Saturday, January 25, 2025

Bab 43 - Cuek

 


Yeriko turun dari kamarnya saat hari masih gelap dan Bibi War sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi.

 

“Eh, tumben jam segini udah rapi? Mau ke mana? Bukannya ini hari minggu?” tanya Bibi War begitu melihat Yeriko duduk di salah satu kursi meja makan.

 

“Mau keluar. Cari angin,” jawab Yeriko tanpa ekspresi. “Kopi dulu, Bi!” pintanya.

 

Bibi War mengangguk dan langsung membuatkan secangkir kopi untuk Yeriko. Ia tidak langsung pergi, malah duduk di depan Yeriko karena melihat ekspresi wajah Yeriko tak bersemangat seperti biasanya.

 

“Ada apa? Ada masalah?” tanya Bibi War.

 

Yeriko menggelengkan kepala.

 

“Cerita ke Bibi!” pinta Bibi War. “Kenapa nggak bawa Mbak Yuna keluar sekalian?”

 

“Aku mau menenangkan diri dulu.”

 

Bibi War meraih jemari tangan Yeriko. “Lagi berantem sama Mbak Yuna?”

 

Yeriko menggelengkan kepala.

 

“Kalau enggak, kenapa murung?”

 

Yeriko menghela napas perlahan. “Sudah hampir sebulan kami menikah. Dia belum juga ngasih ...” Yeriko menghentikan ucapannya dan menatap Bibi War yang ada di hadapannya. “Huft, sudahlah! Aku keluar dulu!”

 

Yeriko bangkit dari tempat duduk usai menyesap kopinya dan bergegas pergi.

 

Bibi War tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya.

 

Dua jam kemudian ...

 

Yuna turun dari kamar dan langsung menghampiri Bibi War.

 

“Bi, suamiku ke mana?” tanya Yuna sambil menenggak segelas susu yang ada di atas meja.

 

“Ke luar,” jawab Bibi War.

 

Yuna menghela napas. “Kerja?”

 

“Bibi kurang tahu. Tadi subuh sudah berangkat.”

 

“Sepagi itu? Bukannya ini hari minggu?” Yuna terduduk lemas di atas kursi.

 

Bibi War menatap Yuna, ia membersihkan tangannya dan menghampiri Yuna. “Ada apa?” tanyanya sambil menyentuh pundak Yuna.

 

Yuna menatap Bibi War sambil melipat bibirnya. “Bi ...!” Yuna meraih tangan Bibi War dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia langsung menceritakan semua hal yang terjadi semalam antara dia dan suaminya itu.

 

“Bi, aku nggak bermaksud buat nggak patuh sama dia. Aku cuma ... aku ... aku belum siap bukan karena aku nggak sayang. Aku cuma ngerasa belum pantes buat dia. Aku takut kalau ...”

 

“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan! Mas Yeri memang seperti itu. Kalau suasana hatinya sudah baik, dia pasti bakal kembali. Biarkan dia menenangkan diri dulu.”

 

“Gimana caranya biar dia nggak marah sama aku lagi?”

 

“Dia nggak akan marah sama Mbak Yuna,” jawab Bibi War sambil tersenyum.

 

“Kalau dia nggak marah, kenapa dia tiba-tiba pergi. Padahal, ini kan hari libur. Kenapa dia nggak ngajak aku keluar? Bahkan aku juga nggak tahu, semalam dia masuk ke kamar atau nggak.”

 

Bibi War mengelus pundak Yuna perlahan. “Lebih baik sarapan dulu. Setelah sarapan, bisa cari Mas Yeri.”

 

“Bibi tahu dia ke mana?”

 

“Coba cari Mas Yeri ke Danau.”

 

“Danau?” Yuna mengernyitkan dahinya.

 

Bibi War menganggukkan kepala. “Dia biasa menenangkan dirinya di sana.”

 

“Danau di mana?” tanya Yuna.

 

“Nggak jauh dari sini ada danau. Sekitar dua puluh menit kalau jalan kaki.”

 

Yuna langsung melompat girang. “Oke.” Ia menyambar roti bakar di atas meja dan melenggang menaiki anak tangga menuju ke kamarnya untuk mandi.

 

 Usai mandi, Yuna melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Ia berjalan menyusuri trotoar dan menuju danau yang ditunjukkan oleh Bibi War.

 

Yuna mengedarkan pandangannya ke seluruh danau yang tidak terlalu luas. Danau dengan taman kecil ini sepertinya adalah danau buatan yang ada di sekitar perumahan. Tidak terlalu luas, tapi sangat sejuk dan nyaman.

 

Yuna melihat beberapa ekor burung bangau beterbangan di atas danau. Beberapa ekor burung bertengger di atas ranting pohon ketapang merah. Ia tersenyum. Meski tak mendapati sosok Yeriko, tapi perasaannya jauh lebih baik.

 

“Semoga aja dia nggak marah terlalu lama,” tutur Yuna sambil duduk di salah satu bangku yang ada di tepi danau. “Tempat ini nyaman juga. Kalau dia nggak ke sini, ke mana ya?”

 

Yuna memilih untuk menikmati suasana danau sejenak sebelum kembali ke rumah.

 

Waktu terus berlalu, terik mentari yang memanggang kulit perlahan turun ke peraduannya. Sudah lama Yuna menunggu Yeriko kembali ke rumah.

 

“Bi, aku nggak bisa nemuin dia di danau dan sampe jam segini belum pulang juga.” Yuna tak henti mondar-mandir di depan jendela sambil menatap jalanan yang ada di depan rumahnya. “Sebenarnya, dia ke mana sih?” Ia terus menggigiti jari tangannya.

 

Bibi War bisa memahami kegelisahan dan rasa bersalah dalam diri Yuna, terlebih hari beranjak petang dan Yeriko belum juga kembali.

 

Yuna langsung berlari keluar dari rumah saat melihat sosok Yeriko memasuki halaman rumah.

 

“Kamu dari mana?” tanya Yuna sembari menghadang Yeriko.

 

Yeriko bergeming. Ia tak menatap wajah Yuna sedikit pun dan melewati tubuh Yuna begitu saja.

 

Yuna merasakan dadanya begitu sesak melihat sikap Yeriko. Tanpa terasa, air matanya keluar sembari memandangi tubuh Yeriko yang perlahan memasuki rumahnya.

 

“Aku mau minta maaf,” ucap Yuna lirih sembari menundukkan kepalanya.

 

Yeriko menarik napas dalam-dalam. Ia masih merasa kecewa dengan sikap Yuna yang mengacuhkan dirinya dan tidak mau menerimanya dengan baik sebagai suami.

 

“Mas Yeri ...!” panggil Bibi War saat Yeri menaiki anak tangga.

 

Yeriko langsung berbalik. “Kenapa Bi?”

 

“Kasihani Mbak Yuna!” pinta Bibi War. “Dia sudah lama nunggu Mas Yeri pulang. Bahkan, dia belum makan dari tadi pagi. Dia selalu nunggu Mas Yeri di depan jendela. Dia sangat terpukul karena sikap Mas Yeri.”

 

Yeriko menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia melirik ke luar jendela. Menatap Yuna yang masih berdiri di sana. “Apa aku keterlaluan?” tanya Yeriko pada Bibi War.

 

Bibi War hanya tersenyum kecil menjawab pertanyaan Yeriko.

 

Yeriko langsung berlari keluar rumah dan menghampiri Yuna.

 

Yuna menengadahkan kepalanya menatap Yeriko dengan mata berkaca-kaca. “Maafin aku! Aku ...”

 

Yeriko langsung merengkuh tubuh Yuna dan memeluknya erat.

 

Yuna terisak dalam dekapan Yeriko. “Maafin aku, aku nggak bermaksud buat nggak patuh sebagai istri. Aku cuma belum siap buat ngelakuin itu karena takut sakit. Aku ...”

 

Yeriko tersenyum kecil. Ia melepas pelukannya dan mengusap air mata Yuna. “Jangan nangis lagi!”

 

“Jangan cuekin aku lagi!” pinta Yuna dengan nada sendu sambil menatap Yeriko.

 

Yeriko tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia menggandeng tangan Yuna dan mengajaknya masuk ke dalam rumah bersama.

 

Bibi War merasa sangat lega karena akhirnya kedua majikannya itu bisa berbaikan.

 

“Bi, masak apa?”

 

“Cuma ada ayam goreng sama sayur asem. Abisnya, Mas Yeri nggak ada di rumah dan Mbak Yuna nggak mau makan dari tadi pagi.”

 

Yeriko langsung menoleh ke arah Yuna. “Kamu bisa nggak makan seharian?”

 

Yuna meringis mendengar pertanyaan dari Yeriko.

 

“Lain kali harus tetap makan dalam keadaan apa pun!” tegas Yeriko sambil tersenyum ke arah Yuna.

 

“Bi, tolong siapin makanan buat kami!” pinta Yeriko. “Kami mandi dulu.”

 

Bibi War menganggukkan kepala.

 

Yeriko mengajak Yuna naik ke kamar dan mandi bersama. Mereka semakin mesra dan tidur bersama sambil berpelukan.

 

Keesokan harinya, Yuna dibuat terkejut karena Yeriko tiba-tiba mengajak Yuna untuk berkunjung ke rumah keluarganya.

 

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa.

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas