“Kalian sudah menikah,
banyaklah saling bicara,” ujar Bibi War sambil meletakkan secangkir kopi untuk
Yeriko.
“Makasih, Bi!” ucap
Yeriko. Ia tersenyum menatap Yuna.
“Mau makan sekarang?
Biar Bibi siapin.”
“Udah laper?” tanya
Yeriko sambil menatap Yuna.
Yuna hanya meringis
menanggapi pertanyaan Yeriko. Ia langsung memegang perutnya yang tiba-tiba
berbunyi.
“Siapin sekarang, Bi!”
pinta Yeriko.
Bibi War menganggukkan
kepala dan bergegas menyiapkan makanan untuk Yuna dan Yeriko.
“Kenapa design rumah
ini monoton banget?” tanya Yuna.
“Kamu maunya seperti
apa?”
“Mmh ... mungkin bisa
lebih ceria kalau dipasang wallpaper gambar mawar warna pink,” tutur Yuna.
Yeriko tertawa kecil.
“Boleh.”
“Hah!? Serius?”
Yeriko menganggukkan
kepala.
Yuna menahan tawa. “Eh,
serius? Dia nggak marah kalau tiba-tiba rumahnya berubah jadi nuansa pink?”
tanyanya dalam hati.
“Mmh ... aku juga nggak
mau sprei kamar warna putih atau abu-abu. Kalau diganti gambar princess
gimana?”
Yeriko mengangguk.
Yuna mengernyitkan dahi
menatap Yeriko. “Kamu nggak keberatan?”
Yeriko menggelengkan
kepala. “Sejak masuk rumah ini, kamu adalah nyonya di rumah. Kamu boleh lakuin
apa aja yang kamu suka,” ucapnya sambil menyolek hidung Yuna yang mungil.
Yuna tersipu, ia tak
bisa menyembunyikan rona merah di pipinya. “Makasih ...!” Yuna langsung memeluk
Yeriko.
Yeriko tersenyum, ia
menarik tubuh Yuna ke pangkuannya.
“Eh!?” Yuna tertegun
menatap Yeriko.
Yeriko tersenyum, ia
langsung mengulum bibir Yuna yang manis. Ia bisa ikut merasakan sup jahe yang
baru saja diminum oleh Yuna.
Bibi War menghentikan
langkahnya saat melihat Yuna dan Yeriko sedang asyik berciuman. Ia tersenyum
bahagia melihat kemesraan keduanya.
Yuna langsung mendorong
dada Yeriko begitu menyadari Bibi War berdiri di dekat mereka.
Yeriko mengangkat kedua
alis. Ia menoleh ke arah pandangan Yuna. “Oh ... Bibi, kenapa?”
“Makanannya sudah siap,” jawab Bibi War sambil
menahan senyum.
“Oke.” Yeriko
menganggukkan kepala.
Yuna tersenyum sambil
menundukkan kepalanya. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
“Hei, kenapa?” tanya
Yeriko sambil mendekatkan wajahnya.
“Malu sama Bibi,” jawab
Yuna lirih.
Yeriko tertawa kecil.
“Malu kenapa? Kamu kan istri aku.”
Yuna menurunkan
tangannya perlahan. “Iya ... tapi ...”
Yeriko mengecup bibir
Yuna dan menarik lengannya, membawanya pergi ke meja makan untuk makan bersama.
“Gimana kerjaan kamu
hari ini?” tanya Yeriko sambil menikmati makan malam bersama.
“Mmh ... sangat
melelahkan.”
“Kenapa?”
“Banyak banget yang
harus dikerjain.”
Yeriko mengangkat kedua
alisnya. “Bukannya kamu baru mulai kerja?”
Yuna menganggukkan
kepala. “Atasanku langsung ngasih tugas banyak banget. Kayaknya dia ada dendam
pribadi sama aku.”
Yeriko tertawa kecil.
“Kenapa ketawa?”
“Bukannya baru mulai
kerja? Dendam pribadi gimana?”
Yuna mengedikkan bahu.
“Mungkin aja dia iri sama aku karena aku lebih cantik dari dia,” tutur Yuna
bergurau.
“Hahaha.” Yeriko
tergelak mendengar pernyataan Yuna.
Yuna mencebik ke arah
Yeriko. “Ketawamu ngolok!”
Yeriko terkekeh.
“Nggak, kok. Kamu emang yang paling cantik.”
“Gombal!” sahut Yuna.
Pipinya menghangat mendengar Yeriko memujinya.
“Kalo kamu nggak
cantik, aku nggak bakal pilih kamu jadi istriku,” tutur Yeriko.
“Oh ... jadi, suka sama
aku karena cantiknya doang!?” dengus Yuna.
Yeriko tersenyum sambil
menganggukkan kepala.
“Jujur banget nih
cowok,” celetuk Yuna dalam hatinya.
“Mmh ... aku kan masih
dalam masa percobaan. Ada tugas banyak dari kantor dan aku nggak ngerti,” tutur
Yuna sambil memainkan sendok makannya.
“Nggak usah sedih!
Nanti aku bantu.”
“Serius?” tanya Yuna
dengan mata berbinar.
Yeriko menganggukkan
kepala.
Usai makan malam
bersama, Yeriko dan Yuna naik ke ruang kerja yang ada di sebelah kamar Yeriko.
Dengan sabar, Yeriko
menjelaskan beberapa pekerjaan yang ditunjukkan Yuna.
“Paham nggak?” tanya
Yeriko setelah selesai menjelaskan.
Yuna menggelengkan
kepala.
Yeriko menghela napas.
Ia tidak tahu kenapa Yuna begitu sulit memahami penjelasannnya.
Yuna tidak fokus
menerima penjelasan materi dari Yeriko. Ia sibuk menatap wajah cowok itu dan
terus mengagumi setiap senti bagian tubuhnya.
“Udah ganteng, pinter
...” gumam Yuna dalam hati.
“Eh, pantes aja nggak
paham-paham. Kamu ngelamun terus!” Yeriko mengetuk dahi Yuna.
“Eh!?” Yuna menyentuh
dahinya sendiri.
Yeriko bangkit dari
sofa. Ia mencari beberapa berkas yang tersusun rapi di lemari yang ada di
belakang meja kerjanya. Yeriko mengambil satu jilid dokumen dan memberikannya
pada Yuna.
“Ini apa?” Yuna
mengernyitkan dahinya.
“Baca!”
Yuna mengerutkan
bibirnya sambil menatap berkas yang ada di tangannya.
“Itu dokumen
perhitungan BPJS, Tunjangan Karyawan dan Perpajakan. Kamu bisa pakai itu sebagai
acuan perhitungan laporan kamu.”
Yuna menghela napas dan
menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Aku pusing!” serunya sambil menutup wajahnya
dengan berkas yang ada di tangannya.
Yeriko tertawa kecil.
“Kamu, dijelasin langsung nggak fokus. Pelajari sendiri! Kalau ada yang
bingung, tanya aja! Aku mau ngecek laporanku dulu!” Yeriko melangkah menuju
meja kerja dan membuka laptop miliknya.
Yuna membuka dokumen
dari halaman pertama dan membacanya. Ia mulai merasa bosan, deretan tulisan
yang ada di atas kertas tiba-tiba melayang ke mana-mana dan membuatnya menguap
beberapa kali. Ia tak lagi fokus mempelajari berkas yang diberikan Yeriko.
Yuna menguap beberapa
kali, sampai akhirnya terlelap di sofa.
Yeriko menggelengkan
kepala menatap Yuna yang sudah tertidur. Ia segera menyelesaikan pekerjaannya.
Kemudian bangkit dari meja kerja dan menghampiri Yuna yang sudah terlelap di
atas sofa.
Yeriko menatap wajah
Yuna selama beberapa menit. “Kamu makin cantik kalau lagi tidur kayak gini.” Ia
mengelus lembut pipi Yuna yang lembut.
Yeriko menghela napas
sejenak dan menggendong tubuh Yuna. Membawanya keluar dari ruang kerja dan
masuk ke dalam kamar.
Yeriko meletakkan tubuh
Yuna ke atas tempat tidur dengan hati-hati agar tidak membuat Yuna terbangun. Yeriko
ikut berbaring di samping Yuna sambil menatap lekat gadis cantik yang sedang
bersamanya itu.
Yeriko mendekatkan
wajahnya ke wajah Yuna. Tanpa sadar, ia mencium bibir Yuna yang mungil. Yeriko
menarik perlahan baju Yuna hingga ia bisa melihat belahan dada Yuna yang begitu
menggoda birahinya. Yeriko mendekatkan bibirnya dan mengecup dada Yuna yang
mulus.
Yeriko menghentikan
gerakannya saat mendengar nada dering ‘Sencha’ yang keluar dari ponselnya.
“Siapa sih yang telepon
malam-malam gini?” Yeriko langsung menyambar ponsel dari atas meja. Ia menatap
nama ‘Lutfi. A Villa’ di ponselnya.
“Halo ...!” sapa Yeriko.
“Hei ... pengantin
baru! Lagi apa malam-malam gini?”
“Tidur.”
“Tidur? Udah
enak-enak?”
“Enak-enak apanya?”
“Halah ... nggak usah pura-pura
polos! Gimana rasanya jadi pengantin baru?” tanya Lutfi.
“Hmm ... enak.”
“Enak ya? Udah ada yang
nemenin tidur?”
Yeriko tertawa kecil
menanggapi ucapan Lutfi.
“Eh, semalam main
berapa kali?” tanya Lutfi.
“Main apaan?”
“Hadeh, jangan pura-pura
nggak tahu!”
Yeriko tertawa kecil
menanggapi ucapan Lutfi.
“Mana suaranya istri
kamu?”
“Udah tidur.”
“Jam segini udah tidur?
Udah ngasih jatah apa belum? Hihihi.”
“Nggak usah iseng!”
“Yee ... kalian kan
pengantin baru. Aku mau belajar dulu sama kamu. Nanti kalo udah nikah, aku bisa
praktekkan dengan baik.”
“Aku nggak tega ganggu
dia tidur.”
“Hahaha.”
“Kenapa ketawa?”
“Jadi, kalian belum
ngapa-ngapain selama nikah?”
“Belum.”
“Payah!”
Yeriko tak menyahut.
“Harusnya, sebagai
istri inisiatif dong ngasih jatah buat suami biar suaminya semangat cari uang.
Hahaha.”
“Jangan gitu! Biar
gimana pun, dia itu kakak
ipar kalian. Jangan sekali-sekali bikin dia
jadi minder dan menindas dia ya! Aku bakal bikin perhitungan sama kalian kalo
berani macem-macem!”
Lutfi tergelak
mendengar ucapan Yeriko. “Siap Kaka!”
“Kalian di mana
malam-malam gini?”
“Di Bar. Kenapa?”
“Sama Chandra?”
“Iya. Kenapa?”
“Nggak papa.”
“Udah, kamu nikmati aja
waktu-waktu jadi pengantin baru. Buruan di-eksekusi lah! Kalah sama cewek bar,”
tutur Lutfi.
“Jangan samain Yuna
sama cewek bar!” tegas Yeriko.
“Hahaha. Iya, iya.”
Yeriko langsung menutup
telepon. Ia melirik Yuna yang sudah terlelap di sebelahnya. Ia tersenyum,
memejamkan mata dan ikut terlelap.
0 komentar:
Post a Comment