Rullyta
telah menyiapkan makan malam mewah untuk menyambut kedatangan menantunya. Di
meja makan yang besar, ada beberapa makanan kesukaan Yuna dan berhasil membuat
mata Yuna bersinar saat melihatnya.
“Ayo,
makan!” ajak Rullyta saat semua sudah berkumpul di meja makan.
Yuna
mengangguk. Ia terlihat sangat bersemangat melihat makanan yang terhidang di
atas meja. Dengan perasaan senang, ia mengambilkan makanan untuk Yeriko.
“Makasih,”
ucap Yeriko sambil tersenyum manis ke arah istrinya.
“Yer,
gimana perusahaan?’ tanya Nurali di sela-sela makan malamnya.
“Baik,”
jawab Yeriko santai.
Nurali
menghela napas menatap Yeriko. “Tapi ... asisten kamu ini belum ada
perkembangan juga sampai sekarang.”
Riyan
langsung melongo mendengar ucapan Nurali. “Bos Besar, aku memang nggak bakat
main catur,” sahutnya.
Nurali
menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu sudah lama jadi asisten Yeriko. Apa masih
belum bisa mengatur strategi dengan baik? Payah!”
“Kek,
main catur nggak ada hubungannya dengan perusahaan.”
“Ini
nih pemikiran anak muda zaman sekarang. Kalau kamu belum bisa mengalahkan Kakek
bermain catur, kamu nggak akan bisa menjadi asisten yang hebat. Apa bos kamu
ini nggak pernah ngajarin strategi bisnis dengan baik?”
“Eh!?”
Riyan melongo. “Tuan Muda sudah mengajari saya dengan baik.”
Riyan
hanya meringis menatap Yuna, ia pura-pura fokus melanjutkan makannya.
“Pa,
Yeriko sudah terlalu bekerja keras mengurus perusahaan. Apa dia bener-bener
nggak ada waktu untuk berlibur?” tanya Rullyta sembari menatap ayahnya.
“Tanya
sendiri sama Yeri! Bukannya dia yang ngatur?”
“Pa
... mereka baru aja nikah. Apa Papa nggak mau kasih hadiah untuk mereka?” tanya
Rullyta.
“Hmm
... iya juga ya? Sepertinya, Kakek memang belum ngasih kado pernikahan untuk
kalian. Kalian mau hadiah apa?” tanya Nurali sambil menatap Yuna dan Yeriko.
Yuna
dan Yeriko tidak menjawab. Yuna merasa tidak memerlukan hadiah apa pun. Begitu
juga dengan Yeriko, ia merasa bisa memberikan apa pun untuk Yuna dan tidak
memerlukan hadiah dari kakeknya.
“Gimana
dengan liburan bulan madu? Kamu pengen bulan madu ke mana?” tanya Rullyta pada
Yuna.
“Eh
...!?” Yuna tidak bisa menjawab pertanyaan dari ibu mertuanya. Ia menoleh ke
arah Yeriko yang duduk di sampingnya.
Yeriko
mengangkat kedua alis sambil mengedikkan bahunya.
Rullyta
tersenyum kecil melihat Yuna, ia merasa menantunya itu sangat lucu. “Yun,
biasanya perempuan selalu memimpikan pernikahan yang indah dan megah. Bulan
madu ke tempat-tempat yang romantis. Kamu malah bingung kayak gini?”
Yuna
meringis menanggapi pertanyaan dari Rulyta. “Ma, Yeri masih banyak kerjaan di
kantornya. Aku juga gitu. Kami ... belum memikirkan untuk berbulan madu,” jawab
Yuna dengan nada yang semakin rendah.
“Yer,
kamu ini keterlaluan ya! Saking sibuknya sampai nggak sempat ngajak istri kamu
liburan untuk berbulan madu. Bahkan, membeli cincin pernikahan aja kamu nggak
sempat?” tanya Rullyta sambil menatap Yeriko.
“Ck,
jangan bikin semuanya jadi runyam, Ma!” pinta Yeriko. “Yuna nggak pernah
mengungkit soal cincin pernikahan maupun bulan madu.”
“Nggak
pernah mengungkit bukan berarti nggak menginginkannya kan? Kamu yang seharusnya
lebih ngerti. Kalau kayak gini, gimana kalian bisa ngasih Mama cucu?”
Yeriko
tersenyum kecil. “Ma, perkara cucu itu mudah. Nggak harus liburan buat bikin
anak. Di rumah aja bisa,” jawab Yeriko.
Yuna
langsung menyikut lengan Yeriko karena suaminya itu terlalu vulgar. Membuat
Yeriko langsung menoleh ke arah Yuna yang duduk di sampingnya.
Yuna
merasa, pembicaraan di meja makan terlalu serius dan bisa saja merusak suasana
hati dan nafsu makan mereka. “Mmh ... ini enak banget!” seru Yuna sambil
mengambil potongan bebek goreng.
Rullyta
tersenyum menatap Yuna. “Kamu suka?”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Ambil
lagi!” Rullyta langsung memberikan potongan bebek goreng ke piring Yuna.
“Makasih,
Ma!” ucap Yuna dengan mulut penuh makanan.
“Belum
kenyang?” bisik Yeriko yang mengetahui kalau Yuna sudah makan cukup banyak.
Yuna
menggelengkan kepala. Ia memaksakan diri untuk menghabiskan makanan walau
perutnya sudah sangat kenyang.
Yeriko
menghela napas. Ia mengambil sebagian makanan Yuna dan memakannya.
“Eh!?”
Yuna melongo, ia mengedarkan pandangannya saat melihat Yeriko yang ikut memakan
makanan di piringnya.
Yeriko
tersenyum kecil. Begitu juga dengan semua orang yang ada di ruangan. Mereka
tidak hanya tersenyum senang, tapi mulai menggoda Yuna dan Yeriko sebagai
pengantin baru yang sangat mesra.
Usai
makan malam bersama, mereka berbincang di ruang tamu.
“Yuna,
apa kamu mau menganggap Mama ini seperti mama kamu sendiri?” tanya Rullyta.
Yuna
mengangguk sambil tersenyum. “Bunda sudah meninggal sebelas tahun yang lalu.
Aku seneng banget karena akhirnya bisa punya Mama.”
“Mmh
... kalau gitu, apa Mama boleh minta sesuatu sama kamu?”
Yuna
mengangguk. “Selama Yuna bisa, pasti Yuna kasih buat Mama.”
“Kamu
pasti bisa. Mama nggak minta macem-macem, kok. Cuma minta satu aja!”
“Oh
ya? Apa itu?” tanya Yuna.
“Mama
pengen punya cucu secepatnya!”
“Hah!?”
Yuna melongo mendengar keinginan Rullyta. Sejak masuk ke rumah keluarga Yeriko,
ia sudah beberapa kali mendengar kakek dan mama mertuanya menginginkan seorang
cucu. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan dari Rullyta.
“Kenapa?”
tanya Rullyta saat melihat sikap Yuna yang gugup. “Kalian ... bukan
sandiwara menikah di depan kamu, kan?”
Yuna
langsung menggelengkan kepala.
“Ck,
Mama kebanyakan nonton drama. Kami menikah resmi, gimana bisa sandiwara!?”
sahut Yeriko kesal.
“Kalau
gitu, kalian harus secepatnya ngasih Mama cucu!” pinta Rullyta. “Kalian kan tahu,
rumah sebesar ini sepi banget. Mama udah nggak sabar pengen nimang cucu di
rumah. Kalian boleh kerja siang malam. Asalkan, anak kalian sama Mama,”
lanjutnya dengan wajah sumringah.
“Mmh
... Ma, ini udah malam. Kami pulang dulu ya!” pamit Yeriko sambil melirik
arloji di tangannya.
“Cepet
banget!?”
“Kalau
kami nggak pulang secepatnya, gimana bisa bikinin cucu buat Mama?” sahut Yeriko
sambil mengedipkan matanya.
“Oh
.. oke, oke.” Rullyta tersenyum senang menatap Yeriko dan Yuna. “Kalian harus sering-sering
mengunjungi kami!” pintanya.
Yuna
dan Yeriko mengangguk. Mereka langsung berpamitan untuk pulang.
“Eh,
Riyan mana?” tanya Yuna saat tidak lagi melihat sosok Riyan.
“Udah
pulang,” jawab Yeriko.
“Kapan
pulangnya?”
“Abis
makan, dia langsung pulang.”
“Oh
... naik apa? Bukannya dia tadi ngantar kita ke sini?” tanya Yuna sambil keluar
dari rumah.
“Naik
taksi.”
“Oh.”
Yuna mengikuti langkah Yeriko menuju ke mobil. “Aku boleh nanya sesuatu?”
“Apa?”
“Mmh
... Papa kamu ... aku nggak lihat dia di album foto kamu. Apa dia ...?”
Yeriko
menatap tajam ke arah Yuna. Ia merasa sangat kesal setiap kali ada yang
menanyakan keberadaan papanya. Pertanyaan Yuna benar-benar telah mengusik
hatinya dan membuat suasana hatinya sangat buruk.
Yuna
menatap mata Yeriko. Ia bisa merasakan emosi yang tersirat dari mata beruang
kesayangannya itu. “Sorry ...! Aku nggak akan tanya lagi,” ucapnya sambil
memeluk tubuh Yeriko.
Yeriko membalas pelukan Yuna. Cahaya rembulan menerpa tubuh mereka.
Yuna
menengadahkan kepalanya menatap Yeriko. Ia melihat wajah suaminya jauh lebih
tampan sepuluh kali saat tertimpa cahaya bulan. Ia merasa sangat bahagia setiap
kali berada dalam pelukan Yeriko.
“Tuhan
... aku tidak mengerti perasaanku saat ini. Aku merasa sangat nyaman dan
bahagia setiap kali berada di sisinya. Biarkan kami seperti ini selamanya,”
batin Yuna dalam hati.
0 komentar:
Post a Comment