Thursday, January 23, 2025

Bab 21 - Si Kecil Pemberani

 


“Aku akan lapor ke atasan kalau ada karyawan baru yang ngelawan aku.”

 

“Oh ya?” Yuna tersenyum sambil menunjukkan rekaman suara yang ada di ponselnya.

 

Bellina membelalakkan mata dan berusaha merebut ponsel Yuna.

 

“Eits!” Yuna menarik tangannya, menjauhkan ponselnya dari tangan Bellina dan menyimpannya ke dalam saku roknya. “Kalo kamu berani macem-macem sama aku. Aku bakal bikin semua orang tahu, siapa kamu sebenernya,” tutur Yuna sambil tersenyum ke arah Bellina.

 

Bellina mengeratkan gigi-giginya, menahan emosi menghadapi Yuna yang semakin berani melawan dirinya.

 

Yuna menjulurkan lidah dan langsung membuka pintu. Ia bergegas keluar dari ruangan Bellina.

 

Yuna mengerjapkan mata saat mendapati beberapa karyawan sudah berkumpul di depan pintu ruangan Bellina. “Ada apa?” tanya Yuna.

 

“Mmh ... kami denger suara ribut dari dalam. Kamu nggak papa?” tanya Selma.

 

“Nggak papa,” jawa Yuna sambil tersenyum. “Biasa lah. Aku kan karyawan baru. Dimarahin sama atasan, itu hal biasa,” lanjutnya sambil meringis.

 

Selma menghela napas. “Syukurlah!”

 

“Semuanya bubar ya! Silakan kembali ke meja kerja masing-masing!” pinta Yuna sambil tersenyum manis.

 

Bellina makin geram dengan sikap Yuna. Ia bangkit dari lantai, berjalan tertatih menuju kursi kerjanya. “Kurang ajar! Tunggu pambalasanku!”

 

Bellina melangkah perlahan, mengambil kotak P3K yang ada di sudut ruangannya. Ia mengambil alkohol dan kapas untuk membersihkan luka di lututnya. Kemudian membalutnya dengan perban yang telah diberi antiseptic.

 

Bellina kembali duduk di meja kerjanya. Ia masih merasa sangat kesal dengan sikap Yuna yang terus melawannya. “Kamu kira, karena udah jadi istri orang kaya, kamu bisa seenaknya aja!?” maki Bellina.

 

Bellina meraih kopi yang ada di atas meja dan langsung menyesapnya.

 

“Uweeek ...!” Bellina langsung memuntahkan isi mulutnya saat mendapati rasa mustard ada di dalam Capuccino Coffee miliknya.

 

Bellina mengeratkan gigi-giginya sambil mengepalkan tangan. “AYUUUNAAA ...!!!” Suara Bellina menggelegar ke seluruh ruangan.

 

Semua orang saling pandang, kemudian menatap Ayuna yang menahan tawa mendengar teriakan Bellina.

 

“Kopinya aku kasih mustard. Hahaha.” Yuna tertawa penuh kemenangan. Ia tak terus memegangi perutnya yang menggelitik.

 

“Ckckck, cuma kamu satu-satunya karyawan yang berani ngerjain Bu Belli.” Pak Tono mengacungkan dua jempol ke arah Yuna.

 

Yuna terkekeh geli. Ia membayangkan wajah Bellina yang sedang marah di ruangannya karena meminum mustard di kopinya.

 

“Kamu nggak takut dipecat? Kamu baru magang dua hari di sini,” tanya Selma.

 

Yuna mengedikkan bahunya. “Lihat aja nanti! Dia bakal mecat aku atau nggak?”

 

“Ckckck.” Selma geleng-geleng kepala melihat sikap Yuna yang terlihat santai setelah berhasil mengerjai Bellina.

 

“Aku pikir, kamu itu polos. Nggak bakal ngelawan balik dikerjain sema Bu Belli. Ternyata ... jagoan juga,” tutur Bagus.

 

“Kalo nggak salah, nggak ada yang perlu ditakutkan.” Yuna tersenyum ke arah Bagus.

 

“Iya, sih.” Bagus menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian berbalik dan kembali menghadap komputernya.

 

Yuna terus tersenyum sembari melanjutkan pekerjaannya.

 

“Yun, ke kantin yuk!” ajak Selma dan Bagus saat jam makan siang. Yuna mengangguk.

 

Yuna dan dua rekan kerja seruangannya langsung bergegas ke kantin yang ada di lantai bawah. Mereka memesan beberapa makanan dan duduk di satu meja.

 

“Yun, aku boleh nanya sesuatu?” tanya Selma berbisik.

 

“He-em, tanya aja!” jawab Yuna sambil mengunyah makanan di mulutnya.

 

“Apa bener gosip yang beredar kalau Pak Lian itu ... mantan pacar kamu?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Selma dan Bagus saling pandang. “Pantes aja dia sentimen banget sama kamu.”

 

Bener kalau kamu sudah nikah?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Selma dan Bagus saling pandang.

 

“Kenapa? Kalian juga mikir kalau aku ini istri simpanannya Oom-Oom kaya?”

 

“Mmh ... bukan gitu maksud kami. Cuma ...” Selma tak bisa melanjutkan ucapannya.

 

Yuna tertawa kecil. “Kalau aku jadi istri simpanannya Oom-Oom kaya. Aku nggak akan ada di sini dan ketemu sama kalian.”

 

“Hmm ... iya juga, sih,” sahut Bagus.

 

“Tapi ... setiap kali kamu berantem sama Bellina, dia sering ngatain kamu istrinya Oom-Oom kaya.”

 

Yuna tertawa kecil. “Biarlah dia mau ngomong apa. Kenyataannya nggak kayak gitu.”

 

“Terus ... suami kamu ... bukan laki-laki tua yang kaya raya?” tanya Bagus.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Mmh ... nggak tua-tua banget sih. Cuma selisih empat tahun sama aku.”

 

“Umur kamu sekarang berapa?”

 

“Dua puluh empat.”

 

“Jadi, dia baru umur dua puluh delapan?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Yaelah, itu sih masih muda!” seru Selma.

 

“Eh, yang ngurusin soal produktivitas tenaga kerja siapa ya?” tanya Yuna, ia mengubah topik pembicaraan mereka.

 

“Aku.” Bagus menunjuk dirinya sendiri.

 

“Dia.” Selma menunjuk Bagus bersamaan.

 

“Abis jam istirahat, kamu ajari aku ya!” pinta Yuna.

 

“Ajari apa?”

 

“Ya itu ... laporan kamu soal produktivitas tenaga kerja.”

 

“Bukannya itu di luar jobdesc kamu?”

 

“Iya, aku juga tahu. Tapi si Nenek Lampir itu nyuruh aku pelajari soal kerjaan kamu. Katanya, semuanya ada keterkaitannya.” Mereka pun beranjak dari kantin dan kembali bekerja.

 

Ponsel Yuna tiba-tiba berdering. Yuna langsung menoleh ke arah ponselnya yang berdering di atas meja kerjanya.

 

“Halo ...!” sapa Yuna begitu panggilan teleponnya tersambung.

 

“Pulang kerja jam berapa?”

 

Yuna menoleh ke arah jam dinding yang ada di ruangan tersebut. “Setengah jam lagi. Kenapa?”

 

“Aku jemput kamu.”

 

“Oke.” Yuna tersenyum mendengar ucapan Yeriko.

 

“Oke. Bye!” Yeriko langsung mematikan sambungan teleponnya.

 

Yuna tersenyum sambil meletakkan ponsel di dadanya.

 

“Ciyee ... telepon dari siapa? Senyum-senyum sendiri,” goda Selma.

 

“Dari suami tercintaaah!” sahut Yuna sambil tersenyum gembira. Ia kembali menghampiri Bagus dan melanjutkan pekerjaannya mempelajari laporan-laporan yang dikerjakan oleh Bagus.

 

Beberapa menit kemudian, jam kerja usai. Yeriko sudah tiba di lobby kantor Yuna.

 

Yeriko membukakan pintu untuk Yuna dari dalam, ia enggan turun dari mobil dan menunjukkan diri di depan banyak orang.

 

Yuna langsung masuk dan menutup kembali pintu mobil. “Udah lama nunggunya?” tanyanya sambil memasangkan safety belt ke pinggangnnya.

 

“Nggak. Baru aja sampai, kok.”

 

Yuna tersenyum menatap Yeriko. “Oh ya, Riyan mana?”

 

“Masih di kantor.”

 

“Kamu nyuruh dia lembur?”

 

Yeriko tak menjawab.

 

“Riyan itu anak yang baik dan lucu. Kamu jangan menindas dia! Lagian, udah beberapa hari ini aku nggak ada lihat dia.”

 

“Kenapa? Kangen sama dia?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko langsung menoleh ke arah Yuna. Ia menahan mulutnya untuk bicara. “Kamu itu istri aku, bisa-bisanya ngangenin cowok lain terang-terangan?” batin Yeriko sambil mencengkeram setir dan menambah kecepatan mobilnya.

 

“Kenapa? Kamu cemburu?” tanya Yuna sambil tertawa kecil menatap Yeriko.

 

“Eh!? Enggak.” Yeriko menggelengkan kepala.

 

Yuna tersenyum kecil menatap Yeriko.

 

Ponsel Yeriko tiba-tiba bergetar dan mengeluarkan nada dering ‘Sencha’ yang khas.

 

“Halo ...!”

 

“Halo ... ntar malam jadi, Yer?”

 

“Jadi.”

 

“Oke. Aku tunggu di tempat biasa.”

 

“He-em.” Yeriko langsung mematikan sambungan teleponnya.

 

“Ada janji sama temen kamu?”  tanya Yuna

 

Yeriko menganggukkan kepala. “Kita pulang dulu, mandi dan langsung nyusul mereka.”

 

“Kita?”

 

“Iya, kita.”

 

“Itu ... yang telepon siapa?”

 

“Lutfi.”

 

“Temen baik kamu itu?”

 

Yeriko menganggukkan kepala. “Kenapa?”

 

“Nggak papa. Aku ... nggak usah ikut ya? Aku malu ketemu sama mereka.”

 

Yeriko tersenyum menatap Yuna. “Malu kenapa? Aku ngajak mereka ketemu, sengaja pengen kenalin kamu ke mereka.”

 

Yuna meringis, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

 

“Nggak usah malu! Cuma Chandra sama Lutfi doang. Nggak ada yang lain.”

 

“Serius?”

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

Yuna tersenyum menatap Yeriko. Ia tak bisa menolak permintaan Yeriko. “Nggak papa deh kalau cuma dua orang aja,” bisiknya dalam hati.

 

Yeriko tersenyum menatap  Yuna. Ia mempercepat laju mobilnya agar bisa sampai rumah secepatnya.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi



 

 

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas