Tuesday, February 4, 2025

Bab 52: Senyum Kemenangan

 


Yuna melangkahkan kakinya keluar dari toilet dengan wajah sumringah setelah menerima telepon dari suaminya. Ia merasa sangat senang karena suaminya begitu perhatian, selalu meluangkan waktu untuk menelepon atau mengirim pesan kepadanya.

 

Yuna menghentikan langkahnya saat melihat tiga wanita tiba-tiba menghadangnya. Ia menatap kertas yang disodorkan oleh Bellina di depan wajahnya.

 

“Apa ini?” Yuna menyambar kertas dari tangan Bellina dan langsung membacanya.

 

“Dateng ya!” pinta Bellina.

 

“Cuma undangan pertunangan, kalian sampe nyamperin aku kayak gini?” tanya Yuna. Ia langsung membuang kertas tersebut ke tempat sampah yang ada di sisinya.

 

Bellina melongo melihat undangan pertunangannya dibuang begitu saja oleh Yuna. “Kamu!?” Ia langsung melotot ke arah Yuna.

 

Yuna tersenyum sinis. “Kamu pikir, undangan itu mau diapain kalau nggak dibuang? Siapa juga yang mau simpan kertas undangan kayak gitu,” tuturnya sambil menatap kertas undangan yang sudah ada di dalam tempat sampah.

 

“Heh!? Seenggaknya kamu bisa menghargai orang sedikit. Nggak langsung dibuang gitu aja di depan orang yang ngasih kamu undangan!” sentak Lili.

 

“Bodo amat!” sahut Yuna sambil melangkah pergi.

 

Bellina menarik lengan Yuna dan menekan tubuh Yuna ke dinding. “Kenapa? Kamu nggak mau datang ke pertunangan aku karena masih sayang sama Lian?”

 

Yuna tersenyum sinis menanggapi pertanyaan Bellina. “Aku itu udah nikah. Suamiku jauh lebih baik dari Lian. Bodoh banget kalau aku masih suka sama cowok murahan kayak Lian.”

 

Bellina tersenyum ke arah Yuna. “Kalo gitu, kamu harus dateng ke pertunangan kami!”

 

“Haduh ...! Buat apa sih kamu caperk-capek ngundang aku ke acara kamu? Aku udah tahu kalau kalian udah tunangan dan akan menikah. Tante Melan udah minta bantuan aku buat ngurus keperluan pernikahan kalian. Terus, kenapa harus dateng ke pesta pertunangan segala?”

 

“Bukannya kamu sekarang udah jadi istrinya orang kaya? Kalau emang kamu beneran udah nikah sama Yeriko, kenapa nggak ada pesta pernikahan? Aku juga nggak pernah lihat kamu pakai cincin pernikahan.”

 

“Yang menunjukkan kita udah nikah atau belum itu bukan cincin, tapi buku nikah,” sahut Yuna.

 

“Jangan-jangan, kamu udah jual cincin pernikahannya buat biaya rumah sakit ayah kamu?”

 

“Jangan sembarangan kalo ngomong!” sentak Yuna.

 

“Aku lihat di pertemuan bisnis kemarin, kamu pakai perhiasan yang mahal banget. Sekarang, ke mana perhiasan itu? Semuanya sewaan doang?”

 

“Hahaha. Ternyata, kamu bukan bener-bener orang kaya?” sahut Lili. “Mungkin, dia cuma pura-pura jadi orang kaya. Jangan-jangan, dia nggak beneran nikah sama bos GG itu.”

 

“Cuma jadi simpanannya doang. Hahaha,” sahut Sofi.

 

“Emang kenapa kalau jadi simpanannya dia? Dia masih muda, ganteng dan kaya raya,” sahut Yuna sambil tersenyum.

 

Lili tersenyum sinis ke arah Yuna. “Jangan-jangan kamu bukan cuma jadi istri Yeriko, tapi juga jadi simpanannya sugar daddy lainnya?”

 

Yuna menarik napas mendengar ucapan Lili. “Nggak kebalik?”

 

Lili langsung mengedarkan pandangannya ke beberapa mata yang sedang menonton perdebatan mereka.

 

Sejak kedatangan Yuna, pertengkaran mereka menjadi pusat perhatian dan selalu jadi tontonan menarik di kantornya.

 

Yuna menarik lengan Lili. Ia melihat jam tangan limited edition yang dipakai oleh Lili. Ia langsung tersenyum sambil menatap jam tangan itu dengan mata berbinar. “Ini kan jam tangan limited edition. Aku tahu ini harganya mahal banget. Bahkan gaji kamu selama setahun, nggak akan bisa dipake buat beli jam ini. Jangan-jangan, kamu yang punya sugar daddy?”

 

Lili membelalakkan matanya menatap Yuna. Wajahnya memerah karena beberapa karyawan mulai membicarakan soal kebenaran yang sedang diungkapkan oleh Yuna.

 

“Kenapa? Nggak mau ngakuin kalau kamu ternyata simpanannya Oom-Oom kaya? Ternyata, selama ini cuma pura-pura jadi anak orang kaya?”

 

“Jangan sembarangan ya kalo ngomong!” sentak Lili. “Kamu ngomong nggak ada buktinya!”

 

“Bukti? Selama ini juga kamu ngatain aku tanpa bukti kan? Kalau kamu anak orang kaya, kenapa kamu jadi staff di sini? Seharusnya kamu jadi manager atau direktur di perusahaan orang tua kamu kan?”

 

Lili gelagapan mendengar pertanyaan dari Yuna. Ia berpikir cepat untuk bisa menyanggah ucapan Yuna. “Aku masih muda dan masih belajar di sini. Bukannya kamu juga istrinya orang kaya? Kenapa cuma jadi staff biasa di sini? Kenapa nggak jadi direktur di perusahaan suami kamu aja!?” seru Lili.

 

Perdebatan antara Yuna dan Lili semakin memanas. Beberapa karyawan yang menonton, bahkan menjadikan pertengkaran mereka sebagai bahan taruhan.

 

Yuna tersenyum kecil menatap Lili. “Aku bisa aja datang ke perusahaan suamiku. Tapi, aku ke sini karena rekomendasi dari universitasku. Lagian, aku bisa dengan mudah minta suamiku buat ambil perusahaan ini jadi milik dia.”

 

Bellina membelalakkan matanya mendengar ucapan Yuna. Ia tak bisa lagi berkata-kata. Walau bagaimana pun, ia tidak boleh membiarkan Yeriko mengambil alih perusahaan milik Lian.

 

“Li, udah deh! Mending kita ngalah aja.”

 

“Ngalah gimana? Jelas-jelas dia yang udah belagu dan sombong banget kayak gini. Mentang-mentang punya suami orang kaya!” sahut Lili.

 

“Li, suaminya dia emang orang kaya,” bisik Sofi. “Kalau dia beneran mau ambil perusahaan ini, kita bakal didamprat sama dia.”

 

Lili merasa semakin kesal dengan Yuna. Ia tidak ingin Yuna bisa hidup tenang karena telah meremehkan dirinya di depan banyak orang. “Awas kamu ya!” ancam Lili.

 

Bellina memijat kepalanya yang berdenyut. Pikirannya semakin kacau karena ucapan Yuna. Ia memilih untuk melangkah pergi dan kembali ke ruangannya terlebih dahulu.

 

“Bel, mau ke mana?”

 

“Aku masih banyak kerjaan,” jawab Bellina sambil melangkah pergi.

 

Yuna tersenyum sinis dan juga melangkah pergi meninggalkan Lili dan Sofi.

 

Semua karyawan yang menyaksikan perdebatan mereka juga ikut bubar dan kembali ke meja kerjanya masing-masing.

 

“Yun, kamu hebat banget! Bisa ngelawan mereka yang sombong-sombong itu,” puji salah seorang karyawan yang menghampiri Yuna.

 

Yuna tersenyum. “Bukannya kesombongan harus dibalas dengan kesombongan juga?”

 

“Iya juga sih. Semenjak ada kamu, mereka selalu kebakaran jenggot setiap hari. Kamu berani banget ngelawan mereka.”

 

“Dia nggak cuma menindas kamu, dia juga sering banget menindas kami. Karena dia tunangannya Direktur Lian, siapa sih yang berani ngelawan dia?”

 

“Iya. Dia menggunakan posisinya untuk menindas karyawan yang lemah seperti kami.”

 

“Sudahlah. Nggak usah dibahas lagi!” sahut Yuna. “Kalian lanjut kerja aja!”

 

“Oke.” Semua orang kembali ke meja kerja masing-masing dan melanjutkan aktivitas seperti biasanya.

 

Yuna menghela napas dan tersenyum lega. Walau setiap ia harus berkelahi dengan Bellina dan dua orang pengikut setianya itu, ia tetap merasa sangat nyaman bekerja karena semua karyawan sangat baik terhadapnya.

 

Telepon Yuna tiba-tiba berdering. Yuna langsung menjawab panggilan telepon dari Yeriko. “Halo ...!” sapanya sambil tersenyum bahagia.

 

“Halo ...! Pulang jam berapa?” tanya Yeriko.

 

“Jam lima sore,” jawab Yuna.

 

“Aku jemput kamu.”

 

“Oke.”

 

“Gimana kerjaanmu hari ini?”

 

“Hmm ... cukup menyenangkan,” jawab Yuna sambil tersenyum.

 

“Pak, ini kuncinya!” Terdengar suara seseorang sedang berbicara dengan Yeriko.

 

“Siapa? Riyan?”

 

“Iya.”

 

“Kok ribut? Lagi nggak di kantor?” tanya Yuna.

 

“Iya. Lagi di luar. Kamu udah makan?”

 

“Udah.”

 

“Ada yang mau dititip atau nggak? Kebetulan aku lagi di luar.”

 

“Nggak ada,” jawab Yuna.

 

“Beneran nggak ada?”

 

“Iya. Nggak ada,” jawab Yuna sambil tersenyum.

 

“Oke. Lanjut kerja lagi ya!”

 

“He-em.” Yuna tersenyum dan langsung mematikan panggilan telepon dari Yeriko. Perasaannya sangat bahagia karena memiliki seorang suami yang begitu memperhatikannya.

 

“Pak Tono, aku mau turun beli kopi. Mau nitip atau nggak?” tanya Yuna sambil menoleh ke arah Pak Tono yang sedang serius bekerja.

 

“Gratis, Yun?” tanyanya sambil tersenyum kecil.

 

“Idih, Bapak ini minta gratisan mulu!” sambar Selma.

 

“Hahaha.”

 

“Iya, deh. Aku kasih gratis karena hari ini suasana hatiku lagi bagus.”

 

“Aku juga mau kalo gratis!” seru Bagus.

 

“Oke.” Yuna mengerdipkan mata dan bangkit dari tempat duduk. “Eh, kalo Bellina nyari aku, bilang aja aku lagi males berdebat!” pinta Yuna.

 

“Idih, mana berani kita ngomong kayak gitu,” sahut Selma.

 

Yuna tertawa kecil dan bergegas pergi.


((Bersambung ...))

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas