“Tunggu!” seru Bellina.
Yuna langsung
menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Bellina.
“Kenapa lagi?” tanya
Yuna.
“Mmh ... kamu nggak mau
ngucapin selamat buat Lian?”
Yuna mengerutkan
dahinya.
“Dia bakal jadi ayah
dari keponakan kamu. Apa kamu bener-bener nggak punya rasa peduli?”
Yuna tersenyum menatap
Lian dan Bellina. “Oh ... selamat ya, buat kalian yang sebentar lagi bakal jadi
orang tua!” ucapnya dengan nada terpaksa.
“Makasih ...!” sahut
Bellina sambil tersenyum manis. “Oh ya, kamu bisa nggak tinggal di rumahku
beberapa hari buat bantuin aku nyiapin pernikahan?”
“Apa!? Aku nggak salah
dengar? Suami kamu ini kan orang kaya, pake WO kenapa? Nggak perlu repot-repot
minta bantuan aku kan?”
“Yun, kamu itu kan adik
sepupu aku. Aku cuma bisa mengandalkan kamu buat ngurus WO pernikahan kami.”
Bellina mendekat ke tubuh Yuna. “Ayolah! Please!” pintanya sambil meraih lengan
Yuna.
Yuna menepis tangan
Bellina dari lengannya.
Bellina memanfaatkan
kesempatan ini, ia langsung menjatuhkan dirinya sendiri ke lantai. “Aw ...!”
teriaknya.
Yuna melebarkan kelopak
matanya. Ia menoleh ke arah Lian, kemudian menatap Bellina yang tersungkur di
hadapannya. “Kamu ...!?”
Lian langsung mendekati
Bellina dan memeluk pundak gadis itu. “Yun, kalau kamu emang nggak mau bantuin,
nggak harus kayak gini kan!?” sentak Lian.
“Apa!? Jelas-jelas dia
yang pura-pura jatuh sendiri!” sahut Yuna.
Bellina pura-pura
menangis di depan Lian. “Aku nggak tahu kenapa dia jahat banget sama aku. Dia
sengaja dorong aku biar aku keguguran. Dia nggak senang karena aku hamil anak
kamu,” ucap Bellina sambil tersedu.
Yuna semakin kesal
dengan sikap Bellina.
Tangis Bellina semakin
menjadi. Lian memeluk Bellina sambil menenangkan gadis itu.
Yuna mencebik ke arah
Bellina dan berbalik meninggalkan mereka.
Lian langsung mengejar
Yuna. Ia meraih tangan Yuna dan menarik paksa. “Minta maaf sama Bellina!”
pintanya sambil menatap tajam ke arah Yuna.
“Ogah!” sahut Yuna.
Lian makin mencengkeram
erat tangan Yuna. “Kamu sadar nggak? Apa yang kamu lakuin barusan, hampir
membunuh anak aku!”
“Aku tuh nggak
ngapa-ngapain!” sahut Ayuna. “Dia yang pura-pura jatuh sendiri. Toh, dia
baik-baik aja kan?”
“Kamu!? Bener-bener mau
bikin aku marah ya?”
“Marah aja! Aku nggak
takut!”
“Yuna!” sentak Lian.
“Kenapa kamu sekarang berubah kayak gini?”
“Apanya yang berubah?”
“Dulu ... kamu nggak
sekasar dan sejahat ini.”
“Aku cuma membela diri karena aku nggak salah!”
seru Yuna.
“Aku bukan Yuna yang
dulu lagi!” tegas Yuna. “
“Yuna ...!?” Lian menatap
lekat mata Yuna.
“Kamu yang buta, Lian.
Kamu yang nggak bisa bedain mana orang yang baik dan mana orang yang cuma mau
manfaatin kamu,” tutur Yuna dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu bahkan nggak
pernah menghargai hubungan kita selama tujuh tahun ini. Kamu sama sekali nggak
ngerasa bersalah saat kamu selingkuh sama dia. Kalau sekarang aku berubah,
nggak ada alasan lain yang bikin aku berubah kecuali kamu.” Yuna langsung
berbalik dan bergegas pergi meninggalkan Lian dan Bellina.
“Cowok bego, masih
bagus Yeriko ke mana-mana,” tutur Yuna dalam hati. Ia bergegas masuk ke dalam
ruang kerjanya dan melanjutkan pekerjaannya.
“Abis berantem lagi
sama Bu Belli?” tanya Selma yang melihat Yuna menekan-nekan pena di atas
kertas.
“Siapa lagi yang suka
ngajak aku berantem kalau bukan dia?” sahut Yuna kesal.
“Lima belas menit lagi
istirahat makan siang. Mau nggak makan ice cream bareng? Katanya, makan ice
cream bisa bikin mood lebih baik.”
Yuna menoleh ke arah
Selma. Ia tersenyum menatap Selma. “Boleh. Biar aku yang traktir.”
Yuna, Bagus dan Selma
bergegas merapikan meja kerja mereka dan keluar dari ruangan. Mereka langsung
menuju ke salah satu kafe yang menjual aneka ice cream.
“Yun, kamu lulusan
Melbourne kan?” tanya Selma sambil menikmati ice cream yang sudah mereka pesan.
Yuna menganggukkan
kepala.
“Ceritain dong!
Kehidupan di sana kayak gimana?”
“Sama aja kayak di
sini,” jawab Yuna.
“Eh, kamu beneran
lulusan Melbourne? Kok, nggak kelihatan ya? Biasanya ... anak-anak lulusan luar
negeri itu ngomongnya sok inggris gitu.”
Yuna tertawa kecil
menanggapi ucapan Bagus. “Ada-ada aja kamu nih. Ya bicara sesuai tempat juga
kan? Biar sekolahnya di luar negeri, aku loh tetep orang Indonesia. Nggak boleh
ngelepas identitas gitu aja.”
“Bagus tuh.” Bagus
manggut-manggut. “Berarti, masih bisa bahasa daerah?”
Yuna menganggukkan
kepala.
“Kenapa logat kamu
nggak kayak orang jawa? Biasane kan medok gitu loh.”
“Kayak kamu?” sahut
Selma.
Yuna tertawa kecil.
“Yah, mungkin faktor lingkungan juga. Kan lingkungan sehari-hari udah lebih
sering pakai bahasa nasional ketimbang bahasa daerah.”
“Iya. Dia juga
sekolahnya di luar negeri, jadi udah nggak medok lagi!” sahut Selma.
“Lah, itu si Bayu
sering aja ke luar negeri tapi logatnya tetep medok juga.”
“Bayu!?” Selma dan Yuna
saling pandang. “Bayu siapa?”
“Bayu Skak, Youtuber
itu loh,” jawab Bagus.
“Owalah ... kirain
orang kantor sini. Malah Youtuber,” sahut Selma.
“Aku seneng
nonton-nonton youtuber Indonesia gitu, kok.”
“Apalagi kalo
youtubernya cantik-cantik, ya kan?” goda Selma.
Bagus tertawa kecil.
“Eh, Yun ... kenapa kamu nggak bikin channel youtube juga? Kamu kan cantik,
terus lulusan luar negeri pula. Pasti bakal punya banyak subscriber, Yun,”
tutur Bagus penuh semangat.
Yuna tertawa kecil
menanggapi ucapan Bagus.
“Aku serius ini. Malah
diketawain.”
“Iya, iya. Tapi ... aku
ini udah nikah. Nggak bisa main-main youtube kayak gitu. Lagian, suamiku belum
tentu ngizinin aku. Kalau aku jadi terkenal, kan repot urusannya,” sahut Yuna
sambil tertawa kecil.
“Bukannya enak ya, Yun?
Jadi youtuber kan banyak duit.”
“Banyak yang nyinyir
juga. Aku mah nggak bakal kuat ngadepin komentar netizen. Enak gini aja kali.
Hidup tenang dan damai.”
“Mmh ... iya juga sih?
Apalagi kamu sering berantem sama Bu Belli. Bisa-bisa, dia nyerang kamu lewat
medsos.”
Yuna tergelak mendengar
ucapan Selma.
“Kenapa malah ketawa?”
“Nggak papa. Bayangan
kalian itu ada-ada aja ya?”
“Eh, emangnya dia main
medsos ya?” tanya Bagus.
“Dia siapa?”
“Bu Belli. Aku nggak
tahu akun medsosnya dia.”
“Ngapain sih nanyain
akunnya dia? Nggak penting banget!” sahut Selma.
“Penasaran aja. Akun
medsos kamu apa, Yun?” tanya Bagus sambil menatap Yuna.
“Aku nggak main
medsos,” jawab Yuna.
“Kenapa?”
“Nggak papa. Nggak
tertarik aja.”
Bagus mengerutkan
dahinya. “Masih ada ya orang yang nggak mau main medsos? Padahal, hampir semua
orang di dunia ini suka loh main medsos. Posting semua hal yang mereka suka ke
media sosial.”
“Ya, biar aja. Itu kan
kehidupan mereka. Aku nggak suka posting kehidupan pribadiku ke medsos. Takut
banyak yang ngiri, hahaha.”
Bayu dan Selma ikut
tergelak mendengar ucapan Yuna.
Yuna tersenyum sambil
menikmati ice cream yang ada di hadapannya. Perasaannya kini jauh lebih baik.
Walau Bellina terus
menindasnya, ia tetap menyukai tempat kerjanya karena semua rekan kerja di
departemennya juga sangat peduli dan menyayangi Yuna.
“Makasih ya!” tutur
Yuna sambil menatap Bagus dan Selma.
“Makasih buat apa? Kita
kali yang makasih karena kamu udah traktir makan ice cream,” sahut Selma.
“Karena kalian udah
jadi rekan kerja yang baik. Kalau bukan karena kalian, mungkin aku nggak betah
kerja di sini. Harus ngadepin si Mak Lampir itu setiap hari.”
“Hahaha.” Bagus dan
Selma tergelak menanggapi ucapan Yuna.
Mereka melanjutkan
makan ice cream sambil bercerita soal dunia kerja mereka. Yuna juga mengajak
Bagus dan Selma makan siang bersama.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment