“Kalian
ini benar-benar memalukan!” sentak Lian di hadapan Lili dan Sofi.
“Maaf,
Pak! Kami cuma mengikuti perintah saja.”
“Siapa
yang merintahin kamu buat nyuri? Aku sama sekali nggak tahu kalau anting-anting
ini hasil curian.”
“Bel,
kamu tega banget sama kita? Bukannya kamu yang nyuruh kita buat ngasih
pelajaran ke Yuna?”
“Tapi,
aku nggak nyuruh kalian mencuri juga!” seru Bellina.
“Kalian
berdua aku pecat! Jangan pernah muncul di hadapan aku lagi!” tegas Lian.
“Apa!?”
Lili dan Sofi saling pandang. Mereka terus berlutut meminta maaf pada Lian.
“Pak,
tolong jangan pecat kami!” Sofi memohon sambil meneteskan air mata.
Lian
tidak menghiraukan ucapan Lili dan Sofi. “Perbuatan kalian sudah keterlaluan!
Saya nggak bisa ngasih kalian toleransi lagi!”
“Tapi,
Pak ... kami benar-benar nggak berniat mencuri anting-anting itu.”
Lian
tidak mendengarkan ucapan Lili. “Eh, Banci!” sentak Lian sambil menatap Sari
yang masih terduduk di lantai.
“Iya,
Pak!”
“Ngapain
kamu masih di sini?”
“Tapi,
Pak ...”
“Nggak
ada tapi-tapian! Aku nggak mau lihat muka kamu lagi!” sentak Lian.
Sari
langsung bangkit dan berlari keluar ruangan begitu mendapati tatapan tajam dari
mata Lian.
Lian
menarik napas dalam-dalam. Ia memijat keningnya yang berdenyut. “Ya Tuhan, mau
ditaruh di mana mukaku? Kelakuan kalian bener-bener bikin malu perusahaan!”
serunya.
“Sabar,
Sayang ...”
“Diam
kamu!” sentak Lian sambil menoleh ke arah Bellina. “Semuanya juga gara-gara
kamu. Bisa nggak kamu berhenti cari masalah sama Yuna?”
“Aku
cuma mau balas dendam aja ke mereka karena mereka itu sombong banget dan selalu
mempermalukan kita,” jawab Bellina.
“Apa
hasilnya? Yang ada, mereka terus yang mempermalukan kita!” sentak Lian lagi.
“Kamu
kenapa sih malah belain Yuna terus?”
“Karena
kamu yang salah, Bel. Kamu sadar nggak sih sama kesalahan kamu sendiri?”
Bellina
tertunduk dan mulai terisak. “Aku tahu, aku salah. Tapi, aku bener-bener nggak
pernah nyuruh mereka buat mencuri. Aku cuma nyuruh mereka ngasih pelajaran ke
Yuna. Itu aja!”
“Kamu
lihat hasilnya gimana? Bikin malu!” sentak Lian sambil berlalu pergi
meninggalkan ruang rias.
Bellina
sangat kesal dengan sikap Lian. “Kalian berdua, kenapa sih harus bilang ke
semuanya kalau aku yang nyuruh!” sentak Bellina sambil menatap Lili dan Sofi.
“Karena
kita nggak mau disalahin sendirian, Bel. Apalagi harus gantiin anting-anting
yang harganya mahal itu.”
“Goblok!
Aku bisa kasih kalian uang kalau cuma segitu!” sentak Bellina.
“Tapi,
Bel. Tolong kami! Kami nggak mau dipecat,” pinta Sofi.
“Aku
nggak bisa nolong kalian kalau keadaannya udah kayak gini!”
“Bel
...! Please!” Sofi langsung memeluk kaki Bellina dan memohon agar mereka tidak
diberhentikan dari perusahaan.
Bellina
sangat kesal karena Lili dan Sofi telah membuat Lian membencinya. Ia merasa
risih dengan Sofi yang bergelayut di kakinya. Bellina langsung menendang Sofi
hingga tersungkur ke lantai.
“Sof,
kamu nggak papa?” tanya Lili sambil meraih pundak Sofi. “Bel, kamu tega banget
sih sama temen sendiri?” tanya Lili sambil menatap Bellina.
“Teman?
Sejak kapan kita berteman?” sahut Bellina. Ia mengibaskan rambutnya dengan
sombong dan berlalu pergi meninggalkan Lili dan Sofi.
Lili
dan Sofi menangis histeris, mereka tidak menyangka kalau Bellina akan
mencampakkan mereka begitu saja.
“Li,
gimana dong? Kita udah nggak punya kerjaan lagi?” tanya Sofi sambil menangis.
“Aku
juga nggak tahu, Sof. Aku juga kehilangan pekerjaan.”
Mereka
terus terisak. Beberapa orang yang ada di dalam ruangan tersebut hanya
memandang Lili dan Sofi dengan tatapan risih.
“Rasain!
Makanya, jangan maling!” seru salah seorang model yang ada di ruangan tersebut.
“Iya.
Maling teriak maling pula. Kalau bukan karena kalian, aku nggak akan nuduh
istrinya Pak Yeri mati-matian,” sahut asisten Anna. “Kalau aku tahu dia
istrinya Pak Yeri, nggak bakalan aku nuduh dia!”
Lili
dan Sofi terdiam. Mereka sangat malu dan tidak bisa berkata-kata.
“Jadi,
kamu nuduh istrinya Pak Yeri karena terpengaruh sama mereka?” tanya Anna.
Asisten
Anna menganggukkan kepala.
“Astaga!
Fajri! Kamu mikir nggak sih? Kok, bisa dipengaruhi sama dua tikus kecil ini!?”
tutur Anna sambil menoyor dahi asistennya menggunakan ujung jari telunjuknya.
“Bikin malu aja!”
“Ma
... Maaf, Mbak!”
“Mau
ditaruh di mana mukaku di depan Pak Yeri? Dia udah banyak ngasih kita job.
Kalau sampai dia blacklist kita. Bisa tamat!”
Asisten
Anna mengangguk-angguk tanda mengerti. “Lain kali harus lebih berhati-hati.
Jangan sampai terpengaruh sama manusia sampah kayak mereka,” tutur Anna sambil
duduk di salah satu kursi rias dan mulai membersihkan make-up di wajahnya.
“Yah,
tadi kan mereka kelihatan kayak serius banget dan kelihatan kayak orang kaya.
Sekalinya, cuma karyawan biasa aja. Sekarang, udah dipecat dan jadi
pengangguran,” tutur Fajri sambil membantu Anna melepaskan aksesoris di
tubuhnya.
“Kamu
bisa nggak bedain barang branded atau nggak? Jangan bego, dong! Jelas-jelas
kalau istrinya Yeriko itu pakai barang-barang mahal.”
“Yee
... kan tadi juga Mbak Anna ngatain kalau barang dia kw.”
“Itu
karena aku kesel banget sama dia! Nggak mau ngaku kalau udah ngambil
anting-antingku!”
“Emang
bukan dia yang ambil,” sahut Fajri sambil melirik ke arah Sofi dan Lili yang
masih menangis.
“Baguslah
karena pencuri aslinya udah ketahuan dan kena batunya!” tutur Anna. “Hmm ...
coba aja aku yang jadi istrinya Yeriko. Pasti bisa punya anting-anting yang
harganya delapan ratus juta. Bukan yang delapan jutaan kayak gini!”
“Tapi,
aku lihat ... istrinya Pak Yeri sederhana banget ya? Aku nggak lihat dia pakai
perhiasan. Apa itu artinya ... dia orang kaya yang nggak mau pamer?”
“Mmh
... bisa jadi,” sahut Anna sambil manggut-manggut.
“Selera
Pak Yeri, ternyata adalah wanita yang sederhana. Padahal dia orang yang kaya
raya.”
“Mmh
... apa aku juga harus berpenampilan sederhana biar bisa dapetin cowok yang
tampan dan kaya kayak Pak Yeri?” tanya Anna sambil menatap Fajri lewat cermin.
Fajri
melirik Lili dan Sofi yang masih terus menangis.
“Iih
... kalian bisa diam nggak!?” sentak Anna sambil menoleh ke arah Sofi dan Lili.
“Sakit kepala aku denger kalian nangis terus!”
“Iya.
Kenapa masih ada di sini sih? Menuh-menuhin ruangan aja. Atau ... jangan-jangan
masih ada barang yang mau mereka curi? Secara, mereka kan udah dipecat dari
kerjaannya,” tutur Fajri.
Beberapa
orang yang ada di ruangan tersebut tertawa mendengar ucapan Fajri.
“Fajri
... Fajri ... Lu cowok tapi lemez amat mulutnya.”
“Hahaha.
Asisten kamu, An. Kalo ngomong kayak geledekan kayu. Nggak punya rem!” sahut
model lainnya.
Seisi
ruangan tertawa dan terus mencibir dua orang yang masih menangis di dalam
ruangan tersebut.
Lili
dan Sofi tidak bisa menahan tangisnya. Mereka kehilangan pekerjaan dan sangat
malu karena perbuatan yang mereka lakukan. Mereka menangis dalam waktu lama
hingga tak sadarkan diri.
“Eh,
mereka pingsan?” tanya salah satu model yang ada di dalam ruangan tersebut.
“Paling
cuma pura-pura aja!” sahut Fajri.
Salah
seorang di antara mereka menggoyang-goyangkan tubuh Lili yang tergeletak
menggunakan kakinya. “Eh, serius ini. Mereka pingsan!” serunya.
“What!?
Panggilin panitia, dong!” teriak Fajri.
“Eh,
kamu yang panggilin!”
“Aduh,
aku masih bantu bersihin make-up bosku!” sahut Fajri. Namun, ia terlihat sangat
bingung. Ia ingin melangkah keluar ruang rias, namun juga ingin melanjutkan
membersihkan riasan di wajah Anna.
“Euuh
...!” Fajri membuang kapas ke tempat sampah dan buru-buru memanggil panitia
agar membawa Lili dan Sofi secepatnya ke klinik terdekat untuk mendapatkan
perawatan.
“Sumpah
ya! Dua orang ini. Udah tukang bikin onar, nyusahin pula!” omel Fajri. Ia
melanjutkan membantu Anna membersihkan riasan di wajahnya.
(( Bersambung ... ))
Makasih sudah baca Perfect Hero sampai di sini. Makasih yang udah kirimin
hadiah dan kasih Star Vote juga. Mohon maaf lahir dan batin ya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment