Setelah dari dokter, Yuna dan Yeriko kembali ke kamar
mereka.
“Kamu nggak papa nggak masuk kerja?” tanya Yuna.
“Nggak papa.”
Yuna tersenyum menatap Yeriko. Ia merasa bersalah karena
telah membuat kekacauan dan membuat suaminya tidak pergi bekerja. Bahkan sampai
sekarang, ia tidak mengetahui profesi suaminya itu. Melihatnya memiliki seorang
asisten pribadi, setidaknya pekerjaan suaminya tidak terlalu buruk.
Yeriko mengambil tab miliknya. Ia menunjukkan beberapa
video lucu pada Yuna untuk mengusir penat. Mereka terus tertawa bersama sambil
menonton beberapa video lucu.
“Gila nih anak-anak! Masih kecil udah panggil Papa Mama.
Anak-anak zaman sekarang ada-ada aja,” tutur Yuna sambil tertawa melihat video
anak-anak SD yang sudah memiliki kekasih.
“Bukannya itu romantis?” sahut Yeriko.
Yuna tergelak. “Iya, romantis buat orang dewasa. Tapi
kalau anak-anak kayak gini mah, bukan romantis, lucu!”
Yeriko ikut tertawa. Ia langsung berbaring di sebelah
Yuna dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. “Mmh ... gimana kalau kita
bikin julukan juga?”
“Mmh ... boleh. Gimana kalau aku panggil kamu ... Papa
Yeri?”
“Emangnya udah siap jadiin aku seorang Papa?” tanya Yeri
sambil menempelkan dahinya ke dahi Yuna.
Tubuh Yuna langsung membeku, ia ingin mengucapkan sesuatu
tapi tertahan di kerongkongannya. Ia tidak tahu apakah harus mengatakan iya
atau tidak. Ia tak bisa menolak Yeriko, tapi juga belum siap untuk melangkah
lebih jauh lagi.
“Kenapa diam?” tanya Yeriko sambil tersenyum.
“A ... aku ...” Yuna menggaruk kepalanya yang tidak
gatal. Ia tidak bisa menyembunyikan pipinya yang merona merah saat Yeriko
menatapnya begitu dekat. Di manik mata Yeriko, tergambar jelas bayangan
wajahnya dan membuatnya semakin membeku.
“Mulai sekarang, aku panggil kamu Yuyun. Gimana?”
“Yuyun!?” Yuna mengerutkan bibir dan keningnya. “Jelek
banget!” protesnya.
“Menurutku, bagus dan lucu. Kayak kamu,” tutur Yeriko
sambil mencolek hidung Yuna dengan ujung ibu jarinya.
Yuna tersenyum bahagia, tanpa sadar ia meletakkan
tangannya di pipi Yeriko. “Kalo gitu, mulai hari ini aku bakal panggil kamu
Beruang Kutub.”
Yeriko langsung mendorong tubuh Yuna dan memalingkan
wajahnya.
“Kenapa? Kok, marah?” tanya Yuna sambil
menggoyang-goyangkan pundak Yeriko.
Yeriko melirik Yuna yang ada di sampingnya. “Kenapa
Beruang Kutub?” tanyanya kesal. “Nggak ada nyambungnya sama sekali sama
namaku!” protesnya.
“Beruang kutub itu kan lucu. Putih bersih, pemberani,
kuat dan sangat sabar,” jawab Yuna sambil tersenyum. “Karena kamu adalah
Beruang Kutub yang paling tampan dan selalu melindungi aku.”
Yeriko langsung menatap lekat wajah Yuna. Ia langsung
mencium bibir Yuna tanpa mengatakan apa pun. Membuat Yuna terkejut, namun tetap
menikmati ciuman manis dari Yeriko.
Tok ... tok ... tok ...!
Yuna dan Yeriko langsung menghentikan ciuman mereka saat
terdengar ketukan pintu dari luar. Yeriko langsung bergegas turun dari tempat
tidur dan membukakan pintu kamar.
“Makan siang untuk Mbak Yuna,” tutur Bibi War sambil
menyodorkan nampan berisi makanan dan segelas susu untuk Yuna.
“Oke. Makasih, Bi!” tutur Yeriko sambil meraih nampan
dari tangan Bibi War.
Bibi War menganggukkan kepala. Ia berusaha mengintip Yuna
yang sedang berbaring di atas ranjangnya. “Mbak Yuna nggak papa?”
“Nggak papa. Cuma butuh istirahat sampai lukanya sembuh.”
“Mmh ... Bibi mau minta maaf karena nggak bisa menjaga
Mbak Yuna dengan baik. Harusnya, tadi pagi Bibi nemenin Mbak Yuna masak.
Bukannya malah pergi ke pasar dan ninggalin dia sendirian di dapur.
“Nggak papa, Bi. Ini cuma kecelakaan, kok. Bibi lanjutin
aja kerjaan Bibi!” pinta Yeriko. Ia langsung menutup pintu kamar dan melangkah
menghampiri Yuna.
“Kenapa ketus banget sama Bibi?” tanya Yuna.
“Ck.” Yeriko hanya berdecak. Ia masih merasa kesal dengan
Bibi War karena membiarkan Yuna memasak sendirian dan mengalami kecelakaan.
Yuna meraih lengan Yeriko. “Jangan marahin Bibi War
terus! Dia nggak salah, aku yang ngotot pengen masak buat kamu!” pinta Yuna
dengan mata berkaca-kaca.
Yeriko menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya
perlahan. Ia tidak tahan melihat wajah Yuna yang bersedih. Tiba-tiba, ia merasa
sangat bersalah karena telah melampiaskan kekesalannya pada Bibi War.
“Aku nggak akan marah lagi sama Bibi. Tapi kamu jangan
masak lagi! Kalau pengen makan sesuatu, tinggal bilang aja sama Bibi atau sama
aku. Kalau Bibi nggak bisa bikin, kita bisa cari di luar.”
Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Sekarang, makan dulu!” pinta Yeriko sambil duduk di sisi
Yuna. Ia menyuapi Yuna makan dengan penuh kasih sayang sambil bercerita banyak
hal.
Yeriko mempertanyakan soal pria tua yang pernah
dijodohkan kepada Yuna.
Yuna langsung menceritakan semuanya kepada Yeriko. Ia
sangat kesal dengan pria tua yang ingin mencelakainya itu. Yuna terus berbicara
hingga ia tak sadar sudah menghabiskan makanannya.
Yeriko langsung mengambilkan obat untuk Yuna.
“Eh!? Makananku udah habis?” tanya Yuna.
Yeriko menganggukkan kepala. Ia menyodorkan segelas air
putih agar Yuna segera meminum antibiotik yang diberikan oleh dokter.
Yuna tersenyum kecil. Ia meraih obat dan gelas dari
tangan Yeriko dan langsung meminumnya. “Cerita butuh banyak energi juga ya? Aku
nggak sadar kalau sudah ngabisin makananku,” celetuk Yuna.
Yeriko tersenyum. Ia mengambil salep dari dokter,
kemudian menyingkap dress Yuna.
Yuna langsung menutup pahanya kembali dengan cepat.
Yeriko mengernyitkan dahi menatap Yuna. “Lukanya harus
dikasih salep, biar cepet sembuh.”
“Biar aku pakai sendiri,” tutur Yuna sambil merebut obat
salep dari tangan Yeriko. Walau Yeriko sudah seringkali melihat tubuhnya, ia
tetap saja selalu gugup ketika Yeriko berada di dekatnya. Terlebih saat Yeriko
memakaikan salep di pahanya. Bukan hanya membuatnya jantungnya berdebar
kencang, tapi juga membuat seluruh darah di dalam tubuhnya membeku.
Yeriko langsung naik ke atas ranjang dan berbaring di
samping Yuna. Ia meraih remote AC dan mengurangi suhu ruangan agar lebih
dingin.
Yuna tidak banyak bicara, ia memakai sendiri salep ke
pahanya. Sesekali ia menoleh ke arah Yeriko yang sudah fokus dengan tablet yang
ada di tangannya.
Karena tidak ada hal yang bisa ia lakukan, Yuna memilih
berbaring dan menghabiskan waktunya di kamar untuk tidur siang. Sementara
Yeriko, terus memantau pekerjaan kantor dari tablet yang ada di tangannya.
Menjelang sore, Yuna terbangun dari tidurnya dan berusaha
turun dari ranjang.
“Mau ke mana?” tanya Yeriko.
“Eh!? Kamu masih di sini dari tadi sebelum aku tidur?”
Yeriko menganggukkan kepala. Ia meletakkan tab-nya ke
atas meja dan turun dari tempat tidur. Perlahan, ia menghampiri Yuna dan
merangkul gadis itu. “Mau ke kamar mandi?” tanyanya.
Yuna menganggukkan kepala.
Tanpa pikir panjang, Yeriko langsung menggendong Yuna
masuk ke dalam kamar mandi. “Kata dokter, lukamu belum boleh kena air. Biar aku
bantu kamu mandi.”
“Hah!? Aku bisa kok mandi sendiri.”
Yeriko menatap tajam ke arah Yuna. Membuat nyali Yuna
menciut dan tidak berani lagi menolak keinginan Yeriko.
Yeriko mengambil handuk dan ember kecil, kemudian mengisi
ember tersebut dengan air hangat yang sudah otomatis keluar dari kran.
“Buka bajumu!” pinta Yeriko.
Yuna melepas pakaiannya perlahan.
“Semuanya!” pinta Yeriko sambil berjongkok di depan Yuna
yang duduk di atas closet duduk.
Yuna bergeming. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa.
Ia kini hanya mengenakan bra dan celana dalam. Ia khawatir kalau tubuhnya tidak
cukup bagus untuk membuat Yeriko tertarik padanya.
Yeriko tak sabar melihat Yuna yang hanya diam di
tempatnya. Ia langsung membantu Yuna melepas bra dan celana dalamnya. Kemudian,
mulai mengelap tubuh Yuna perlahan menggunakan handuk hangat yang sudah ada di
tangannya.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment