Perlahan, Yuna membuka
pintu kamar. Ia mendapati wanita setengah baya berdiri di depan pintu.
“Pagi, Mbak! Sarapan
sudah saya siapkan di bawah.”
Bibi War membalikkan
tubuh dan melangkah pergi.
“Apa semalam ...?” Yuna
mengintip tubuhnya yang hanya dibalut piyama dan tidak mengenakan pakaian
dalam.
“Oh ... semalam Bibi
yang mengganti pakaian. Karena pakaian Mbaknya basah. Sudah Bibi cuci dan
keringkan. Kalau cuaca bagus, dua jam lagi udah kering.”
Yuna menarik napas
lega. “Baguslah!” celetuknya.
Bibi War tersenyum dan
melangkah kembali.
Yuna langsung turun ke
ruang makan begitu selesai mengganti pakaiannya.
Ia duduk di kursi meja
makan, tepat berhadapan dengan Yeriko yang tidak menyapanya sama sekali.
Yuna menarik napas.
“Kenapa harus ketemu cowok sedingin ini?” batin Yuna. “Gimana caranya ngajak
dia ngomong?”
“Makasih
banyak karena udah ngerawat aku. Aku ...”
“Cepat pergi dari sini
kalo udah selesai makan!” pinta Yeriko.
Yuna membuka mulutnya
lebar. Suaranya tertahan dengan sikap dingin Yeriko. “Aku udah berusaha
bersikap lembut banget. Kamu malah bikin aku emosi!” batinnya sambil mengepal
tangan.
“Nggak usah akting lagi
di depanku! Kamu pikir, cara kayak gini bakal menarik perhatianku, hah!?”
Yuna memukul meja dan
bangkit dari duduknya. “Kamu ...!?” Yuna menunjuk Yeriko sambil mengerutkan
hidungnya.
Yeriko mengangkat satu
alisnya sambil menatap Yuna.
“Dasar cowok nggak tahu
diri! Aku udah baik-baik sama kamu. Udah minta maaf, udah bilang makasih dan
kamu masih nuduh aku lagi akting!? Bener-bener nggak punya perasaan!” teriak
Yuna.
Yuna pun bangkit. Sejenak ia tersenyum ke arah Bi War, ia mengangguk dan
bergegas keluar dari rumah Yeriko.
Yuna tidak tahu harus
pergi ke mana. Ia hanya tinggal menumpang di rumah Jheni sejak kembali dari
Melbourne dan belum mencari tempat tinggal.
Yuna memutuskan untuk
menemui ayahnya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Sesampainya di rumah
sakit, Yuna menatap wajah ayahnya yang terbaring lemah.
“Ayah ... sudah sebelas
tahun ayah melewati waktu di sini. Ayah harus sembuh,” bisik Yuna sambil
mencium punggung tangan ayahnya.
“Ayuna ...!” panggil
Adjie dalam kegelapan. Ia bisa mendengar suara Yuna dengan baik. Namun ia tak
mampu membuka mata dan menggerakkan sebagian tubuhnya.
“Ayah ... Yuna udah
pulang dari Melbourne. Selama kuliah di sana, Yuna hidup dengan baik. Punya
teman-teman yang baik dan menyayangi Yuna.”
“Ayah pasti kesepian
karena di sini sendirian ya? Tapi ... aku lihat semua perawat di sini
cantik-cantik. Ayah pasti suka dikelilingi sama perawat yang cantik kan?” Yuna
terus mengajak ayahnya berbicara sekalipun ia tahu kalau ayahnya tak akan
membalas ucapannya. Tapi ia percaya, ayahnya akan mendengarkan setiap kalimat
yang terucap dari bibirnya.
“Ayah harus sembuh ya!
Cuma Ayah satu-satunya harta paling berharga yang Yuna punya di dunia ini.”
Yuna menoleh ke arah
pintu yang tiba-tiba terbuka. Tiga orang perawat masuk ke dalam ruangan dan
menghampiri Yuna.
“Ini tunggakan tagihan
yang harus kamu bayar secepatnya!” Seorang perawat menyodorkan tumpukan kertas
ke arah Yuna.
Yuna bangkit dari duduk
dan meraih kertas-kertas tagihan biaya perawatan ayahnya. “Aku punya uang
dari mana buat bayar tagihan sebanyak ini?” batin Yuna sambil menatap
tumpukan kertas di tangannya.
“Kamu tahu, biaya
perawatan ayah kamu nggak sedikit. Kalau nggak bayar hari ini juga, kami
terpaksa harus mengeluarkan ayahmu dari rumah sakit.”
“Apa!?” Yuna
membelalakkan matanya. Ia menatap tubuh Adjie yang terbaring lemah di ranjang.
“Suster, kasih aku waktu buat nyelesaikan ini semua!” Yuna memohon sambil
menitikan air mata. “Aku nggak mungkin membiarkan Ayah keluar dari rumah sakit
dalam keadaan seperti ini.”
“Tunggakan kamu sudah
terlalu banyak. Kami tidak bisa menunggu lagi!” sahut salah seorang perawat
dengan ketus.
Perawat yang berbicara
dengan Yuna memberikan isyarat pada perawat lain untuk mengeluarkan
barang-barang dari dalam ruang rawat ayah Yuna.
“Suster, jangan!” pinta
Yuna terus memohon. Ia menjatuhkan tubuhnya sambil memeluk kaki perawat
tersebut agar tidak mengeluarkan ayahnya dari ruang perawatan. “Aku mohon,
suster! Kasihani kami! Kasihan Ayah ... aku janji, bakal secepatnya melunasi
biaya rumah sakit,” pinta Yuna sambil menangis.
Perawat yang ada di
ruangan itu tidak mempedulikan Yuna yang menangis histeris. Yuna terus memeluk
tubuh ayahnya. Ia tetap ingin mempertahankan ayahnya agar tetap mendapat
perawatan seperti sebelumnya.
Yuna semakin merasa
sakit saat perawat mulai melepas peralatan medis dari tubuh ayahnya. “Nggak!
Ayah harus tetap hidup. Ayah harus tetap mendapat perawatan!” bisik Yuna dalam
hati sambil menangis.
Yuna buru-buru
mengambil ponsel dari dalam tas tangannya dan langsung menelepon Tante Melan.
“Halo ... Sayang. Apa
kabar?” sahut Melan begitu panggilan telepon Yuna tersambung.
“Tante, aku mohon
jangan hentikan biaya pengobatan Ayah!” pinta Yuna tanpa basa-basi.
Melan tersenyum kecil.
“Kamu sudah sadar? Asal kamu nurut sama Tante, Tante akan bayar semua biaya
pengobatan ayah kamu!”
Yuna menelan ludah.
“Iya. Aku janji bakal nuruti semua keinginan Tante.”
“Oke. Malam ini kita ke
Shangri-La buat nemuin Direktur Lukman. Kamu harus nikah sama dia!”
“Oke.” Yuna menganggukkan kepala. Ia
menyandarkan tubuhnya di dinding dan terduduk lemas.
Beberapa menit
kemudian, Direktur rumah sakit masuk ke dalam ruangan.
“Ada apa ini?” tanya
Direktur rumah sakit saat melihat alat medis di tubuh ayah Yuna sudah dilepas.
“Anu ... Pak ...” sahut
perawat dengan suara bergetar.
“Pasang lagi!
Kembalikan semuanya seperti semula!” perintah Dokter Rahmat, Direktur rumah
sakit tempat ayah Yuna dirawat.
Yuna mengusap air mata
menggunakan punggung lengannya dan langsung bangkit dari lantai. Ia menghampiri
Dokter Rahmat. “Makasih, Dok!”
Dokter Rahmat tersenyum
sambil menganggukkan kepala. “Kami minta maaf untuk hal ini. Seharusnya, nggak
ada kejadian seperti ini. Semua biaya pengobatan ayah kamu sudah dilunasi oleh
Ibu Melan.”
Yuna menganggukkan
kepala. Ia melirik ayahnya dan bisa bernapas lega saat alat-alat medis yang
menopang hidup ayahnya kembali terpasang.
“Jaga ayahmu dengan
baik dan hiduplah dengan baik!” tutur Dokter Rahmat sambil menepuk pundak Yuna.
Ia bergegas keluar dari ruangan.
Yuna tersenyum menatap
kepergian Dokter Rahmat. Ia berbalik dan menatap sinis ke arah perawat yang
sedang menyusun barang-barang di ruang rawat ayahnya.
“Pergi dari sini!”
pinta Yuna.
Tiga orang perawat itu
langsung menoleh ke arah Yuna.
“Aku bilang, PERGI DARI
SINI!” teriak Yuna. Ia tidak tahan melihat tiga perawat itu berada di dalam
ruang rawat ayahnya. Hatinya terasa ngilu mengingat kejadian yang terjadi
beberapa menit lalu.
Ketiga perawat itu
langsung bergegas keluar dari ruang rawat ayah Yuna.
Yuna menghela napas. Ia
terduduk lemas di kursi, tepat di sebelah ranjang ayahnya.
“Ayah ... Ayah akan
baik-baik aja!” tutur Yuna sambil menggenggam tangan ayahnya. “Aku bakal
ngelakuin apa pun buat Ayah. Ayah cepet sembuh ya!” pinta Yuna.
Yuna mengusap lembut
pipi ayahnya. “Ayah, aku pergi dulu!” pamit Yuna. “Banyak hal yang harus aku
lakukan di luar sana. Aku akan hidup dengan baik. Ayah nggak perlu khawatir.
Puteri kecilmu, sekarang sudah tumbuh dewasa. Ayah juga harus hidup dengan baik
demi aku.” Yuna mencium kening ayahnya.
Yuna merasakan hatinya
begitu tersayat saat bibirnya menyentuh kening ayahnya. Matanya perih, ia
berusaha membendung air matanya agar tidak jatuh membasahi pipi ayahnya.
Adjie tak bisa merespon
apa pun yang dilakukan oleh puterinya. Ia tak bisa lagi mendengar suara
puterinya setelah pintu ruangan tertutup. Hanya air mata yang mengalir dari
kedua matanya. Ia terlalu lemah, tak berdaya melakukan apa pun untuk puteri
kesayangannya.
Yuna berjalan lunglai
menyusuri koridor rumah sakit. “Aku nggak tahu harus gimana lagi. Aku nggak
tahu gimana menjalani hidup setelah ini,” tutur Yuna lirih.
Pikiran
Yuna tak karuan. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah Jheni.
Beberapa menit
kemudian, Yuna sudah sampai di rumah Jheni.
“Yun, kamu kenapa?”
tanya Jheni saat menyambut Yuna yang berwajah murung.
Yuna tak langsung
menjawab. Ia merebahkan tubuhnya ke atas sofa.
“Ada apa? Cerita dong!”
pinta Jheni, ia langsung duduk di sebelah Yuna.
“Tante Melan maksa aku
nikah sama si Tua Bangka itu,” jawab Yuna lirih.
“What!? Kamu nerima?”
Yuna menganggukkan
kepala.
“Yuna! Kamu itu cantik.
Kamu bisa dapetin suami yang jauh lebih baik. Kenapa kamu mau disuruh nikah
sama Oom-Oom yang nggak jelas itu!” seru Jheni.
“Karena Ayah ...” Yuna
tak sanggup melanjutkan ucapannya.
Jheni menarik napas
dalam-dalam. Ia memahami kondisi sahabatnya saat ini. Ia tak sanggup
berkata-kata, hanya bisa merangkul Yuna dan memeluk tubuh gadis itu.
Baca
terus kisah seru mereka ya! Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much
Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment