Yuna terus memerhatikan Icha yang bertingkah tak biasa.
Sejak pagi, Icha lebih banyak memainkan ponselnya dan wajahnya terlihat sangat
bahagia.
Saat jam makan siang, Icha masih saja sibuk dengan
ponselnya dan makan lebih lambat dari biasanya. Yuna dan Juan saling pandang
penuh tanya sambil memerhatikan Icha yang terus tersenyum sambil menatap layar
ponselnya.
“Cha, kamu chatting sama siapa sih?” Akhirnya Yuna
mengungkapkan rasa penasaran yang ia pendam sejak pagi.
“Eh!?” Icha langsung mengangkat wajahnya menatap Yuna.
“Chatting sama temen.”
“Siapa?” tanya Yuna penasaran.
Icha hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Yuna.
“Hawa-hawanya, ada yang lagi jatuh cinta nih,” celetuk
Juan. Ia tersenyum kecil sambil melanjutkan makan siangnya bersama Yuna dan
Icha.
“Sok tahu!” dengus Icha.
“Kalau bukan lagi jatuh cinta, ngapain senyum-senyum
terus lihat hp? Gila?” sahut Juan.
Yuna menghela napas sambil menatap Icha. “Apa aku ini
kayak temen yang nggak bisa jaga rahasia? Sampai-sampai, kamu nggak mau cerita
kalau lagi deket sama seseorang?”
“Mmh ...” Icha menggigit bibir sambil melirik Juan yang
ada di sampingnya. “Bukan gitu, Yun. Aku cuma ...”
Yuna mengangkat kedua alisnya, menunggu Icha melanjutkan
kalimatnya.
Icha menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya
perlahan. “Aku ... mmh ...” Icha kembali menggigit bibirnya.
“Cha, jangan bikin aku penasaran!” seru Yuna kesal sambil
memukul meja di depannya karena tak sabar menunggu kalimat yang keluar dari
mulut Icha.
Juan menahan tawa melihat Yuna yang mulai kesal karena
sikap Icha. Ia merogoh ponselnya yang tiba-tiba berdering. “Halo ...! Iya. Iya,
Pak. Saya ke sana sekarang!”
Juan mematikan panggilan telepon dan langsung berpamitan
untuk pergi terlebih dahulu.
“Eh, buruan kasih tahu aku!” sentak Yuna sambil menatap
Icha yang memerhatikan kepergian Juan.
“Iya.”
Yuna memonyongkan bibirnya. Walau mengatakan iya, namun
Icha tak segera bercerita. Ia malah asyil membalas chat sambil menikmati makan
siangnya.
“Icha!” seru Yuna sambil merebut ponsel Icha.
“Iih ... Yuna!” Icha berusaha merebut kembali ponselnya
dari tangan Yuna.
Yuna berusaha mempertahankan ponsel yang ada di
tangannya. Mengangkatnya tinggi sambil membaca pesan yang masuk ke ponsel Icha.
“Nah, kan... chattingnya mesra banget. Ini siapa? Udah
punya pacar baru tapi nggak cerita-cerita,” tutur Yuna.
Wajah Icha langsung memerah saat Yuna mengetahui isi
pesan yang masuk ke ponselnya. “Aku belum jadian sama dia. Baru deket aja.”
“Belum? Berarti ... sebentar lagi bakal jadian?” tanya
Yuna antusias.
“Mmh ... aku nggak tahu.”
“Kenapa?”
“Dia itu lucu, asyik, hangat dan penyayang. Tapi ... dia
nggak pernah bilang suka sama aku sih. Nggak mungkin kan kalau aku yang bilang
suka duluan?”
Yuna tersenyum menggoda. “Ah, siapa sih cowok yang udah
berhasil menarik perhatian Icha? Pasti bukan cowok sembarangan kan?”
Icha tersipu mendengar pertanyaan Yuna. “Kamu kenal,
kok.”
“Hah!? Serius? Siapa?” tanya Yuna.
“Mmh ...” Icha menggigit bibirnya. “Tapi, kamu jangan
teriak kalau aku kasih tahu orangnya,” pinta Icha berbisik.
Yuna menganggukkan kepala.
“Sini!” Icha meminta Yuna mendekatkan telinganya.
Yuna langsung menyodorkan telinganya ke wajah Icha.
“Cowok itu ... namanya Lutfi,” bisik Icha.
Yuna langsung membelalakkan mata dan tersenyum lebar.
“Serius?” tanyanya sambil menatap wajah Icha.
Icha mengangguk sambil tersenyum.
“Lutfi Ananda Putra? Sahabatnya Yeriko?” tanya Yuna lagi.
Icha menganggukkan kepala.
“Aaargh ...! Aku nggak nyangka kalau dia bisa ...” teriak
Yuna sambil melompat kegirangan.
“Yuna ...!” Icha membungkam mulut Yuna dan menenangkannya
agar tidak bereaksi berlebihan.
“Uups! Sorry!” Yuna langsung duduk kembali. “Aku terlalu
bahagia dengernya.”
“Aku kan udah minta kamu buat nggak teriak, Yun!” pinta
Icha berbisik.
“Aku khilaf!” sahut Yuna terkekeh. “Eh, ceritain dong!
Gimana kalian bisa kenal dan deket!” pinta Yuna.
Icha tersenyum dan menceritakan bagaimana pertemuan
pertama kalinya dengan Lutfi.
Yuna terus tertawa mendengar cerita yang keluar dari
mulut Icha.
“Eh, ngomong-ngomong ... kenapa ya kita selalu ketemu
jodoh di saat yang nggak baik?” tanya Yuna sambil tertawa kecil.
“Maksud kamu?”
“Waktu pertama kali aku ketemu Yeriko, aku bener-bener
lagi dalam keadaan yang payah. Udah kayak gelandangan di pinggir jalan. Waktu
itu ... aku juga lagi nangis gara-gara putus sama Lian dan kehujanan. Udah
kayak tikus kehujanan. Aku sendiri, malu banget kalau ingat waktu itu. Nggak
tahu penampilanku saat itu gimana? Pasti, jelek banget.”
Icha ikut tertawa mendengar cerita yang keluar dari mulut
Yuna.
“Ternyata ... keadaan kamu lebih parah dari aku.”
Yuna tergelak. Mereka akhirnya terus bercerita tentang
pertemuan pertama kali dengan pria yang akhirnya membuat mereka jatuh cinta.
“Eh, kapan-kapan kita makan bareng yuk!” ajak Yuna.
“Kita? Kita berdua?” tanya Icha.
Yuna tergelak mendengar pertanyaan Icha. “Berempat lah.
Masa berdua. Aku bareng Yeriko. Kamu bareng Lutfi. Gimana?”
“Mmh ... tapi, aku tuh belum jadian sama Lutfi. Aku malu,
Yun.”
“Hmm ... tenang aja! Biar aku yang atur semuanya.
Gimana?”
“Serius?” tanya Icha dengan mata berbinar.
Yuna mengangguk pasti.
“Ehem ...!” Bellina tiba-tiba sudah berdiri di samping
meja Yuna.
Yuna menarik napas dalam-dalam. Setiap kali Bellina
menghampirinya, artinya ia harus menyiapkan banyak energi untuk bertengkar
melawan kakak sepupunya itu.
“Pengkhianat perusahaan ini, masih punya muka buat nongol
di sini?” celetuk Bellina.
Yuna pura-pura tidak mendengar ucapan Bellina.
“Cha, katanya di deket sini ada rumah makan yang baru
buka ya? Kamu udah cobain ke sana?” tanya
Yuna sambil menatap Icha.
“Katanya sih. Aku sendiri juga belum pernah ke sana,”
jawab Icha. Ia sangat mengerti kalau Yuna tidak ingin meladeni Bellina yang
seringkali membuat onar.
“Besok kita makan siang di sana ya!” ajak Yuna. “Aku yang
traktir.”
“Beneran mau traktir?” tanya Icha.
Yuna mengangguk sambil tersenyum.
“Nggak usah sok kaya! Main traktir-traktir segala,” sahut
Bellina. “Kalau emang kamu beneran istrinya pemilik GG. Kenapa malah milih
kerja di sini?”
“Duh, Cha. Kok, aku kayak denger ada orang yang ngatain
aku sok kaya ya? Apa dia nggak tahu kalau aku emang beneran kaya?” tutur Yuna
sambil menatap Icha dan melirik sinis ke arah Bellina.
Bellina makin kesal dengan ucapan yang keluar dari mulut
Yuna. “Heh!? Kamu sengaja nyuekin aku!” sentaknya sambil memukul meja.
Yuna kembali menarik napas sambil memejamkan mata. Ia
berusaha untuk menahan diri, namun setiap kali Bellina muncul, selalu saja
membuat emosinya memuncak.
“Dicuekin salah, ngeladeni apalagi,” celetuk Yuna dalam
hati.
“Kamu masuk perusahaan ini cuma mau jadi mata-mata GG
kan? Semua proyek yang kamu pegang, selalu aja bermasalah,” tutur Bellina.
“Kamu jangan nuduh tanpa bukti ya! Masalah proyek, aku
sudah nyelesaikan dengan baik. Kalau aku mau ngancurin perusahaan ini. Aku
nggak perlu jadi mata-mata GG. Aku bisa nyuruh suamiku ambil alih perusahaan
ini tanpa harus ngotor-ngotorin tanganku!” sahut Yuna kesal.
“Alesan!” sahut Bellina sambil mendorong pundak Yuna.
“Semua orang juga tahu kalau kamu istrinya Yeriko. Buat apa kerja di perusahaan
lain kalau suami kamu aja sudah punya perusahaan sendiri?”
“Bel, kamu nggak capek ya ngungkit ini mulu? Aku udah
capek ngeladenin omonganmu,” sahut Yuna.
“Aku nggak akan pernah capek sebelum aku berhasil
ngedepak kamu dari hidup Lian,” bisik Bellina geram.
Yuna tersenyum kecil. “Oh ... ternyata, kamu masih takut
kehilangan Lian? Kalau emang kamu punya kemampuan, seharusnya kamu bisa bikin
tunangan kamu itu makin lengket sama kamu. Bukannya malah ngelirik perempuan
lain!” sahut Yuna geram.
“Kamu!?” Bellina menunjuk wajah Yuna kesal. Ia tidak bisa
melawan kalimat yang keluar dari mulut Yuna. Senyuman yang tersungging dari
bibir Yuna, membuat kebenciannya terhadap Yuna semakin bertambah.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment