“Cha, kamu nggak papa?” tanya Lutfi saat ia tiba di rumah
sakit dan mendapati Icha sedang duduk di kursi ruang tunggu bersama Yuna. Ia
terlihat sangat khawatir dan langsung memeriksa semua tubuh Icha.
“Nggak papa. Cuma luka sedikit,” jawab Icha sambil
melihat tangannya yang sudah dibalut perban.
Yuna dan Yeriko saling pandang saat melihat reaksi Lutfi
yang khawatir berlebihan.
“Kenapa kamu bisa luka kayak gini?” tanya Lutfi. “Di
kantor kamu itu ada preman? Kenapa ada karyawan bar-bar yang dipekerjakan di
sana? Bener-bener nggak punya perasaan. Bisa-bisanya kamu berantem sampai luka
kayak gini? Emangnya berantem gara-gara apa sih?” cerocos Lutfi.
Icha hanya meringis sambil menatap Yuna. Ia merasa, kali
ini Lutfi jauh lebih cerewet dari Yuna. Otaknya tidak bisa mencerna setiap
pertanyaan yang keluar dari mulut Lutfi.
Yuna menahan tawa melihat sikap Lutfi. “Ternyata, ada
juga lebih bawel dari aku,” celetuknya.
“Eh!?” Lutfi langsung menoleh ke arah Yuna.
“Dia baru aja dapet perawatan dokter. Kalau kamu kasih
pertanyaan sebanyak itu, bukan cuma tangannya yang sakit. Semua badannya jadi
sakit semua,” tutur Yuna.
Lutfi langsung berjongkok di hadapan Icha. “Kamu nggak
papa?” tanyanya lembut.
Icha tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Lutfi tersenyum kecil. Ia meraih jemari tangan Icha.
“Lain kali, harus lebih hati-hati.”
Icha menganggukkan kepala.
“Gimana ceritanya bisa berantem?” tanya Lutfi lembut.
“Gara-gara aku,” sahut Yuna.
Lutfi langsung menoleh ke arah Yuna.
“Aku yang berantem sama Bellina duluan. Icha belain aku
dan berantem sama sekretarisnya Bellina. Si Linda dorong aku sampai jatuh.
Harusnya, aku yang luka kalau bukan Icha yang melindungi aku,” tutur Yuna
sambil menundukkan kepalanya.
Icha menatap Yuna. “Yun, kamu nggak perlu menyalahkan
diri kamu sendiri. Sebagai teman, aku nggak mungkin ngebiarin temanku ditindas
sama orang lain kan?”
Yuna tersenyum menatap Icha. “Makasih, ya! Kamu emang
temen yang paling baik.” Ia langsung merangkul tubuh Icha.
Lutfi dan Yeriko tersenyum menyaksikan pertemanan Yuna
dan Icha yang begitu hangat.
“Mmh ... aku mau nebus obat ke apotek dulu. Kalian tunggu
di sini ya!” Yuna bangkit dari tempat duduknya.
“Aku temenin.” Yeriko langsung merangkul pinggang Yuna
dan menemani istrinya menebus obat di apotek.
“Mmh ... menurut kamu, Lutfi sama Icha cocok nggak?”
tanya Yuna sambil melangkahkan kakinya bersama Yeriko.
“Hmm ... cocok.”
“Iih ... serius!” pinta Yuna sambil menepuk lengan
Yeriko.
“Iya, serius.”
“Hehehe. Kayaknya ... mereka ada something, deh. Aku
mencium aroma-aroma cinta di antara mereka,” tutur Yuna sambil tersenyum
bahagia.
“Sok tahu!” Yeriko langsung mengetuk dahi Yuna.
Yuna memonyongkan bibir sambil mengelus dahinya. “Kamu
nggak lihat, tadi si Lutfi perhatian banget ke Icha?”
“Dia begitu ke semua orang.”
“Termasuk temen cewek juga? Emangnya, nggak ada seseorang
yang spesial di hatinya?”
Yeriko mengedikkan bahunya. Ia merangkul Yuna dan
mengajaknya melangkah kembali menuju apotek. “Daripada sibuk ngomongin orang
lain. Lebih baik kita nebus obat secepatnya.”
Yuna menganggukkan kepala. Mereka bergegas menukar resep
ke apotek.
“Ma, gimana dong kalau dia tahu aku nggak hamil beneran?”
Yuna membelalakkan mata saat mendengar suara wanita yang
sudah tak asing lagi di telinganya. Ia memutar kepalanya perlahan dan melirik
ke arah sumber suara yang ada di belakangnya.
“Kenapa?” tanya Yeriko.
“Sst ...!” Yuna menundukkan kepala. “Jangan noleh ke
belakang!” bisik Yuna.
Yeriko bergeming dan menuruti ucapan Yuna.
“Sayang, kamu tenang aja! Kamu harus lebih pintar
mendekati dia dan bisa dapetin anak dari dia. Cuma dengan cara ini, dia bakal
menikahi kamu secepatnya dan kita bisa kuasai hartanya dia.”
“Iya, Ma. Aku bakal bikin dia percaya sama aku. Tapi ...
usia kehamilan nggak mungkin bisa aku sembunyikan.”
“Tenang aja! Mama bakal mengusahakan semuanya aman dan
terkendali!”
Yuna mendengarkan dengan serius pembicaraan dua orang
yang melintas di belakangnya. Semakin lama, pembicaraan mereka semakin
jauh dan tidak terdengar lagi.
Yuna langsung menghela napas lega.
“Mbak, ini obatnya!” Apoteker menyodorkan obat kepada
Yuna.
“Makasih. Berapa?” tanya Yuna sambil melihat angka yang
tertera di atas kwitansi. Ia langsung mengeluarkan beberapa uang dari
dompetnya.
“Ayo!” Yuna mengajak Yeriko kembali menemui Lutfi dan
Icha.
“Mmh ... kamu tadi denger pembicaraan Bellina sama tante
aku?” tanya Yuna sambil menoleh ke arah Yeriko.
Yeriko menganggukkan kepala.
Yuna menghela napas. “Mereka bener-bener ngelakuin segala
cara buat dapetin harta Lian. Menurut kamu, apa aku harus ngasih tahu Lian soal
ini?”
Yeriko tersenyum kecil. “Aku rasa, itu urusan pribadi
mereka. Lebih baik kita nggak ikut campur.”
“Tapi ... Bellina bener-bener cuma mau hartanya Lian
doang. Kasihan juga keluarga Lian kalau sampai ...”
Yeriko menghentikan langkahnya, ia memutar tubuh
menghadap ke arah Yuna. “Kamu masih peduli sama dia?”
“Eh!?” Yuna langsung menengadahkan kepalanya menatap
Yeriko. “Bukan!” Ia melambaikan tangannya ke hadapan Yeriko. “Bukan gitu maksud
aku! Aku cuma nggak bisa lihat orang lain jadi korban kelicikan dan kejahatan
sepupuku. Aku ...”
Yeriko tak menghiraukan ucapan Yuna dan langsung
melangkah pergi.
Yuna melongo saat melihat Yeriko tiba-tiba
meninggalkannya begitu saja. “Ngambek lagi? Euuuh ...!” Yuna memukul dahinya
sendiri dan langsung berlari kecil mengikuti langkah Yeriko.
“Cha, ini obat kamu!” Yuna tersenyum sambil menyodorkan
kantong obat ke hadapan Icha.
“Makasih ya, Yun! Jadi ngerepotin kamu.”
“Sudah jadi tanggung jawabku, Cha. Harusnya aku yang
makasih karena kamu sudah nolongin aku,” sahut Yuna. Ia tersenyum manis ke arah
Icha.
“Oh ya, kamu antar Icha pulang ya! Biar dia bisa
istirahat,” pinta Yuna sambil menatap Lutfi.
Lutfi menganggukkan kepala, ia terlihat sangat gembira
karena bisa berdekatan dengan wanita yang ia sukai.
“Yer, pinjam mobilnya!” pinta Lutfi sambil menengadahkan
tangannya ke hadapan Yeriko.
Yeriko tersenyum kecil. Ia merogoh saku celana dan
memberikan kunci mobilnya kepada Lutfi.
“Mobil kamu ke mana?” tanya Yuna.
“Di kantornya dia. Ntar, kamu bawa mobilku balik ya!”
Lutfi memainkan kedua alis sambil melemparkan kunci mobil miliknya ke hadapan
Yeriko.
Yuna mengerutkan kening sambil memandang Lutfi dan
Yeriko. “Kenapa tadi nggak bawa mobil sendiri ke sini? Kita baliknya gimana?”
“Hehehe. Tadi tuh udah panik. Kakak Ipar kayak nggak
pernah panik aja. Aku nggak kepikiran bawa mobil sendiri. Langsung ikut masuk
aja ke mobil Yeriko.”
Icha menahan tawa mendengar ucapan Lutfi.
“Kalian bisa naik taksi buat ambil mobilku atau nyuruh
supir kantor antarkan ke sini,” tutur Lutfi sambil memainkan kedua alis dan
tersenyum manis.
“Kamu ini, bener-bener ngerepotin!” dengus Yuna.
Lutfi tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya yang tidak
gatal. “ Ya udah, kalo gitu ... gimana kalau kita pulang barengan aja?”
Yuna menggelengkan kepala. “Aku masih mau lihat ayah
dulu.”
“Oh.” Lutfi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kalo gitu,
kami pulang dulu!” pamitnya sambil membantu Icha untuk bangkit dan memapahnya.
“Aku bisa jalan sendiri,” tutur Icha. “Yang luka
tanganku, bukan kakiku.”
Lutfi meringis ke arah Icha dan langsung melepaskan
tangannya dari lengan Icha. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian
menghembuskannya perlahan. “Deketin cewek baik emang susah ya? Megang tangannya
aja jadi masalah,” batin Lutfi dalam hati.
Lutfi tersenyum ke arah icha dan bergegas mengantarkan
Icha pulang.
Yeriko tersenyum kecil dan ikut melangkahkan kakinya.
“Beruang!” panggil Yuna. Ia berlari kecil mengimbangi
langkah Yeriko dan langsung merangkul lengan suaminya. “Kamu marah?” tanyanya
sambil menatap wajah Yeriko.
Wajah Yeriko masih saja datar dan membuat Yuna sangat
canggung. Ia langsung menghadang langkah Yeriko.
“Beruang
... eh!? Sayangku ... My honey bunny sweety! Jangan marah ya!” pinta Yuna sambil
memainkan kedua matanya.
Yeriko menatap tajam ke arah Yuna selama beberapa saat.
“Kamu masih peduli sama mantan kamu. Gimana aku nggak marah?”
Yuna memonyongkan bibirnya. “Seandainya dia bukan mantan
aku. Aku tetep peduli sama dia sebagai teman. Aku nggak tega lihat ...” Yuna
langsung menghentikan ucapannya saat Yeriko merengkuh tubuhnya.
“Ayo, kita lihat ayah kamu!” bisik Yeriko.
Yuna menganggukkan kepala. Mereka berjalan menyusuri
koridor rumah sakit sambil bergandengan tangan dengan mesra.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan sungkan buat
sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment