Chandra sedang menikmati makan malam bersama dua wanita
cantik saat Amara datang menghampirinya.
“Chan, kamu di sini nggak sendiri?” tanya Amara sambil
melirik dua wanita yang ada di hadapan Chandra.
Chandra menggelengkan kepala.
“Kenapa kamu nyuruh aku datang?”
“Aku nggak nyuruh. Kamu sendiri yang mau ke sini kan?”
“Kamu gila ya! Aku ini tunangan kamu dan kamu seenaknya
aja makan sama cewek lain. Nggak bilang pula sama aku. Buat apa aku datang ke
sini? Kalo tahu kamu lagi sama perempuan lain, nggak bakalan aku mau nemuin
kamu di sini,” cerocos Amara.
“Amara ... kamu tenang dulu!” pinta Chandra dengan
lembut.
“Tenang gimana!?” seru Amara kesal.
Amara menatap tajam ke arah Yuna dan Jheni yang ada di
depannya. “Perempuan gatel! Bisa nggak, nggak ganggu tunangan orang!?”
Yuna langsung membelalakkan matanya menatap Amara.
Chandra yang melihat reaksi Yuna, langsung menarik lengan
Amara menjauh dari meja makan. “Kamu bisa bersikap baik nggak?”
Amara melipat kedua tangannya di depan dada. “Baik
gimana? Siapa dua perempuan itu?”
“Yang pakai kemeja putih itu namanya Ayuna, istrinya
Yeriko. Yang satu lagi, sahabatnya Yuna.”
Amara mengerutkan keningnya menatap Chandra. “Kamu mau
selingkuh sama istrinya temen kamu sendiri?”
“Ck, bukan! Bukan gitu. Jadi gini, aku tadi nabrak
mobilnya Jheni. Kami harus berurusan ke kantor polisi dan Yuna yang sudah
menyelamatkan kami. Jadi, aku ajak mereka makan malam sekalian. Kebetulan,
mereka juga belum makan.”
“Bener?” tanya Amara sambil menatap Chandra.
“Bener!” sahut Chandra sambil mengacungkan ibu jari dan
jari tengahnya sejajar dengan kening.
“Ya udah. Kalo gitu, aku pulang dulu!” pamit Amara.
“Loh? Nggak mau makan dulu?” tanya Chandra.
Amara menggelengkan kepala. “Udah nggak nafsu makan. Kamu
urus dua perempuan itu! Jangan sampe aku lihat kamu jalan sama mereka lagi!”
Chandra mengangguk sambil tersenyum kecil.
Amara menatap sinis ke arah Yuna dan Jheni, kemudian
bergegas pergi meninggalkan restoran.
Chandra kembali ke meja makan, menghampiri Yuna dan Jheni
yang baru saja menghabiskan makanannya.
“Kenapa dia pergi?” tanya Yuna.
Chandra mengedikkan bahunya.
“Aneh banget,” celetuk Jheni.
“Apa dia cemburu?” tanya Yuna.
“Sepertinya begitu. Kalian udah mau pulang?”
Yuna menganggukkan kepala sambil memakai tasnya. “Makasih
ya! Udah traktir kita makan malam.”
Chandra menganggukkan kepala. “Aku antar kalian.”
Yuna menoleh ke arah Jheni yang duduk di sampingnya. “Mmh
.. nggak usah deh! Kami naik taksi aja!”
“Ada tumpangan gratis, kenapa harus naik taksi? Aku bayar
dulu! Tunggu ya!” Chandra bangkit dari tempat duduknya dan bergegas menuju
kasir.
“Jhen, kamu ngerasa nggak sih kalau ada yang aneh sama
hubungan Chandra dan Amara?” bisik Yuna di telinga Jheni.
Jheni menggelengkan kepala, namun pandangannya tak
beralih pada sosok Chandra yang sedang berdiri di depan kasir.
“Mereka itu tunangan, tapi sama sekali nggak romantis.
Aku lihat, si Amara itu judes banget,” bisik Yuna.
“Sst ...! Dia datang!” Jheni langsung menyela ucapan Yuna
saat melihat Chandra sudah kembali menghampiri mereka.
Chandra langsung mengantar Yuna dan Jheni. Sepanjang
perjalanan, Yuna dan Jheni tidak saling bicara.
“Yun, aku minta maaf soal tadi!” tutur Chandra.
“Soal apa?” tanya Yuna pura-pura tidak tahu.
“Soal Amara. Dia memang kayak gitu. Aku minta maaf banget
sama sikapnya dia yang kurang bersahabat sama kalian.”
Yuna dan Jheni hanya tersenyum menanggapi permintaan maaf
dari Chandra. Mereka tidak begitu memperdulikan soal Amara yang tiba-tiba
bersikap ketus terhadap mereka.
“Kalian nggak mau maafin?” tanya Chandra lagi, karena dua
wanita yang ada di belakangnya tak kunjung merespon permintaan maafnya. “Aku
... mewakili Amara sebagai tunanganku, bener-bener minta maaf sama kalian.”
Yuna tersenyum. “Udah, lupain aja!” sahutnya.
Chandra menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan
perlahan. “Makasih, Yun! Aku bakal kasih tahu dia supaya bisa bersikap baik
dengan orang lain.”
Yuna tersenyum kecut. Ia merasa kalau hubungan Chandra
dan Amara tidak terlihat sehat. Ia ingin sekali memberi saran kepada Chandra.
Tapi, melihat sikap Chandra yang dingin, membuatnya memilih untuk bungkam.
Usai mengantar Jheni pulang, Chandra langsung mengantar
Yuna kembali ke rumah Yeriko.
“Makasih ya!” tutur Yuna saat ia turun dari mobil
Chandra. “Sorry ...! Nggak bisa nyuruh kamu masuk, soalnya nggak ada suamiku.”
Chandra tersenyum kecil menatap Yuna. “Iya. Santai aja
lagi! Aku pulang dulu ya!” pamit Chandra sambil menutup kaca mobilnya dan
bergegas pergi meninggalkan Yuna.
Yuna tersenyum kecil. Ia berbalik dan langsung melenggang
masuk ke dalam rumahnya.
Yuna langsung naik ke kamar dan pergi mandi. Setelah
hampir satu jam berada di dalam kamar mandi, ia langsung keluar dan mengenakan
piyama.
Yuna duduk bersandar di atas tempat tidur. Ia
memutar-mutar ponselnya, menunggu pesan dari Yeriko.
“Kok, nggak ada kabarnya sih? Apa aku harus nelpon
duluan?” gumam Yuna. “Kalo aku yang telepon, takut ganggu kerjaan dia. Kalo dia
masih di ruang meeting, gimana?”
Yuna menarik selimut menutupi tubuhnya. Ia menatap bantal
kosong yang ada di sampingnya. Beberapa hari belakangan, selalu ada Yeriko yang
terlelap di sampingnya. Malam ini, Yuna benar-benar gelisah karena harus tidur
sendirian. Terlebih, Yeriko tak memberi kabar kepadanya.
Yuna membolak-balikkan tubuhnya seperti kue serabi.
“Kenapa sih susah banget buat tidur?” celetuknya kesal.
Yuna meraih buku di atas meja. Baru saja membaca empat
paragraf, mulut Yuna sudah terbuka lebar karena mengantuk.
“Kenapa kamu bisa baca buku kayak gini sih? Bener-bener
membosankan dan bikin ngantuk,” tutur Yuna. Ia merebahkan kepalanya ke atas
bantal. Setelah menguap beberapa kali, akhirnya ia tertidur juga.
Tepat pukul 01.00 dini hari, Yeriko masuk ke dalam kamar.
Ia langsung meletakkan tas kerja ke atas sofa. Melepas dasi dan jasnya.
Kemudian menghampiri istrinya yang sudah tertidur lelap.
Yeriko tersenyum, ia mengelus lembut rambut Yuna sembari
menatap wajah cantik Yuna. Ujung jemari tangannya berpindah ke pipi Yuna yang
lembut. Setiap kali melihat wajah polos Yuna, ia selalu tersenyum.
Wajah istrinya, seperti sebuah booster yang mengobati
semua rasa lelah dan penat yang ia rasakan setiap pulang bekerja.
“Aku nggak pernah merasa sebahagia ini setiap pulang
kerja. Ada yang selalu aku rindukan setiap kali aku melangkah keluar dari rumah
ini.” Yeriko mencium bibir Yuna penuh kasih sayang.
Yuna langsung membuka mata saat menyadari bibirnya
terhisap.
Yeriko langsung menghentikan ciumannya. “Sorry ...! Udah
ganggu tidur kamu. Tidur lagi!” pintanya sambil tersenyum.
“Kamu baru pulang?”
Yeriko menganggukkan kepala.
Yuna langsung menoleh ke arah jam dinding yang ada di
kamarnya. “Selarut ini? Kenapa nggak nginap di sana aja?”
“Karena sekarang, ada yang selalu aku rindukan dari rumah
ini.” Yeriko tersenyum menatap Yuna.
“Apa?”
“Kamu,” jawab Yeriko lembut. Ia langsung mengecup bibir
Yuna.
Yuna tersenyum. Ia langsung merangkul pundak Yeriko dan
membalas ciuman suaminya penuh kehangatan.
Yeriko langsung menekan tubuh Yuna dan berbaring di
atasnya. Ia membalas ciuman Yuna
penuh gairah.
Yuna
hampir kehabisan napas, tubuhnya semakin membeku saat Yeriko mengecup dadanya
yang mulus.
Tangan Yeriko yang kekar, perlahan masuk ke dalam baju
Yuna. Ia menyentuh bagian terlembut dari tubuh Yuna.
Yuna tak bisa menahan diri, ia mendesah lirih membuat
Yeriko semakin bergairah menunjukkan sisi pria sejatinya.
“Kamu mulai nafsu?” bisik Yeriko di telinga Yuna. Ia
mengeluarkan tangannya dari dalam baju Yuna.
Yuna tertegun. Ia tak menyangka kalau Yeriko tidak ingin
melangkah lebih jauh lagi.
“Aku capek banget malam ini. Lebih baik kita tidur,”
tutur Yeriko sambil memeluk kepala Yuna ke dadanya.
Wajah Yuna memerah. Jantungnya berdebar sangat kencang.
Ia memejamkan mata sambil tersenyum bahagia dalam pelukan Yeriko.
Yeriko mengelus lembut pundak Yuna sambil memejamkan
mata. Mereka pun terlelap dan terus berpelukan hingga pagi menjelang.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment