Yuna
melangkahkan kakinya keluar dari toilet dengan wajah sumringah setelah menerima
telepon dari suaminya. Ia merasa sangat senang karena suaminya begitu
perhatian, selalu meluangkan waktu untuk menelepon atau mengirim pesan
kepadanya.
Yuna
menghentikan langkahnya saat melihat tiga wanita tiba-tiba menghadangnya. Ia
menatap kertas yang disodorkan oleh Bellina di depan wajahnya.
“Apa
ini?” Yuna menyambar kertas dari tangan Bellina dan langsung membacanya.
“Dateng
ya!” pinta Bellina.
“Cuma
undangan pertunangan, kalian sampe nyamperin aku kayak gini?” tanya Yuna. Ia
langsung membuang kertas tersebut ke tempat sampah yang ada di sisinya.
Bellina
melongo melihat undangan pertunangannya dibuang begitu saja oleh Yuna. “Kamu!?”
Ia langsung melotot ke arah Yuna.
Yuna
tersenyum sinis. “Kamu pikir, undangan itu mau diapain kalau nggak dibuang?
Siapa juga yang mau simpan kertas undangan kayak gitu,” tuturnya sambil menatap
kertas undangan yang sudah ada di dalam tempat sampah.
“Heh!?
Seenggaknya kamu bisa menghargai orang sedikit. Nggak langsung dibuang gitu aja
di depan orang yang ngasih kamu undangan!” sentak Lili.
“Bodo
amat!” sahut Yuna sambil melangkah pergi.
Bellina
menarik lengan Yuna dan menekan tubuh Yuna ke dinding. “Kenapa? Kamu nggak mau
datang ke pertunangan aku karena masih sayang sama Lian?”
Yuna
tersenyum sinis menanggapi pertanyaan Bellina. “Aku itu udah nikah. Suamiku
jauh lebih baik dari Lian. Bodoh banget kalau aku masih suka sama cowok murahan
kayak Lian.”
Bellina
tersenyum ke arah Yuna. “Kalo gitu, kamu harus dateng ke pertunangan kami!”
“Haduh
...! Buat apa sih kamu caperk-capek ngundang aku ke acara kamu? Aku udah tahu
kalau kalian udah tunangan dan akan menikah. Tante Melan udah minta bantuan aku
buat ngurus keperluan pernikahan kalian. Terus, kenapa harus dateng ke pesta
pertunangan segala?”
“Bukannya
kamu sekarang udah jadi istrinya orang kaya? Kalau emang kamu beneran udah
nikah sama Yeriko, kenapa nggak ada pesta pernikahan? Aku juga nggak pernah
lihat kamu pakai cincin pernikahan.”
“Yang
menunjukkan kita udah nikah atau belum itu bukan cincin, tapi buku nikah,”
sahut Yuna.
“Jangan-jangan,
kamu udah jual cincin pernikahannya buat biaya rumah sakit ayah kamu?”
“Jangan
sembarangan kalo ngomong!” sentak Yuna.
“Aku
lihat di pertemuan bisnis kemarin, kamu pakai perhiasan yang mahal banget.
Sekarang, ke mana perhiasan itu? Semuanya sewaan doang?”
“Hahaha.
Ternyata, kamu bukan bener-bener orang kaya?” sahut Lili. “Mungkin, dia cuma
pura-pura jadi orang kaya. Jangan-jangan, dia nggak beneran nikah sama bos GG
itu.”
“Cuma
jadi simpanannya doang. Hahaha,” sahut Sofi.
“Emang
kenapa kalau jadi simpanannya dia? Dia masih muda, ganteng dan kaya raya,”
sahut Yuna sambil tersenyum.
Lili
tersenyum sinis ke arah Yuna. “Jangan-jangan kamu bukan cuma jadi istri Yeriko,
tapi juga jadi simpanannya sugar daddy lainnya?”
Yuna
menarik napas mendengar ucapan Lili. “Nggak kebalik?”
Lili
langsung mengedarkan pandangannya ke beberapa mata yang sedang menonton
perdebatan mereka.
Sejak
kedatangan Yuna, pertengkaran mereka menjadi pusat perhatian dan selalu jadi
tontonan menarik di kantornya.
Yuna
menarik lengan Lili. Ia melihat jam tangan limited edition yang dipakai oleh
Lili. Ia langsung tersenyum sambil menatap jam tangan itu dengan mata berbinar.
“Ini kan jam tangan limited edition. Aku tahu ini harganya mahal banget. Bahkan
gaji kamu selama setahun, nggak akan bisa dipake buat beli jam ini.
Jangan-jangan, kamu yang punya sugar daddy?”
Lili
membelalakkan matanya menatap Yuna. Wajahnya memerah karena beberapa karyawan
mulai membicarakan soal kebenaran yang sedang diungkapkan oleh Yuna.
“Kenapa?
Nggak mau ngakuin kalau kamu ternyata simpanannya Oom-Oom kaya? Ternyata,
selama ini cuma pura-pura jadi anak orang kaya?”
“Jangan
sembarangan ya kalo ngomong!” sentak Lili. “Kamu ngomong nggak ada buktinya!”
“Bukti?
Selama ini juga kamu ngatain aku tanpa bukti kan? Kalau kamu anak orang kaya,
kenapa kamu jadi staff di sini? Seharusnya kamu jadi manager atau direktur di
perusahaan orang tua kamu kan?”
Lili
gelagapan mendengar pertanyaan dari Yuna. Ia berpikir cepat untuk bisa
menyanggah ucapan Yuna. “Aku masih muda dan masih belajar di sini. Bukannya
kamu juga istrinya orang kaya? Kenapa cuma jadi staff biasa di sini? Kenapa
nggak jadi direktur di perusahaan suami kamu aja!?” seru Lili.
Perdebatan
antara Yuna dan Lili semakin memanas. Beberapa karyawan yang menonton, bahkan
menjadikan pertengkaran mereka sebagai bahan taruhan.
Yuna
tersenyum kecil menatap Lili. “Aku bisa aja datang ke perusahaan suamiku. Tapi,
aku ke sini karena rekomendasi dari universitasku. Lagian, aku bisa dengan
mudah minta suamiku buat ambil perusahaan ini jadi milik dia.”
Bellina
membelalakkan matanya mendengar ucapan Yuna. Ia tak bisa lagi berkata-kata.
Walau bagaimana pun, ia tidak boleh membiarkan Yeriko mengambil alih perusahaan
milik Lian.
“Li,
udah deh! Mending kita ngalah aja.”
“Ngalah
gimana? Jelas-jelas dia yang udah belagu dan sombong banget kayak gini.
Mentang-mentang punya suami orang kaya!” sahut Lili.
“Li,
suaminya dia emang orang kaya,” bisik Sofi. “Kalau dia beneran mau ambil
perusahaan ini, kita bakal didamprat sama dia.”
Lili
merasa semakin kesal dengan Yuna. Ia tidak ingin Yuna bisa hidup tenang karena
telah meremehkan dirinya di depan banyak orang. “Awas kamu ya!” ancam Lili.
Bellina
memijat kepalanya yang berdenyut. Pikirannya semakin kacau karena ucapan Yuna.
Ia memilih untuk melangkah pergi dan kembali ke ruangannya terlebih dahulu.
“Bel,
mau ke mana?”
“Aku
masih banyak kerjaan,” jawab Bellina sambil melangkah pergi.
Yuna
tersenyum sinis dan juga melangkah pergi meninggalkan Lili dan Sofi.
Semua
karyawan yang menyaksikan perdebatan mereka juga ikut bubar dan kembali ke meja
kerjanya masing-masing.
“Yun,
kamu hebat banget! Bisa ngelawan mereka yang sombong-sombong itu,” puji salah
seorang karyawan yang menghampiri Yuna.
Yuna
tersenyum. “Bukannya kesombongan harus dibalas dengan kesombongan juga?”
“Iya
juga sih. Semenjak ada kamu, mereka selalu kebakaran jenggot setiap hari. Kamu
berani banget ngelawan mereka.”
“Dia
nggak cuma menindas kamu, dia juga sering banget menindas kami. Karena dia
tunangannya Direktur Lian, siapa sih yang berani ngelawan dia?”
“Iya.
Dia menggunakan posisinya untuk menindas karyawan yang lemah seperti kami.”
“Sudahlah.
Nggak usah dibahas lagi!” sahut Yuna. “Kalian lanjut kerja aja!”
“Oke.”
Semua orang kembali ke meja kerja masing-masing dan melanjutkan aktivitas
seperti biasanya.
Yuna
menghela napas dan tersenyum lega. Walau setiap ia harus berkelahi dengan
Bellina dan dua orang pengikut setianya itu, ia tetap merasa sangat nyaman
bekerja karena semua karyawan sangat baik terhadapnya.
Telepon
Yuna tiba-tiba berdering. Yuna langsung menjawab panggilan telepon dari Yeriko.
“Halo ...!” sapanya sambil tersenyum bahagia.
“Halo
...! Pulang jam berapa?” tanya Yeriko.
“Jam
lima sore,” jawab Yuna.
“Aku
jemput kamu.”
“Oke.”
“Gimana
kerjaanmu hari ini?”
“Hmm
... cukup menyenangkan,” jawab Yuna sambil tersenyum.
“Pak,
ini kuncinya!” Terdengar suara seseorang sedang berbicara dengan Yeriko.
“Siapa?
Riyan?”
“Iya.”
“Kok
ribut? Lagi nggak di kantor?” tanya Yuna.
“Iya.
Lagi di luar. Kamu udah makan?”
“Udah.”
“Ada
yang mau dititip atau nggak? Kebetulan aku lagi di luar.”
“Nggak
ada,” jawab Yuna.
“Beneran
nggak ada?”
“Iya.
Nggak ada,” jawab Yuna sambil tersenyum.
“Oke.
Lanjut kerja lagi ya!”
“He-em.”
Yuna tersenyum dan langsung mematikan panggilan telepon dari Yeriko.
Perasaannya sangat bahagia karena memiliki seorang suami yang begitu
memperhatikannya.
“Pak
Tono, aku mau turun beli kopi. Mau nitip atau nggak?” tanya Yuna sambil menoleh
ke arah Pak Tono yang sedang serius bekerja.
“Gratis,
Yun?” tanyanya sambil tersenyum kecil.
“Idih,
Bapak ini minta gratisan mulu!” sambar Selma.
“Hahaha.”
“Iya,
deh. Aku kasih gratis karena hari ini suasana hatiku lagi bagus.”
“Aku
juga mau kalo gratis!” seru Bagus.
“Oke.”
Yuna mengerdipkan mata dan bangkit dari tempat duduk. “Eh, kalo Bellina nyari
aku, bilang aja aku lagi males berdebat!” pinta Yuna.
“Idih,
mana berani kita ngomong kayak gitu,” sahut Selma.
Yuna
tertawa kecil dan bergegas pergi.
((Bersambung ...))
0 komentar:
Post a Comment