“Aku
akan lapor ke atasan kalau ada karyawan baru yang ngelawan aku.”
“Oh ya?” Yuna tersenyum
sambil menunjukkan rekaman suara yang ada di ponselnya.
Bellina membelalakkan
mata dan berusaha merebut ponsel Yuna.
“Eits!” Yuna menarik
tangannya, menjauhkan ponselnya dari tangan Bellina dan menyimpannya ke dalam
saku roknya. “Kalo kamu berani macem-macem sama aku. Aku bakal bikin semua
orang tahu, siapa kamu sebenernya,” tutur Yuna sambil tersenyum ke arah
Bellina.
Bellina mengeratkan
gigi-giginya, menahan emosi menghadapi Yuna yang semakin berani melawan
dirinya.
Yuna menjulurkan lidah
dan langsung membuka pintu. Ia bergegas keluar dari ruangan Bellina.
Yuna mengerjapkan mata
saat mendapati beberapa karyawan sudah berkumpul di depan pintu ruangan
Bellina. “Ada apa?” tanya Yuna.
“Mmh ... kami denger
suara ribut dari dalam. Kamu nggak papa?” tanya Selma.
“Nggak papa,” jawa Yuna
sambil tersenyum. “Biasa lah. Aku kan karyawan baru. Dimarahin sama atasan, itu
hal biasa,” lanjutnya sambil meringis.
Selma menghela napas.
“Syukurlah!”
“Semuanya bubar ya!
Silakan kembali ke meja kerja masing-masing!” pinta Yuna sambil tersenyum
manis.
Bellina makin geram
dengan sikap Yuna. Ia bangkit dari lantai, berjalan tertatih menuju kursi
kerjanya. “Kurang ajar! Tunggu pambalasanku!”
Bellina melangkah
perlahan, mengambil kotak P3K yang ada di sudut ruangannya. Ia mengambil
alkohol dan kapas untuk membersihkan luka di lututnya. Kemudian membalutnya
dengan perban yang telah diberi antiseptic.
Bellina kembali duduk
di meja kerjanya. Ia masih merasa sangat kesal dengan sikap Yuna yang terus
melawannya. “Kamu kira, karena udah jadi istri orang kaya, kamu bisa seenaknya
aja!?” maki Bellina.
Bellina meraih kopi
yang ada di atas meja dan langsung menyesapnya.
“Uweeek ...!” Bellina
langsung memuntahkan isi mulutnya saat mendapati rasa mustard ada di dalam
Capuccino Coffee miliknya.
Bellina mengeratkan
gigi-giginya sambil mengepalkan tangan. “AYUUUNAAA ...!!!” Suara Bellina
menggelegar ke seluruh ruangan.
Semua orang saling
pandang, kemudian menatap Ayuna yang menahan tawa mendengar teriakan Bellina.
“Kopinya aku kasih
mustard. Hahaha.” Yuna tertawa penuh kemenangan. Ia tak terus memegangi
perutnya yang menggelitik.
“Ckckck, cuma kamu
satu-satunya karyawan yang berani ngerjain Bu Belli.” Pak Tono mengacungkan dua
jempol ke arah Yuna.
Yuna terkekeh geli. Ia
membayangkan wajah Bellina yang sedang marah di ruangannya karena meminum
mustard di kopinya.
“Kamu nggak takut
dipecat? Kamu baru magang dua hari di sini,” tanya Selma.
Yuna mengedikkan
bahunya. “Lihat aja nanti! Dia bakal mecat aku atau nggak?”
“Ckckck.” Selma
geleng-geleng kepala melihat sikap Yuna yang terlihat santai setelah berhasil
mengerjai Bellina.
“Aku pikir, kamu itu
polos. Nggak bakal ngelawan balik dikerjain sema Bu Belli. Ternyata ... jagoan
juga,” tutur Bagus.
“Kalo nggak salah,
nggak ada yang perlu ditakutkan.” Yuna tersenyum ke arah Bagus.
“Iya, sih.” Bagus
menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian berbalik dan kembali menghadap
komputernya.
Yuna terus tersenyum
sembari melanjutkan pekerjaannya.
“Yun, ke kantin yuk!”
ajak Selma dan Bagus saat jam makan siang. Yuna mengangguk.
Yuna dan dua rekan
kerja seruangannya langsung bergegas ke kantin yang ada di lantai bawah. Mereka
memesan beberapa makanan dan duduk di satu meja.
“Yun, aku boleh nanya
sesuatu?” tanya Selma berbisik.
“He-em, tanya aja!”
jawab Yuna sambil mengunyah makanan di mulutnya.
“Apa bener gosip yang
beredar kalau Pak Lian itu ... mantan pacar kamu?”
Yuna menganggukkan
kepala.
Selma dan Bagus saling
pandang. “Pantes aja dia sentimen banget sama kamu.”
“Bener kalau kamu sudah nikah?”
Yuna menganggukkan
kepala.
Selma dan Bagus saling
pandang.
“Kenapa? Kalian juga
mikir kalau aku ini istri simpanannya Oom-Oom kaya?”
“Mmh ... bukan gitu
maksud kami. Cuma ...” Selma tak bisa melanjutkan ucapannya.
Yuna tertawa kecil.
“Kalau aku jadi istri simpanannya Oom-Oom kaya. Aku nggak akan ada di sini dan
ketemu sama kalian.”
“Hmm ... iya juga,
sih,” sahut Bagus.
“Tapi ... setiap kali
kamu berantem sama Bellina, dia
sering ngatain kamu istrinya Oom-Oom kaya.”
Yuna tertawa kecil.
“Biarlah dia mau ngomong apa. Kenyataannya nggak kayak gitu.”
“Terus ... suami kamu
... bukan laki-laki tua yang kaya raya?” tanya Bagus.
Yuna menggelengkan
kepala. “Mmh ... nggak tua-tua banget sih. Cuma selisih empat tahun sama aku.”
“Umur kamu sekarang berapa?”
“Dua puluh empat.”
“Jadi, dia baru umur
dua puluh delapan?”
Yuna menganggukkan
kepala.
“Yaelah, itu sih masih
muda!” seru Selma.
“Eh, yang ngurusin soal
produktivitas tenaga kerja siapa ya?” tanya Yuna, ia mengubah topik pembicaraan
mereka.
“Aku.” Bagus menunjuk
dirinya sendiri.
“Dia.” Selma menunjuk
Bagus bersamaan.
“Abis jam istirahat,
kamu ajari aku ya!” pinta Yuna.
“Ajari apa?”
“Ya itu ... laporan
kamu soal produktivitas tenaga kerja.”
“Bukannya itu di luar
jobdesc kamu?”
“Iya, aku juga tahu.
Tapi si Nenek Lampir itu nyuruh aku pelajari soal kerjaan kamu. Katanya,
semuanya ada keterkaitannya.” Mereka
pun beranjak dari kantin dan kembali bekerja.
Ponsel
Yuna tiba-tiba berdering. Yuna langsung menoleh ke arah
ponselnya yang berdering di atas meja kerjanya.
“Halo ...!” sapa Yuna
begitu panggilan teleponnya tersambung.
“Pulang kerja jam
berapa?”
Yuna menoleh ke arah
jam dinding yang ada di ruangan tersebut. “Setengah jam lagi. Kenapa?”
“Aku jemput kamu.”
“Oke.” Yuna tersenyum
mendengar ucapan Yeriko.
“Oke. Bye!” Yeriko
langsung mematikan sambungan teleponnya.
Yuna tersenyum sambil
meletakkan ponsel di dadanya.
“Ciyee ... telepon dari
siapa? Senyum-senyum sendiri,” goda Selma.
“Dari suami
tercintaaah!” sahut Yuna sambil tersenyum gembira. Ia kembali menghampiri Bagus
dan melanjutkan pekerjaannya mempelajari laporan-laporan yang dikerjakan oleh
Bagus.
Beberapa menit
kemudian, jam kerja usai. Yeriko sudah tiba di lobby kantor Yuna.
Yeriko membukakan pintu
untuk Yuna dari dalam, ia enggan turun dari mobil dan menunjukkan diri di depan
banyak orang.
Yuna langsung masuk dan
menutup kembali pintu mobil. “Udah lama nunggunya?” tanyanya sambil memasangkan
safety belt ke pinggangnnya.
“Nggak. Baru aja
sampai, kok.”
Yuna tersenyum menatap
Yeriko. “Oh ya, Riyan mana?”
“Masih di kantor.”
“Kamu nyuruh dia
lembur?”
Yeriko tak menjawab.
“Riyan itu anak yang
baik dan lucu. Kamu jangan menindas dia! Lagian, udah beberapa hari ini aku
nggak ada lihat dia.”
“Kenapa? Kangen sama
dia?”
Yuna menganggukkan
kepala.
Yeriko langsung menoleh
ke arah Yuna. Ia menahan mulutnya untuk bicara. “Kamu itu istri aku,
bisa-bisanya ngangenin cowok lain terang-terangan?” batin Yeriko sambil
mencengkeram setir dan menambah kecepatan mobilnya.
“Kenapa? Kamu cemburu?”
tanya Yuna sambil tertawa kecil menatap Yeriko.
“Eh!? Enggak.” Yeriko
menggelengkan kepala.
Yuna tersenyum kecil
menatap Yeriko.
Ponsel Yeriko tiba-tiba
bergetar dan mengeluarkan nada dering ‘Sencha’ yang khas.
“Halo ...!”
“Halo ... ntar malam
jadi, Yer?”
“Jadi.”
“Oke. Aku tunggu di
tempat biasa.”
“He-em.” Yeriko
langsung mematikan sambungan teleponnya.
“Ada janji sama temen
kamu?” tanya Yuna
Yeriko menganggukkan
kepala. “Kita pulang dulu, mandi dan langsung nyusul mereka.”
“Kita?”
“Iya, kita.”
“Itu ... yang telepon
siapa?”
“Lutfi.”
“Temen baik kamu itu?”
Yeriko menganggukkan
kepala. “Kenapa?”
“Nggak papa. Aku ...
nggak usah ikut ya? Aku malu ketemu sama mereka.”
Yeriko tersenyum
menatap Yuna. “Malu kenapa? Aku ngajak mereka ketemu, sengaja pengen kenalin
kamu ke mereka.”
Yuna meringis, ia
menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Nggak usah malu! Cuma
Chandra sama Lutfi doang. Nggak ada yang lain.”
“Serius?”
Yeriko menganggukkan
kepala.
Yuna tersenyum menatap
Yeriko. Ia tak bisa menolak permintaan Yeriko. “Nggak papa deh kalau cuma dua
orang aja,” bisiknya dalam hati.
Yeriko tersenyum
menatap Yuna. Ia mempercepat laju
mobilnya agar bisa sampai rumah secepatnya.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment