Yeriko dan Yuna duduk bersama di meja makan sembari
menikmati mie instan buatan Yeriko.
“Nggak kerja?” tanya Yuna.
Yeriko menggelengkan kepala. Ia tidak mungkin pergi ke
kantor sedangkan Yuna baru saja mengalami kecelakaan di dapur.
“Kenapa? Gara-gara aku lagi?” tanya Yuna sambil memasang
wajah sedih.
Yeriko tersenyum menatap Yuna. “Istriku lagi sakit,
gimana aku bisa meninggalkan dia sendirian?” ucapnya sembari mencubit dagu
Yuna.
Yuna tersenyum kecil menatap Yeriko yang tersenyum di
hadapannya. Di mata mereka, terpancar cahaya kebahagiaan yang setiap hari
semakin berwarna. Yuna masih tidak mengerti kenapa Yeriko menikahinya dan
menjadikannya seperti seorang ratu di rumah ini.
“Apa aku terlalu merepotkan?” tanya Yuna.
Yeriko menggelengkan kepala. Ia bangkit dari tempat
duduk, membereskan meja makan dan meletakkan mangkuk kotornya ke tempat
pencucian piring.
“Kamu tunggu di sini ya! Aku mandi sebentar. Kita periksa
ke dokter,” tutur Yeriko.
Yuna menganggukkan kepala.
Yeriko bergegas melangkah menaiki anak tangga menuju
kamarnya. Yuna juga ikut bangkit dari tempat duduk, membuat Yeriko akhirnya
berhenti dan berbalik. “Mau ke mana?”
“Mau baring di sofa. Pegel duduk terus,” jawab Yuna
sambil berusaha berdiri.
Yeriko langsung berlari ke arah Yuna. Kaki Yuna yang
masih sakit membuatnya tak bisa berdiri seimbang. Yeriko langsung menggendong
Yuna menuju sofa. “Jangan ke mana-mana lagi!” pintanya.
Yuna menganggukkan kepala.
Yeriko langsung bergegas naik ke kamarnya untuk mandi.
Usai mandi, ia langsung turun kembali dan menghampiri Yuna yang masih berbaring
di sofa.
“Udah kelar mandinya? Cepet banget,” tanya Yuna.
Yeriko mengangguk. “Kalo lama-lama, bisa-bisa kamu banyak
tingkah di sini.” Ia langsung mengangkat tubuh Yuna dan menggendongnya keluar
rumah.
“Loh? Mbak Yuna kenapa? Kok, digendong?” tanya Bibi War
saat Yeriko ingin keluar dan kebetulan Bibi War masuk ke dalam rumah.
“Bi, lain kali jangan suruh dia masak!”
“Yer, Bibi nggak nyuruh aku masak. Emang aku yang mau,”
sahut Yuna.
Bibi
War bingung melihat kedua majikannya. “Sebenarnya ada apa?”
“Yuna ketumpahan sup mendidih. Sekarang, aku mau bawa dia
ke dokter. Lain kali, jangan biarin dia masak dan mengacaukan dapur!” pinta
Yeriko dingin.
“Ma ... maaf, Mas. Bibi bener-bener nggak tahu ...” Bibi
War belum menyelesaikan ucapannya, tapi Yeriko sudah bergegas pergi
meninggalkannya.
Bibi War merasa sedih melihat Yuna yang terluka. Ia
merasa sangat bersalah karena membiarkan Yuna di dapur sendirian. Ia juga tidak
memastikan apakah majikannya itu bisa memasak dengan baik atau tidak.
Bibi War langsung bergegas ke dapur untuk melihat situasi
dapurnya. Benar saja, panci sup sudah kosong dan tertumpuk di tempat pencucian
piring. Semua sup yang tumpah, sudah dibuang ke tempat sampah dan lantai sudah
dibersihkan dengan baik.
“Pasti Mas Yeri yang bersihin.” Bibi War menghela napas.
“Baru kali ini dia nggak mau dengerin penjelasan Bibi. Sepertinya, Mas Yeri
bener-bener marah,” gumamnya.
Beberapa menit kemudian, Yeriko dan Yuna sudah berada di
dalam ruang pemeriksaan di sebuah rumah sakit swasta, tempat ayah Yuna juga
mendapatkan perawatan.
“Kena air panasnya kapan?” tanya dokter yang memeriksa
Yuna.
“Tadi pagi, Dok.”
“Kalau baru kena, mungkin akan terasa sangat panas dan
memerah. Setelahnya akan melepuh, biarkan sampai kempes sendiri ya! Saya kasih
salep supaya lukanya bisa cepat sembuh dan nggak berbekas.”
Yuna menganggukkan kepala.
“Tadi, udah kena air ya?” tanya dokter tersebut.
“Nggak,” jawab Yeriko. Sementara Yuna menganggukkan
kepala. Yeriko langsung menatap ke arah Yuna sambil mengernyitkan dahinya.
Yuna meringis ke arah Yeriko. “Tadi udah aku siram pakai
air kran karena panas banget.”
Yeriko menghela napas mendengar pernyataan Yuna.
“Nggak papa. Kalau lukanya belum sembuh, jangan kena air
dulu ya!” pinta dokter sambil tersenyum ramah ke arah Yuna.
Yuna menganggukkan kepala. “Iya, Bu Dokter. Makasih!”
“Saya kasih antibiotik juga ya,” tutur dokter tersebut
sambil menuliskan resep obat untuk Yuna.
Usai mendapatkan resep, Yuna dan Yeriko keluar dari ruang
pemeriksaan.
“Aku nebus obat dulu ya!” ucap Yeriko sambil
mendorong kursi roda yang dikenakan oleh Yuna.
Yuna langsung menahan lengan Yeriko.
“Kenapa?”
“Antar aku ketemu Ayah ya!” pintanya.
Yeriko menganggukkan kepala. Ia mendorong kursi roda dan
membawa Yuna ke ruangan ayahnya. Setelahnya, ia langsung bergegas menebus obat
untuk Yuna.
Yuna tersenyum saat mendapati ayahnya sedang terlelap di
tempat tidurnya. Melihat kondisi ayahnya saat ini, ia merasa lebih baik dari
yang sebelumnya. Ayahnya, benar-benar mendapatkan perawatan terbaik. Wajahnya
yang sudah menua, tetap terlihat segar.
Yuna meraih telapak tangan ayahnya dan menggenggamnya.
“Ayah ... hari ini Yuna dateng sama suami Yuna. Dia memperlakukan Yuna dengan
sangat baik. Dia juga sudah ngasih perawatan terbaik untuk Ayah. Ayah harus
sembuh ya!” tutur Yuna sambil meletakkan punggung tangan Adjie ke pipinya.
Sekalipun bibir mungil itu tersenyum manis, namun air
mata tetap menetes dari sudut-sudut matanya. Perasaannya saat ini sulit
dijelaskan dengan kata-kata. Ia merasa sangat bahagia, terharu dan juga rindu
dengan tawa ayahnya sejak sebelas tahun yang lalu.
Beberapa menit kemudian, Yeriko masuk ke dalam ruang
rawat ayah Yuna. Ia langsung menghampiri Yuna dan menggenggam pundak Yuna
dengan lembut.
Yuna menengadahkan kepalanya, ia tersenyum menatap Yeriko
yang berdiri di belakangnya.
“Makasih ya, udah kasih perawatan terbaik buat ayah,”
tutur Yuna.
Yeriko mengangguk kecil. “Dokter bilang, Ayah masih harus
menjalani terapi secara intensif. Aku harap, beliau bisa sembuh lebih cepat.”
Yuna menganggukkan kepala. Mereka berpamitan pada Adjie
yang masih terlelap, kemudian bergegas keluar dari rumah sakit.
Yeriko tak membiarkan Yuna berjalan seorang diri. Sejak
masuk rumah sakit, ia telah membuat banyak mata memandangnya karena ia selalu
menggendong Yuna dengan mesra. Sama seperti ketika turun dari mobil, Yeriko
juga menggendong Yuna untuk masuk ke dalam mobilnya.
“Mau makan apa?” tanya Yeriko saat mereka sudah berada
dalam perjalanan pulang ke rumah.
Yuna menggelengkan kepala. “Makan di rumah aja.”
“Kenapa? Nggak mau makan di luar? Ada restoran yang
makanannya enak banget.”
Yuna menggelengkan kepala. “Makan di rumah aja. Aku pusing, mau cepet-cepet istirahat.”
“Oh ... oke.”
Yuna langsung merogoh tas dan mencari ponsel di dalamnya.
“Aku lupa, belum hubungi atasanku buat izin kerja.” Yuna langsung menelepon
Bellina untuk meminta izin.
“Halo ... kenapa nggak masuk kerja?” tanya Bellina begitu
panggilan telepon Yuna tersambung.
Yuna nyengir mendengar pertanyaan dari Bellina. “Aku izin
dulu nggak bisa masuk kerja karena sakit.”
“Halah ... alesan aja! Paling cuma-cuma pusing dikit
doang. Nggak usah manja, deh!” sahut Bellina.
“Serius, Bel. Aku abis kecelakaan.”
“Kenapa nggak mati aja sekalian!?” sahut Bellina.
Yuna menarik napas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak
mengerti kenapa Bellina terus menerus membencinya. “Badanku cuma ketumpahan air
panas, nggak akan mati,” sahut Yuna pelan.
“Oh ... mau izin sampai kapan?”
“Sampai sembuh, nanti aku kirim surat dokternya.”
“Oke. Oh ya, aku ada kabar baik buat kamu.”
“Apa?”
“Aku udah dipromosikan buat naik jabatan ke kantor pusat.
Bakal ketemu sama Lian lebih intens lagi!” seru Bellina.
Yuna tersenyum kecut. “Selamat ya!” ucapnya terpaksa. Ia
langsung mematikan teleponnya. Mendengar pernyataan Bellina, membuatnya semakin
membenci Lian. Ia semakin tidak respek dengan sikap Lian yang sudah mengangkat
jabatan Bellina karena hubungan mereka.
“Kenapa? Bos kamu nggak kasih izin?” tanya Yeriko.
“Kasih, kok.”
“Kenapa murung?”
“Nggak papa,” jawab Yuna sambil tersenyum.
Yeriko membalas senyuman Yuna. Ia bergegas melajukan
mobilnya menuju ke rumahnya. Sekalipun Yuna tidak mengatakan apa pun, ia bisa
melihat kalau ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh gadis itu. Ia harap, Yuna
bisa menceritakan semua masalah yang sedang ia hadapi, berbagi cerita
bersamanya.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment