Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Wednesday, February 12, 2025

Perfect Hero Bab 108 : Amara Harry vs Chandra Jheni || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Harry? Pagi-pagi gini udah dateng, ada apa?” tanya Amara saat membuka pintu rumahnya.

 

Harry langsung menerobos masuk ke dalam rumah Amara. “Orang tua kamu mana?” tanyanya.

 

Amara mengernyitkan dahinya. “Aku nggak tinggal sama orang tuaku. Kenapa?” tanya Amara.

 

“Aku mau kita nikah sekarang juga,” jawab Harry.

 

“Nikah? Kenapa mendadak banget?”

 

“Amara …!” Harry menggenggam kedua tangan Amara. “Aku serius sama kamu. Apa kamu nggak mau nikah sama aku?”

 

Amara tersenyum bahagia. “Aku mau nikah sama kamu. Tapi …”

 

“Kenapa?”

 

“Statusku masih sebagai tunangan Chandra. Aku harus jelasin ke keluarga aku tentang hubungan kita. Mereka pasti bakal nanyain kalau aku menikah sama pria lain.”

 

Harry menganggukkan kepala. “Gimana kalau hari ini, kita nikah dulu? Setelah menikah, kita jelaskan ke orang tua kamu tentang hubungan kita.”

 

“Kamu serius?” tanya Amara sambil menatap mata Harry.

 

Harry menganggukkan kepala. “Aku serius sama kamu, aku nggak mau main-main lagi!”

 

“Tapi … apa ini nggak terlalu cepat?”

 

Harry menggelengkan kepala. “Kita sudah lama saling kenal dan saling mencintai. Bukankah akhir yang paling indah dari sebuah hubungan adalah pernikahan?”

 

Amara tersenyum sambil menganggukkan kepala.

 

“Kamu mau nikah hari ini juga?” tanya Harry dengan mata berbinar dan penuh semangat.

 

Amara mengangguk. “Aku mau.”

 

Harry tersenyum dan langsung memeluk erat tubuh Amara. “I love you …”

 

Amara memeluk punggung Harry dan tersenyum bahagia.

 

“Kamu siapin dokumen kamu ya! Kita ke KUA sekarang juga,” pinta Harry.

 

Amara mengangguk sambil tersenyum. “Aku mandi dulu.”

 

Harry mengangguk, ia duduk di sofa untuk menunggu Amara mempersiapkan berkas yang mereka perlukan untuk mendapatkan surat nikah resmi.

 

Mereka langsung bergegas pergi ke salah satu kantor urusan agama terdekat. Harry telah mengumpulkan beberapa saksi dan wali hakim sebagai salah satu syarat pernikahan mereka dan mendapatkan surat nikah resmi.

 

“Makasih ya, kamu udah membuktikan kalau kamu serius sama hubungan kita. Nggak kayak Chandra, yang cuma ngajak aku tunangan dan nggak pernah ngomongin pernikahan sama sekali. Bahkan, dia itu cuek banget sama tunangannya sendiri,” tutur Amara saat ia dan Harry sudah resmi menjadi sepasang suami istri.

 

Harry tersenyum menatap Amara. Ia tidak menyangka kalau harus melepas masa lajangnya dalam waktu yang begitu singkat. Kalau bukan karena uang yang diberikan Yeriko, ia masih belum siap menikah dan ingin menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang.

 

“Kenapa? Kamu kelihatannya nggak bahagia?” tanya Amara.

 

Harry menarik napas dalam-dalam. “Aku bukan nggak bahagia. Aku masih nggak percaya aja kalau sekarang aku sudah menjadi seorang suami. Punya istri yang cantik, seksi dan pandai. Aku adalah pria yang paling beruntung di dunia ini.”

 

“Ah, kamu bisa aja.” Amara tersipu mendengar pujian yang keluar dari mulut Harry.

 

Harry tersenyum menatap Amara. “Kamu, mau bulan madu ke mana?” tanyanya.

 

“Mmh ... ke mana ya? Ke luar negeri boleh?”

 

Harry menganggukkan kepala. “Boleh ke mana aja.”

 

“Mmh ... aku pengen ke Paris. Kota itu terkenal sebagai salah satu kota paling romantis di dunia. Terus, aku pengen ke New York, Beijing, Den Haag dan masih banyak lagi.”

 

Harry menganggukkan kepala sambil tersenyum ke arah Amara.

 

“Serius? Kamu punya uang banyak buat ajak aku keliling dunia?” tanya Amara.

 

“Akan selalu ada buat kamu.”

 

“Aargh ...! Thank you so much! Aku makin sayang sama kamu!” seru Amara sambil memeluk erat tubuh Harry.

 

“Kita pulang sekarang!” pinta Harry. “Masih ada hal yang harus aku lakukan hari ini.”

 

“Di kantor?”

 

Harry menggelengkan kepala. “Nanti, aku cerita setelah kita sampai di rumah.”

 

Amara menganggukkan kepala. Mereka berpamitan dan bergegas keluar dari KUA.

 

Di perjalanan pulang, Harry langsung menelepon Yeriko.

 

“Halo ...!” jawab Yeriko begitu panggilan telepon Harry tersambung.

 

“Halo, Pak. Saya baru pulang dari KUA dan sudah sah menikah dengan Amara.”

 

“Bagus. Selamat ya!”

 

“Iya, Pak. Terima kasih.”

 

“Kasih tahu Amara buat hubungi Chandra dan bilang ke Chandra kalau dia sudah menikah. Buat Chandra mematikan semua perasaannya untuk Amara!”

 

“Siap, Pak!”

 

Yeriko langsung mematikan panggilan telepon Harry tanpa banyak berkata lagi.

 

“Siapa?” tanya Amara sambil menatap Harry.

 

“Rekan kerja.”

 

“Oh.”

 

“Amara, sore ini bisa ke rumah sakit?”

 

“Ngapain?”

 

“Jengukin mantan tunangan kamu itu.”

 

Amara mengernyitkan dahinya. “Ogah, ah!”

 

“Sekaligus buat ngasih tahu dia soal hubungan kita. Jadi, dia nggak lagi berharap sama kamu. Aku mau, kamu bener-bener memutuskan hubungan kamu sama dia karena kita sudah menikah.”

 

“Oh, gitu?”

 

Harry menganggukkan kepala.

 

“Oke. Ntar sore jam berapa ke sana?” tanya Amara.

 

“Abis aku pulang dari kantor. Gimana?”

 

Amara mengangguk, ia menyandarkan kepalanya di pundak Harry. “Kapan kita temui orang tuaku?” tanya Amara kemudian.

 

“Besok.”

 

“Serius?”

 

Harry menganggukkan kepala.

 

“Gimana sama orang tua kamu?”

 

“Sekalian aja besok ketemu juga sama orang tuaku.”

 

“Mmh ... kira-kira, Mama kamu bakal suka sama aku atau nggak ya?”

 

“Pasti suka, dong! Kamu cantik dan baik hati. Mama pasti suka sama kamu.”

 

“Beneran?” tanya Amara sambil tersenyum bahagia.

 

Harry menganggukkan kepala. Ia bergegas melajukan mobilnya menuju ke rumah Amara.

 

 

 

Di saat yang sama ...

 

Jheni melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang rawat Chandra sambil membawa sup buatannya untuk Chandra.

 

“Pagi ...!” sapa Jheni saat masuk ke dalam ruangan.

 

“Pagi ...” Chandra langsung menoleh ke arah pintu ruangan yang terbuka. Ia tersenyum begitu melihat wajah cantik Jheni.

 

“Gimana? Udah baikan?” tanya Jheni.

 

“Lumayan, lukanya udah mulai kering, kok. Tinggal pemulihan aja,” jawab Chandra.

 

“Udah sarapan atau belum?” tanya Jheni. “Aku bawain sup ayam hangat buat kamu.”

 

Chandra menggelengkan kepala. “Kamu selalu repot-repot masakin buat aku.”

 

Jheni tersenyum ke arah Chandra. “Nggak repot, kok. Aku tinggal di rumah sendiri. Setiap hari selalu masak dan sering kelebihan. Semenjak Yuna menikah, nggak ada yang ngabisin makanan di rumahku,” tutur Jheni sambil tertawa kecil.

 

Chandra tersenyum menanggapi ucapan Jheni. Ia terus menatap Jheni yang sedang menyiapkan sup untuknya.

 

“Ini!” Jheni menyodorkan semangkuk sup ke hadapan Chandra.

 

“Makasih!” Chandra tersenyum sambil menerima mangkuk sup pemberian Jheni. Ia mencoba menyendok sup perlahan dan dengan susah payah karena luka di tangan kanannya belum benar-benar pulih.

 

Jheni tertawa kecil sambil meraih mangkuk sup dari tangan Chandra. “Bilang aja kalau butuh bantuan!”

 

“Eh!?” Chandra melongo menatap Jheni. “Aku jadi nggak enak sama kamu. Udah dimasakin, masih disuapin lagi.”

 

Jheni tersenyum menanggapi ucapan Chandra. “Sesama teman harus saling membantu kan?” ucapnya sambil tersenyum manis ke arah Chandra. Ia menyendok sup yang ada di tangannya dan menyuapkan ke mulut Chandra.

 

Chandra tak berkedip menatap wajah Jheni yang ada di hadapannya. “Kalau diperhatikan, dia cantik juga,” bisiknya dalam hati.

 

Jantung Jheni berdetak sangat kencang saat ia menyadari tatapan Chandra ke arahnya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Ada dalam posisi yang sangat ambigu. Walau ia sangat menyukai Chandra, ia tidak akan membiarkan Chandra mengetahui perasaannya.

 

“Kamu nggak kerja?” tanya Chandra.

 

Jheni menggelengkan kepala. “Aku kerjaannya nggak nentu. Kalau ada kerjaan, pergi kerja. Kalau nggak, ya di rumah aja atau jalan-jalan.”

 

Chandra tertawa kecil. “Enak ya? Kerjanya bebas?”

 

“Hahaha. Berasa perusahaan punya sendiri,” sahut Jheni.

 

“Kenapa kamu lebih milih buat jadi freelancer? Bukannya lebih enak kerja di perusahaan dan jadi karyawan tetap?”

 

“Mmh ... terlalu membosankan kerja di satu kantor. Kalau kayak gini, aku bisa pindah-pindah kantor sesuka aku dan nggak terikat sama waktu kerja. Yang penting, proyek kelar dengan baik dan klien puas.”

 

Chandra tersenyum. Ia mulai menyukai gaya Jheni bercerita. Ia menanyakan banyak hal tentang kehidupan Jheni dan juga mengajaknya membicarakan hal-hal yang terjadi di sekeliling mereka.

 

Bahkan, Chandra sampai memperdebatkan soal perbedaan rumput jepang dan rumput gajah mini. Hal yang tak pernah dilakukan oleh Chandra sebelumnya adalah banyak bicara dan tertawa. Jheni membuatnya nyaman dan ia sendiri tidak menyadari kalau menjadi pria yang hangat dan banyak bicara.

 

(( Bersambung ... ))

Thanks buat temen-temen yang udah setia baca Perfect Hero sampai di sini. Makasih banyak untuk apresiasi yang begitu besar. Jangan sungkan sapa aku di kolom komentar ya!

Happy Eid Mubarak! Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon maaf lahir dan batin ...

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas