“Loh? Loh? Mbak, kenapa nangis?” tanya Lutfi panik. Ia
malah kebingungan saat mendapati Icha semakin terisak.
“Aku udah dorong motor hampir dua kilo dari sana dan
nggak ada bengkel yang buka. Ban motorku bocor, rumahku masih jauh, handphone
aku mati. Hiks ... hiks ... sial banget hidupku,” cerocos Icha. Ia berlutut dan
menangis tersedu-sedu.
Lutfi ikut berjongkok di depan Icha. “Nggak usah nangis!
Aku antar kamu pulang. Gimana?” tanya Lutfi lembut.
Icha menatap wajah Lutfi, ia mengusap air mata yang
membasahi pipinya. “Terus, motor aku gimana?” tanya Icha.
Lutfi tersenyum ke arah Icha. “Aku bisa telepon temenku
yang punya bengkel buat ambil motor kamu.”
“Ya udah, teleponin dulu!” pinta Icha.
Lutfi menganggukkan kepala. “Sekarang, aku antar kamu
pulang.”
“Teleponin dulu orang bengkelnya!” pinta Icha. “Kalau
motor aku diambil begal gimana? Masa mau ditinggal?”
Lutfi tersenyum kecil melihat wajah Icha. Ia merasa gadis
di depannya itu sangat lucu. “Iya,” sahut Lutfi. Ia langsung merogoh ponsel
dari sakunya dan menelepon salah satu teman pemilik bengkel.
“Udah aku telepon. Sekarang, aku antar kamu pulang,”
tutur Lutfi sambil menggenggam pundak Icha dan mengajaknya bangkit.
“Tunggu dia dateng ambil motorku!” pinta Icha. “Masa
motor aku mau ditinggal gitu aja?”
Lutfi tersenyum hangat sambil menatap gadis di hadapannya
itu. Ia tertegun beberapa saat ketika tatapannya jatuh tepat di manik mata
Icha. Jantungnya tiba-tiba berdebar dan ia merasa ada sesuatu yang aneh
menyelimuti dirinya.
“Hei ... kenapa malah ngelamun?” tanya Icha sambil
melambaikan telapak tangannya di depan wajah Lutfi.
“Eh!?” Lutfi gelagapan saat ia tersadar dari lamunannya.
“Masuk mobilku dulu ya! Di luar dingin,” pinta Lutfi.
Icha menganggukkan kepala, ia kembali memakai kacamatanya
dan melangkah mengikuti Lutfi.
Lutfi membukakan pintu mobilnya agar Icha bisa menunggu
di dalam mobil. Ia menutup pintu kembali dan bersandar di mobilnya sambil
menunggu temannya datang.
Beberapa menit kemudian, teman Lutfi pemilik bengkel
datang.
“Lama banget sih?” celetuk Lutfi.
“Aku wes neng dalan muleh, Le. Lek dudu kowe sing
telepon. Aku males rene.”
Lutfi tertawa kecil. “Makasih, Pakde!”
“Iki motore sopo? Cewekmu tah?”
Lutfi hanya tersenyum kecil. “Ya udah, aku pulang dulu,
Pakde. Aku titip motornya ya!”
“Iyo.”
Lutfi melangkah memasuki mobil dan bergegas menyalakan
mesin mobilnya.
“Rumah kamu di mana?” tanya Lutfi. “Pakai Safety Belt!”
pintanya saat melihat Icha belum mengenakan safety belt.
Icha langsung memasang safety belt ke pinggangnya.
“Kenapa jam segini masih di luar?” tanya Lutfi.
“Kerja lembur,” jawab Icha.
“Oh. Kerja di mana?”
“Wijaya Group.”
“Oh ya? Aku punya temen yang kerja di sana juga. Mmh ...
istrinya temenku sih. Namanya Fristi Ayuna, kamu kenal nggak?”
“Eh!?” Icha langsung menoleh ke arah Lutfi. “Yuna? Dia
satu departemen sama aku?”
“Oh ya? Kebetulan banget.”
“Kebetulan apanya?”
“Yah ... ada orang yang sama-sama kita kenal. Kamu, udah
lama kerja di sana?”
Icha menggelengkan kepala. “Aku masih magang, sama kayak
Yuna.”
“Oh ...” Lutfi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Oh ya,
rumah kamu di mana?”
“Di Oro-Oro.”
“Oke. Udah makan?” tanya Lutfi.
“Udah,” jawab Icha. Ia membenarkan posisi kacamatanya.
“Kenapa ini cowok baik banget sih? Jangan-jangan ... dia punya niat jahat,”
batin Icha. Keringat dingin mulai keluar dari tubuhnya.
“Oh ya, nama kamu siapa?” tanya Lutfi.
“Allysa, panggil Icha aja.”
“Oh, Icha. Namaku Lutfi.”
Icha berusaha tersenyum walau ia sangat ketakutan berada
di dalam mobil bersama pria asing.
“Oh ya, aku lapar. Aku mau beli sate dulu. Kamu mau?”
tanya Lutfi sambil menoleh ke arah Icha.
Icha menggelengkan kepala. “Aku udah kenyang.”
KERUCUK ... KERUCUK ...!
Icha langsung memegangi perutnya yang berbunyi. “Duh, ini
perut kenapa nggak bisa diajak kompromi?” batinnya kesal. Ia meringis ke arah
Lutfi yang tersenyum menatapnya.
“Kita mampir makan dulu!” Lutfi langsung menepikan
mobilnya di pinggir jalan. Tempat salah satu pedagang sate biasa mangkal. Ia
langsung keluar dari mobil dan menghampiri penjual sate tersebut.
“Eh, Mas Lutfi. Lama nggak kelihatan,” sapa penjual sate
itu saat Lutfi menghampiri rombong jualannya.
“Iya, Paklek. Agak sibuk. Satenya empat puluh tusuk ya!”
pinta Lutfi.
“Oke. Silakan duduk, Mas!” perintah penjual sate sambil
memberikan kursi plastik pada Lutfi.
Lutfi menoleh ke arah mobilnya. Ia langsung melangkah
menghampiri mobil karena Icha tak kunjung keluar dari mobilnya.
“Nggak mau makan?” tanya Lutfi sambil membuka pintu mobil
dan menatap Icha yang masih bergeming di tempatnya.
Icha meringis ke arah Lutfi. “Aku ...”
“Ayo! Sate di sini enak banget, loh. Ntar kamu nyesel
kalo nggak mau cobain.”
“Mmh ...”
Lutfi mengernyitkan dahi menatap Icha. “Hei, kamu kenapa?
Gugup gitu? Nervous ya ketemu sama cowok ganteng?” tanyanya sambil memainkan
kedua alis.
Icha tersenyum kecut menatap Lutfi. “Kita baru aja kenal.
Kenapa kamu baik banget sama aku? Apa kamu kayak gini juga sama semua orang?”
Lutfi menganggukkan kepala.
“Bukan karena ada niat jahat kan?” tanya Icha.
Lutfi tergelak. “Emangnya, cowok ganteng kayak aku ini
... kelihatan kayak penjahat? Kamu itu temennya Yuna. Yuna itu sudah kayak
kakak iparku sendiri. Temen dia, temenku juga. Aku nggak mungkin macem-macem.
Pikiranmu terlalu jauh,” tutur Lutfi sambil mengusap ujung kepala Icha.
Icha tertegun menatap Lutfi yang tersenyum di hadapannya.
Jantungnya berdebar dan ia kesulitan menelan ludah saat mendapati perlakuan
Lutfi yang begitu hangat.
“Ayo, turun!” pinta Lutfi.
Icha tersenyum. Ia mengangguk dan melepas safety
belt-nya.
Lutfi merasa sangat senang karena Icha mau turun dari
mobil dan menemaninya makan sate.
“Paklek, minta kursi satu lagi!”
Penjual sate tersebut mengangguk dan langsung memberikan
kursi plastik kepada Lutfi. “Wah, baru kali ini Paklek lihat Mas Lutfi makan di
sini bareng cewek. Pacarnya ya?”
“Ah, Paklek bisa aja. Kebetulan aja, Paklek. Cuma temen,
kok.”
“Oh.” Penjual sate tersebut manggut-manggut sambil
tersenyum.
“Cha, apa kamu sering lembur sampai malam kayak gini?”
tanya Lutfi.
“Jarang. Karena ada proyek yang harus cepet dikelarin.
Jadi, mau nggak mau harus lembur.”
“Sendirian di kantor?”
Icha menggelengkan kepala. “Bareng temen satu tim.”
“Yuna juga ikut lembur?”
Icha menggelengkan kepala.
“Bukannya kalian satu departemen?”
Icha mengangguk. “Tapi, dia nggak ikutan pegang proyek
yang lagi aku kerjain.”
“Oh ya?” Lutfi mengangguk-anggukkan kepala.
“Kamu ... udah lama kenal sama Yuna?” tanya Icha.
“Kenal dia ... sejak dia nikah sama Yeriko.”
“Oh ya? Jadi, kamu tahu banget gimana hubungan Yuna dan
Yeriko? Mereka itu ... pasangan yang serasi dan romantis banget.”
“Kamu tahu dari mana?”
“Dari Yuna. Yeriko perhatian banget sama istrinya. Setiap
saat selalu ngirim pesan dan telepon buat nanyain keadaan dan pekerjaan Yuna.
Padahal, Yeriko itu kan orang kaya, bukan nyuruh istrinya berhenti kerja, tapi
malah selalu ngasih semangat setiap hari. Bener-bener jadi booster buat
istrinya. Pantas aja, setiap hari si Yuna selalu semangat,” jelas Icha.
“Apa semua cewek suka sama cowok yang ngasih semangat?”
tanya Lutfi.
Icha mengangguk pasti. “Aku rasa, cowok juga gitu.”
“Mmh ... iya juga, sih. Kamu ... udah punya pacar?”
Icha menggelengkan kepala. “Belum kepikiran punya
pacar. Masih mau fokus ke karir dulu.”
“Oh ya? Bagus.” Lutfi manggut-manggut sambil menikmati
sate yang sudah ada di tangannya. Ia mulai menanyakan banyak hal kepada Icha.
Mereka mulai berbincang. Sifat Lutfi yang ceria, membuat
Icha terus tertawa. Semua pikiran buruk tentang Lutfi sebelumnya menghilang
begitu saja. Ia merasa, Lutfi adalah pria yang sangat hangat dan penyayang. Setiap tatapan matanya, membuat jantung Icha
terus berdebar.
Usai makan, Lutfi langsung mengantar Icha pulang ke
rumah.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment