“Belum mau pulang?
Kamu udah seharian nemenin aku di sini,” tutur Chandra sambil menatap Jheni.
“Kamu ngusir aku?
Oke, aku pulang!” sahut Jheni sambil bangkit dari tempat duduk.
“Nggak gitu,
Jhen!” Chandra langsung menahan lengan Jheni. “Aku khawatir aja kalau orang
rumah kamu nyariin.”
“Siapa yang mau
nyariin aku?” tanya Jheni. “Aku tinggal sendirian,” lanjutnya.
“Oh iya. Aku
lupa!” sahut Chandra sambil menepuk dahinya. “Siapa tahu aja, pacar kamu yang
nyariin?”
“Aku nggak punya
pacar, Chan!” tegas Jheni.
“Masa sih?
Cantik-cantik masa nggak punya pacar?” celetuk Chandra.
“Aku cantik?”
tanya Jheni.
“Iya. Kalo
ganteng, itu aku!” sahut Chandra.
Jheni tergelak
mendengar ucapan Chandra. “Kamu bisa aja,” sahutnya sambil mendorong pundak
Chandra.
“Aduh ...!” teriak
Chandra sambil menyentuh pundaknya.
“Hah!? Pundak kamu
luka?” Jheni langsung panik dan langsung memeriksa pundak Chandra.
Chandra terpaku
menatap wajah Jheni yang begitu dekat. Ia tidak mengerti perasaan yang ia
miliki saat ini. Setiap berdekatan dengan Jheni, ia merasa jantungnya berdebar
lebih kencang.
Saat posisi mereka
ambigu, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Jheni dan Chandra langsung menoleh ke
arah pintu.
Jheni langsung
melepaskan tangannya dari pundak Chandra. Ia merasa sangat malu dengan adegan
yang tidak ia sengaja itu.
“Amara!?” Chandra
langsung menatap Amara yang berdiri di pintu. Kemudian, menatap laki-laki yang
juga berdiri di samping Amara.
Amara melangkah
perlahan menghampiri sofa tempat Jheni dan Chandra asyik bercengkrama. “Aku
pikir kamu itu cowok alim yang baik dan pendiam. Ternyata, kamu juga ada main
di belakang aku?” tanya Amara sambil menatap kesal ke arah Chandra.
“Amara, ini nggak
seperti yang kamu pikirkan. Aku nggak pernah mengkhianati kamu sedikit pun.
Kamu jangan salah paham!” pinta Chandra.
Amara tersenyum
sinis ke arah Chandra. “Mulai sekarang, kita udah nggak ada hubungan apa-apa
lagi!” tegasnya.
“Tapi ... aku
masih sayang sama kamu dan kita udah tunangan,” sahut Chandra.
Amara tersenyum
sinis menanggapi ucapan Chandra. “Mulai sekarang, aku bukan lagi tunangan
kamu.” Ia menyodorkan cincin tunangan miliknya ke arah Chandra. “Aku sudah
menikah. Jadi, kamu jangan pernah berharap lagi sama aku!” pintanya.
“Amara ...!”
panggil Chandra lirih dengan mata yang memerah menahan kepedihan. “Kamu nggak
beneran nikah sama orang lain, kan?” Chandra menggoyang-goyangkan pundak Amara.
“Aku beneran udah
nikah, Chan!” seru Amara sambil melempar cincin ke dada Chandra. “Kami baru aja
menikah. Jadi, jangan berharap kalau aku bakalan balik lagi ke kamu!” tegas
Amara.
“Gimana bisa
kalian menikah secepat ini? Aku masih nggak percaya!” sahut Chandra.
Amara tersenyum
sinis. Ia mengeluarkan buku nikah dari dalam tasnya dan memberikannya pada
Chandra. “Kami beneran udah nikah. Pernikahan kami sudah sah menurut agama dan
negara.”
Chandra tertegun
menatap surat nikah yang disodorkan oleh Amara. Ia sama sekali tidak menyangka
kalau tunangannya memilih untuk menikah dengan pria lain. Ia hanya bisa
terduduk lesu dan tak bisa berkata-kata lagi.
“Kalian
bener-bener nggak punya perasaan!” seru Jheni kesal.
“Kamu siapa?
Selingkuhannya Chandra?”
“Aku nggak seburuk
yang kamu pikirkan!” sentak Jheni. “Kamu, sebagai wanita harusnya punya
perasaan dikit.”
Amara tersenyum
sinis menatap Jheni. “Heh!? Kamu nggak usah sok suci di depan aku! Diam-diam,
kamu juga suka sama tunangan orang. Kalau nggak, buat apa kamu di sini?”
“Karena aku peduli
sama dia sebagai teman. Kamu yang tunangannya dia, harusnya jadi orang pertama
yang ngerawat dan nemenin dia. Bukannya malah asyik sama cowok lain,” sahut
Jheni.
“Aku nggak pernah
bener-bener cinta sama dia!” tutur Amara sambil menunjuk wajah Chandra. “Kamu
pikir, cewek mana yang betah pacaran sama patung?”
Chandra hanya
tertunduk sambil menopang kening menggunakan telapak tangannya. Ia benar-benar
tidak berdaya. Rasa sakit dalam hatinya terlalu dalam dan tak sanggup
menahannya. Terlebih, sikap Amara yang membuatnya hampir gila.
“Eh, Chandra tuh
tunangan kamu. Bisa-bisanya kamu ngatain dia. Walaupun dia cuek, dia sayang
sama kamu!” seru Jheni. Ia terus membela Chandra mati-matian. “Kamu aja yang
nggak tahu diri. Malah selingkuh sama cowok kayak gini,” lanjut Jheni sambil
menatap sinis ke arah Harry.
“Kamu ...!?” Amara
geram mendengar ucapan Jheny yang terlihat meremehkan Harry. Ia menghentakkan
kakinya karena kesal. “Bilang aja kalau kamu suka sama Chandra, kan?”
“Mau suka atau
nggak, bukan urusan kamu! Toh, kamu udah nikah sama laki-laki lain. Nggak perlu
ngurusin kehidupan Chandra lagi!” sentak Jheni.
“Aku juga nggak
mau ngurusin hidupnya cowok payah satu ini!” sahut Amara. “Aku ke sini cuma
pengen dia tahu, kalau aku udah nikah dan nggak perlu ngarepin aku lagi karena
aku udah hidup bahagia sama Harry,” lanjutnya sambil memeluk lengan Harry.
“Bodo amat!” sahut
Jheni. “Chandra nggak bakalan mau sama perek kayak kamu!”
“Apa kamu
bilang!?” Amara langsung mendelik ke arah Jheni. Ia tidak terima dengan julukan
yang diberikan oleh Jheni.
“Kenapa? Nggak
terima?” Jheni mendekatkan wajahnya dengan angkuh.
Amara mengangkat
tangan dan bersiap menampar Jheni, namun Harry dengan sigap menahannya. “Jangan
bikin onar di rumah sakit!” bisiknya.
“STOP!” teriak
Chandra. “Kalian nggak perlu kelahi di sini!”
Chandra menatap
tajam ke arah Amara. “Sebaiknya, kamu pergi dari sini!” sentaknya.
Amara tersenyum
sinis. “Aku memang mau pergi dari sini. Lihat muka kalian, bener-bener bikin
aku muak!” Ia langsung berbalik dan keluar dari ruangan Chandra.
BRAAK ...!!!
Amara membanting
pintu sangat keras, membuat Jheni dan Chandra terkejut.
Jheni menatap pilu
ke arah Chandra yang masih terduduk lemas di atas sofa. Ia ikut duduk di
samping Chandra. “Are you ok?”
Chandra menoleh ke
arah Jheni. Matanya memerah, jiwanya dipenuhi rasa sakit dan kecewa yang begitu
dalam terhadap tunangannya sendiri. Ia merasa gagal menjadi seorang laki-laki.
Membiarkan pasangannya sendiri lebih memilih hidup bersama pria lain.
Jheni berusaha
untuk tersenyum walau hatinya ikut sakit melihat Chandra. “Kalau memang harus
nangis, menangislah!” pintanya sambil menyentuh punggung tangan Chandra.
Chandra menatap
Jheni beberapa saat. Ia langsung merengkuh tubuh Jheni. “Makasih, karena kamu
sudah nemenin dan ngerawat aku,” bisik Chandra sambil meneteskan air mata.
Pikiran Jheni
kosong untuk beberapa saat. Tubuhnya membeku saat Chandra tiba-tiba memeluknya.
Ia tidak tahu apa yang harus ia lalukan sekarang. Hanya berharap, air mata
Chandra yang jatuh membasahi punggungnya akan segera tergantikan dengan senyum
kebahagiaan.
“Lupain dia ...!”
bisik Jheni.
Chandra mengangguk
dan makin mengeratkan pelukannya. Ia terlihat seperti anak kecil yang sedang
memeluk ibunya karena kehilangan mainan kesayangannya.
Beberapa menit
kemudian, Chandra melepas pelukannya. Ia mengusap pipinya yang basah dan
tersenyum ke arah Jheni.
Jheni balas
tersenyum. “Kamu laki-laki. Pasti jauh lebih kuat. Di luar sana, masih banyak
perempuan yang cantik dan baik hati. Suatu saat, kamu pasti akan bertemu dengan
jodoh terbaikmu.”
Chandra
menganggukkan kepala. “Tuhan memisahkan aku dengan Amara. Mungkin, karena dia
telah menyiapkan seseorang yang jauh lebih baik dari dia.”
Jheni mengangguk
sambil tersenyum. “Bener banget! Kalau gitu, jangan sedih lagi ya!” pinta
Jheni.
Chandra tersenyum
sambil menganggukkan kepala.
“Oh ya, sekarang
udah sore banget. Aku harus pulang. Ntar kamu usir karena aku kelamaan di sini. Hehehe.”
Chandra tertawa
kecil menanggapi ucapan Jheni. “Aku nggak ngusir. Kamu baperan banget sih!?”
Jheni meringis
sambil meraih tas tangannya. “Bercanda, kok. Aku pulang dulu ya! Besok, kalau
nggak sibuk, aku ke sini lagi.”
Chandra
menganggukkan kepala.
“Salam buat suster
cantik yang sering jagain kamu. Siapa tahu, dia jodoh kamu,” goda Jheni sambil
mengerdipkan matanya.
“Ah, kamu bisa
aja.”
Jheni tersenyum.
Ia meraih tempat sup yang ia bawa dari rumah. Kemudian melangkah menuju pintu
dan bergegas meninggalkan Chandra.
Chandra tersenyum
menatap pintu ruangannya. Ia merasa, sikap Jheni membuat hatinya jauh lebih
baik. Setidaknya, ia bisa melupakan Amara saat sedang bersama Jheni. Walau itu
hanya kenyamanan sesaat. Sebab, ia masih terus merasa sakit begitu mengingat
sikap Amara terhadap dirinya.
(( Bersambung ... ))
Thanks buat temen-temen yang udah setia baca Perfect Hero
sampai di sini. Makasih banyak untuk apresiasi yang begitu besar. Jangan
sungkan sapa aku di kolom komentar ya!
Happy Eid Mubarak! Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon maaf
lahir dan batin ...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment