Friday, January 24, 2025

Bab 35 - Kehangatan di Kala Hujan

 


Yuna merapikan meja kerjanya begitu jam kerja usai. Ia langsung meraih tas dan bergegas keluar dari ruang kerjanya.

 

“Yuna!” panggil Sofi saat melihat Yuna keluar dari ruang kerja.

 

Yuna langsung berbalik, menoleh ke arah Sofi yang memanggilnya. “Kenapa?”

 

“Dipanggil Bellina ke ruangannya.”

 

Yuna mengernyitkan dahi menatap Sofi. “Mau ngapain? Bukannya ini sudah di luar jam kerja?”

 

Sofi mengedikkan bahunya.

 

Yuna langsung melangkahkan kaki menuju ke ruang kerja Bellina. Ia merasa dirinya sudah sangat lelah. Yuna menarik napas dalam-dalam sambil memegang gagang pintu ruangan Bellina.

 

Yuna membuka pintu ruangan Bellina perlahan dan masuk ke dalam ruang kerja Bellina.

 

“Yun, laporan yang tadi mana ya?” tanya Bellina.

 

“Laporan yang mana?” tanya Yuna.

 

“Yang tadi siang aku kasih ke kamu. Yang di dalam map hijau.”

 

“Hah!? Bukannya kamu bilang itu catatan laporan yang nggak dipakai? Udah aku masukin ke penghancur kertas.”

 

“Apa? Bukannya yang dibuang yang di map merah doang? Kamu perhatiin nggak sih kalau dikasih perintah!?” sentak Bellina.

 

Yuna meringis menatap Bellina. “Aku udah perhatiin jelas banget. Kamu bilang begitu.”

 

“Kamu yang nggak konsen kerja!” sentak Bellina. “Catatan itu penting banget buat meeting sama klien. Kamu harus balikin seperti semula!”

 

“Hah!? Gimana caranya?” tanya Yuna.

 

“Ya mikir, dong! Kamu susun lagi atau gimana gitu? Aku nggak mau tahu. Catatan itu harus dibalikin ke aku hari ini juga karena besok pagi harus meeting sama atasan. Kalau sampe bahan presentasi aku itu hilang, kamu yang harus tanggung jawab!” tegas Bellina.

 

Yuna tertunduk lesu. Ia langsung berbalik dan melangkahkan kakinya yang begitu berat untuk keluar dari ruangan Bellina.

 

Bellina tersenyum sinis saat Yuna sudah keluar dari ruang kerjanya. “Rasain! Makan tuh kertas!” umpatnya lirih.

 

Yuna langsung melangkah masuk ke ruangannya. Ia tak bersemangat saat membuka mesin penghancur kertas. “Oh God! Help Me!” bisiknya sambil mengeluarkan tumpukan kertas yang sudah terpotong kecil-kecil.

 

Yuna duduk di lantai keramik yang dingin dan mulai menyusun puzzle kertas satu per satu.

 

“Aha ... ini dia!” seru Yuna saat sudah menemukan catatan laporan yang dimaksud oleh Bellina. Ia langsung bangkit, mengambil kertas HVS dan lem untuk menempelkan laporan yang sudah tak bisa kembali utuh seperti semula.

 

Dengan hati-hati, Yuna mencari potongan kertas yang lainnya dan mulai menempelkan satu per satu.

 

Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama ‘Beruang Kutub’ tertera di layar.

 

“Halo ...!” sapa Yuna.

 

“Halo ... kamu di mana? Belum pulang kerja?”

 

“Belum. Aku masih harus lembur,” jawab Yuna.

 

“Sampai jam berapa?”

 

“Belum tahu. Kenapa?”

 

“Aku mau jemput kamu.”

 

“Nanti aku telepon kalau sudah selesai kerjaanku,” tutur Yuna sambil tersenyum.

 

“Oke. Mau aku antarin makanan?”

 

“Nggak usah. Aku bisa pesen makanan sendiri,” jawab Yuna.

 

“Ya udah kalo gitu. Jaga diri baik-baik! Jangan sampai larut malam! Bos kamu nggak menindas kamu kan?”

 

“Nggak. Semuanya baik-baik aja, kok. Aku langsung pulang kalau kerjaanku bisa selesai lebih cepat.”

 

“Oke. Aku tutup teleponnya. Jangan lupa makan!”

 

“Siap Bos!” Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko langsung mematikan panggilan teleponnya.

 

Yuna menundukkan kepala. Ia merasa sangat payah karena harus menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menyusun kertas-kertas kecil yang menyiksa dirinya.

 

Yuna menghela napas. Sesekali ia memijat pundak dan pinggangnya yang terasa pegal.

 

Cuaca semakin dingin dan gelap malam makin mencekam. Yuna melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB.

 

“Akhirnya ... kelar juga!” seru Yuna bangkit sambil meliukkan tubuhnya. Ia bersendawa beberapa kali dan baru menyadari kalau ia belum makan apa pun.

 

Yuna meraih ponsel yang ada di atas meja dan bermaksud menelepon Yeriko. “Hah!? Batrai aku habis?” serunya sambil mengetuk-ngetuk ponsel ke atas meja kerjanya.

 

Yuna merebahkan tubuhnya ke atas kursi. “Bener-bener hari yang sial!” celetuknya. Ia langsung meraih tas dan bergegas keluar dari ruang kerjanya.

 

Waktu tak bisa dihentikan begitu saja, semakin larut malam. Di luar, rintik hujan semakin deras. Yuna menahan hembusan angin malam yang hampir membuat tubuhnya membeku. Ia tak bisa menelepon Yeriko. Ia hanya bisa menunggu Yeriko di depan kantornya.

 

Di saat yang sama, perasaan Yeriko semakin gelisah. Waktu semakin larut dan Yuna belum juga meneleponnya. Ia mengintip ke luar jendela. Di luar rumah turun hujan deras disertai petir dan angin kencang.

 

Yeriko tidak tahan menunggu lagi. Ia menelepon nomor Yuna berkali-kali tapi tidak bisa terhubung. Perasaannya semakin tidak karuan. Ia menyambar jas panjang miliknya dan bergegas turun dari kamar.

 

Ia bergegas keluar dari rumah dan melajukan mobilnya ke kantor Yuna.

 

Yeriko buru-buru keluar dari mobil begitu melihat Yuna berdiri di depan kantor sambil mengusap lengannya beberapa kali. Tubuhnya mulai gemetar karena angin malam dan rintik hujan yang menyentuh kulitnya.

 

“Kenapa nggak nelpon?” tanya Yeriko. Ia langsung melepas jas miliknya dan memakaikan ke tubuh Yuna.

 

“Batrai hp-ku habis,” jawab Yuna sambil menatap Yeriko yang sudah berdiri di depannya.

 

“Dingin?” tanya Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko langsung merengkuh tubuh Yuna ke dalam pelukannya. “Aku hangatin kamu sebentar.”

 

Yuna menyandarkan kepalanya ke dada Yeriko dan memeluk tubuh suaminya dengan erat. “Makasih,” ucapnya hampir tak terdengar.

 

“Sudah makan?” tanya Yeriko sambil melepas pelukannya dan menatap wajah Yuna.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku terlalu fokus sama kerjaanku sampai lupa makan dan lupa waktu,” ucapnya sambil tersenyum.

 

“Lain kali, nggak boleh kayak gini lagi! Kamu lembur sendirian?” tanya Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Kenapa bos kamu lebih kejam dari aku? Ngebiarin kamu lembur sendirian kayak gini?”

 

“Semuanya juga salahku. Kalau aku nggak bikin kesalahan, aku nggak harus lembur sampai larut malam kayak gini.”

 

“Sudahlah. Kita bahas di rumah aja. Di sini dingin banget. Kita pulang sekarang!” Yeriko merangkul Yuna dan membawanya masuk ke dalam mobil.

 

“Hatchiim ...!” Yuna bersin beberapa kali di dalam mobil saat perjalanan pulang ke rumah.

 

Yeriko tidak tahan melihat Yuna. Ia menyentuh kening Yuna menggunakan punggung tangannya. Yeriko langsung menambah kecepatan mobilnya meski di luar hujan deras dan jalanan sangat licin.

 

“Beruangku, nggak usah buru-buru! Cuaca lagi nggak bagus,” tutur Yuna.

 

“Sampai di rumah lebih cepat lebih baik,” sahut Yeriko.

 

Yuna terdiam. Ia merapatkan jas yang menutupi tubuhnya. Tubuhnya gemetar menahan dingin yang masih melekat di kulitnya.

 

“Masih dingin?” tanya Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko langsung menepikan mobilnya perlahan.

 

“Kenapa berhenti di sini? Rumah kita sudah dekat.”

 

Yeriko menggosong kedua telapak tangannya dan menempelkannya ke pipi Yuna.

 

“Masih dingin?” tanya Yeriko.

 

Yuna tertegun menatap wajah Yeriko yang begitu dekat. Sinar mata Yeriko benar-benar membuat tubuhnya semakin membeku. Yuna tak bisa menahan perasaannya dan langsung mencium bibir Yeriko yang hanya berjarak lima sentimeter dari bibirnya.

 

Yeriko terkejut ketika Yuna tiba-tiba menciumnya. Tanpa banyak berpikir, ia langsung membalas ciuman Yuna penuh kehangatan dan memeluk erat tubuh gadis itu.

 

Perlahan, pipi Yuna mulai menghangat. Kehangatan itu bisa ia rasakan menjalar ke seluruh tubuhnya seirama dengan ciuman hangat dari bibir Yeriko. Cara alamiah yang paling efektif untuk menghangatkan tubuh adalah dengan ciuman hangat.

 

“Sorry ...!” Yuna langsung menarik tubuhnya saat ia mulai tak bisa mengendalikan pernapasannya sendiri.

 

Yeriko tersenyum kecil. Ia bergegas melajukan kembali mobilnya menuju rumahnya.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas