Yuna merapikan meja
kerjanya begitu jam kerja usai. Ia langsung meraih tas dan bergegas keluar dari
ruang kerjanya.
“Yuna!” panggil Sofi
saat melihat Yuna keluar dari ruang kerja.
Yuna langsung berbalik,
menoleh ke arah Sofi yang memanggilnya. “Kenapa?”
“Dipanggil Bellina ke
ruangannya.”
Yuna mengernyitkan dahi
menatap Sofi. “Mau ngapain? Bukannya ini sudah di luar jam kerja?”
Sofi mengedikkan
bahunya.
Yuna langsung
melangkahkan kaki menuju ke ruang kerja Bellina. Ia merasa dirinya sudah sangat
lelah. Yuna menarik napas dalam-dalam sambil memegang gagang pintu ruangan
Bellina.
Yuna membuka pintu
ruangan Bellina perlahan dan masuk ke dalam ruang kerja Bellina.
“Yun, laporan yang tadi
mana ya?” tanya Bellina.
“Laporan yang mana?”
tanya Yuna.
“Yang tadi siang aku
kasih ke kamu. Yang di dalam map hijau.”
“Hah!? Bukannya kamu
bilang itu catatan laporan yang nggak dipakai? Udah aku masukin ke penghancur
kertas.”
“Apa? Bukannya yang
dibuang yang di map merah doang? Kamu perhatiin nggak sih kalau dikasih
perintah!?” sentak Bellina.
Yuna meringis menatap
Bellina. “Aku udah perhatiin jelas banget. Kamu bilang begitu.”
“Kamu yang nggak konsen
kerja!” sentak Bellina. “Catatan itu penting banget buat meeting sama klien.
Kamu harus balikin seperti semula!”
“Hah!? Gimana caranya?”
tanya Yuna.
“Ya mikir, dong! Kamu
susun lagi atau gimana gitu? Aku nggak mau tahu. Catatan itu harus dibalikin ke
aku hari ini juga karena besok pagi harus meeting sama atasan. Kalau sampe
bahan presentasi aku itu hilang, kamu yang harus tanggung jawab!” tegas Bellina.
Yuna tertunduk lesu. Ia
langsung berbalik dan melangkahkan kakinya yang begitu berat untuk keluar dari
ruangan Bellina.
Bellina tersenyum sinis
saat Yuna sudah keluar dari ruang kerjanya. “Rasain! Makan tuh kertas!”
umpatnya lirih.
Yuna langsung melangkah
masuk ke ruangannya. Ia tak bersemangat saat membuka mesin penghancur kertas. “Oh
God! Help Me!” bisiknya sambil mengeluarkan tumpukan kertas yang sudah
terpotong kecil-kecil.
Yuna duduk di lantai
keramik yang dingin dan mulai menyusun puzzle kertas satu per satu.
“Aha ... ini dia!” seru
Yuna saat sudah menemukan catatan laporan yang dimaksud oleh Bellina. Ia
langsung bangkit, mengambil kertas HVS dan lem untuk menempelkan laporan yang
sudah tak bisa kembali utuh seperti semula.
Dengan hati-hati, Yuna
mencari potongan kertas yang lainnya dan mulai menempelkan satu per satu.
Tiba-tiba
ponselnya berdering. Nama ‘Beruang Kutub’ tertera di layar.
“Halo ...!” sapa Yuna.
“Halo ... kamu di mana?
Belum pulang kerja?”
“Belum. Aku masih harus
lembur,” jawab Yuna.
“Sampai jam berapa?”
“Belum tahu. Kenapa?”
“Aku mau jemput kamu.”
“Nanti aku telepon
kalau sudah selesai kerjaanku,” tutur Yuna sambil tersenyum.
“Oke. Mau aku antarin
makanan?”
“Nggak usah. Aku bisa
pesen makanan sendiri,” jawab Yuna.
“Ya udah kalo gitu.
Jaga diri baik-baik! Jangan sampai larut malam! Bos kamu nggak menindas kamu
kan?”
“Nggak. Semuanya
baik-baik aja, kok. Aku langsung pulang kalau kerjaanku bisa selesai lebih
cepat.”
“Oke. Aku tutup
teleponnya. Jangan lupa makan!”
“Siap Bos!” Yuna
menganggukkan kepala.
Yeriko langsung
mematikan panggilan teleponnya.
Yuna menundukkan
kepala. Ia merasa sangat payah karena harus menghabiskan waktu berjam-jam hanya
untuk menyusun kertas-kertas kecil yang menyiksa dirinya.
Yuna menghela napas.
Sesekali ia memijat pundak dan pinggangnya yang terasa pegal.
Cuaca semakin dingin
dan gelap malam makin mencekam. Yuna melirik jam dinding yang sudah menunjukkan
pukul 23.30 WIB.
“Akhirnya ... kelar
juga!” seru Yuna bangkit sambil meliukkan tubuhnya. Ia bersendawa beberapa kali
dan baru menyadari kalau ia belum makan apa pun.
Yuna meraih ponsel yang
ada di atas meja dan bermaksud menelepon Yeriko. “Hah!? Batrai aku habis?”
serunya sambil mengetuk-ngetuk ponsel ke atas meja kerjanya.
Yuna merebahkan
tubuhnya ke atas kursi. “Bener-bener hari yang sial!” celetuknya. Ia langsung
meraih tas dan bergegas keluar dari ruang kerjanya.
Waktu tak bisa
dihentikan begitu saja, semakin larut malam. Di luar, rintik hujan semakin
deras. Yuna menahan hembusan angin malam yang hampir membuat tubuhnya membeku.
Ia tak bisa menelepon Yeriko. Ia hanya bisa menunggu Yeriko di depan kantornya.
Di saat yang sama,
perasaan Yeriko semakin gelisah. Waktu semakin larut dan Yuna belum juga
meneleponnya. Ia mengintip ke luar jendela. Di luar rumah turun hujan deras
disertai petir dan angin kencang.
Yeriko tidak tahan
menunggu lagi. Ia menelepon nomor Yuna berkali-kali tapi tidak bisa terhubung.
Perasaannya semakin tidak karuan. Ia menyambar jas panjang miliknya dan
bergegas turun dari kamar.
Ia bergegas keluar dari
rumah dan melajukan mobilnya ke kantor Yuna.
Yeriko buru-buru keluar
dari mobil begitu melihat Yuna berdiri di depan kantor sambil mengusap
lengannya beberapa kali. Tubuhnya mulai gemetar karena angin malam dan rintik
hujan yang menyentuh kulitnya.
“Kenapa nggak nelpon?”
tanya Yeriko. Ia langsung melepas jas miliknya dan memakaikan ke tubuh Yuna.
“Batrai hp-ku habis,”
jawab Yuna sambil menatap Yeriko yang sudah berdiri di depannya.
“Dingin?” tanya Yeriko.
Yuna menganggukkan
kepala.
Yeriko langsung
merengkuh tubuh Yuna ke dalam pelukannya. “Aku hangatin kamu sebentar.”
Yuna menyandarkan
kepalanya ke dada Yeriko dan memeluk tubuh suaminya dengan erat. “Makasih,”
ucapnya hampir tak terdengar.
“Sudah makan?” tanya
Yeriko sambil melepas pelukannya dan menatap wajah Yuna.
Yuna menggelengkan
kepala. “Aku terlalu fokus sama kerjaanku sampai lupa makan dan lupa waktu,”
ucapnya sambil tersenyum.
“Lain kali, nggak boleh
kayak gini lagi! Kamu lembur sendirian?” tanya Yeriko.
Yuna menganggukkan
kepala.
“Kenapa bos kamu lebih
kejam dari aku? Ngebiarin kamu lembur sendirian kayak gini?”
“Semuanya juga salahku.
Kalau aku nggak bikin kesalahan, aku nggak harus lembur sampai larut malam
kayak gini.”
“Sudahlah. Kita bahas
di rumah aja. Di sini dingin banget. Kita pulang sekarang!” Yeriko merangkul
Yuna dan membawanya masuk ke dalam mobil.
“Hatchiim ...!” Yuna
bersin beberapa kali di dalam mobil saat perjalanan pulang ke rumah.
Yeriko tidak tahan
melihat Yuna. Ia menyentuh kening Yuna menggunakan punggung tangannya. Yeriko
langsung menambah kecepatan mobilnya meski di luar hujan deras dan jalanan
sangat licin.
“Beruangku, nggak usah
buru-buru! Cuaca lagi nggak bagus,” tutur Yuna.
“Sampai di rumah lebih
cepat lebih baik,” sahut Yeriko.
Yuna terdiam. Ia merapatkan
jas yang menutupi tubuhnya. Tubuhnya gemetar menahan dingin yang masih melekat
di kulitnya.
“Masih dingin?” tanya
Yeriko.
Yuna menganggukkan
kepala.
Yeriko langsung
menepikan mobilnya perlahan.
“Kenapa berhenti di
sini? Rumah kita sudah dekat.”
Yeriko menggosong kedua
telapak tangannya dan menempelkannya ke pipi Yuna.
“Masih dingin?” tanya
Yeriko.
Yuna tertegun menatap
wajah Yeriko yang begitu dekat. Sinar mata Yeriko benar-benar membuat tubuhnya
semakin membeku. Yuna tak bisa menahan perasaannya dan langsung mencium bibir
Yeriko yang hanya berjarak lima sentimeter dari bibirnya.
Yeriko terkejut ketika
Yuna tiba-tiba menciumnya. Tanpa banyak berpikir, ia langsung membalas ciuman
Yuna penuh kehangatan dan memeluk erat tubuh gadis itu.
Perlahan, pipi Yuna
mulai menghangat. Kehangatan itu bisa ia rasakan menjalar ke seluruh tubuhnya
seirama dengan ciuman hangat dari bibir Yeriko. Cara alamiah yang paling
efektif untuk menghangatkan tubuh adalah dengan ciuman hangat.
“Sorry ...!” Yuna
langsung menarik tubuhnya saat ia mulai tak bisa mengendalikan pernapasannya
sendiri.
Yeriko tersenyum kecil.
Ia bergegas melajukan kembali mobilnya menuju rumahnya.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment