“Harry?
Pagi-pagi gini udah dateng, ada apa?” tanya Amara saat membuka pintu rumahnya.
Harry
langsung menerobos masuk ke dalam rumah Amara. “Orang tua kamu mana?” tanyanya.
Amara
mengernyitkan dahinya. “Aku nggak tinggal sama orang tuaku. Kenapa?” tanya
Amara.
“Aku
mau kita nikah sekarang juga,” jawab Harry.
“Nikah?
Kenapa mendadak banget?”
“Amara
…!” Harry menggenggam kedua tangan Amara. “Aku serius sama kamu. Apa kamu nggak
mau nikah sama aku?”
Amara
tersenyum bahagia. “Aku mau nikah sama kamu. Tapi …”
“Kenapa?”
“Statusku
masih sebagai tunangan Chandra. Aku harus jelasin ke keluarga aku tentang
hubungan kita. Mereka pasti bakal nanyain kalau aku menikah sama pria lain.”
Harry
menganggukkan kepala. “Gimana kalau hari ini, kita nikah dulu? Setelah menikah,
kita jelaskan ke orang tua kamu tentang hubungan kita.”
“Kamu
serius?” tanya Amara sambil menatap mata Harry.
Harry
menganggukkan kepala. “Aku serius sama kamu, aku nggak mau main-main lagi!”
“Tapi
… apa ini nggak terlalu cepat?”
Harry
menggelengkan kepala. “Kita sudah lama saling kenal dan saling mencintai.
Bukankah akhir yang paling indah dari sebuah hubungan adalah pernikahan?”
Amara
tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Kamu
mau nikah hari ini juga?” tanya Harry dengan mata berbinar dan penuh semangat.
Amara
mengangguk. “Aku mau.”
Harry
tersenyum dan langsung memeluk erat tubuh Amara. “I love you …”
Amara
memeluk punggung Harry dan tersenyum bahagia.
“Kamu
siapin dokumen kamu ya! Kita ke KUA sekarang juga,” pinta Harry.
Amara
mengangguk sambil tersenyum. “Aku mandi dulu.”
Harry
mengangguk, ia duduk di sofa untuk menunggu Amara mempersiapkan berkas yang
mereka perlukan untuk mendapatkan surat nikah resmi.
Mereka
langsung bergegas pergi ke salah satu kantor urusan agama terdekat. Harry telah
mengumpulkan beberapa saksi dan wali hakim sebagai salah satu syarat pernikahan
mereka dan mendapatkan surat nikah resmi.
“Makasih
ya, kamu udah membuktikan kalau kamu serius sama hubungan kita. Nggak kayak
Chandra, yang cuma ngajak aku tunangan dan nggak pernah ngomongin pernikahan
sama sekali. Bahkan, dia itu cuek banget sama tunangannya sendiri,” tutur Amara
saat ia dan Harry sudah resmi menjadi sepasang suami istri.
Harry
tersenyum menatap Amara. Ia tidak menyangka kalau harus melepas masa lajangnya
dalam waktu yang begitu singkat. Kalau bukan karena uang yang diberikan Yeriko,
ia masih belum siap menikah dan ingin menghabiskan waktunya untuk
bersenang-senang.
“Kenapa?
Kamu kelihatannya nggak bahagia?” tanya Amara.
Harry
menarik napas dalam-dalam. “Aku bukan nggak bahagia. Aku masih nggak percaya
aja kalau sekarang aku sudah menjadi seorang suami. Punya istri yang cantik,
seksi dan pandai. Aku adalah pria yang paling beruntung di dunia ini.”
“Ah,
kamu bisa aja.” Amara tersipu mendengar pujian yang keluar dari mulut Harry.
Harry
tersenyum menatap Amara. “Kamu, mau bulan madu ke mana?” tanyanya.
“Mmh
... ke mana ya? Ke luar negeri boleh?”
Harry
menganggukkan kepala. “Boleh ke mana aja.”
“Mmh
... aku pengen ke Paris. Kota itu terkenal sebagai salah satu kota paling
romantis di dunia. Terus, aku pengen ke New York, Beijing, Den Haag dan masih
banyak lagi.”
Harry
menganggukkan kepala sambil tersenyum ke arah Amara.
“Serius?
Kamu punya uang banyak buat ajak aku keliling dunia?” tanya Amara.
“Akan
selalu ada buat kamu.”
“Aargh
...! Thank you so much! Aku makin sayang sama kamu!” seru Amara sambil memeluk
erat tubuh Harry.
“Kita
pulang sekarang!” pinta Harry. “Masih ada hal yang harus aku lakukan hari ini.”
“Di
kantor?”
Harry
menggelengkan kepala. “Nanti, aku cerita setelah kita sampai di rumah.”
Amara
menganggukkan kepala. Mereka berpamitan dan bergegas keluar dari KUA.
Di
perjalanan pulang, Harry langsung menelepon Yeriko.
“Halo
...!” jawab Yeriko begitu panggilan telepon Harry tersambung.
“Halo,
Pak. Saya baru pulang dari KUA dan sudah sah menikah dengan Amara.”
“Bagus.
Selamat ya!”
“Iya,
Pak. Terima kasih.”
“Kasih
tahu Amara buat hubungi Chandra dan bilang ke Chandra kalau dia sudah menikah.
Buat Chandra mematikan semua perasaannya untuk Amara!”
“Siap,
Pak!”
Yeriko
langsung mematikan panggilan telepon Harry tanpa banyak berkata lagi.
“Siapa?”
tanya Amara sambil menatap Harry.
“Rekan
kerja.”
“Oh.”
“Amara,
sore ini bisa ke rumah sakit?”
“Ngapain?”
“Jengukin
mantan tunangan kamu itu.”
Amara
mengernyitkan dahinya. “Ogah, ah!”
“Sekaligus
buat ngasih tahu dia soal hubungan kita. Jadi, dia nggak lagi berharap sama
kamu. Aku mau, kamu bener-bener memutuskan hubungan kamu sama dia karena kita
sudah menikah.”
“Oh,
gitu?”
Harry
menganggukkan kepala.
“Oke.
Ntar sore jam berapa ke sana?” tanya Amara.
“Abis
aku pulang dari kantor. Gimana?”
Amara
mengangguk, ia menyandarkan kepalanya di pundak Harry. “Kapan kita temui orang
tuaku?” tanya Amara kemudian.
“Besok.”
“Serius?”
Harry
menganggukkan kepala.
“Gimana
sama orang tua kamu?”
“Sekalian
aja besok ketemu juga sama orang tuaku.”
“Mmh
... kira-kira, Mama kamu bakal suka sama aku atau nggak ya?”
“Pasti
suka, dong! Kamu cantik dan baik hati. Mama pasti suka sama kamu.”
“Beneran?”
tanya Amara sambil tersenyum bahagia.
Harry
menganggukkan kepala. Ia bergegas melajukan mobilnya menuju ke rumah Amara.
Di
saat yang sama ...
Jheni
melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang rawat Chandra sambil membawa sup
buatannya untuk Chandra.
“Pagi
...!” sapa Jheni saat masuk ke dalam ruangan.
“Pagi
...” Chandra langsung menoleh ke arah pintu ruangan yang terbuka. Ia tersenyum
begitu melihat wajah cantik Jheni.
“Gimana?
Udah baikan?” tanya Jheni.
“Lumayan,
lukanya udah mulai kering, kok. Tinggal pemulihan aja,” jawab Chandra.
“Udah
sarapan atau belum?” tanya Jheni. “Aku bawain sup ayam hangat buat kamu.”
Chandra
menggelengkan kepala. “Kamu selalu repot-repot masakin buat aku.”
Jheni
tersenyum ke arah Chandra. “Nggak repot, kok. Aku tinggal di rumah sendiri.
Setiap hari selalu masak dan sering kelebihan. Semenjak Yuna menikah, nggak ada
yang ngabisin makanan di rumahku,” tutur Jheni sambil tertawa kecil.
Chandra
tersenyum menanggapi ucapan Jheni. Ia terus menatap Jheni yang sedang
menyiapkan sup untuknya.
“Ini!”
Jheni menyodorkan semangkuk sup ke hadapan Chandra.
“Makasih!”
Chandra tersenyum sambil menerima mangkuk sup pemberian Jheni. Ia mencoba
menyendok sup perlahan dan dengan susah payah karena luka di tangan kanannya
belum benar-benar pulih.
Jheni
tertawa kecil sambil meraih mangkuk sup dari tangan Chandra. “Bilang aja kalau
butuh bantuan!”
“Eh!?”
Chandra melongo menatap Jheni. “Aku jadi nggak enak sama kamu. Udah dimasakin,
masih disuapin lagi.”
Jheni
tersenyum menanggapi ucapan Chandra. “Sesama teman harus saling membantu kan?”
ucapnya sambil tersenyum manis ke arah Chandra. Ia menyendok sup yang ada di
tangannya dan menyuapkan ke mulut Chandra.
Chandra
tak berkedip menatap wajah Jheni yang ada di hadapannya. “Kalau diperhatikan,
dia cantik juga,” bisiknya dalam hati.
Jantung
Jheni berdetak sangat kencang saat ia menyadari tatapan Chandra ke arahnya. Ia
tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Ada dalam posisi yang sangat
ambigu. Walau ia sangat menyukai Chandra, ia tidak akan membiarkan Chandra
mengetahui perasaannya.
“Kamu
nggak kerja?” tanya Chandra.
Jheni
menggelengkan kepala. “Aku kerjaannya nggak nentu. Kalau ada kerjaan, pergi
kerja. Kalau nggak, ya di rumah aja atau jalan-jalan.”
Chandra
tertawa kecil. “Enak ya? Kerjanya bebas?”
“Hahaha.
Berasa perusahaan punya sendiri,” sahut Jheni.
“Kenapa
kamu lebih milih buat jadi freelancer? Bukannya lebih enak kerja di perusahaan
dan jadi karyawan tetap?”
“Mmh
... terlalu membosankan kerja di satu kantor. Kalau kayak gini, aku bisa
pindah-pindah kantor sesuka aku dan nggak terikat sama waktu kerja. Yang
penting, proyek kelar dengan baik dan klien puas.”
Chandra
tersenyum. Ia mulai menyukai gaya Jheni bercerita. Ia menanyakan banyak hal
tentang kehidupan Jheni dan juga mengajaknya membicarakan hal-hal yang terjadi
di sekeliling mereka.
Bahkan,
Chandra sampai memperdebatkan soal perbedaan rumput jepang dan rumput gajah
mini. Hal yang tak pernah dilakukan oleh Chandra sebelumnya adalah banyak
bicara dan tertawa. Jheni membuatnya nyaman dan ia sendiri tidak menyadari
kalau menjadi pria yang hangat dan banyak bicara.
(( Bersambung ... ))
Thanks buat temen-temen yang udah setia baca Perfect Hero
sampai di sini. Makasih banyak untuk apresiasi yang begitu besar. Jangan
sungkan sapa aku di kolom komentar ya!
Happy Eid Mubarak! Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon maaf
lahir dan batin ...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment