“Hari ini ada kegiatan nggak?” tanya Yuna setelah selesai
sarapan pagi bersama Yeriko.
“Nggak ada. Kenapa?”
“Mmh ... mumpung weekend, gimana kalau kita ke rumah
sakit nemenin Chandra?”
Yeriko menganggukkan kepala. “Rencanaku mau gitu juga.”
“Sekarang, yuk!”
“Bentar,” sahut Yeriko sambil menyalakan rokoknya. “Aku
ngerokok dulu sebentar.”
Yuna menghela napas. “Aku ganti baju dulu.” Ia bergegas
naik ke kamar untuk mengganti pakaiannya.
Beberapa menit kemudian, mereka keluar dari rumah dan
langsung melaju menuju rumah sakit tempat Chandra dirawat.
“Mantan pacar kamu itu dirawat di sana juga?” tanya Yuna.
Yeriko menganggukkan kepala.
“Siapa namanya? Aku lupa.”
“Refina.”
“Oh ... Refina, nama yang cantik. Pasti dia cantik juga
ya?”
“Lumayan.”
“Cantik aku atau dia?” tanya Yuna.
“Cantik istriku lah.”
“Huh, pasti dulu kamu pernah bilang kalau dia yang paling
cantik? Iya, kan?” goda Yuna.
Yeriko menggelengkan kepala sambil menahan senyum.
“Iih ... ngaku aja, deh!”
“Namanya juga orang pacaran. Kamu sama Lian juga pasti
begitu kan?”
“Hmm ... iya juga, sih. Dulu, aku lihat dia itu cowok
paling ganteng di dunia. Konyol banget kan?” tutur Yuna sambil tertawa kecil.
“Setiap hari berdoa semoga dia itu jodohku. Eh, sekalinya tetep aja nggak
jodoh. Malah nikahnya sama orang yang baru aku kenal.”
Yeriko tergelak. “Mmh ... kayaknya aku harus berterima
kasih sama Lian.”
“Kenapa begitu?”
“Karena ... dia udah jagain jodohku dengan baik,” bisik
Yeriko di telinga Yuna. Ia kembali fokus menatap jalanan sambil tersenyum.
“Ah, kamu bisa aja. Apa aku juga harus berterima kasih
sama Refina?”
Yeriko mengerutkan dahinya. “Terima kasih kenapa? Aku
udah lama putus sama dia.”
“Karena ... dia udah ninggalin kamu. Kalau nggak, aku
nggak akan duduk di sini sekarang sebagai istri kamu.”
Yeriko tersenyum kecil sambil mengusap ujung kepala Yuna.
“Kamu ini, ada-ada aja.”
“Oh ya, semalam mama Rully chat aku. Dia nanyain, kapan
kita bisa ada waktu ke butik buat pilih model baju pengantin?”
“Mmh ... kapan ya?”
“Aku nyesuaikan jadwal kamu aja.”
“Sore ini gimana?”
“Mmh ... Mama yang nggak bisa kalau hari ini. Katanya,
dia masih di Jakarta.”
“Ngapain di sana?” tanya Yeriko langsung menoleh ke arah
Yuna.
Yuna mengedikkan bahunya. “Aku kurang tahu. Yang aku
tahu, dia udah pergi ke Jakarta sejak dua hari yang lalu.”
“Dia ngabarin kamu waktu berangkat ke sana?”
Yuna menganggukkan kepala. “Kenapa?”
“Mmh ... anaknya dia itu aku atau kamu ya? Kenapa dia
nggak pernah ngasih kabar apa pun ke aku?” Yeriko bertanya-tanya.
Yuna tertawa kecil sambil menatap Yeriko. “Kita sama-sama
anak mama. Lagian, ngasih tahu salah satu aja kan udah cukup kan? Aku atau kamu
... bukannya kita satu?”
Yeriko tergelak. “Kamu udah pandai nge-gombal juga?”
“Iya.
Abis baca-baca novel romance.”
Yeriko mencebik. “Nggak tulus banget ngomongnya.”
“Kok, gitu?”
“Nyontek di novel.”
“Idih, kamu juga nyontek kan?” dengus Yuna.
Yeriko menggelengkan kepala. “Aku nggak pernah baca
novel.”
“Buku yang sering kamu baca itu buku apa?”
“Itu buku bisnis. Nggak ada kata-kata gombalnya.”
Yuna memonyongkan bibirnya. “Jadi kapan?”
“Kapan apanya?”
“Bikin anak!” sahut Yuna kesal sambil memukul bahu
Yeriko. “Pilih baju pengantin!” seru Yuna.
Yeriko tertawa kecil. “Kalau sore bisa. Kalau pagi,
jadwal meetingku padet banget minggu ini.”
“Oke. Nanti aku kasih tahu mama.”
“Kalian belum kasih tahu aku soal konsep pernikahan.”
“Mmh ... secret!” sahut Yuna.
“Ini yang mau nikah, aku sama kamu atau mama sama kamu?
Kenapa aku nggak boleh tahu konsep pernikahan aku sendiri?”
“Ntar kalo udah fix, baru deh dikasih tahu. No protes!”
tegas Yuna.
“Hmm ... mencurigakan!” dengus Yeriko.
“Daripada kamu ... mencurihatiku,” sahut Yuna sambil
menatap Yeriko.
Yeriko
tertawa kecil. “Mencuri hati? Kamu ... bisa aja melesetin kata-kata. Emangnya kapan aku
mencuri hati kamu?”
“Mmh ... kapan ya?” Yuna mengetuk-ngetuk dagunya.
“Bukannya kamu yang ngasih secara cuma-cuma?” sahut
Yeriko sambil menahan senyum. Ia membelokkan mobilnya memasuki halaman parkir
rumah sakit.
Yuna tidak bisa berkata-kata lagi. “Amara ada dateng
jagain Chandra atau nggak?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Nggak ada.”
“Tega banget dia nggak ada nengokin Chandra sama sekali?”
“Nggak ada.”
“Huft, ngeselin banget sih cewek satu itu!” tutur Yuna
kesal.
“Biar aja. Nanti aku yang bakal urus cewek itu.”
“Maksud kamu?”
“Kita lihat nanti!” tutur Yeriko sambil tersenyum sinis.
Ia mematikan mesin mobilnya setelah terparkir dengan baik. Melepas safety belt
dan bergegas keluar dari mobil.
Yuna dan Yeriko langsung menuju ke ruang rawat Chandra.
“Pagi, Chan!” sapa Yuna sambil tersenyum lebar.
“Pagi ...!” sahut Chandra yang sedang menikmati
pemandangan lewat jendela ruang rawatnya.
“Gimana keadaan kamu? Udah baikan?” tanya Yuna.
Chandra menganggukkan kepala.
“Udah sarapan?” tanya Yuna.
“Udah.”
“Oh ya, Amara nggak ada ke sini sama sekali?” tanya Yuna.
Chandra menggelengkan kepala.
“Jheni?”
“Semalam dia nemenin aku di sini.”
Yuna langsung tersenyum sambil menatap Yeriko.
“Tunangan kamu itu bener-bener nggak punya rasa peduli ke
kamu. Malah orang lain yang lebih peduli buat jaga kamu,” tutur Yuna.
Chandra tersenyum kecil. Wajahnya masih menyiratkan
kesedihan dan kekecewaan.
“Nggak usah sedih! Rencana Tuhan bisa jadi lebih indah
dari rencanamu. Dia pasti sudah menyiapkan wanita yang jauh lebih baik dari
Amara,” tutur Yuna sambil tersenyum manis.
Chandra tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Yer, aku mau jenguk ayah dulu. Boleh?”
Yeriko menganggukkan kepala. “Mau aku temenin?”
“Nggak usah. Kamu di sini aja temenin Chandra!”
Yeriko mengangguk sambil tersenyum. “Salam buat ayah,
ya!”
Yuna menganggukkan kepala. “Chan, aku tinggal sebentar
ya!” pamit Yuna sambil menatap Chandra.
Chandra menganggukkan kepala.
Yuna bergegas keluar dari ruangan Chandra.
Beberapa menit kemudian, pintu ruangan Chandra kembali
terbuka.
“Kok, cepet banget baliknya? Nggak jadi jenguk ayah?”
tanya Yeriko sambil membalikkan tubuhnya. Ia tertegun melihat Refina yang baru
saja masuk. “Refi?”
Refina tersenyum. Ia menghampiri Yeriko dan Chandra
dengan kursi rodanya.
“Ngapain
ke sini?” tanya Yeriko dingin.
“Aku mau lihat keadaan Chandra,” jawab Refina sambil
tersenyum. Ia berharap bisa mendapatkan simpati dari Yeriko.
“Chandra baik-baik aja. Gimana keadaan kaki kamu?” tanya
Yeriko.
Refina tersenyum kecut. “Masih sama. Belum bisa jalan.”
“Ref, aku pasti tanggung jawab. Aku bakal ngasih
perawatan terbaik buat kamu supaya kaki kamu bisa sembuh,” sela Chandra.
Refina tersenyum. “Makasih banyak, Chan. Tapi, aku sudah
cacat. Sekalipun aku bisa jalan lagi, aku nggak akan bisa menari lagi seperti
dulu.”
“Maafin aku! Karena kecerobohanku mengakibatkan kamu
seperti ini.”
Refina tersenyum kecil. “Kamu sudah berkali-kali minta
maaf sama aku. Ini cuma kecelakaan. Aku nggak menyalahkan kamu, kok.” Ia
langsung melirik Yeriko yang berdiri di dekat Chandra.
“Yer, Lutfi mana? Belum ada nongol?” tanya Chandra
mengalihkan pembicaraan.
“Kayak nggak tahu Lutfi aja. Jam segini ya masih tidur.
Apalagi hari libur. Dia pasti main ke bar sampai pagi.”
“Ckckck.” Chandra menggelengkan kepala.
“Mmh ... aku nyusul istriku bentar, Chan!” pamit Yeriko.
“Mau ke mana?” tanya Refina sambil meraih ujung jemari
Yeriko.
Yeriko langsung menjauhkan tangannya. “Mau jemput
istriku,” jawabnya sambil berlalu pergi meninggalkan ruangan Chandra.
Refina tertunduk lesu. Ia merasa sangat kesal karena
Yeriko tetap saja tidak melihatnya.
“Jangan terlalu banyak berharap. Yeriko yang sekarang,
bukan Yeriko yang kamu kenal dulu!” tutur Chandra sambil menatap Refina.
“Buatku, dia masih tetap sama,” sahut Refina lirih.
Chandra menghela napas menatap Refina. Ia tidak tahu apa
yang akan terjadi jika Refina benar-benar berhadapan dengan Yuna. Yeriko akan
membawa Yuna ke dalam rasa sakit yang dalam jika mengetahui kalau Refina adalah
cinta pertama Yeriko di masa lalu. Ia hanya berharap kekhawatirannya itu tidak
akan pernah terjadi.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Selamat menjalankan ibadah puasa!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment