Yuna berusaha
menyelesaikan laporan Lili.
“Laporan siapa, Yun?”
tanya Selma.
“Punya Lili.”
“Aneh. Kok, nyuruh
kamu?”
Yuna mengedikkan
bahunya.
“Yun, dipanggil Bu
Belli,” tutur Bagus yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
“Kenapa lagi sih?” gumam
Yuna. Ia bangkit dari tempat duduk dan langsung keluar ruangan. Ia bergegas
masuk ke ruangan Bellina.
“Yun, tolong fotocopy
berkas ini ya!” pinta Bellina sambil menyodorkan beberapa map ke arah Yuna.
Yuna tidak menyahut. Ia
langsung mengambil berkas dari tangan Bellina dan bergegas pergi.
“Eh, kerjaan yang aku
kasih udah kelar apa belum?” tanya Lili saat berpapasan dengan Yuna.
“Belum.”
“Kenapa malah
ngeluyur?”
“Aku disuruh fotocopy
dokumennya Bellina.”
“Halah, alasan aja!
Bilang aja kalo kamu mau caper kan?”
Yuna mengerutkan dahi
menanggapi ucapan Lili. “Maksud kamu?”
“Emangnya, semua orang
di kantor nggak tahu kalau kamu itu peliharaannya sugar daddy?”
Yuna tersenyum kesal.
“Kayaknya, kamu paling tahu banget soal aku? Asal kamu tahu ya, aku nggak
pernah deket sama Oom-Oom mana pun dan nggak nikah sama laki-laki tua yang udah
kalian gosipkan itu!” tegas Yuna.
“Oh ya? Kalo kamu bukan
peliharaannya sugar daddy, kenapa suami kamu itu nggak pernah turun dari mobil
waktu antar kamu? Bilang aja kalo kamu malu, ketahuan nikah sama bapak-bapak.”
“Kamu tahu dari mana
kalau aku peliharaannya sugar daddy? Punya bukti?”
“Buktinya, suami kamu
itu nggak pernah muncul di depan umum.”
“Emangnya, kalo suami
aku nggak pernah muncul di depan kalian, itu artinya aku nikah sama Oom-Oom?”
“Yah, bisa aja kan kamu
malu buat nunjukkin suami kamu yang udah tua itu?”
“Sorry ya! Aku bukan
malu buat nunjukkin suami aku. Aku cuma takut, kamu terpesona lihat ketampanan
dia. Ntar kamu jadi pelakor kayak sahabat kamu yang nggak tahu diri itu!”
dengus Yuna.
Lili mengigit bibirnya sendiri dengan erat sambil
menatap ke arah Yuna. Tanganya mengepal erat, bersiap mendaratkan pukulan ke
wajah Yuna.
Yuna langsung menangkap
tangan Lili dan mendorong gadis itu sekuat tenaga hingga tersungkur di lantai.
“Aw ...!” seru Lili
sambil menutup rok mininya yang robek.
Yuna tertawa kecil
menatap rok Lili yang robek dan membuat pahanya bisa dinikmati semua orang.
Beberapa karyawan yang
mendengar pertengkaran langsung keluar dan menertawakan Lili yang tersungkur di
lantai.
“Kurang ajar! Awas
kamu, Yun! Tunggu pembalasanku!” umpat Lili dalam hati.
“Ada apa ini?” tanya
Bellina yang tiba-tiba muncul bersama Sofi.
Semua karyawan tidak
ada yang berani menjawab pertanyaan Bellina.
“Ini nih si anak magang
sialan!” seru Lili. “Dia dorong aku sampe jatuh. Padahal, aku cuma nanyain
laporan doang.”
Yuna memutar bola mata
mendengar kebohongan Lili.
“Kamu itu ya, baru aja
masuk kerja nggak nyampe seminggu udah bikin onar!” seru Bellina.
“Yang mulai duluan
siapa?” balas Yuna. Ia berbalik. Enggan menghadapi Bellina yang kerap
membuatnya berapi-api.
Yuna langsung melangkah
menuju ruang fotocopy untuk menyalin semua dokumen yang diminta Bellina.
Usai menyalin semua
dokumen, Yuna langsung bergegas keluar. Ia tertegun saat mendapati semua orang
sedang mengerumuni Bellina.
“Selamat ya, Bu!”
“Selamat Bu!”
“Selamat Bu Belli,
semoga sehat dan lancar sampai persalinan!”
“Wah ... selamat ya,
Bu!”
“Akhirnya ... bakal
jadi Nyonya Wijaya,” tutur Lili sumringah.
“Ada apa sih?” tanya
Yuna pada karyawan yang sedang berkerumun.
“Bu Belli hamil.”
Yuna mengerutkan
kening. Ia menerobos kerumunan dan menyambar selembar kertas dari tangan
Bellina.
Yuna tertegun melihat
surat dokter yang menyatakan kalau Bellina sedang hamil.
Bellina tersenyum sinis
menatap Yuna. “Kenapa? Kamu cemburu karena sebentar lagi aku bakal punya anak
dari Lian?”
Yuna tersenyum sinis.
Ia melemparkan kertas tersebut ke arah Bellina. “Sorry ya! Aku nggak tertarik
buat cemburu sama orang kayak kamu!”
“Ckckck, Ayuna ...
Ayuna ... semua orang juga tahu kalau kamu sudah nikah sama laki-laki tua dan
masih aja deketin tunangan aku,” ucap Bellina sambil tersenyum menatap Yuna.
“Heh!? Jangan
sembarangan ya kalo ngomong! Tunangan kamu itu yang kegatalan!” dengus Yuna.
Bellina menaikkan kedua
alisnya. Ia tersenyum sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Yuna. “Aku nggak
akan ngebiarin kamu ngerebut posisiku sebagai Nyonya Lian. Karena kami akan
segera menikah.”
Bibir Yuna terus
bergerak mengikuti ucapan Bellina.
“Bodo amat! Kamu sama
dia itu sama-sama murahan!” sahut Yuna.
Semua karyawan saling
pandang mendengar ucapan Yuna. Mereka heran dengan keberanian Yuna menghadapi
atasannya.
“Eh, semuanya
dengerin!” pinta Bellina sambil menepuk kedua tangan, meminta perhatian dari
semua orang. “Cewek di depan aku ini ... peliharaannya sugar daddy. Dia suka
menggoda pria-pria yang banyak duit. Dia juga menggoda tunangan aku. Kalian
semua harus berhati-hati. Karena bisa aja, kalian atau pacar kalian bakal jadi
sasaran berikutnya.”
Semua orang saling
pandang. Kemudian memandang Yuna sambil mencibir.
“Heh!? Jangan
sembarangan ngomong kalo nggak punya bukti!” sentak Yuna. “Aku nggak akan
ngambil Lian dari kamu. Lagian, Lian itu memang sebelumnya pacar aku. KAMU YANG
NGEREBUT DIA DARI AKU!” teriak Yuna dengan mata berkaca-kaca.
“Hello ... kamu bangga
hamil duluan sebelum nikah? Nggak tau malu!” dengus Yuna.
Semua karyawan saling
pandang. Mereka mulai bersimpati pada Yuna dan mencibir Bellina.
“Bubar, yuk!” ajak
salah seorang karyawan. Mereka mulai tidak tertarik dengan Bellina yang
berusaha memfitnah Yuna terus-menerus.
Yuna tersenyum sinis ke
arah Bellina. Ia merasa puas karena akhirnya semua orang mengetahui bagaimana
Bellina yang sebenarnya.
“Inget ya, sekalipun
kamu itu kakak sepupu aku. Aku nggak akan pernah ngebiarin kamu terus-terusan
memfitnah dan menindas aku!” tegas Yuna sambil bergegas pergi meninggalkan
Bellina.
“Aargh ...!” Bellina
menghentakkan kaki melihat Yuna yang pergi begitu saja. “Awas kamu Yuna! Aku
nggak akan ngebiarin kamu hiduo tenang!” serunya sambil mengepalkan tangan.
“Bell, kayaknya dia
makin ngelunjak aja,” tutur Lili.
Bellina tersenyum.
“Tenang aja! Sebentar lagi aku bakalan jadi bagian keluarga Wijaya Group. Aku
bakal bikin hidup dia menderita!”
“Kalian balik kerja
lagi!” pinta Bellina. Ia juga kembali ke ruang kerjanya dengan perasaan kesal.
Yuna bukan perempuan
polos yang mudah untuk dihadapi.
“Aku tahu, Lian masih
punya perasaan ke Yuna. Aku nggak bisa biarin dia kembali ke Yuna. Aku harus
bikin Lian makin benci sama Yuna!” tutur Bellina sambil duduk di meja kerjanya.
Memikirkan segala cara untuk membuat Yuna menderita.
Beberapa menit
kemudian, Lian masuk ke dalam ruangan Bellina.
“Halo ... Sayang!” sapa
Bellina dengan lembut. Ia langsung menghampiri Lian dan bergelayut manja di
tubuh Lian.
Lian tersenyum sambil
mengelus kepala Bellina dengan lembut.
“Aku punya kabar baik
buat kamu,” tutur Bellina.
“Oh ya? Apa?” tanya
Lian.
Bellina mengambil
secarik kertas dari atas meja dan memberikannya pada Lian.
Lian tersenyum sambil
meraih kertas tersebut. Wajahnya berubah seketika saat membaca isi surat dokter
yang menyatakan kalau Bellina sedang hamil.
“Hamil?” batin Lian.
Pikirannya tiba-tiba kosong. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
Harus senang atau sedih?
“Kenapa? Kamu kok kayak
nggak senang gitu? Ini anak kamu, Lian!” tutur Bellina sambil mengelus
perutnya.
“Eh!? Aku bukan nggak
senang. Masih nggak percaya aja kalau aku bakal jadi ayah.”
Bellina tersenyum
sambil merangkul pundak Lian. “Bukankah ini bagus? Karena ada anak ini ...
gimana kalau pernikahan kita dipercepat?”
“Percepat?” Lian
mengerutkan keningnya.
Bellina menganggukkan
kepala. “Kalau nggak dipercepat, perut aku bakal semakin membesar dan nggak
akan bisa pakai gaun pengantin.”
“Oh ... Oke.”
“Makasih!” Bellina tersenyum sambil menyandarkan
kepalanya ke dada Lian.
KREEK ...!
Terdengar pintu terbuka
dan Yuna melangkah masuk ke dalam ruangan. Ia tertegun sejenak saat melihat
Lian dan Bellina sedang berpelukan mesra.
Yuna menarik napas
dalam-dalam. “Tenang, Yun! Kamu harus bersikap biasa aja. Jangan bikin mereka
senang karena lihat kamu menderita!” batin Yuna.
“Eh, Yuna? Ada apa?”
tanya Bellina sambil tersenyum.
Yuna tersenyum. Ia
menghampiri Bellina dan menyodorkab berkas yang ada di tangannya. “Ini berkas
yang Ibu
minta,” ucapnya sambil tersenyum.
Yuna tak banyak bicara.
Setelah Bellina mengambil dokumen dari tangannya, ia langsung berbalik dan
melangkah pergi.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment