Wednesday, January 22, 2025

Bab 2 - Broken Heart

 


Yuna merayap di dinding lorong menuju toilet. Matanya setengah terpejam dan langkah kakinya tak teratur.

 

Yuna memicingkan mata saat melihat cowok bertubuh tinggi berdiri di hadapannya. Setelah menatapnya dua kali, Yuna tersenyum menggoda, ia melangkahkan kaki dan menjatuhkan tubuhnya ke dada cowok itu.

 

“Hei, ganteng ...!” sapa Yuna. “Aku cantik nggak?”

 

Cowok bertubuh tinggi itu langsung mengangkat kedua tangan sambil mengerutkan kening. Tubuhnya serasa digelayuti ulat bulu yang menjijikkan. Ia mendorong pundak Yuna menggunakan jari telunjuknya.

 

Yuna terhuyung dan hampir jatuh ke lantai jika cowok itu terlambat menangkap tubuhnya. Cowok itu menyandarkan Yuna ke dinding dan melepas tubuh Yuna perlahan.

 

Cowok menggelengkan kepala saat mencium aroma alkohol yang tajam dari tubuh Yuna.

 

Yuna terus tersenyum dengan mata setengah terpejam.

 

“Cewek gila!” umpat cowok itu sambil berlalu pergi meninggalkan Yuna sendirian.

 

Yuna tak menghiraukan ucapan cowok tersebut. Yuna melangkahkan kakinya perlahan memasuki toilet. Ia tak menyadari kalau ia masuk ke dalam pintu toilet dengan ikon “Male”.

 

Yuna merayap menuju westafel. Kepalanya terasa berdenyut. Ia memegangi perutnya sendiri. Ia merasa ada badai besar yang terus berputar di dalam perut hingga ia mengeluarkan semua isi perutnya ke dalam westafel.

 

“Uweeeek ...!” Yuna tak bisa mengendalikan dirinya. Ia tak peduli dengan beberapa pria yang lalu lalang di belakangnya sembari menatap aneh ke arah Yuna.

 

Yuna membuka kran air westafel begitu badai di dalam perutnya berhenti. Perlahan, ia mencuci mulut dan memercikan air ke wajahnya sendiri.

 

Yuna bergidik sambil menggelengkan kepala. Ia menatap bayangannya sendiri di depan cermin. Ia tak bisa melihat dengan jelas bayangannya sendiri karena menjadi beberapa bayangan yang semakin membuat kepalanya pening.

 

Yuna menjatuhkan tubuhnya ke lantai sambil menyandarkan kepalanya ke dinding.

 

“Yuna!” seru Jheni sambil menghampiri Yuna. “Kamu kucariin ke mana-mana, nggak ada. Sekalinya di sini.”

 

Jheni langsung menarik lengan Yuna dan membantunya berdiri. “Kita pulang sekarang!”

 

“Aku nggak mau pulang,” sahut Yuna sambil memejamkan mata.

 

“Mau tidur di sini? Bahaya, Yun. Apalagi kamu masuk ke toilet cowok. Untungnya sepi dan nggak ada yang sembrono sama kamu. Kalo kamu dibawa pergi sama laki-laki gimana?” cerocos Jheni.

 

Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Jheni. “Aku nggak pernah berharga di mata siapa pun.”

 

“Ck, nggak usah ngomong aneh-aneh! Aku antar kamu pulang sekarang juga.” Jheni memapah Yuna keluar dari toilet pria. Beberapa cowok memandang mereka saat keluar dari toilet.

 

Jheni tak peduli dengan tatapan mata yang beragam. Orang yang tidak mengenal mereka, pasti akan menganggap Yuna adalah perempuan nakal yang suka menggoda laki-laki di dalam bar.

 

Jheni memapah Yuna menuju mobilnya. “Badannya kecil tapi berat banget!” celetuknya saat memasukkan Yuna ke dalam mobil.

 

Jheni menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan cepat. Ia menutup pintu mobil belakangnya dan melangkah menuju bagian kemudi. Tanpa pikir panjang, ia langsung melajukan mobilnya dan membiarkan Yuna berbaring di kursi belakang.

 

“Yun, malam ini kamu tidur di rumahku aja ya!” pinta Jheni.

 

Yuna tak menyahut. Ia tak bisa lagi diajak bicara karena sudah tertidur pulas.

 

Jheni menoleh ke arah Yuna sambil menggelengkan kepala perlahan. “Kamu baru aja balik dari Melbourne dan sudah sekacau ini.”

 

Jheni bergegas membawa Yuna untuk menginap di rumahnya.

 

 

 

Keesokan harinya ...

 

“Hmm ...” Yuna bergumam sambil memejamkan mata. Ia bisa merasakan kalau warna gelap yang tergambar di dalam matanya berubah menjadi cahaya putih dan terasa hangat.

 

Yuna membuka matanya perlahan. Ia memicingkan mata menatap jendela kamar yang terbuka lebar. Dari balik jendela, cahaya matahari masuk kamar dengan leluasa dan menimpa dirinya.

 

Yuna tak peduli dengan matahari yang sudah meninggi dan terasa begitu hangat menyentuh kulitnya. Ia memilih menarik selimut dan membenamkan tubuhnya kembali, memenuhi keinginan si malas untuk kembali menutup kelopak matanya rapat-rapat.

 

(You still have all of my ... You still have all of my ... You still have all of my heart ...)

 

Baru beberapa detik Yuna membenamkan tubuhnya ke dalam selimut, terdengar lagu All My Heart milik Sleeping With Sirens keluar dari ponselnya.

 

“Siapa sih nelpon pagi-pagi gini!?” umpat Yuna sambil menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya.

 

Yuna meraih ponsel yang ada di atas meja, ia menatap nama yang tertera di layar ponsel sebelum ia menjawab panggilan.

 

Yuna langsung menggeser ikon anser dan meletakkan ponsel di telinganya. “Halo ... Oom! Ada apa?” tanya Yuna dengan nada tak bersemangat.

 

“Baru bangun tidur?” tanya seseorang di seberang sana.

 

“He-em.”

 

“Kata Belli, kamu sudah balik dari Melbourne. Kenapa nggak kabarin Oom?”

 

“Baru nyampe kemarin sore. Masih capek. Mau istirahat dulu.”

 

“Oh, nanti malam bisa makan malam bareng Oom dan Tantemu?”

 

“Jam berapa?”

 

“Jam tujuh.”

 

“He-em.”

 

“Oke. Oom tunggu di Bujana Coffee Shop nanti malam!”

 

“Iya.”

 

Yuna langsung melempar ponselnya begitu saja ke atas kasur. Ia membuka matanya lebih lebar dan baru menyadari kalau ia sedang tidak di dalam kamarnya sendiri.

 

“Aku di mana?” tanya Yuna sambil menatap tubuhnya yang sudah mengenakan piyama berwarna ungu muda.

 

Yuna mengedarkan pandangannya. “Huft ... kirain aku di mana,” celetuk Yuna saat mendapati bingkai foto yang menunjukkan wajah Jheni sedang tersenyum manis.

 

Yuna mengetuk-ngetuk keningnya, matanya masih terasa berat dan kepalanya sedikit berdenyut. Ia merebahkan kembali tubuhnya ke atas kasur, melanjutkan mimpi-mimpinya yang tertunda.

 

 

 

Sesuai janjinya, jam tujuh malam Yuna memasuki kawasan Aston Bojonegoro City Hotel. Ia melangkah perlahan menuju Bujana Coffee Shop untuk menemui Oom dan Tantenya.

 

“Halo ... Fristi Ayuna! Kamu makin cantik aja. Nggak kangen sama tantemu?” sapa Melan begitu melihat keponakannya datang menghampirinya. Ia langsung memeluk Yuna dengan mesra.

 

Yuna hanya tersenyum kecil. “Dasar nenek sihir! Pinter banget kalo akting,” celetuk Yuna dalam hati.

 

“Ayo, duduk!” pinta Tarudi. “Oom senang, kamu mau makan malam bersama kami malam ini.”

 

Yuna hanya tersenyum dan duduk di salah satu kursi, tepat berhadapan dengan Melan, tantenya sendiri. Ia tak banyak bicara saat berhadapan dengan dua orang yang sedang bersamanya.

 

“Udah lama nunggu?” Suara Bellina memecahkan suasana yang terasa canggung.

 

Yuna langsung menoleh ke arah Bellina yang berdiri di sebelahnya sambil memeluk lengan Wilian. Yuna mencibir dan menundukkan kepalanya.

 

“Belum. Kami juga baru nyampe, kok. Ayo duduk!” sahut Melan.

 

“Malam, Tante ...!” sapa Lian. Ia melirik sejenak ke arah Yuna yang terus menundukkan kepala sambil mengaduk teh hangat di hadapannya.

 

“Ah, nggak usah sungkan kayak gini!” sahut Melan. “Kita sudah lama kenal. Ayo duduk!”

 

Lian menganggukkan kepala. Ia segera duduk di sebelah Bellina yang sudah duduk berdampingan dengan ibunya.

 

Lian menarik napas dalam-dalam. Satu keluarga yang ada di hadapannya tidak ada yang berbicara. Mereka terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri.

 

“Mmh ... malam ini, ada yang mau saya sampaikan sama Oom dan Tante,” tutur Lian memecah suasana hening.

 

“Oh ya? Silakan ... silakan!” Tarudi terlihat sangat antusias melihat Lian bersama dengan puteri kesayangannya.

 

“Mmh ...” Lian menggenggam tangan Bellina perlahan.

 

Bibir Yuna langsung mencibir begitu melihat Lian menggenggam tangan Bellina. “Menjijikkan!” makinya dalam hati.

 

“Kami akan bertunangan. Saya akan segera mengajak keluarga untuk melamar Bellina,” ucap Lian sambil menatap Bellina penuh kehangatan. Ia mengecup punggung tangan Bellina dengan mesra.

 

Yuna menggigit bibir sambil melirik kesal ke arah Lian. “Dasar cowok brengsek!” makinya sambil meremas sendok yang ada di tangannya.

 

“Oh ya?” Tarudi dan Melan saling pandang, kemudian tersenyum bahagia.

 

“Tapi ... bukannya selama ini kamu pacaran sama Ayuna?” tanya Melan sambil menunjuk Yuna. Ia menatap Lian dan Yuna bergantian.

 

Yuna mengunci mulutnya rapat-rapat. Apa pun yang keluar dari mulutnya saat ini tidak akan berguna. Lian sudah mengkhianatinya selama bertahun-tahun.

 

“Kami sudah putus,” jawab Lian sambil menatap Yuna.

 

Mata Yuna terasa perih saat mendengar ucapan Lian. Bukan hanya matanya, tapi juga hatinya, juga seluruh tubuhnya terasa sangat perih karena tersayat-sayat. Ucapan Lian, benar-benar seperti belati yang sedang menyiksa perasaannya secara perlahan.

 

“Saya hanya mencintai Bellina. Dia satu-satunya wanita yang akan menjadi istri untuk saya,” tutur Lian penuh percaya diri. Ia melirik ke arah Yuna sejenak. “Maaf!” bisiknya dalam hati.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Ia berusaha sekuat tenaga membendung air di matanya agar tidak tumpah seperti yang sudah terjadi semalam.

 

Jangan nangis, Yun! Jangan nangis!” bisik Yuna dalam hati. “Mereka bakal makin bahagia kalau lihat kamu nangis.” Yuna mencoba menenangkan perasaannya sendiri.

 

 

(( Bersambung ... ))

Baca terus kisah seru mereka ya! Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas