Thursday, January 23, 2025

Bab 27 - Air Mata Mantan

 


“Tunggu!” seru Bellina.

 

Yuna langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Bellina.

 

“Kenapa lagi?” tanya Yuna.

 

“Mmh ... kamu nggak mau ngucapin selamat buat Lian?”

 

Yuna mengerutkan dahinya.

 

“Dia bakal jadi ayah dari keponakan kamu. Apa kamu bener-bener nggak punya rasa peduli?”

 

Yuna tersenyum menatap Lian dan Bellina. “Oh ... selamat ya, buat kalian yang sebentar lagi bakal jadi orang tua!” ucapnya dengan nada terpaksa.

 

“Makasih ...!” sahut Bellina sambil tersenyum manis. “Oh ya, kamu bisa nggak tinggal di rumahku beberapa hari buat bantuin aku nyiapin pernikahan?”

 

“Apa!? Aku nggak salah dengar? Suami kamu ini kan orang kaya, pake WO kenapa? Nggak perlu repot-repot minta bantuan aku kan?”

 

“Yun, kamu itu kan adik sepupu aku. Aku cuma bisa mengandalkan kamu buat ngurus WO pernikahan kami.” Bellina mendekat ke tubuh Yuna. “Ayolah! Please!” pintanya sambil meraih lengan Yuna.

 

Yuna menepis tangan Bellina dari lengannya.

 

Bellina memanfaatkan kesempatan ini, ia langsung menjatuhkan dirinya sendiri ke lantai. “Aw ...!” teriaknya.

 

Yuna melebarkan kelopak matanya. Ia menoleh ke arah Lian, kemudian menatap Bellina yang tersungkur di hadapannya. “Kamu ...!?”

 

Lian langsung mendekati Bellina dan memeluk pundak gadis itu. “Yun, kalau kamu emang nggak mau bantuin, nggak harus kayak gini kan!?” sentak Lian.

 

“Apa!? Jelas-jelas dia yang pura-pura jatuh sendiri!” sahut Yuna.

 

Bellina pura-pura menangis di depan Lian. “Aku nggak tahu kenapa dia jahat banget sama aku. Dia sengaja dorong aku biar aku keguguran. Dia nggak senang karena aku hamil anak kamu,” ucap Bellina sambil tersedu.

 

Yuna semakin kesal dengan sikap Bellina.

 

Tangis Bellina semakin menjadi. Lian memeluk Bellina sambil menenangkan gadis itu.

 

Yuna mencebik ke arah Bellina dan berbalik meninggalkan mereka.

 

Lian langsung mengejar Yuna. Ia meraih tangan Yuna dan menarik paksa. “Minta maaf sama Bellina!” pintanya sambil menatap tajam ke arah Yuna.

 

“Ogah!” sahut Yuna.

 

Lian makin mencengkeram erat tangan Yuna. “Kamu sadar nggak? Apa yang kamu lakuin barusan, hampir membunuh anak aku!”

 

“Aku tuh nggak ngapa-ngapain!” sahut Ayuna. “Dia yang pura-pura jatuh sendiri. Toh, dia baik-baik aja kan?”

 

“Kamu!? Bener-bener mau bikin aku marah ya?”

 

“Marah aja! Aku nggak takut!”

 

“Yuna!” sentak Lian. “Kenapa kamu sekarang berubah kayak gini?”

 

“Apanya yang berubah?”

 

“Dulu ... kamu nggak sekasar dan sejahat ini.”

 

“Aku cuma membela diri karena aku nggak salah!” seru Yuna.

 

“Aku bukan Yuna yang dulu lagi!” tegas Yuna. “

 

“Yuna ...!?” Lian menatap lekat mata Yuna.

 

“Kamu yang buta, Lian. Kamu yang nggak bisa bedain mana orang yang baik dan mana orang yang cuma mau manfaatin kamu,” tutur Yuna dengan mata berkaca-kaca.

 

“Kamu bahkan nggak pernah menghargai hubungan kita selama tujuh tahun ini. Kamu sama sekali nggak ngerasa bersalah saat kamu selingkuh sama dia. Kalau sekarang aku berubah, nggak ada alasan lain yang bikin aku berubah kecuali kamu.” Yuna langsung berbalik dan bergegas pergi meninggalkan Lian dan Bellina.

 

“Cowok bego, masih bagus Yeriko ke mana-mana,” tutur Yuna dalam hati. Ia bergegas masuk ke dalam ruang kerjanya dan melanjutkan pekerjaannya.

 

“Abis berantem lagi sama Bu Belli?” tanya Selma yang melihat Yuna menekan-nekan pena di atas kertas.

 

“Siapa lagi yang suka ngajak aku berantem kalau bukan dia?” sahut Yuna kesal.

 

“Lima belas menit lagi istirahat makan siang. Mau nggak makan ice cream bareng? Katanya, makan ice cream bisa bikin mood lebih baik.”

 

Yuna menoleh ke arah Selma. Ia tersenyum menatap Selma. “Boleh. Biar aku yang traktir.”

 

Yuna, Bagus dan Selma bergegas merapikan meja kerja mereka dan keluar dari ruangan. Mereka langsung menuju ke salah satu kafe yang menjual aneka ice cream.

 

“Yun, kamu lulusan Melbourne kan?” tanya Selma sambil menikmati ice cream yang sudah mereka pesan.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Ceritain dong! Kehidupan di sana kayak gimana?”

 

“Sama aja kayak di sini,” jawab Yuna.

 

“Eh, kamu beneran lulusan Melbourne? Kok, nggak kelihatan ya? Biasanya ... anak-anak lulusan luar negeri itu ngomongnya sok inggris gitu.”

 

Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Bagus. “Ada-ada aja kamu nih. Ya bicara sesuai tempat juga kan? Biar sekolahnya di luar negeri, aku loh tetep orang Indonesia. Nggak boleh ngelepas identitas gitu aja.”

 

“Bagus tuh.” Bagus manggut-manggut. “Berarti, masih bisa bahasa daerah?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Kenapa logat kamu nggak kayak orang jawa? Biasane kan medok gitu loh.”

 

“Kayak kamu?” sahut Selma.

 

Yuna tertawa kecil. “Yah, mungkin faktor lingkungan juga. Kan lingkungan sehari-hari udah lebih sering pakai bahasa nasional ketimbang bahasa daerah.”

 

“Iya. Dia juga sekolahnya di luar negeri, jadi udah nggak medok lagi!” sahut Selma.

 

“Lah, itu si Bayu sering aja ke luar negeri tapi logatnya tetep medok juga.”

 

“Bayu!?” Selma dan Yuna saling pandang. “Bayu siapa?”

 

“Bayu Skak, Youtuber itu loh,” jawab Bagus.

 

“Owalah ... kirain orang kantor sini. Malah Youtuber,” sahut Selma.

 

“Aku seneng nonton-nonton youtuber Indonesia gitu, kok.”

 

“Apalagi kalo youtubernya cantik-cantik, ya kan?” goda Selma.

 

Bagus tertawa kecil. “Eh, Yun ... kenapa kamu nggak bikin channel youtube juga? Kamu kan cantik, terus lulusan luar negeri pula. Pasti bakal punya banyak subscriber, Yun,” tutur Bagus penuh semangat.

 

Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Bagus.

 

“Aku serius ini. Malah diketawain.”

 

“Iya, iya. Tapi ... aku ini udah nikah. Nggak bisa main-main youtube kayak gitu. Lagian, suamiku belum tentu ngizinin aku. Kalau aku jadi terkenal, kan repot urusannya,” sahut Yuna sambil tertawa kecil.

 

“Bukannya enak ya, Yun? Jadi youtuber kan banyak duit.”

 

“Banyak yang nyinyir juga. Aku mah nggak bakal kuat ngadepin komentar netizen. Enak gini aja kali. Hidup tenang dan damai.”

 

“Mmh ... iya juga sih? Apalagi kamu sering berantem sama Bu Belli. Bisa-bisa, dia nyerang kamu lewat medsos.”

 

Yuna tergelak mendengar ucapan Selma.

 

“Kenapa malah ketawa?”

 

“Nggak papa. Bayangan kalian itu ada-ada aja ya?”

 

“Eh, emangnya dia main medsos ya?” tanya Bagus.

 

“Dia siapa?”

 

“Bu Belli. Aku nggak tahu akun medsosnya dia.”

 

“Ngapain sih nanyain akunnya dia? Nggak penting banget!” sahut Selma.

 

“Penasaran aja. Akun medsos kamu apa, Yun?” tanya Bagus sambil menatap Yuna.

 

“Aku nggak main medsos,” jawab Yuna.

 

“Kenapa?”

 

“Nggak papa. Nggak tertarik aja.”

 

Bagus mengerutkan dahinya. “Masih ada ya orang yang nggak mau main medsos? Padahal, hampir semua orang di dunia ini suka loh main medsos. Posting semua hal yang mereka suka ke media sosial.”

 

“Ya, biar aja. Itu kan kehidupan mereka. Aku nggak suka posting kehidupan pribadiku ke medsos. Takut banyak yang ngiri, hahaha.”

 

Bayu dan Selma ikut tergelak mendengar ucapan Yuna.

 

Yuna tersenyum sambil menikmati ice cream yang ada di hadapannya. Perasaannya kini jauh lebih baik.

 

Walau Bellina terus menindasnya, ia tetap menyukai tempat kerjanya karena semua rekan kerja di departemennya juga sangat peduli dan menyayangi Yuna.

 

“Makasih ya!” tutur Yuna sambil menatap Bagus dan Selma.

 

“Makasih buat apa? Kita kali yang makasih karena kamu udah traktir makan ice cream,” sahut Selma.

 

“Karena kalian udah jadi rekan kerja yang baik. Kalau bukan karena kalian, mungkin aku nggak betah kerja di sini. Harus ngadepin si Mak Lampir itu setiap hari.”

 

“Hahaha.” Bagus dan Selma tergelak menanggapi ucapan Yuna.

 

Mereka melanjutkan makan ice cream sambil bercerita soal dunia kerja mereka. Yuna juga mengajak Bagus dan Selma makan siang bersama.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas