Usai pulang kerja seperti
biasa. Yeriko memenuhi janjinya untuk mengajak Yuna jalan-jalan ke luar rumah.
Cuaca malam ini sangat
bersahabat. Angin berhembus perlahan dan bintang-bintang bertaburan di angkasa.
Yeriko membawa Yuna masuk ke salah satu pusat perbelanjaan di pusat kota.
“Eh, kita ke sana yuk!” ajak
Yeriko sambil menunjuk salah satu butik ternama yang ada di pusat kota.
“Mmh ... bajunya pasti
mahal-mahal,” sahut Yuna. Ia sama sekali tidak bersemangat membeli baju-baju
mahal karena keuangannya tak sebaik suaminya.
Yeriko menahan tawa. Ia
menarik lengan Yuna. Tangan satunya lagi sibuk mengambil pakaian dari display
dan memberikannya ke tangan Yuna.
Yuna kebingungan melihat
tumpukan pakaian yang sudah ada di tangannya. “Ini mau buat apa? Banyak
banget?”
“Buat kamu pakai,” jawab
Yeriko sambil tersenyum.
“Tapi ... ini terlalu mahal.”
“Nggak ada satu pun barang
yang mahal saat kamu pakai. Karena kamu tetap yang termahal buatku,” ucap
Yeriko sambil tersenyum menatap Yuna.
Mata Yuna berbinar mendengar
ucapan Yeriko. “Ini cukup,” tuturnya sambil tersenyum.
Yeriko mengernyitkan dahinya.
“Yakin?”
Yuna mengangguk pasti.
“Oke.” Yeriko langsung
mengajak Yuna ke kasir untuk membayar semua baju yang telah ia ambil.
Yuna terus menatap Yeriko
tanpa berkedip. Semakin lama, Yeriko menunjukkan kepeduliannya pada Yuna secara
terang-terangan. Membuat Yuna semakin hari semakin mengagumi pria itu.
“Mau ke mana lagi?” tanya
Yeriko saat mereka sudah keluar dari butik.
“Mmh ... ini udah malem. Kita jalan-jalan
di luar aja nikmati angin malam. Gimana?”
“Makan sate ayam, mau?”
Yuna menganggukkan kepala.
Yeriko langsung mengajak Yuna
makan sate ayam di salah satu warung sate yang ada di jalan Dharmawangsa.
Begitu sampai di warung makan,
Yeriko langsung memesan lima puluh tusuk sate ayam untuk mereka.
“Mmh ... kali ini, kamu yang
harus makan lebih banyak dari aku!” pinta Yuna.
“Eh!? Kenapa?”
Yuna menghela napas. “Berat
badanku udah nambah dua kilo. Aku mau diet,” ucapnya lirih.
Yeriko mengernyitkan dahi
menatap Yuna. “Aku rasa, nggak ada perubahan sama sekali.”
“Masa sih?” tanya Yuna sambil
menyentuh kedua pipinya.
Yeriko tersenyum kecil. Mereka
langsung melahap sate ayam setelah terhidang di atas meja.
“Gimana kerjaan kamu hari
ini?” tanya Yeriko.
“Baik,” jawab Yuna santai
sambil melahap sate di depannya.
Yeriko tertawa kecil melihat
Yuna yang makan dengan lahap.
“Kenapa ketawa?” tanya Yuna
dengan mulut penuh makanan.
Yeriko menggelengkan kepala
sambil menahan tawa karena Yuna sudah menghabiskan lebih banyak sate ayam yang
terhidang.
“Temen-temen kerja yang lain
semuanya baik. Aku cuma kesel sama Bellina yang selalu aja cari masalah ke aku.
Belum lagi dua antek-anteknya yang ngeselin itu. Lihat aja. Aku nggak bakal
tinggal diam. Harus ngelawan mereka!” tutur Yuna penuh semangat. Ia semakin
melahap sate di depannya sambil mengomel.
Yeriko hanya tersenyum kecil
menatap Yuna yang terus makan sambil berbicara.
“Mau nambah lagi satenya?”
tanya Yeriko.
“Eh!?” Yuna membelalakkan
matanya menatap tumpukan tusukan sate yang sudah ia makan. Sementara Yeriko
hanya makan beberapa tusuk saja.
Yuna langsung meringis menatap
Yeriko. Ia menggelengkan kepala perlahan. Saat ini ia benar-benar merasa sangat
rakus karena selalu makan lebih banyak dari suaminya.
Yeriko tersenyum menatap Yuna.
Ia selalu merasa senang saat melihat Yuna memiliki nafsu makan yang tinggi.
Usai makan, mereka kembali ke
rumah. Sesampainya di rumah, Yuna langsung mengganti pakaiannya dengan gaun
tidur. Sementara Yeriko, malah pergi ke ruang kerjanya.
“Mau kerja lagi?” tanya Yuna.
Yeriko menganggukkan kepala.
“Kamu tidurlah!” pintanya. Ia bergegas menuju ruang kerjanya untuk mengecek
laporan dan melakukan rapat online dengan beberapa bawahannya.
Yuna merasa tidak tenang
karena suaminya masih bekerja. Ia merasa sangat bersalah. “Kalau nggak ngajak
aku jalan-jalan, dia nggak perlu kerja sampai larut malam,” tuturnya.
Yuna bergegas keluar dari
kamar. Ia menuruni anak tangga perlahan menuju dapur. Ia langsung membuatkan
susu jahe dan mengantarkannya ke ruang kerja Yeriko.
“Belum tidur?” tanya Yeriko
saat Yuna masuk ke ruang kerjanya.
Yuna menggelengkan kepala.
“Aku nggak bisa tidur. Masih lama kerjanya?” tanya Yuna.
Yeriko menganggukkan kepala.
“Ini. Aku buatkan susu jahe
buat kamu,” tutur Yuna sambil meletakkan segelas susu ke hadapan Yeriko.
“Makasih!” ucap Yeriko sambil
menatap Yuna yang berdiri di sebelahnya.
Yuna mengangguk sambil
tersenyum. Ia langsung merangkul leher Yeriko. “Jangan sampai larut malam
kerjanya!” pinta Yuna sambil mengecup pipi Yeriko.
Yeriko tersenyum, ia menatap
Yuna dan menarik tubuh Yuna ke pangkuannya. “Hari ini ... kamu manis dan
antusias banget. Apa kamu ...?”
“Mmh ... bukannya aku harus
jadi istri yang baik?” tanya Yuna sambil tersenyum.
“Oh ya?” Yeriko mengeratkan
pelukannya.
Yuna mengangguk sambil
tersenyum.
Yeriko langsung mencium bibir
Yuna penuh kehangatan. Mereka semakin terlarut dalam romansa yang
menggairahkan. Yuna hampir tak bisa mengendalikan diri setiap kali jemari
tangan Yeriko menyentuhnya begitu lembut.
Yeriko membaringkan tubuh Yuna
perlahan ke lantai. Ia mencium bibir Yuna perlahan. Yeriko juga mulai mengendus
leher Yuna.
Yuna merasa jiwanya terbang
melayang ke angkasa. Setiap sentuhan bibir dan tangan Yeriko berhasil
membuatnya membeku dan tak berdaya.
Yeriko terus melangkah lebih
jauh, masuk ke dalam dunia Yuna yang penuh kehangatan dan kebahagiaan.
Yuna membelalakkan mata saat
menyadari kalau mereka sama-sama berada di puncak orgasme. Ia teringat dengan
ucapan Jheni beberapa waktu lalu.
“Apa bakal sakit?” batinnya.
Ia langsung menggerakkan tubuhnya dan tak sengaja menendang Yeriko.
“Aw ...!” Yeriko merintih saat
pahanya terbentur lutut Yuna.
Yuna bangkit dan mendorong
tubuh Yeriko.
Yeriko menghela napas dan
terduduk lemas di lantai. “Kamu ini ...?” Yeriko bangkit perlahan dan
kembali ke meja kerjanya.
Yuna menggigit bibirnya sambil
menatap Yeriko yang kembali fokus dengan layar laptopnya. Ia merasa sangat
bersalah dan sedih karena tidak bisa melayani suaminya dengan baik.
“Maaf ... aku ...”
“Aku mau kerja. Kembali ke
kamar!” perintah Yeriko.
Yuna bangkit dari lantai. Ia
melangkah perlahan keluar dari ruang kerja Yeriko. Matanya terus tertuju pada
Yeriko yang tak lagi mau memandangnya.
Yuna melangkah memasuki
kamarnya. Tanpa ia sadari, bulir-bulir air mengalir dari sudut matanya.
“Yuna, kamu payah banget sih?”
maki Yuna pada dirinya sendiri. Ia langsung mengambil ponsel dan menelepon
Jheni.
“Jhen ...!” panggil Yuna
setelah Jheni mengangkat panggilan teleponnya.
“Hmm ... kenapa?”
“Udah tidur?” tanya Yuna.
“He-em. Ada apa, Yun?”
“Aku mau cerita sesuatu,”
tutur Yuna lirih.
“Iya. Cerita aja!”
“Bangun dulu!” pinta Yuna.
“Ini udah bangun, Yuna!” sahut
Jheni. “Kalau belum bangun, aku nggak mungkin angkat telepon. Mau cerita apa?”
Yuna langsung menceritakan
kejadian yang baru saja terjadi antara dia dan Yeriko.
“Hahaha.” Jheni tergelak saat
Yuna selesai bercerita.
“Kenapa malah diketawain!?”
dengus Yuna kesal. “Nyesel aku cerita sama kamu.”
“Kamu tuh ya, udah umur dua
puluh empat masih polos aja,” celetuk Jheni.
“Hmm ... kira-kira, dia marah
nggak ya sama aku?” tanya Yuna.
“Bisa iya, bisa nggak.”
“Caranya biar aku tahu dia
marah atau nggak, gimana?” tanya Yuna.
“Mmh ... lihat aja besok pagi.
Kalau dia cuek, berarti dia marah.”
“Jhen ...! Aku harus gimana?”
“Eh, anak kecil. Kamu harus
belajar menyelesaikan masalah kamu sendiri. Lagian, ini kan urusan rumah tangga
kamu. Aku nggak mau ikut campur, hihihi.” Jheni langsung mematikan panggilan
telepon Yuna.
“Jheni ...!” seru Yuna, ia
makin kesal saat Jheni mematikan teleponnya. Ia merebahkan tubuhnya ke atas
kasur dan berguling ke sana kemari.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Selamat menjalankan ibadah puasa.
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment