Sunday, February 2, 2025

Bab 46 : Minta Cucu

 



Rullyta telah menyiapkan makan malam mewah untuk menyambut kedatangan menantunya. Di meja makan yang besar, ada beberapa makanan kesukaan Yuna dan berhasil membuat mata Yuna bersinar saat melihatnya.

 

“Ayo, makan!” ajak Rullyta saat semua sudah berkumpul di meja makan.

 

Yuna mengangguk. Ia terlihat sangat bersemangat melihat makanan yang terhidang di atas meja. Dengan perasaan senang, ia mengambilkan makanan untuk Yeriko.

 

“Makasih,” ucap Yeriko sambil tersenyum manis ke arah istrinya.

 

“Yer, gimana perusahaan?’ tanya Nurali di sela-sela makan malamnya.

 

“Baik,” jawab Yeriko santai.

 

Nurali menghela napas menatap Yeriko. “Tapi ... asisten kamu ini belum ada perkembangan juga sampai sekarang.”

 

Riyan langsung melongo mendengar ucapan Nurali. “Bos Besar, aku memang nggak bakat main catur,” sahutnya.

 

Nurali menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu sudah lama jadi asisten Yeriko. Apa masih belum bisa mengatur strategi dengan baik? Payah!”

 

“Kek, main catur nggak ada hubungannya dengan perusahaan.”

 

“Ini nih pemikiran anak muda zaman sekarang. Kalau kamu belum bisa mengalahkan Kakek bermain catur, kamu nggak akan bisa menjadi asisten yang hebat. Apa bos kamu ini nggak pernah ngajarin strategi bisnis dengan baik?”

 

“Eh!?” Riyan melongo. “Tuan Muda sudah mengajari saya dengan baik.”

 

Riyan hanya meringis menatap Yuna, ia pura-pura fokus melanjutkan makannya.

 

“Pa, Yeriko sudah terlalu bekerja keras mengurus perusahaan. Apa dia bener-bener nggak ada waktu untuk berlibur?” tanya Rullyta sembari menatap ayahnya.

 

“Tanya sendiri sama Yeri! Bukannya dia yang ngatur?”

 

“Pa ... mereka baru aja nikah. Apa Papa nggak mau kasih hadiah untuk mereka?” tanya Rullyta.

 

“Hmm ... iya juga ya? Sepertinya, Kakek memang belum ngasih kado pernikahan untuk kalian. Kalian mau hadiah apa?” tanya Nurali sambil menatap Yuna dan Yeriko.

 

Yuna dan Yeriko tidak menjawab. Yuna merasa tidak memerlukan hadiah apa pun. Begitu juga dengan Yeriko, ia merasa bisa memberikan apa pun untuk Yuna dan tidak memerlukan hadiah dari kakeknya.

 

“Gimana dengan liburan bulan madu? Kamu pengen bulan madu ke mana?” tanya Rullyta pada Yuna.

 

“Eh ...!?” Yuna tidak bisa menjawab pertanyaan dari ibu mertuanya. Ia menoleh ke arah Yeriko yang duduk di sampingnya.

 

Yeriko mengangkat kedua alis sambil mengedikkan bahunya.

 

Rullyta tersenyum kecil melihat Yuna, ia merasa menantunya itu sangat lucu. “Yun, biasanya perempuan selalu memimpikan pernikahan yang indah dan megah. Bulan madu ke tempat-tempat yang romantis. Kamu malah bingung kayak gini?”

 

Yuna meringis menanggapi pertanyaan dari Rulyta. “Ma, Yeri masih banyak kerjaan di kantornya. Aku juga gitu. Kami ... belum memikirkan untuk berbulan madu,” jawab Yuna dengan nada yang semakin rendah.

 

“Yer, kamu ini keterlaluan ya! Saking sibuknya sampai nggak sempat ngajak istri kamu liburan untuk berbulan madu. Bahkan, membeli cincin pernikahan aja kamu nggak sempat?” tanya Rullyta sambil menatap Yeriko.

 

“Ck, jangan bikin semuanya jadi runyam, Ma!” pinta Yeriko. “Yuna nggak pernah mengungkit soal cincin pernikahan maupun bulan madu.”

 

“Nggak pernah mengungkit bukan berarti nggak menginginkannya kan? Kamu yang seharusnya lebih ngerti. Kalau kayak gini, gimana kalian bisa ngasih Mama cucu?”

 

Yeriko tersenyum kecil. “Ma, perkara cucu itu mudah. Nggak harus liburan buat bikin anak. Di rumah aja bisa,” jawab Yeriko.

 

Yuna langsung menyikut lengan Yeriko karena suaminya itu terlalu vulgar. Membuat Yeriko langsung menoleh ke arah Yuna yang duduk di sampingnya.

 

Yuna merasa, pembicaraan di meja makan terlalu serius dan bisa saja merusak suasana hati dan nafsu makan mereka. “Mmh ... ini enak banget!” seru Yuna sambil mengambil potongan bebek goreng.

 

Rullyta tersenyum menatap Yuna. “Kamu suka?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Ambil lagi!” Rullyta langsung memberikan potongan bebek goreng ke piring Yuna.

 

“Makasih, Ma!” ucap Yuna dengan mulut penuh makanan.

 

“Belum kenyang?” bisik Yeriko yang mengetahui kalau Yuna sudah makan cukup banyak.

 

Yuna menggelengkan kepala. Ia memaksakan diri untuk menghabiskan makanan walau perutnya sudah sangat kenyang.

 

Yeriko menghela napas. Ia mengambil sebagian makanan Yuna dan memakannya.

 

“Eh!?” Yuna melongo, ia mengedarkan pandangannya saat melihat Yeriko yang ikut memakan makanan di piringnya.

 

Yeriko tersenyum kecil. Begitu juga dengan semua orang yang ada di ruangan. Mereka tidak hanya tersenyum senang, tapi mulai menggoda Yuna dan Yeriko sebagai pengantin baru yang sangat mesra.

 

Usai makan malam bersama, mereka berbincang di ruang tamu.

 

“Yuna, apa kamu mau menganggap Mama ini seperti mama kamu sendiri?” tanya Rullyta.

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum. “Bunda sudah meninggal sebelas tahun yang lalu. Aku seneng banget karena akhirnya bisa punya Mama.”

 

“Mmh ... kalau gitu, apa Mama boleh minta sesuatu sama kamu?”

 

Yuna mengangguk. “Selama Yuna bisa, pasti Yuna kasih buat Mama.”

 

“Kamu pasti bisa. Mama nggak minta macem-macem, kok. Cuma minta satu aja!”

 

“Oh ya? Apa itu?” tanya Yuna.

 

“Mama pengen punya cucu secepatnya!”

 

“Hah!?” Yuna melongo mendengar keinginan Rullyta. Sejak masuk ke rumah keluarga Yeriko, ia sudah beberapa kali mendengar kakek dan mama mertuanya menginginkan seorang cucu. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan dari Rullyta.

 

“Kenapa?” tanya Rullyta saat melihat sikap Yuna  yang gugup. “Kalian ... bukan sandiwara menikah di depan kamu, kan?”

 

Yuna langsung menggelengkan kepala.

 

“Ck, Mama kebanyakan nonton drama. Kami menikah resmi, gimana bisa sandiwara!?” sahut Yeriko kesal.

 

“Kalau gitu, kalian harus secepatnya ngasih Mama cucu!” pinta Rullyta. “Kalian kan tahu, rumah sebesar ini sepi banget. Mama udah nggak sabar pengen nimang cucu di rumah. Kalian boleh kerja siang malam. Asalkan, anak kalian sama Mama,” lanjutnya dengan wajah sumringah.

 

“Mmh ... Ma, ini udah malam. Kami pulang dulu ya!” pamit Yeriko sambil melirik arloji di tangannya.

 

“Cepet banget!?”

 

“Kalau kami nggak pulang secepatnya, gimana bisa bikinin cucu buat Mama?” sahut Yeriko sambil mengedipkan matanya.

 

“Oh .. oke, oke.” Rullyta tersenyum senang menatap Yeriko dan Yuna. “Kalian harus sering-sering mengunjungi kami!” pintanya.

 

Yuna dan Yeriko mengangguk. Mereka langsung berpamitan untuk pulang.

 

“Eh, Riyan mana?” tanya Yuna saat tidak lagi melihat sosok Riyan.

 

“Udah pulang,” jawab Yeriko.

 

“Kapan pulangnya?”

 

“Abis makan, dia langsung pulang.”

 

“Oh ... naik apa? Bukannya dia tadi ngantar kita ke sini?” tanya Yuna sambil keluar dari rumah.

 

“Naik taksi.”

 

“Oh.” Yuna mengikuti langkah Yeriko menuju ke mobil. “Aku boleh nanya sesuatu?”

 

“Apa?”

 

“Mmh ... Papa kamu ... aku nggak lihat dia di album foto kamu. Apa dia ...?”

 

Yeriko menatap tajam ke arah Yuna. Ia merasa sangat kesal setiap kali ada yang menanyakan keberadaan papanya. Pertanyaan Yuna benar-benar telah mengusik hatinya dan membuat suasana hatinya sangat buruk.

 

Yuna menatap mata Yeriko. Ia bisa merasakan emosi yang tersirat dari mata beruang kesayangannya itu. “Sorry ...! Aku nggak akan tanya lagi,” ucapnya sambil memeluk tubuh Yeriko.

 

Yeriko membalas pelukan Yuna. Cahaya rembulan menerpa tubuh mereka.


Yuna menengadahkan kepalanya menatap Yeriko. Ia melihat wajah suaminya jauh lebih tampan sepuluh kali saat tertimpa cahaya bulan. Ia merasa sangat bahagia setiap kali berada dalam pelukan Yeriko.

 

Tuhan ... aku tidak mengerti perasaanku saat ini. Aku merasa sangat nyaman dan bahagia setiap kali berada di sisinya. Biarkan kami seperti ini selamanya,” batin Yuna dalam hati.

 

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas