaannya tidak nyaman, ia takut kalau Lutfi
akan membuat kekacauan di dapurnya.
Lutfi langsung merogoh ponsel begitu Icha masuk ke dalam
kamarnya. Ia mengetik sebuah pesan untuk Yeriko. “Yer, caranya masak gimana?”
tanyanya. Ia menunggu balasan Yeriko selama beberapa saat.
“Masak apa?”
“Buat orang sakit, cocoknya makan apa?”
“Buatkan sup atau bubur aja.”
Lutfi langsung bangkit dari tempat duduk dan bergegas
menghampiri kulkas kecil yang ada di dapur tersebut. Ia menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Terakhir aku masak ... waktu
pendidikan tentara. Aku udah hampir lupa gimana caranya masak,” keluh Lutfi.
Lutfi menarik napas dalam-dalam. “Bismillah ...” Ia
mencoba mengingat bagaimana ia memasak terakhir kalinya.
Sebenarnya, bisa saja Lutfi menyuruh pembantunya yang
memasak dan mengirimkan makanan untuk Icha. Namun kali ini, ia ingin
menunjukkan ketulusan hatinya dengan cara memasakkan hidangan spesial untuk
Icha walau berbekal resep masakan di internet.
Usai memasak seadanya, Lutfi langsung menyusun
semua makanannya di atas meja. Ia kembali duduk di sofa sambil menunggu Icha
keluar dari kamarnya.
Beberapa menit kemudian, Icha keluar dari kamar dalam
keadaan wangi dan segar karena sudah selesai mandi.
“Kamu masih di sini?” tanya Icha saat melihat Lutfi masih
duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.
Lutfi langsung menoleh ke arah Icha dan menganggukkan
kepala. “Aku nggak tega mau ninggalin kamu sendirian. Udah mandi?”
Icha mengangguk sambil tersenyum.
Lutfi tertegun melihat wajah cantik Icha yang tak lagi
mengenakan kacamata. Bibirnya yang merah merona karena kulitnya yang putih
mulus dan mata yang sedikit sipit membuatnya terlihat sangat cantik. Rambut
Icha terurai panjang dan terlihat tak seperti biasanya.
Icha terus tersenyum menanggapi tatapan mata Lutfi yang
tak berkedip. Ia melipat kedua tangan di belakang punggungnya sambil meremas
jemari tangannya sendiri. Perasaan gugup tiba-tiba bergelayut saat Lutfi
bangkit dan melangkah mendekat.
“Cha ...!” panggil Lutfi lirih sambil menatap mata Icha.
“Ya.” Icha tersenyum, ia menundukkan kepala, sama sekali
tak punya keberanian untuk menatap wajah Lutfi.
Lutfi menghela napas. “Masa aku mau nembak dia dalam
keadaan kayak gini? Nggak romantis banget,” batin Lutfi sambil menggaruk
tengkuknya yang tidak gatal.
Icha masih saja menundukkan kepalanya.
“Tangan kamu masih sakit?” tanya Lutfi.
Icha menganggukkan kepala.
Lutfi langsung memejamkan mata. “Pertanyaan apaan ini?
Jelas-jelas dia baru aja keluar dari rumah sakit. Pasti lukanya masih sakit,”
gumamnya dalam
hati. Ia semakin
kesal dengan dirinya sendiri karena terlihat sangat konyol.
“Mmh ... kita makan dulu. Aku udah masakin buat kamu.
Gimana?” tanya Lutfi sambil tersenyum.
Icha menganggukkan kepala.
Lutfi langsung melangkah menuju meja makan, menarik kursi
untuk Icha, kemudian ia duduk berhadapan dengan gadis itu.
“Ini ... beneran kamu yang masak?” tanya Icha saat
melihat beberapa menu yang sudah terhidang di atas meja.
Lutfi menganggukkan kepala. “Aku nggak tahu apakah
rasanya cocok di lidah kamu atau nggak. Aku cuma bisa bikin ini.”
Icha tersenyum menatap Lutfi. “Ternyata, cowok ganteng
juga bisa masak?”
“Eh!? Emangnya kalau ganteng itu nggak bisa masak?”
Icha
tertawa kecil. “Biasanya ... cowok ganteng bisanya cuma mainin cewek.”
Lutfi meringis menatap Icha. “Makan, deh! Cobain masakan
aku!” pinta Lutfi sambil menyendokkan nasi untuk Icha.
Icha menganggukkan kepala sambil tersenyum. Ia mengambil
sayur dan lauk menggunakan tangan kiri. Ia tak terbiasa dan sedikit kesulitan.
Lutfi menatap Icha dan langsung merebut piring milik
Icha. “Sini, aku suapin!”
“Eh!? Nggak usah!” sahut Icha. “Aku harus membiasakan
diri.”
“Aku juga harus membiasakan diri.”
Icha langsung menaikkan kedua alisnya. “Maksudnya?”
“Mmh ...” Lutfi tersenyum ke arah Icha. “Aku ... cuma
pengen membiasakan diriku selalu ada di deket kamu.”
Pipi Icha seketika merona saat mendengar ucapan Lutfi.
Lutfi tersenyum dan menyuapkan sesendok makanan ke mulut
Icha.
Icha mengunyah makanan tersebut perlahan, membuat jantung
Lutfi hampir lepas dari tempatnya karena takut kalau makanan yang ia buat tidak
enak.
“Gimana? Enak, nggak?” tanya Lutfi.
Icha mengangguk sambil tersenyum. “Enak.”
Lutfi menghela napas lega. “Syukur deh, kalo enak. Aku
udah lama banget nggak pernah masak. Terakhir aku masak, waktu masih pendidikan
tamtama bareng Yeriko sama Chandra.”
“Tamtama?” Icha mengernyitkan dahi menatap Lutfi.
Lutfi terdiam selama beberapa saat, kemudian
menganggukkan kepala. “Aku pernah ikut pendidikan TNI.”
“Oh. Jadi, sekarang ini kamu TNI?”
Lutfi menggelengkan kepala.
“Kenapa? Nggak lulus?”
Lutfi menggeleng lagi. “Aku yang bandel. Aku keluar dari
angkatan prajurit TNI karena mau nerusin bisnis orang tua aku.”
“Oh ya? Bisnis apa?”
“Villa sama hotel.”
“Wah ... berarti kamu punya banyak villa sama hotel?”
Lutfi menggelengkan kepala. “Nggak juga. Aku cuma punya
satu hotel di Jakarta dan beberapa villa di Pulau Jawa sampai Nusa Tenggara.
Rencananya, aku mau bikin villa di daerah Kalimantan. Masih cek lokasi.”
“Kalimantan?” Icha mengernyitkan dahinya. “Bukan karena
orang tua aku tinggal di Kalimantan, kan?” batinnya dalam hati.
Lutfi menganggukkan kepala. “Aku udah survei beberapa
tempat sejak setahun yang lalu. Eh, kamu kan orang Kalimantan. Kira-kira,
tempat yang cocok buat bikin villa di sana di mana ya?”
Icha menggelengkan kepala. “Aku nggak paham soal begituan.”
“Mmh ... kalau Pulau Derawan. Menurut kamu gimana?”
Icha menggeleng lagi. “Aku yang orang Kalimantan aja belum pernah ke sana.
Jadi, nggak tahu.”
Lutfi tersenyum kecil sambil menatap Icha. “Ya sudah. Habiskan makannya!”
pinta Lutfi.
Icha menganggukkan kepala.
Lutfi mengajak Icha untuk membicarakan hal yang bisa dimengerti oleh Icha.
Membicarakan tentang teman-teman sepergaulan dan keluarga mereka. Semakin lama,
Icha terlihat lebih santai dan tak canggung lagi saat berhadapan dengan Lutfi.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan sungkan buat
sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment