Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Thursday, February 13, 2025

Perfect Hero Bab 109: Rasa yang Tak Biasa

 


“Belum mau pulang? Kamu udah seharian nemenin aku di sini,” tutur Chandra sambil menatap Jheni.

 

“Kamu ngusir aku? Oke, aku pulang!” sahut Jheni sambil bangkit dari tempat duduk.

 

“Nggak gitu, Jhen!” Chandra langsung menahan lengan Jheni. “Aku khawatir aja kalau orang rumah kamu nyariin.”

 

“Siapa yang mau nyariin aku?” tanya Jheni. “Aku tinggal sendirian,” lanjutnya.

 

“Oh iya. Aku lupa!” sahut Chandra sambil menepuk dahinya. “Siapa tahu aja, pacar kamu yang nyariin?”

 

“Aku nggak punya pacar, Chan!” tegas Jheni.

 

“Masa sih? Cantik-cantik masa nggak punya pacar?” celetuk Chandra.

 

“Aku cantik?” tanya Jheni.

 

“Iya. Kalo ganteng, itu aku!” sahut Chandra.

 

Jheni tergelak mendengar ucapan Chandra. “Kamu bisa aja,” sahutnya sambil mendorong pundak Chandra.

 

“Aduh ...!” teriak Chandra sambil menyentuh pundaknya.

 

“Hah!? Pundak kamu luka?” Jheni langsung panik dan langsung memeriksa pundak Chandra.

 

Chandra terpaku menatap wajah Jheni yang begitu dekat. Ia tidak mengerti perasaan yang ia miliki saat ini. Setiap berdekatan dengan Jheni, ia merasa jantungnya berdebar lebih kencang.

 

Saat posisi mereka ambigu, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Jheni dan Chandra langsung menoleh ke arah pintu.

 

Jheni langsung melepaskan tangannya dari pundak Chandra. Ia merasa sangat malu dengan adegan yang tidak ia sengaja itu.

 

“Amara!?” Chandra langsung menatap Amara yang berdiri di pintu. Kemudian, menatap laki-laki yang juga berdiri di samping Amara.

 

Amara melangkah perlahan menghampiri sofa tempat Jheni dan Chandra asyik bercengkrama. “Aku pikir kamu itu cowok alim yang baik dan pendiam. Ternyata, kamu juga ada main di belakang aku?” tanya Amara sambil menatap kesal ke arah Chandra.

 

“Amara, ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku nggak pernah mengkhianati kamu sedikit pun. Kamu jangan salah paham!” pinta Chandra.

 

Amara tersenyum sinis ke arah Chandra. “Mulai sekarang, kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi!” tegasnya.

 

“Tapi ... aku masih sayang sama kamu dan kita udah tunangan,” sahut Chandra.

 

Amara tersenyum sinis menanggapi ucapan Chandra. “Mulai sekarang, aku bukan lagi tunangan kamu.” Ia menyodorkan cincin tunangan miliknya ke arah Chandra. “Aku sudah menikah. Jadi, kamu jangan pernah berharap lagi sama aku!” pintanya.

 

“Amara ...!” panggil Chandra lirih dengan mata yang memerah menahan kepedihan. “Kamu nggak beneran nikah sama orang lain, kan?” Chandra menggoyang-goyangkan pundak Amara.

 

“Aku beneran udah nikah, Chan!” seru Amara sambil melempar cincin ke dada Chandra. “Kami baru aja menikah. Jadi, jangan berharap kalau aku bakalan balik lagi ke kamu!” tegas Amara.

 

“Gimana bisa kalian menikah secepat ini? Aku masih nggak percaya!” sahut Chandra.

 

Amara tersenyum sinis. Ia mengeluarkan buku nikah dari dalam tasnya dan memberikannya pada Chandra. “Kami beneran udah nikah. Pernikahan kami sudah sah menurut agama dan negara.”

 

Chandra tertegun menatap surat nikah yang disodorkan oleh Amara. Ia sama sekali tidak menyangka kalau tunangannya memilih untuk menikah dengan pria lain. Ia hanya bisa terduduk lesu dan tak bisa berkata-kata lagi.

 

“Kalian bener-bener nggak punya perasaan!” seru Jheni kesal.

 

“Kamu siapa? Selingkuhannya Chandra?”

 

“Aku nggak seburuk yang kamu pikirkan!” sentak Jheni. “Kamu, sebagai wanita harusnya punya perasaan dikit.”

 

Amara tersenyum sinis menatap Jheni. “Heh!? Kamu nggak usah sok suci di depan aku! Diam-diam, kamu juga suka sama tunangan orang. Kalau nggak, buat apa kamu di sini?”

 

“Karena aku peduli sama dia sebagai teman. Kamu yang tunangannya dia, harusnya jadi orang pertama yang ngerawat dan nemenin dia. Bukannya malah asyik sama cowok lain,” sahut Jheni.

 

“Aku nggak pernah bener-bener cinta sama dia!” tutur Amara sambil menunjuk wajah Chandra. “Kamu pikir, cewek mana yang betah pacaran sama patung?”

 

Chandra hanya tertunduk sambil menopang kening menggunakan telapak tangannya. Ia benar-benar tidak berdaya. Rasa sakit dalam hatinya terlalu dalam dan tak sanggup menahannya. Terlebih, sikap Amara yang membuatnya hampir gila.

 

“Eh, Chandra tuh tunangan kamu. Bisa-bisanya kamu ngatain dia. Walaupun dia cuek, dia sayang sama kamu!” seru Jheni. Ia terus membela Chandra mati-matian. “Kamu aja yang nggak tahu diri. Malah selingkuh sama cowok kayak gini,” lanjut Jheni sambil menatap sinis ke arah Harry.

 

“Kamu ...!?” Amara geram mendengar ucapan Jheny yang terlihat meremehkan Harry. Ia menghentakkan kakinya karena kesal. “Bilang aja kalau kamu suka sama Chandra, kan?”

 

“Mau suka atau nggak, bukan urusan kamu! Toh, kamu udah nikah sama laki-laki lain. Nggak perlu ngurusin kehidupan Chandra lagi!” sentak Jheni.

 

“Aku juga nggak mau ngurusin hidupnya cowok payah satu ini!” sahut Amara. “Aku ke sini cuma pengen dia tahu, kalau aku udah nikah dan nggak perlu ngarepin aku lagi karena aku udah hidup bahagia sama Harry,” lanjutnya sambil memeluk lengan Harry.

 

“Bodo amat!” sahut Jheni. “Chandra nggak bakalan mau sama perek kayak kamu!”

 

“Apa kamu bilang!?” Amara langsung mendelik ke arah Jheni. Ia tidak terima dengan julukan yang diberikan oleh Jheni.

 

“Kenapa? Nggak terima?” Jheni mendekatkan wajahnya dengan angkuh.

 

Amara mengangkat tangan dan bersiap menampar Jheni, namun Harry dengan sigap menahannya. “Jangan bikin onar di rumah sakit!” bisiknya.

 

“STOP!” teriak Chandra. “Kalian nggak perlu kelahi di sini!”

 

Chandra menatap tajam ke arah Amara. “Sebaiknya, kamu pergi dari sini!” sentaknya.

 

Amara tersenyum sinis. “Aku memang mau pergi dari sini. Lihat muka kalian, bener-bener bikin aku muak!” Ia langsung berbalik dan keluar dari ruangan Chandra.

 

BRAAK ...!!!

 

Amara membanting pintu sangat keras, membuat Jheni dan Chandra terkejut.

 

Jheni menatap pilu ke arah Chandra yang masih terduduk lemas di atas sofa. Ia ikut duduk di samping Chandra. “Are you ok?”

 

Chandra menoleh ke arah Jheni. Matanya memerah, jiwanya dipenuhi rasa sakit dan kecewa yang begitu dalam terhadap tunangannya sendiri. Ia merasa gagal menjadi seorang laki-laki. Membiarkan pasangannya sendiri lebih memilih hidup bersama pria lain.

 

Jheni berusaha untuk tersenyum walau hatinya ikut sakit melihat Chandra. “Kalau memang harus nangis, menangislah!” pintanya sambil menyentuh punggung tangan Chandra.

 

Chandra menatap Jheni beberapa saat. Ia langsung merengkuh tubuh Jheni. “Makasih, karena kamu sudah nemenin dan ngerawat aku,” bisik Chandra sambil meneteskan air mata.

 

Pikiran Jheni kosong untuk beberapa saat. Tubuhnya membeku saat Chandra tiba-tiba memeluknya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lalukan sekarang. Hanya berharap, air mata Chandra yang jatuh membasahi punggungnya akan segera tergantikan dengan senyum kebahagiaan.

 

“Lupain dia ...!” bisik Jheni.

 

Chandra mengangguk dan makin mengeratkan pelukannya. Ia terlihat seperti anak kecil yang sedang memeluk ibunya karena kehilangan mainan kesayangannya.

 

Beberapa menit kemudian, Chandra melepas pelukannya. Ia mengusap pipinya yang basah dan tersenyum ke arah Jheni.

 

Jheni balas tersenyum. “Kamu laki-laki. Pasti jauh lebih kuat. Di luar sana, masih banyak perempuan yang cantik dan baik hati. Suatu saat, kamu pasti akan bertemu dengan jodoh terbaikmu.”

 

Chandra menganggukkan kepala. “Tuhan memisahkan aku dengan Amara. Mungkin, karena dia telah menyiapkan seseorang yang jauh lebih baik dari dia.”

 

Jheni mengangguk sambil tersenyum. “Bener banget! Kalau gitu, jangan sedih lagi ya!” pinta Jheni.

 

Chandra tersenyum sambil menganggukkan kepala.

 

“Oh ya, sekarang udah sore banget. Aku harus pulang. Ntar kamu usir karena aku kelamaan di sini. Hehehe.”

 

Chandra tertawa kecil menanggapi ucapan Jheni. “Aku nggak ngusir. Kamu baperan banget sih!?”

 

Jheni meringis sambil meraih tas tangannya. “Bercanda, kok. Aku pulang dulu ya! Besok, kalau nggak sibuk, aku ke sini lagi.”

 

Chandra menganggukkan kepala.

 

“Salam buat suster cantik yang sering jagain kamu. Siapa tahu, dia jodoh kamu,” goda Jheni sambil mengerdipkan matanya.

 

“Ah, kamu bisa aja.”

 

Jheni tersenyum. Ia meraih tempat sup yang ia bawa dari rumah. Kemudian melangkah menuju pintu dan bergegas meninggalkan Chandra.

 

Chandra tersenyum menatap pintu ruangannya. Ia merasa, sikap Jheni membuat hatinya jauh lebih baik. Setidaknya, ia bisa melupakan Amara saat sedang bersama Jheni. Walau itu hanya kenyamanan sesaat. Sebab, ia masih terus merasa sakit begitu mengingat sikap Amara terhadap dirinya.

 

(( Bersambung ... ))

Thanks buat temen-temen yang udah setia baca Perfect Hero sampai di sini. Makasih banyak untuk apresiasi yang begitu besar. Jangan sungkan sapa aku di kolom komentar ya!

Happy Eid Mubarak! Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon maaf lahir dan batin ...

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas