“Gimana
kerjaan kamu di kantor yang baru? Baik-baik aja?” tanya Yeriko.
Yuna
menganggukkan kepala sambil membaca chat grup dari divisi perusahaannya. “Mmh
... baik,” jawab Yuna sambil mengunyah makanan di mulutnya.
Yeriko
tersenyum kecil sambil menarik ponsel Yuna.
“Eh!?
Kenapa di ambil?” tanya Yuna bengong.
“Makan
dulu, baru main hp.”
“Aku
nggak main. Aku lagi chatting sama temen-temen kantor. Diskusi soal acara
Fashion Show nanti.”
“Fashion
Show?” Yeriko mengernyitkan dahinya.
Yuna
menganggukkan kepala. “Aku diminta buat ngurusin acara itu.”
“Emang
bisa?”
“Kamu
nggak yakin sama kemampuan istrimu ini?” dengus Yuna.
Yeriko
tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Iya, aku percaya.”
“Oh
ya, Mama Rully nanyain terus. Kapan kita mau ke butik?”
“Dia
bisanya kapan?”
“Mmh
... mungkin, abis balik dari Jakarta.”
Yeriko
mengangguk. “Aku bakal luangin waktuku.”
“Beneran?”
Yeriko
menganggukkan kepala. Mereka terdiam selama beberapa saat.
“Yun
...!” panggil Yeriko.
“Ya.”
“Apa
kemunculan Refi, bikin kamu nggak nyaman?”
Yuna
tersenyum kecil. “Biasa aja.”
“Tapi
...”
“Awalnya
agak syok, tapi lama-lama juga terbiasa,” sahut Yuna sambil mengunyah makanan
di mulutnya.
“Terbiasa
apa?”
“Terbiasa
lihat suamiku jadi rebutan cewek-cewek cantik,” jawab Yuna sambil tertawa
kecil.
“Kamu
nggak cemburu?” tanya Yeriko sambil mengernyitkan dahinya.
Yuna
menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Yeriko
membelalakkan matanya sambil menatap Yuna. “Kamu ...!?” dengusnya kesal.
“Gimana bisa, dia nggak punya rasa cemburu sama sekali?” batinnya dalam hati.
Yuna
tersenyum menatap Yeriko. “Aku percaya sama kamu. Kamu nggak akan berpaling
dari aku kan?”
Yeriko
menganggukkan kepala. Ia mengelus lembut pipi Yuna. Ia merasa sangat bahagia
karena gadis mungil di hadapannya kini telah membuat seluruh harinya berwarna.
Membuat hati dan pikirannya selalu tenang dan nyaman.
“Yun,
jangan jauh-jauh dari aku ya!” pinta Yeriko berbisik.
Yuna
mengangguk sambil menghabiskan makanannya yang tinggal beberapa suapan lagi.
Yeriko
tersenyum kecil saat Yuna sudah menghabiskan makanannya. “Sini!” pintanya
sambil menarik lengan Yuna dan membawa tubuh Yuna duduk di pangkuannya.
“Kapan
kamu ada waktu libur?” tanya Yeriko sambil menatap Yuna.
“Setiap
Minggu, selalu libur. Kenapa?”
“Mmh
... satu minggu?”
“Mmh
...” Yuna melirik ke langit-langit ruangan. “Jadwal kerjaanku masih padet
banget. Kalau libur seminggu, belum bisa. Emangnya kenapa?”
“Pengen
liburan bareng kamu.”
“Liburan!?”
Mata Yuna langsung berbinar sambil menatap Yeriko. “Ke mana?”
“Kamu
maunya ke mana?” tanya Yeriko.
“Kamu
yang mau ngajakin liburan, kenapa malah tanya aku?”
“Santorini,
gimana?”
“Ah,
ciyee ... kamu mau ngajak aku bulan madu ya?” goda Yuna.
Yeriko
tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Yuna
menghela napas. “Aku masih sibuk kerja dan nyiapin acara pesta pernikahan kita.
Gimana kalau liburannya setelah resepsi aja?”
“Masih
lama banget,” sahut Yeriko.
“Nggak
lama, kok. Masih tiga bulan lagi, kan? Nggak bakal terasa.”
“Aku
maunya besok,” pinta Yeriko manja.
Yuna
tersenyum kecil sambil mencubit hidung Yeriko. “Manja banget sih!? Kita atur
liburan setelah resepsi aja. Gimana?”
Yeriko
mengangguk tak bersemangat.
“Oh
ya, kemarin Mama Rullyta ada ngasih beberapa tempat yang akan kita pakai untuk
acara Pre-Wedding gitu. Kayaknya sih, beberapa tempat ada di luar negeri. Bisa
sekalian liburan kan?”
“Itu
cuma foto doang. Palingan sehari aja langsung balik ke sini lagi,” sahut
Yeriko.
“Yaelah,
kita pakai liburan sekalian. Aku bisa izin dari kantorku setelah beberapa
proyek yang aku tangani selesai.”
“Hmm
...”
“Jangan
cemberut gitu, dong! Senyum!” pinta Yuna.
Yeriko
tersenyum dan langsung mengecup bibir Yuna. “Oh ya, beberapa hari ini nggak ada
lihat kakek. Gimana kalau besok kita ke rumah kakek?” tanya Yeriko.
“Boleh,”
jawab Yuna sambil menganggukkan kepala. “Oh ya, aku sama sekali nggak pernah
lihat Amara. Apa dia bener-bener nggak ada jenguk Chandra?”
Yeriko
menggelengkan kepala. “Oh ya, ngomong-ngomong soal Chandra ... aku lupa telepon
Riyan,” tutur Yeriko sambil merogoh ponsel di sakunya.
“Riyan?
Apa hubungannya sama Chandra?”
“Bentar!”
pinta Yeriko sambil menekan menu calling pada nomor ponsel Riyan. “Halo ...
Yan, kamu di mana?”
“Di
rumah, Pak Bos!”
“Yang
aku suruh kemarin, udah dikerjain?”
“Yang
mana?”
“Masalah
Chandra.”
“Oh
... sudah, Pak Bos.”
“Hasilnya
gimana?”
“Amara
sudah lama menjalin hubungan dengan Harry Prayogi.”
“Apa
yang kamu dapet dari Harry?”
“Dia
salah satu pengusaha muda yang mengelola perusahaan ayahnya, PT. Cahaya
Gemilang. Dia lumayan dekat dengan banyak wanita, Amara salah satunya.”
“Di
mana dia biasa nongkrong?”
“Di
Club, hampir setiap malam dia ada di sana?”
“Bareng
Amara?” tanya Yeriko.
“Iya.
Mereka juga terbiasa menyewa salah satu kamar di hotel buat ...”
“I
see ... kamu atur sesuai rencana yang aku kasih!” pinta Yeriko.
“Oke,
Pak Bos!” sahut Riyan.
Yeriko
langsung mematikan panggilan teleponnya.
“Kamu
punya rencana apa?” tanya Yuna sambil mengernyitkan dahi.
“Lihat
aja nanti!” sahut Yeriko sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.
“Nggak
kriminal, kan?”
Yeriko
tertawa kecil. “Nggak, lah. Aku nggak sebodoh itu. Aku punya rencana yang
sangat bagus.”
“Ngambil
alih perusahaannya lagi?” tanya Yuna.
Yeriko
menggelengkan kepala. “Perusahaannya cuma perusahaan kecil. Aku belum tertarik
buat ambil alih.”
Yuna
memonyongkan bibirnya.
Yeriko
langsung mencubit hidung Yuna dengan gemas. “Oh ya, kapan kita punya anak?”
tanyanya kemudian.
Yuna
menghela napas. “Nggak tahu.”
“Kita
udah bikin tiap malam. Kenapa nggak jadi-jadi? Kamu udah periksa atau belum?”
Yuna
menggelengkan kepala. “Haidku masih teratur. Berarti nggak hamil kan?”
“Kamu
bisa aja. Gimana kalau minggu depan, kita periksa ke dokter?” tanya Yeriko.
“Periksa?
Kan nggak sakit.”
“Yah,
kita bisa konsultasi ke dokter buat program anak.”
“Kamu
udah ngebet banget pengen punya anak?” tanya Yeriko.
“Mmh
... nggak juga, sih. Cuma, mama dan kakek bakal mendesak terus. Aku nggak
nyaman banget kalau ketemu, selalu nanyain anak mulu.”
Yuna
tersenyum kecil. “Punya anak itu nggak mudah. Emangnya udah siap jadi Ayah?”
Yeriko
menganggukkan kepala sambil tersenyum.
“Laki-laki
sih enak ngomongnya. Seenak bikinnya. Tapi ... perempuan hamil itu nggak enak.
Apa aku bisa ngerawat anak?” tanya Yuna tak yakin dengan dirinya sendiri.
“Kalau
kerepotan, kita bisa sewa beberapa baby sitter,” sahut Yuna.
“Hmm
... kalau dirawat baby sitter, ntar dia nggak kenal mana mamanya.”
Yeriko
tertawa kecil. “Kalau gitu, kamu harus berhenti kerja!”
“Why?”
“Fokus
ngerawat anak kita.”
“Tapi
...”
“Nggak
ada tapi-tapian!” tegas Yeriko. “Setelah program hamil berhasil, kamu harus
berhenti kerja!”
Yuna
memonyongkan bibirnya. “Tapi ... banyak aja emak-emak yang hamil dan tetep
kerja.”
“Hmm
... kamu mau denger aku atau nggak?”
“Iya,
denger. Suamiku tersayang!” sahut Yuna sambil menyubit kedua pipi Yeriko.
Yeriko
tersenyum dan langsung memeluk erat tubuh Yuna. “Makasih ya!” ucapnya lirih.
“Makasih
untuk apa?”
“Karena
kamu ... selalu bisa ngertiin aku.”
Yuna
mengelus lembut punggung Yeriko. “Aku yang seharusnya berterima kasih karena
kamu sudah hadir dalam hidupku. Kalau bukan karena kamu. Mungkin saat ini aku
jadi gelandangan di jalanan.”
“Kamu
baru sadar kalau kamu adalah kucing kecil yang aku pungut dari jalanan saat
hujan?”
Yuna
langsung menatap wajah Yeriko. “Apa aku ini istri pungut?”
Yeriko
tertawa kecil. “Awalnya iya. Tapi, sekarang sudah jadi istri yang paling aku
sayang di dunia ini. Wanita yang paling istimewa dalam hidupku.”
Yuna
terharu mendengar ucapan Yeriko. Dia teringat beberapa waktu lalu saat Yeriko
beberapa kali menolongnya di pinggir jalan. Ia sering berjalan tanpa arah dan
Yeriko membawanya berjalan bersama hingga saat ini. Ia merasa mendapatkan
banyak kebahagiaan sejak ia masuk ke dalam kehidupan Yeriko.
0 komentar:
Post a Comment