Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Tuesday, February 11, 2025

Perfect Hero Bab 106 : Satu Langkah || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Halo ... kenapa, Yer?” tanya Lutfi lewat sambungan telepon.

 

“Kamu di mana?”

 

“Di Bali aku. Kenapa?”

 

“Hari ini, aku mau ngasih pelajaran ke Amara.”

 

“Gimana caranya?”

 

Yeriko langsung menjelaskan dengan detil rencana yang telah ia susun.

 

“Gila! Rencana kamu bagus juga,” sahut Lutfi.

 

Yeriko  tersenyum sinis menanggapi ucapan Lutfi. “Aku mau eksekusi sore ini juga. Kamu bisa balik ke Surabaya?”

 

“Sore ini? Aku baru nyampe di Bali nih. Kalo udah kelar urusan di sini, langsung ke sana. Besok pagi masih harus ke Gili lagi.”

 

“Kalau emang nggak bisa, nggak papa. Aku bisa selesaikan sendiri sama orang-orangku.”

 

“Serius?”

 

“He-em. Ada Riyan.”

 

“Okelah kalo gitu. Ntar kabarin ya!”

 

“Iya.”

 

“Nggak sabar aku pengen lihat mereka menderita. Benci banget aku sama Amara. Cewek bangsat itu harus dibikin jera!” tutur Lutfi kesal.

 

Yeriko tersenyum sinis menanggapi ucapan Lutfi.

 

“Nanti aku telepon lagi. Aku lagi di jalan mau ke kantor.”

 

“Oke.”

 

Yeriko langsung mematikan telepon yang tersambung dengan mobilnya dan melajukan mobil menuju kantor.

 

“Pak, saya udah atur semuanya.” Riyan langsung menghampiri Yeriko begitu ia sampai di kantor.

 

“Di Hotel mana?”

 

“Shangri-La. Aku udah pesan kamar yang paling mewah dan mahal.”

 

“Bagus. Jadwal meeting hari ini sampai jam berapa?”

 

“Meeting pagi sampai jam sebelas. Jam makan siang ada jadwal ketemu sama Marco, dari Exim Europe Corporation,” jawab Riyan.

 

“Sore kosong?”

 

Riyan menganggukkan kepala. “Sudah saya atur jadwalnya. Sore ini bisa langsung eksekusi si Harry.”

 

“Good!” Yeriko langsung melangkah menuju ruang meeting untuk memimpin rapat direksi.

 

Usai menyelesaikan semua pekerjaannya. Yeriko langsung menuju salah satu kamar mewah di Sangri-La Hotel. Ia sudah mendapatkan informasi dari Riyan kalau Harry juga telah menyewa salah satu kamar yang ada di hotel tersebut.

 

Yeriko menunggu kabar selanjutnya. Ia merogoh ponsel di sakunya dan langsung menelepon istrinya.

 

“Halo ...! Kenapa jam segini belum pulang? Pulang kerja, aku nggak dijemput. Sampe sekarang masih belum pulang. Masih banyak kerjaan di kantor?” cerocos Yuna begitu sambungan teleponnya tersambung.

 

“Bawel banget!” celetuk Yeriko. “Bisa nggak ngomongnya pelan-pelan?” pintanya kemudian. “Aku lagi di hotel.”

 

“What!? Ngapain di hotel? Sama siapa di sana?” seru Yuna.

 

Yeriko langsung menjauhkan ponselnya saat mendengar teriakan Yuna.

 

“Yeriko! Kenapa nggak jawab!?”

 

“Suara kamu keras banget! Abis makan toa ya?”

 

“Huft, kamu tuh nyebelin banget, sih!? Bisa-bisanya kamu enak-enak di hotel dan ninggalin aku sendirian di rumah!?” sentak Yuna.

 

“Aku nggak ngapa-ngapain. Lagi nunggu seseorang.”

 

“Siapa? Cewek apa cowok?”

 

“Cowok.”

 

“Kamu ada main sama cowok juga?” seru Yuna.

 

“Astaga! Kamu jangan salah paham gitu. Nanti aku ceritain kalo aku udah pulang.”

 

“Hiks ..., kamu tega banget sama aku. Aku nggak nyangka kalau kamu ...” Suara Yuna terdengar parau.

 

Yeriko memijat keningnya. “Yun, tenang dulu! Aku di sini sama Riyan. Apa aku suruh dia jemput kamu biar kamu percaya kalau aku nggak macem-macem di sini?”

 

“Oh, sama Riyan?”

 

“He-em.”

 

“Ya udah, lanjutin aja urusannya. Aku mau tidur cepet,” tutur Yuna dan langsung mematikan panggilan teleponnya.

 

“RIYAN ...!” teriak Yeriko.

 

“Iya, Pak Bos!” Riyan langsung menghampiri Yeriko.

 

“Jam berapa mereka check-in?”

 

“Sudah masuk setengah jam yang lalu.”

 

“Oke.”

 

Riyan mengangguk. Ia merogoh ponselnya yang berdering. Ia terpaku menatap layar ponselnya. Kemudian bergantian memandang Yeriko.

 

“Kenapa?” tanya Yeriko sambil menuangkan wine ke dalam gelas.

 

“Nyonya Muda yang telepon,” jawab Riyan gelisah.

 

“Angkat aja!”

 

Riyan mengangguk dan langsung menjawab telepon dari Yuna. “Halo ... Nyonya, ada apa? Hmm ... iya. Oke.” Ia langsung mematikan panggilan teleponnya.

 

“Dia ngomong apa?”

 

“Nggak ada ngomong apa-apa. Cuma mastikan kalau Pak Bos nggak telat makan.”

 

“Oh.” Yeriko manggut-manggut sambil tersenyum. Walau istrinya itu banyak bicara, tapi diam-diam juga memperhatikan dirinya.

 

Di hotel yang sama, di saat yang sama. Amara dan Harry masuk ke dalam kamar hotel yang telah mereka pesan sebelumnya. Pasangan kekasih ini terlihat sangat mesra dan bahagia.

 

Berkencan di kamar hotel bersama pria yang ia sukai, bukanlah hal baru bagi Amara. Ia sangat suka bersenang-senang dan memuaskan dirinya sendiri. Terlebih, Harry juga pria yang selalu menuruti keinginannya dan mengerti bagaimana menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang.

 

“Amara, makasih karena kamu selalu membuatku bahagia dan tahu bagaimana memberikan cinta yang begitu nikmat,” bisik Harry sambil melucuti pakaian Amara dan mencumbu tubuhnya dengan mesra.

 

Desahan yang keluar dari mulut Amara membuat Harry semakin bergairah dan mereka menikmati waktu yang mereka miliki untuk bercinta.

 

“Amara, kenapa kamu lebih milih aku daripada Chandra?” tanya Harry sambil memeluk erat tubuh Amara usai bercinta.

 

“Karena dia terlalu dingin, cuek dan membosankan,” jawab Amara santai.

 

“Apa kamu dan dia juga sering tidur bareng kayak gini? Dia tunangan kamu. Pasti ...”

 

“Dia nggak pernah menyentuh aku. Cowok satu itu terlalu alim dan nggak tahu caranya bersenang-senang.”

 

“Oh ya? Jadi, kamu udah resmi putus sama tunangan kamu itu?”

 

Amara menganggukkan kepala. “Karena aku bisa merasa bahagia saat sama kamu doang.”

 

Harry tersenyum penuh kemenangan dan langsung mengecup bibir Amara.

 

Amara balas tersenyum. Ia mengelus dada Harry yang kekar dan basah karena keringat. Tangannya mulai memancing gairah Harry agar bisa melakukan adegan cinta selanjutnya yang lebih nikmat lagi.

 

Harry merasa terbang melayang karena Amara selalu memuaskan dirinya. Namun, konsentrasinya terganggu saat ponselnya tiba-tiba berdering. Ia langsung bangkit dan mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja.

 

“Siapa?” tanya Amara.

 

“Nggak tahu.” Harry menggelengkan kepala sambil menatap layar ponselnya. Ia langsung menjawab panggilan telepon dari nomor yang tidak dikenalnya tersebut.

 

“Halo ...!” sapa Harry. Wajahnya langsung memerah begitu mendengar suara orang yang berbicara di ujung teleponnya. Ia menjauhkan dirinya dari Amara sambil menelan ludah beberapa kali. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan takutnya.

 

“Kenapa?” tanya Amara.

 

“Nggak papa,” jawab Harry sambil mengusap keringat dingin yang mengucur dari dahinya. Ia langsung mengambil pakaiannya yang berserakan dan memakainya.

 

“Mau ke mana?” tanya Amara kebingungan.

 

“Aku ada urusan mendadak. Kamu mau tidur di sini atau langsung pulang?”

 

“Aku langsung pulang. Ntar dicariin orang rumah kalau aku nggak pulang.”

 

“Aku pesankan taksi sekarang.”

 

“Kenapa sih? Tiba-tiba kamu ketakutan kayak gini?”

 

“Nggak ada apa-apa. Ada sedikit masalah sama bisnis aku.  Aku harus pergi buat menyelesaikan secepatnya.”

 

“Tapi ... ini udah malam. Kamu mau ke kantor?”

 

Harry menggelengkan kepala. “Aku harus ketemu sama seseorang sekarang juga.”

 

“Aku gimana?” tanya Amara kesal saat melihat Harry sudah mengenakan semua pakaiannya, sementara ia belum mengenakan sehelai kain pun di tubuhnya.

 

“Aku udah pesenin taksi,” jawab Harry sambil memakai sepatunya. “Setelah urusanku selesai, aku langsung telepon kamu.” Ia bergegas menarik gagang pintu dan keluar dari kamar.

 

“Iih ... ngeselin banget!” Amara memukul ranjang tidurnya yang empuk. “Baru juga main sekali, udah main pergi aja,” celetuknya kesal. Ia turun dari ranjang dan langsung mengenakan pakaiannya kembali.

 

Harry langsung menuju salah satu kamar hotel yang dikirim lewat ponselnya. Ia langsung menekan bel kamar hotel tersebut. Pintu kamar hotel terbuka dengan sendirinya. Ia langsung masuk ke dalam kamar hotel mewah tersebut sambil mengedarkan pandangannya.

 

“Udah puas tidur sama tunangan orang?”

 

Harry tertegun menatap seseorang yang duduk santai di sofa sambil menatap dirinya. Tenggorokannya sangat cekat dan ia kesulitan menelan ludahnya sendiri. Tatapan mata orang tersebut begitu tajam, seperti sebuah belati yang bersiap memotong lehernya hanya dalam satu libasan.

 

Orang yang berhadapan dengan Harry bangkit dan tersenyum sinis. Ia langsung menghampiri Harry sambil menatap penuh kebencian.

 

“Ma ... maaf!” Harry tidak kuat mendapati tatapan mata orang yang ada di hadapannya. Ia langsung menjatuhkan lututnya ke lantai. Ia merasa sangat bersalah dan tidak berdaya melawan orang yang sedang berdiri angkuh di depannya.

 

(( Bersambung ... ))

Thanks buat temen-temen yang udah setia baca Perfect Hero sampai di sini. Makasih banyak untuk apresiasi yang begitu besar. Jangan sungkan sapa aku di kolom komentar ya!

Happy Eid Mubarak! Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon maaf lahir dan batin ...

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi


2 comments:

  1. Kak vel ada typo nya... Ada nama andre disana harusnya kan harry style

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ups, I am so sorry ... terima kasih banyak koreksinya

      Delete

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas