Wednesday, January 22, 2025

Bab 6 - Dear Dad

 


Perlahan, Yuna membuka pintu kamar. Ia mendapati wanita setengah baya berdiri di depan pintu.

 

“Pagi, Mbak! Sarapan sudah saya siapkan di bawah.”

 

Bibi War membalikkan tubuh dan melangkah pergi.

 

“Apa semalam ...?” Yuna mengintip tubuhnya yang hanya dibalut piyama dan tidak mengenakan pakaian dalam.

 

“Oh ... semalam Bibi yang mengganti pakaian. Karena pakaian Mbaknya basah. Sudah Bibi cuci dan keringkan. Kalau cuaca bagus, dua jam lagi udah kering.”

 

Yuna menarik napas lega. “Baguslah!” celetuknya.

 

Bibi War tersenyum dan melangkah kembali.

 

Yuna langsung turun ke ruang makan begitu selesai mengganti pakaiannya.

 

Ia duduk di kursi meja makan, tepat berhadapan dengan Yeriko yang tidak menyapanya sama sekali.

 

Yuna menarik napas. “Kenapa harus ketemu cowok sedingin ini?” batin Yuna. “Gimana caranya ngajak dia ngomong?”

 

“Makasih banyak karena udah ngerawat aku. Aku ...”

 

“Cepat pergi dari sini kalo udah selesai makan!” pinta Yeriko.

 

Yuna membuka mulutnya lebar. Suaranya tertahan dengan sikap dingin Yeriko. “Aku udah berusaha bersikap lembut banget. Kamu malah bikin aku emosi!” batinnya sambil mengepal tangan.

 

“Nggak usah akting lagi di depanku! Kamu pikir, cara kayak gini bakal menarik perhatianku, hah!?”

 

Yuna memukul meja dan bangkit dari duduknya. “Kamu ...!?” Yuna menunjuk Yeriko sambil mengerutkan hidungnya.

 

Yeriko mengangkat satu alisnya sambil menatap Yuna.

 

“Dasar cowok nggak tahu diri! Aku udah baik-baik sama kamu. Udah minta maaf, udah bilang makasih dan kamu masih nuduh aku lagi akting!? Bener-bener nggak punya perasaan!” teriak Yuna.

 

Yuna pun bangkit. Sejenak ia tersenyum ke arah Bi War, ia mengangguk dan bergegas keluar dari rumah Yeriko.

 

Yuna tidak tahu harus pergi ke mana. Ia hanya tinggal menumpang di rumah Jheni sejak kembali dari Melbourne dan belum mencari tempat tinggal.

 

Yuna memutuskan untuk menemui ayahnya yang sedang dirawat di rumah sakit.

 

Sesampainya di rumah sakit, Yuna menatap wajah ayahnya yang terbaring lemah.

 

“Ayah ... sudah sebelas tahun ayah melewati waktu di sini. Ayah harus sembuh,” bisik Yuna sambil mencium punggung tangan ayahnya.

 

“Ayuna ...!” panggil Adjie dalam kegelapan. Ia bisa mendengar suara Yuna dengan baik. Namun ia tak mampu membuka mata dan menggerakkan sebagian tubuhnya.

 

“Ayah ... Yuna udah pulang dari Melbourne. Selama kuliah di sana, Yuna hidup dengan baik. Punya teman-teman yang baik dan menyayangi Yuna.”

 

“Ayah pasti kesepian karena di sini sendirian ya? Tapi ... aku lihat semua perawat di sini cantik-cantik. Ayah pasti suka dikelilingi sama perawat yang cantik kan?” Yuna terus mengajak ayahnya berbicara sekalipun ia tahu kalau ayahnya tak akan membalas ucapannya. Tapi ia percaya, ayahnya akan mendengarkan setiap kalimat yang terucap dari bibirnya.

 

“Ayah harus sembuh ya! Cuma Ayah satu-satunya harta paling berharga yang Yuna punya di dunia ini.”

 

Yuna menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka. Tiga orang perawat masuk ke dalam ruangan dan menghampiri Yuna.

 

“Ini tunggakan tagihan yang harus kamu bayar secepatnya!” Seorang perawat menyodorkan tumpukan kertas ke arah Yuna.

 

Yuna bangkit dari duduk dan meraih kertas-kertas tagihan biaya perawatan ayahnya. “Aku punya uang dari mana buat bayar tagihan sebanyak ini?” batin Yuna sambil menatap tumpukan kertas di tangannya.

 

“Kamu tahu, biaya perawatan ayah kamu nggak sedikit. Kalau nggak bayar hari ini juga, kami terpaksa harus mengeluarkan ayahmu dari rumah sakit.”

 

“Apa!?” Yuna membelalakkan matanya. Ia menatap tubuh Adjie yang terbaring lemah di ranjang. “Suster, kasih aku waktu buat nyelesaikan ini semua!” Yuna memohon sambil menitikan air mata. “Aku nggak mungkin membiarkan Ayah keluar dari rumah sakit dalam keadaan seperti ini.”

 

“Tunggakan kamu sudah terlalu banyak. Kami tidak bisa menunggu lagi!” sahut salah seorang perawat dengan ketus.

 

Perawat yang berbicara dengan Yuna memberikan isyarat pada perawat lain untuk mengeluarkan barang-barang dari dalam ruang rawat ayah Yuna.

 

“Suster, jangan!” pinta Yuna terus memohon. Ia menjatuhkan tubuhnya sambil memeluk kaki perawat tersebut agar tidak mengeluarkan ayahnya dari ruang perawatan. “Aku mohon, suster! Kasihani kami! Kasihan Ayah ... aku janji, bakal secepatnya melunasi biaya rumah sakit,” pinta Yuna sambil menangis.

 

Perawat yang ada di ruangan itu tidak mempedulikan Yuna yang menangis histeris. Yuna terus memeluk tubuh ayahnya. Ia tetap ingin mempertahankan ayahnya agar tetap mendapat perawatan seperti sebelumnya.

 

Yuna semakin merasa sakit saat perawat mulai melepas peralatan medis dari tubuh ayahnya. “Nggak! Ayah harus tetap hidup. Ayah harus tetap mendapat perawatan!” bisik Yuna dalam hati sambil menangis.

 

Yuna buru-buru mengambil ponsel dari dalam tas tangannya dan langsung menelepon Tante Melan.

 

“Halo ... Sayang. Apa kabar?” sahut Melan begitu panggilan telepon Yuna tersambung.

 

“Tante, aku mohon jangan hentikan biaya pengobatan Ayah!” pinta Yuna tanpa basa-basi.

 

Melan tersenyum kecil. “Kamu sudah sadar? Asal kamu nurut sama Tante, Tante akan bayar semua biaya pengobatan ayah kamu!”

 

Yuna menelan ludah. “Iya. Aku janji bakal nuruti semua keinginan Tante.”

 

“Oke. Malam ini kita ke Shangri-La buat nemuin Direktur Lukman. Kamu harus nikah sama dia!”

 

 “Oke.” Yuna menganggukkan kepala. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding dan terduduk lemas.

 

Beberapa menit kemudian, Direktur rumah sakit masuk ke dalam ruangan.

 

“Ada apa ini?” tanya Direktur rumah sakit saat melihat alat medis di tubuh ayah Yuna sudah dilepas.

 

“Anu ... Pak ...” sahut perawat dengan suara bergetar.

 

“Pasang lagi! Kembalikan semuanya seperti semula!” perintah Dokter Rahmat, Direktur rumah sakit tempat ayah Yuna dirawat.

 

Yuna mengusap air mata menggunakan punggung lengannya dan langsung bangkit dari lantai. Ia menghampiri Dokter Rahmat. “Makasih, Dok!”

 

Dokter Rahmat tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Kami minta maaf untuk hal ini. Seharusnya, nggak ada kejadian seperti ini. Semua biaya pengobatan ayah kamu sudah dilunasi oleh Ibu Melan.”

 

Yuna menganggukkan kepala. Ia melirik ayahnya dan bisa bernapas lega saat alat-alat medis yang menopang hidup ayahnya kembali terpasang.

 

“Jaga ayahmu dengan baik dan hiduplah dengan baik!” tutur Dokter Rahmat sambil menepuk pundak Yuna. Ia bergegas keluar dari ruangan.

 

Yuna tersenyum menatap kepergian Dokter Rahmat. Ia berbalik dan menatap sinis ke arah perawat yang sedang menyusun barang-barang di ruang rawat ayahnya.

 

“Pergi dari sini!” pinta Yuna.

 

Tiga orang perawat itu langsung menoleh ke arah Yuna.

 

“Aku bilang, PERGI DARI SINI!” teriak Yuna. Ia tidak tahan melihat tiga perawat itu berada di dalam ruang rawat ayahnya. Hatinya terasa ngilu mengingat kejadian yang terjadi beberapa menit lalu.

 

Ketiga perawat itu langsung bergegas keluar dari ruang rawat ayah Yuna.

 

Yuna menghela napas. Ia terduduk lemas di kursi, tepat di sebelah ranjang ayahnya.

 

“Ayah ... Ayah akan baik-baik aja!” tutur Yuna sambil menggenggam tangan ayahnya. “Aku bakal ngelakuin apa pun buat Ayah. Ayah cepet sembuh ya!” pinta Yuna.

 

Yuna mengusap lembut pipi ayahnya. “Ayah, aku pergi dulu!” pamit Yuna. “Banyak hal yang harus aku lakukan di luar sana. Aku akan hidup dengan baik. Ayah nggak perlu khawatir. Puteri kecilmu, sekarang sudah tumbuh dewasa. Ayah juga harus hidup dengan baik demi aku.” Yuna mencium kening ayahnya.

 

Yuna merasakan hatinya begitu tersayat saat bibirnya menyentuh kening ayahnya. Matanya perih, ia berusaha membendung air matanya agar tidak jatuh membasahi pipi ayahnya.

 

Adjie tak bisa merespon apa pun yang dilakukan oleh puterinya. Ia tak bisa lagi mendengar suara puterinya setelah pintu ruangan tertutup. Hanya air mata yang mengalir dari kedua matanya. Ia terlalu lemah, tak berdaya melakukan apa pun untuk puteri kesayangannya.

 

Yuna berjalan lunglai menyusuri koridor rumah sakit. “Aku nggak tahu harus gimana lagi. Aku nggak tahu gimana menjalani hidup setelah ini,” tutur Yuna lirih.

 

Pikiran Yuna tak karuan. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah Jheni.

 

Beberapa menit kemudian, Yuna sudah sampai di rumah Jheni.

 

“Yun, kamu kenapa?” tanya Jheni saat menyambut Yuna yang berwajah murung.

 

Yuna tak langsung menjawab. Ia merebahkan tubuhnya ke atas sofa.

 

“Ada apa? Cerita dong!” pinta Jheni, ia langsung duduk di sebelah Yuna.

 

“Tante Melan maksa aku nikah sama si Tua Bangka itu,” jawab Yuna lirih.

 

“What!? Kamu nerima?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Yuna! Kamu itu cantik. Kamu bisa dapetin suami yang jauh lebih baik. Kenapa kamu mau disuruh nikah sama Oom-Oom yang nggak jelas itu!” seru Jheni.

 

“Karena Ayah ...” Yuna tak sanggup melanjutkan ucapannya.

 

Jheni menarik napas dalam-dalam. Ia memahami kondisi sahabatnya saat ini. Ia tak sanggup berkata-kata, hanya bisa merangkul Yuna dan memeluk tubuh gadis itu.

 

 

 

 

(( Bersambung ... ))

Baca terus kisah seru mereka ya! Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas