Saturday, February 1, 2025

Giat Bersama Diskominfo Kukar di Acara Festival Merah Putih Sanga-Sanga Ke-78

Hari ini, 30 Januari 2025, aku bersama KIM Mutiara Borneo mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan Festival Kota Juang Sanga-Sanga 2025 bersama Diskominfo Kukar. 
KIM Mutiara Borneo merupakan komunitas yang aku bentuk bersama masyarakat Desa Beringin Agung sebagai wadah untuk belajar dan berbagi banyak hal tentang literasi digital. KIM mendapatkan perhatian yang baik dari pemerintah melalui Diskominfo Kukar. Diskominfo Kukar kerap memberikan pembekalan pada anggota KIM, juga melibatkan teman-teman KIM yang aktif untuk berpartisipasi dalam kegiatan Kominfo Kukar. 
Sebagai mitra kerja, tentunya KIM Mutiara Borneo berperan aktif dalam meliput kegiatan-kegiatan di masyarakat, terutama kegiatan UMKM karena KIM Mutiara Borneo bergerak di bidang UMKM. 
Kali ini, aku bawa salah satu anggota Kim baru yang masih magang untuk ikut liputan. Ini pertama kalinya bagi Helda mengikuti kegiatan KIM. Tapi sudah bekerja dengan sangat baik dalam membantu liputan kegiatan-kegiatan KIM Mutiara Borneo. 
Ini pertama kalinya kami dilibatkan dalam kegiatan pameran Diskominfo Kukar. Semoga, kami bisa terlibat lebih banyak lagi dalam kegiatan Diskominfo Kukar dan kegiatan kemasyarakatan. 
Karena kami semua adalah relawan informasi yang tidak pernah mendapatkan bayaran. Semua berangkar dari kepedulian untuk memajukan daerahnya masing-masing. 





Bab 45 - Menantu Kesayangan

 


“Ternyata, kakek kamu baik juga ya?” tutur Yuna.

 

“Kebetulan aja mood-nya lagi bagus,” sahut Yeriko.

 

“Oh ya?” Yuna tersenyum manis ke arah Yeriko. “Tapi, aku lihat dia ramah dan banyak cerita.”

 

Yeriko menghentikan langkahnya. “Kamu suka dia cerita yang jelek soal aku?” dengusnya.

 

Yuna meringis sambil meraih jemari tangan Yeriko. Ia tersenyum manja sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Yeriko. “Aku jadi penasaran sama masa kecil kamu.”

 

Yeriko menatap Yuna sini. “Minta digigit, hah!?”

 

“Kalau tahu kamu sekaya ini, aku nggak mungkin mau nikah sama kamu,” tutur Yuna.

 

“Kenapa?”

 

“Karena ... aku nggak suka pria kaya. Keluarga Lian sering menindas dan ngejek aku karena aku miskin. Aku ngerasa nggak pantes buat masuk ke keluarga orang kaya,” jawab Yuna tak bersemangat.

 

Yeriko mengernyitkan dahi. “Bukannya sebagian besar perempuan pengen punya suami yang kaya?”

 

Yuna meringis ke arah Yeriko. “Kalo gitu, aku masuk yang bagian kecilnya.”

 

Yeriko tergelak. “Kamu tuh emang lucu ya! Unik dan langka. Kayaknya, aku harus bikinin lemari kaca khusus buat kamu. Ditaruh di museum,” sahut Yeriko sambil menahan tawa.

 

“Iih ... kamu mulai nyebelin ya sekarang!?” Yuna menyubit pinggang Yeriko.

 

Yeriko berusaha berkelit sambil terus tertawa.

 

“Ehem ... pengantin baru, bahagia banget!” sapa Rullyta yang sudah duduk di sofa.

 

“Eh, Mama!?” Yeriko dan Yuna langsung menegakkan tubuh dan bersikap baik. Yeriko menggenggem tangan Yuna yang ada di sampingnya.

 

“Kenapa diam aja di situ? Duduk!” perintah Rullyta sambil menunjuk sofa di depannya menggunakan dagu.

 

Yuna tersenyum kecil menatap Rullyta, ia dan Yeriko duduk di hadapan Rullyta dan terlihat sangat canggung.

 

“Sudah berapa lama kalian menikah?” tanya Rullyta.

 

“Satu bulan,” jawab Yuna dan Yeriko bersamaan.

 

“Sudah satu bulan menikah dan kalian baru ke sini?” tanya Rullyta sambil menatap Yuna dan Yeriko.

 

Yuna langsung mengenggam tangan Yeriko. 

 

“Yuna, kamu sudah tahu gimana sifat anak laki-laki yang duduk di samping kamu ini? Sudah jelas dia bukan anak yang berbakti. Sudah sebulan menikah dan baru sekarang memperkenalkan istrinya? Kenapa kamu mau menikah sama laki-laki kayak gini, hah!?”

 

“Eh!?” Yuna melongo menatap Rullyta. Pandangannya beralih pada Yeriko yang duduk di sampingnya.

 

Yeriko menghela napas dan menatap mamanya. “Ma, aku sibuk ngurus perusahaan. Yuna juga baru masuk kerja saat kami baru nikah. Baru ada waktu buat ke sini,” terang Yeriko.

 

Rullyta menghela napas mendengar keterangan puteranya sendiri. “Kamu sudah bekerja keras untuk perusahaan selama sepuluh tahun lebih. Apa nggak bisa meluangkan waktu untuk memikirkan keluargamu sendiri? Bahkan mengunjungi Mama saja, kamu sudah nggak punya waktu.”

 

“Ck, Mama nggak usah mendramatisir keadaan. Bukannya mama sudah ngerti sendiri keadaanku seperti apa?”

 

Rullyta menghela napasnya. “Yer, Mama sangat mengerti keadaanmu. Tapi, sekarang kamu sudah beristri. Kamu harus lebih banyak meluangkan waktu untuk istrimu. Kasihan Yuna kalau dia selalu kesepian di rumah.”

 

Yuna tersenyum menatap Rullyta. “Yeriko sudah menemani aku dengan baik kok, Ma. Dia selalu antar jemput ke tempat kerja. Dia selalu ada di rumah setiap malam. Dia nggak perna bikin aku kesepian,” ucap Yuna sambil tersenyum.

 

“Oh ya? Baguslah kalau begitu.”

 

Yuna dan Yeriko tersenyum kecil sambil menatap mamanya.

 

Rullyta mengambil sebuah kotak dari bawah meja. “Sini!” pintanya sambil menepuk sofa yang ada di sampingnya. Meminta Yuna agar duduk di sampingnya.

 

Yuna bangkit dan mengikuti perintah Rullyta untuk duduk di sisinya.

 

“Ini buat kamu!” tutur Rullyta sambil memberikan kotak tersebut ke pangkuan Yuna.

 

“Ini apa?” tanya Yuna sambil menatap kotak persegi berwarna biru yang ada di pangkuannya.

 

“Buka!” pinta Rullyta sambil tersenyum menatap Yuna.

 

Yuna membuka kotak tersebut perlahan. Ia membelalakkan matanya begitu melihat isi kotak tersebut. Yuna langsung menutup kembali kotak tersebut dan memberikannya kembali pada Rullyta.

 

“Kenapa?” Rullyta mengernyitkan dahi menatap Yuna.

 

“Maaf, Ma. Aku nggak bisa terima ini. Ini terlalu mewah buat aku,” ucap Yuna lirih.

 

Rullyta menarik napas sambil tersenyum menatap Yuna. “Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini dan harus menerimanya.”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku nggak pantes dapetin perhiasan sebagus ini. Lagipula, aku nggak terlalu membutuhkan perhiasan kok, Ma.”

 

“Nggak bisa. Ini adalah perhiasan turun temurun di keluarga ini. Kamu sudah menjadi menantu Mama. Maka, kamu harus menerima perhiasan ini!” tegas Rullyta.

 

“Tapi ...”

 

Rullyta langsung meraih kedua tangan Yuna dan memperhatikan jemarinya satu persatu. “Lihat! Kamu sudah menikah selama sebulan dan belum ada cincin di jari manis kamu. Suami kamu ini bener-bener keterlaluan!” celetuk Rullyta sambil melirik Yeriko.

 

Yeriko menghela napas. Ia memilih untuk bangkit dan turun ke bawah menemui kakeknya.

 

“Eh, mau ke mana?” tanya Rullyta.

 

“Turun lihat kakek,” jawab Yeriko santai sambil berlalu pergi.

 

Rullyta tersenyum menatap puteranya, kemudian ia kembali menatap Yuna yang juga mememerhatikan kepergian Yeriko.

 

“Sudah, jangan hiraukan anak itu!” pinta Rullyta. “Kamu cobain perhiasan ini, pasti cantik banget kalau kamu yang pakai!”

 

“Tapi, Ma ...”

 

“Nggak ada tapi-tapian!” tegas Rullyta. “Kalau kamu masih menganggap aku sebagai mama mertua, kamu harus nerima ini!”

 

Yuna tersenyum, ia tidak bisa lagi menolak pemberian dari Rullyta.

 

“Cobain ya!” pinta Rullyta. Dengan senang hati, ia memakaikann kalung dan gelang ke tubuh Yuna. Ia merasa sangat bahagia karena mendapat menantu yang cantik dan berhati baik.

 

Yuna tersenyum sambil menyentuh kalung yang melingkar di lehernya. “Makasih ya, Ma!”

 

Rullyta menganggukkan kepala. “Oh ya, ini ada kartu khusus buat kamu!” tuturnya sambil menunjukkan sebuah kartu yang ada di dalam kotak tersebut.

 

“Ini untuk apa, Ma?” tanya Yuna sambil mengamati kartu tersebut. Ia sama sekali tidak mengerti kartu dengan nama dan kode yang begitu asing di matanya.

 

“Simpanlah! Suatu saat, pasti akan berguna!”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum.

 

Rullyta menghela napas. “Padahal, dia punya asisten pribadi. Kenapa dia masih sesibuk itu?”

 

“Eh!? Riyan!?” Yuna langsung teringat pada Riyan yang masih berada di dalam mobil saat ia dan Yeriko masuk ke rumah.

 

“Kenapa?” tanya Rullyta sambil mengernyitkan dahinya.

 

“Riyan, tadi masih di dalam mobil waktu aku sama Yeriko masuk ke rumah ini. Apa dia ...?”

 

Rullyta tertawa kecil menanggapi ucapan Yuna. “Dia selalu takut masuk ke rumah ini.”

 

“Hah!? Kenapa?”

 

“Karena kakek bakalan ngajak dia main catur selama berjam-jam. Kamu tahu, sejak dia jadi asisten Yeriko, kakek selalu ngajak dia main catur. Sampai sekarang, dia belum pernah menang dari kakek,” terang Rullyta sambil terkekeh geli.

 

Yuna ikut tertawa mendengar ucapan Rullyta. Pantas saja Riyan terlihat kurang senang saat memasuki rumah keluarga Yeriko.

 

“Oh ya, kamu mau nggak lihat foto-foto Yeriko waktu masih kecil?” tanya Rullyta.

 

“Ada, Ma?” tanya Yuna dengan mata berbinar.

 

Rullyta mengangguk. Ia mengambil buku album dari bawah meja dan menunjukkannya pada Yuna.

 

Yuna merasa sangat senang karena bisa melihat foto-foto masa kecil Yeriko bersama kakek dan mamanya. Ia terus melihat album foto sambil bercerita banyak dengan ibu mertuanya.

 

“Nyonya, makanan sudah siap!” tutur salah seorang pelayan yang ada di rumah Yeriko.

 

“Oke,” sahut Rullyta. “Ayo, kita makan dulu!” pinta Rullyta pada Yuna.

 

Yuna menganggukkan kepala. Ia menutup foto album Yeriko dan bergegas mengikuti mama mertuanya turun ke ruang makan untuk menikmati makan malam bersama keluarganya.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa.

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 


BAB 120 : PETUNJUK INDIGO

         

 

BAB 120 : PETUNJUK INDIGO

 


Chessy membuka matanya perlahan, tapi ia tidak bisa melihat apa pun.

“Gue di mana?” batin Chessy sembari berusaha untuk bangkit.

BUG!

Tak sampai ia bangkit, kepalanya sudah membentur sesuatu di hadapannya. Mata Chessy semakin terbelalak lebar, tapi ia tidak bisa melihat apa pun di sana karena sangat gelap. Ia berusaha untuk meraba dinding-dinding di sekitarnya dan ia menyadari jika ia dibaringkan di dalam sebuah tempat yang sangat sempit.

“Apa gue ada di dalam peti mati?” gumam Chessy.

BRAAK …!

“TOLONG …!”

Chessy berusaha berteriak sekuat tenaga. Tapi ia tahu jika usahanya tak akan berhasil meski suara dan tenaganya sudah habis terbuang.

“Cakra … can you help me?” lirih Chessy sembari menitikan air matanya.

Semua bayangan masa lalunya tiba-tiba berkelebat di pelupuk mata. Semua orang-orang yang ada di hidupnya, tiba-tiba muncul bergantian seolah memberikan pesan bahwa hari ini adalah hari terakhir bagi Chessy untuk hidup di dunia ini.

“Semua orang bakal mati, tapi gue nggak mau mati dalam keadaan dikubur hidup-hidup kayak  gini. Gue punya salah apa? Kenapa ada orang yang sekejam ini sama gue?” ucap Chessy yang kini diselimuti oleh rasa takut.

Braaak …!

Chessy langsung menyentuh dinding kayu yang menutupi tubuhnya ketika ia bisa mendengar suara dari luar. “Gue belum dikubur, masih ada aktivitas di luar sana,” lirihnya. Ia langsung berusaha kembali memukul-mukul dinding yang menutup tubuhnya.

“TOLONG …! TOLONG …! TOLONG …!”

Meski sudah berusaha memberontak sekuat tenaga, Chessy tetap tidak mendapatkan hasil apa pun.

Cakra … kalau aku mati, kamu jangan nikah lagi! Aku pengen jadi istri kamu satu-satunya sampai di surga nanti,” batin Chessy di sisa-sisa tenaga yang ia miliki.

 

 

***

 

Di waktu yang sama.

“Bagaimana? Apakah kamu sudah bisa mengendalikan indera keenammu dengan baik, anak muda?” tanya seorang pria tua yang sedang berada di sebuah pondok kecil di tengah hutan.

Lion mengangguk. ”Sudah lebih baik, Kek. Setidaknya, saya tidak perlu dirawat di rumah sakit lagi karena melihat masa depan orang lain.”

Kakek tua itu tersenyum. ”Seperti yang sudah aku katakan. Kamu bisa melihat masa depan, tapi kamu tidak bisa mengendalikannya. Jika kamu berusaha mengendalikannya, jangan kecewa pada takdir yang sudah digariskan Tuhan!”

Lion mengangguk. ”Lion mengerti,” ucapnya setengah menunduk sambil tersenyum.

Lion terkesiap ketika tiba-tiba lantai di bawahnya memunculkan wajah Chessy yang sedang tersenyum riang di tengah-tengah pesta. Kemudian, disusul dengan adegan Chessy yang berada di atas gedung bersama Arabella. Dilanjutkan lagi dengan Chessy yang tiba-tiba diculik oleh empat orang pemuda dalam keadaan tak sadarkan diri.

Chessy dibawa masuk ke dalam sebuah mobil box bersama barang-barang yang di-supply ke dalam gedung hotel tersebut. Kemudian, Chessy dimasukkan ke dalam peti mati dan dibawa menuju sebuah bandara. Peti mati itu berada bersama barang-barang logistik di pesawat. Kemudian, dibawa oleh beberapa orang pria ke dalam sebuah mobil pengangkut barang dan dibawa ke suatu tempat di tengah hutan.

”CHESSY ...!” seru Lion dan seketika ia tersadar.

”Siapa Chessy?” tanya kakek tua yang sedang berada bersama Lion.

”Adik saya,” jawab Lion lirih.

”Apakah kamu melihat hal buruk sedang terjadi padanya?” tanya kakek tua itu kembali saat melihat raut wajah Lion yang berubah panik.

Lion menganggukkan kepalanya.

”Ingin membantunya?” tanya kakek itu lagi.

”Apakah saya bisa?”

”Takdir seseorang bisa berubah dan kita boleh berusaha mengubahnya. Tapi jangan kecewa, bahkan menyalahkan Tuhan jika takdir itu tidak mampu untuk kamu ubah.”

Lion mengangguk tanda mengerti. Ia kembali memejamkan mata dan berusaha untuk kembali pada rekaman kehidupan Chessy yang baru saja ia lihat. ”Aku harus bisa. Aku harus bisa. Aku pasti bisa!” batinnya.

Lion berusaha untuk menelusuri jejak lewat memorinya. Ia sedikit terperanjat ketika ia menemukan sebuah pohon besar yang sering ia lewati di daerah pegunungan tersebut.

Sudah beberapa bulan lalu, Lion dikirim oleh orang misterius untuk belajar mengendalikan indera keenamnya pada kakek tua yang tinggal di dalam hutan, di wilayah pegunungan Rinjani, Pulau Lombok.

Hingga kini, ia tidak mengetahui siapa orang yang mengirimnya karena tiba-tiba ia sudah berada di Pulau Lombok saat sadarkan diri. Ia sudah berusaha menelusuri lewat memori indera keenamnya, tapi tetap nihil.

”Dia ada di wilayah ini,” ucapnya lirih, kemudian Lion kembali pada kesadarannya.

”Kamu yakin? Kamu bisa mencoba mengasah kemampuan indera keenammu dengan cara menemukannya,” ucap kakek tua itu.

Lion mengangguk. Ia segera berpamitan dengan kakek tua tersebut untuk menemukan keberadaan Chessy. Jauh dalam hatinya ia berharap jika hal buruk yang sedang ia lihat, tidak terjadi sungguhan pada Chessy.

”Anak muda, jika sudah kembali ke tempatmu, ingatlah untuk berterima kasih pada orang yang membawamu ke tempat ini! Dia tidak bisa melihatmu, tapi bisa mendengarmu dari jauh.” ucap kakek tua itu sebelum Lion benar-benar menghilang dari pandangannya.

Lion mengangguk. ”Baik, Kek.” Ia segera melangkah keluar dari rumah kayu tersebut dan menyusuri jalan setapak di dalam hutan.

Tak berapa lama, Lion menemukan sebuah pohon besar yang muncul di dalam bayangannya. Ia segera melangkah menyusuri wilayah tersebut perlahan dan menemukan sebuah rumah kayu yang cukup besar. Dilihat dari bentuknya, bangunan itu seperti sebuah villa di tengah hutan yang kurang terawat. Tak jauh dari bangunan tersebut, terdapat danau kecil yang asri dan menenangkan. Tempat seperti ini sangat disukai oleh wisatawan mancanegara.

”Kamu siapa!?” sentak seorang pria sambil menghampiri Lion begitu melihat Lion mendekat ke arah villa tersebut.

Lion langsung tersenyum. Ia mengusap tangan dan mengulurkan telapak tangannya kepada pria tersebut. ”Selamat siang, Kakak! Perkenalkan, nama saya Lion. Saya sedang cari kayu bakar untuk masak sore ini. Rumah saya tidak jauh dari sini,” jawabnya.

”Jangan bohong! Memangnya ada rumah di tengah hutan begini?” sentak pria asing itu.

”Ada. Di sini juga ada,” jawab Lion santai sambil menunjuk rumah villa yang ada di sana. ”Rumah saya ada di balik gunung ini. Kalau kakak tidak percaya, kakak bisa main ke sana.”

”Kamu pikir, aku pengangguran, hah!?” sentak pria itu makin kesal.

“Jangan marah-marah, Kakak! Saya jawab apa adanya. Apakah ada pekerjaan untuk saya, Kakak? Rumah ini terlihat kurang terawat. Bagaimana kalau saya bantu merawatnya? Saya pandai bersih-bersih rumah, pandai memasak juga,” sahut Lion.

Pria asing itu memerhatikan tubuh Lion dari ujung rambut sampai ke ujung kaki selama beberapa saat. ”Boleh juga kalau ada yang ngerawat tempat ini dan ada yang masak buat kita semua,” batinnya.

”Kakak tidak perlu khawatir soal gaji. Saya tidak digaji juga tidak apa-apa. Yang penting, setiap hari saya bisa membawa pulang makanan untuk kakek saya. Saya yatim piatu, hanya tinggal bersama kakek dan beliau sedang sakit,” ucap Lion agar pria itu mempertimbangkan dirinya bisa masuk ke dalam villa tersebut.

”Hmm .... boleh juga. Kami juga butuh orang untuk masak. Tapi kamu harus bisa menjaga semua rahasia yang ada di dalam villa ini. Ikut aku!” ucap pria asing itu.

Lion mengangguk sambil tersenyum. ”Saya janji, akan bekerja dengan baik.”

Pria asing itu langsung melangkah menuju halaman belakang villa. Ia membuka pintu dan menunjukkan ruang dapur yang ada di tempat tersebut. Tidak terlalu besar, tapi fasilitasnya cukup lengkap.

”Listrik di villa ini menggunakan genset dan tenaga surya. Kamu harus bisa berhemat menggunakan listriknya karena bahan bakar terbatas. Kami ada lima orang. Setiap harinya kamu harus memasak untuk kami semua!”

”He-em.” Lion mengangguk tanda mengerti.

“Kami punya tawanan seorang wanita di sini. Kamu tidak boleh membebaskannya. Kalau sampai kamu bebaskan tawanan kami, kamu dan kakekmu akan kami panggang hidup-hidup!”

Lion tersentak, tapi ia berusaha untuk menganggukkan kepalanya. ”Chessy beneran ada di tempat ini,” batinnya.

”Cepat kamu masakkan bubur untuk tawanan kami! Dia belum makan selama 24 jam karena kami suntik bius. Dia wanita yang sangat berharga dan nggak boleh sampai mati karena dia akan jadi sumber uang kita dan bikin kita kaya-raya.”

Lion menganggukkan kepala. Ia segera bergerak di dapur tersebut untuk membuat masakan seperti yang diperintahkan. Ia harus bisa membuktikan kalau ia benar-benar bisa memasak. Juga harus segera membuat hidangan untuk Chessy agar wanita itu bisa bertahan hidup dengan baik.

Chess, kamu jangan khawatir! Selama ada aku, nggak akan ada satu orang pun yang bisa melukai kamu, termasuk suamimu sendiri,” batin Lion.

 

 ((Bersambung ...))

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas