Yuna merayap di dinding
lorong menuju toilet. Matanya setengah terpejam dan langkah kakinya tak
teratur.
Yuna memicingkan mata
saat melihat cowok bertubuh tinggi berdiri di hadapannya. Setelah menatapnya
dua kali, Yuna tersenyum menggoda, ia melangkahkan kaki dan menjatuhkan
tubuhnya ke dada cowok itu.
“Hei, ganteng ...!”
sapa Yuna. “Aku cantik nggak?”
Cowok bertubuh tinggi
itu langsung mengangkat kedua tangan sambil mengerutkan kening. Tubuhnya serasa
digelayuti ulat bulu yang menjijikkan. Ia mendorong pundak Yuna menggunakan
jari telunjuknya.
Yuna terhuyung dan
hampir jatuh ke lantai jika cowok itu terlambat menangkap tubuhnya. Cowok itu
menyandarkan Yuna ke dinding dan melepas tubuh Yuna perlahan.
Cowok menggelengkan
kepala saat mencium aroma alkohol yang tajam dari tubuh Yuna.
Yuna terus tersenyum
dengan mata setengah terpejam.
“Cewek gila!” umpat
cowok itu sambil berlalu pergi meninggalkan Yuna sendirian.
Yuna tak menghiraukan
ucapan cowok tersebut. Yuna melangkahkan kakinya perlahan memasuki toilet. Ia
tak menyadari kalau ia masuk ke dalam pintu toilet dengan ikon “Male”.
Yuna merayap menuju
westafel. Kepalanya terasa berdenyut. Ia memegangi perutnya sendiri. Ia merasa
ada badai besar yang terus berputar di dalam perut hingga ia mengeluarkan semua
isi perutnya ke dalam westafel.
“Uweeeek ...!” Yuna tak
bisa mengendalikan dirinya. Ia tak peduli dengan beberapa pria yang lalu lalang
di belakangnya sembari menatap aneh ke arah Yuna.
Yuna membuka kran air
westafel begitu badai di dalam perutnya berhenti. Perlahan, ia mencuci mulut
dan memercikan air ke wajahnya sendiri.
Yuna bergidik sambil
menggelengkan kepala. Ia menatap bayangannya sendiri di depan cermin. Ia tak
bisa melihat dengan jelas bayangannya sendiri karena menjadi beberapa bayangan
yang semakin membuat kepalanya pening.
Yuna menjatuhkan
tubuhnya ke lantai sambil menyandarkan kepalanya ke dinding.
“Yuna!” seru Jheni
sambil menghampiri Yuna. “Kamu kucariin ke mana-mana, nggak ada. Sekalinya di
sini.”
Jheni langsung menarik
lengan Yuna dan membantunya berdiri. “Kita pulang sekarang!”
“Aku nggak mau pulang,”
sahut Yuna sambil memejamkan mata.
“Mau tidur di sini?
Bahaya, Yun. Apalagi kamu masuk ke toilet cowok. Untungnya sepi dan nggak ada
yang sembrono sama kamu. Kalo kamu dibawa pergi sama laki-laki gimana?” cerocos
Jheni.
Yuna tertawa kecil
menanggapi ucapan Jheni. “Aku nggak pernah berharga di mata siapa pun.”
“Ck, nggak usah ngomong
aneh-aneh! Aku antar kamu pulang sekarang juga.” Jheni memapah Yuna keluar dari
toilet pria. Beberapa cowok memandang mereka saat keluar dari toilet.
Jheni tak peduli dengan
tatapan mata yang beragam. Orang yang tidak mengenal mereka, pasti akan
menganggap Yuna adalah perempuan nakal yang suka menggoda laki-laki di dalam
bar.
Jheni memapah Yuna
menuju mobilnya. “Badannya kecil tapi berat banget!” celetuknya saat memasukkan
Yuna ke dalam mobil.
Jheni menarik napas
dalam-dalam dan membuangnya dengan cepat. Ia menutup pintu mobil belakangnya
dan melangkah menuju bagian kemudi. Tanpa pikir panjang, ia langsung melajukan
mobilnya dan membiarkan Yuna berbaring di kursi belakang.
“Yun, malam ini kamu
tidur di rumahku aja ya!” pinta Jheni.
Yuna tak menyahut. Ia
tak bisa lagi diajak bicara karena sudah tertidur pulas.
Jheni menoleh ke arah
Yuna sambil menggelengkan kepala perlahan. “Kamu baru aja balik dari Melbourne
dan sudah sekacau ini.”
Jheni bergegas membawa
Yuna untuk menginap di rumahnya.
Keesokan harinya ...
“Hmm ...” Yuna bergumam
sambil memejamkan mata. Ia bisa merasakan kalau warna gelap yang tergambar di
dalam matanya berubah menjadi cahaya putih dan terasa hangat.
Yuna membuka matanya
perlahan. Ia memicingkan mata menatap jendela kamar yang terbuka lebar. Dari
balik jendela, cahaya matahari masuk kamar dengan leluasa dan menimpa dirinya.
Yuna tak peduli dengan
matahari yang sudah meninggi dan terasa begitu hangat menyentuh kulitnya. Ia
memilih menarik selimut dan membenamkan tubuhnya kembali, memenuhi keinginan si
malas untuk kembali menutup kelopak matanya rapat-rapat.
(You
still have all of my ... You still have all of my ... You still have all of my
heart ...)
Baru beberapa detik
Yuna membenamkan tubuhnya ke dalam selimut, terdengar lagu All My Heart milik
Sleeping With Sirens keluar dari ponselnya.
“Siapa sih nelpon
pagi-pagi gini!?” umpat Yuna sambil menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya.
Yuna meraih ponsel yang
ada di atas meja, ia menatap nama yang tertera di layar ponsel sebelum ia
menjawab panggilan.
Yuna langsung menggeser
ikon anser dan meletakkan ponsel di telinganya. “Halo ... Oom! Ada apa?” tanya
Yuna dengan nada tak bersemangat.
“Baru bangun tidur?”
tanya seseorang di seberang sana.
“He-em.”
“Kata Belli, kamu sudah
balik dari Melbourne. Kenapa nggak kabarin Oom?”
“Baru nyampe kemarin
sore. Masih capek. Mau istirahat dulu.”
“Oh, nanti malam bisa
makan malam bareng Oom dan Tantemu?”
“Jam berapa?”
“Jam tujuh.”
“He-em.”
“Oke. Oom tunggu di Bujana
Coffee Shop nanti malam!”
“Iya.”
Yuna langsung melempar
ponselnya begitu saja ke atas kasur. Ia membuka matanya lebih lebar dan baru
menyadari kalau ia sedang tidak di dalam kamarnya sendiri.
“Aku di mana?” tanya
Yuna sambil menatap tubuhnya yang sudah mengenakan piyama berwarna ungu muda.
Yuna mengedarkan
pandangannya. “Huft ... kirain aku di mana,” celetuk Yuna saat mendapati
bingkai foto yang menunjukkan wajah Jheni sedang tersenyum manis.
Yuna mengetuk-ngetuk
keningnya, matanya masih terasa berat dan kepalanya sedikit berdenyut. Ia
merebahkan kembali tubuhnya ke atas kasur, melanjutkan mimpi-mimpinya yang
tertunda.
Sesuai janjinya, jam
tujuh malam Yuna memasuki kawasan Aston Bojonegoro City Hotel. Ia melangkah
perlahan menuju Bujana Coffee Shop untuk menemui Oom dan Tantenya.
“Halo ... Fristi Ayuna!
Kamu makin cantik aja. Nggak kangen sama tantemu?” sapa Melan begitu melihat
keponakannya datang menghampirinya. Ia langsung memeluk Yuna dengan mesra.
Yuna hanya tersenyum
kecil. “Dasar nenek sihir! Pinter banget kalo akting,” celetuk Yuna dalam hati.
“Ayo, duduk!” pinta
Tarudi. “Oom senang, kamu mau makan malam bersama kami malam ini.”
Yuna hanya tersenyum
dan duduk di salah satu kursi, tepat berhadapan dengan Melan, tantenya sendiri.
Ia tak banyak bicara saat berhadapan dengan dua orang yang sedang bersamanya.
“Udah lama nunggu?”
Suara Bellina memecahkan suasana yang terasa canggung.
Yuna langsung menoleh
ke arah Bellina yang berdiri di sebelahnya sambil memeluk lengan Wilian. Yuna
mencibir dan menundukkan kepalanya.
“Belum. Kami juga baru
nyampe, kok. Ayo duduk!” sahut Melan.
“Malam, Tante ...!”
sapa Lian. Ia melirik sejenak ke arah Yuna yang terus menundukkan kepala sambil
mengaduk teh hangat di hadapannya.
“Ah, nggak usah sungkan
kayak gini!” sahut Melan. “Kita sudah lama kenal. Ayo duduk!”
Lian menganggukkan
kepala. Ia segera duduk di sebelah Bellina yang sudah duduk berdampingan dengan
ibunya.
Lian menarik napas
dalam-dalam. Satu keluarga yang ada di hadapannya tidak ada yang berbicara.
Mereka terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Mmh ... malam ini, ada
yang mau saya sampaikan sama Oom dan Tante,” tutur Lian memecah suasana hening.
“Oh ya? Silakan ...
silakan!” Tarudi terlihat sangat antusias melihat Lian bersama dengan puteri
kesayangannya.
“Mmh ...” Lian
menggenggam tangan Bellina perlahan.
Bibir Yuna langsung
mencibir begitu melihat Lian menggenggam tangan Bellina. “Menjijikkan!” makinya
dalam hati.
“Kami akan bertunangan.
Saya akan segera mengajak keluarga untuk melamar Bellina,” ucap Lian sambil
menatap Bellina penuh kehangatan. Ia mengecup punggung tangan Bellina dengan
mesra.
Yuna menggigit bibir
sambil melirik kesal ke arah Lian. “Dasar cowok brengsek!” makinya sambil
meremas sendok yang ada di tangannya.
“Oh ya?” Tarudi dan
Melan saling pandang, kemudian tersenyum bahagia.
“Tapi ... bukannya
selama ini kamu pacaran sama Ayuna?” tanya Melan sambil menunjuk Yuna. Ia
menatap Lian dan Yuna bergantian.
Yuna mengunci mulutnya
rapat-rapat. Apa pun yang keluar dari mulutnya saat ini tidak akan berguna. Lian
sudah mengkhianatinya selama bertahun-tahun.
“Kami sudah putus,”
jawab Lian sambil menatap Yuna.
Mata Yuna terasa perih
saat mendengar ucapan Lian. Bukan hanya matanya, tapi juga hatinya, juga
seluruh tubuhnya terasa sangat perih karena tersayat-sayat. Ucapan Lian,
benar-benar seperti belati yang sedang menyiksa perasaannya secara perlahan.
“Saya hanya mencintai
Bellina. Dia satu-satunya wanita yang akan menjadi istri untuk saya,” tutur
Lian penuh percaya diri. Ia melirik ke arah Yuna sejenak. “Maaf!” bisiknya
dalam hati.
Yuna menarik napas
dalam-dalam sambil memejamkan mata. Ia berusaha sekuat tenaga membendung air di
matanya agar tidak tumpah seperti yang sudah terjadi semalam.
“Jangan nangis, Yun!
Jangan nangis!” bisik Yuna dalam hati. “Mereka bakal makin bahagia kalau lihat
kamu nangis.” Yuna mencoba menenangkan perasaannya sendiri.
Baca terus kisah seru mereka
ya! Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal
bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya!
Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment