Usai membasuh wajah dan
merapikan rambutnya. Yuna meraih ponsel yang ada di dalam tasnya.
“Jangan lupa makan! Pulang
kerja jam berapa? Aku jemput kamu.”
Yuna tersenyum membaca pesan
dari suaminya itu. “Aku nggak nyangka kalau Beruang Kutub itu bisa perhatian
juga.”
BYUR ...!!!
Yuna langsung membuka mulutnya
lebar-lebar tanpa bersuara saat seember air dingin tertumpah ke kepalanya.
Ia menoleh ke arah wanita yang
menyiramnya menggunakan air bekas pel lantai. Kemeja putih Yuna langsung
berubah kecokelatan dalam sekejap.
“Selamat bersenang-senang!”
seru Bellina sambil berlari keluar dan mengunci pintu toilet.
“Bellina!? Awas kamu ya!” seru
Yuna. Ia melangkah menuju pintu dan menggedor sekuat tenaga. “BUKA PINTUNYA!”
Bellina tersenyum dari balik
pintu. “Ups ... sorry! Aku udah nyuruh semua karyawan pulang lebih cepat. Nggak
akan ada yang dengar dan nolongin kamu. Jadi, jangan buang-buang tenaga!
Hahaha.” Ia langsung bergegas pergi meninggalkan Yuna.
“Dasar, Perek Sialan!” seru
Yuna. Ia bersandar di pintu sambil mengedarkan pandangannya.
“Gimana caranya keluar dari
sini?” gumam Yuna.
Yuna memeluk tubuhnya yang
mulai membeku. Bajunya yang basah membuat tubuhnya mulai kedinginan.
Yuna segera meraih tas tangan
miliknya. Mencari ponsel di dalamnya.
“Astaga! Aku lupa!” Ia
langsung menoleh ke arah wastafel dan mendapati ponselnya tergeletak di sana.
Dengan cepat, ia menyambar ponsel dan menelepon Yeriko.
“Halo ...!” sapa Yeriko saat
panggilan telepon Yuna tersambung.
“Tolong aku ...!” pinta Yuna dengan
bibir bergetar.
“Kamu kenapa? Di mana
sekarang?” tanya Yeriko panik.
“Aku terkunci di toilet lantai
enam, kantorku ...”
“Aku ke sana sekarang!” Yeriko
langsung mematikan ponselnya.
Yuna terduduk lemas di lantai.
Air matanya mulai menetes saat Yeriko mematikan panggilan teleponnya. “Aku
nggak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Maaf, selalu ngerepotin kamu,”
bisiknya sambil terisak.
Yuna mengedarkan pandangannya.
Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk keluar dari toilet.
“Tenang, Yun! Yeriko pasti
datang nolongin kamu.” Yuna melipat kedua kakinya ke dada dan memeluk kakinya
sendiri. Ia meletakkan dagunya ke atas lutut.
Angin yang masuk lewat
fentilasi dan bagian bawah pintu kamar mandi menyentuh kulit Yuna dan
membuatnya semakin menggigil.
Beberapa menit kemudian,
terdengar suara langkah kaki dari luar. Tapi Yuna tak lagi bisa merespon dengan
baik. Ia terus memeluk tubuhnya sendiri yang kedinginan.
“Yun, kamu nggak papa?” tanya
Yeriko saat berhasil masuk ke dalam toilet. Ia langsung menghampiri Yuna yang
terduduk di lantai.
“Dingin,” jawab Yuna dengan
bibir bergetar.
“Nggak papa. Aku bakal bawa
kamu keluar dari sini secepatnya.” Yeriko melepas jas miliknya dan langsung
menyelimuti tubuh Yuna yang basah.
Tanpa banyak bertanya, Yeriko langsung
menggendong Yuna keluar dari toilet.
Yeriko melangkah perlahan
menuju mobilnya. Hatinya begitu tersayat melihat Yuna yang begitu menyedihkan.
Ia menatap wajah Yuna yang masih menahan dingin. “Yun, kenapa bisa kayak gini?
Nggak seharusnya aku membiarkan kamu seperti ini,” batin Yeriko.
Yeriko memasukkan tubuh Yuna
perlahan ke dalam mobil. Setelah memastikan safety belt terpasang dengan baik.
Ia bergegas mengitari mobil dan duduk di belakang kemudinya.
“Semua bakal baik-baik aja!”
Yeriko mengusap rambut Yuna yang basah. Ia mematikan AC mobil dan bergegas
melajukan mobilnya.
Yuna menyandarkan kepalanya ke
kursi.
“Hatchiim ...!” Yuna langsung
menutup mulutnya. Hidungnya terasa sangat gatal. Ia meraih tisu dan menutup
mulutnya rapat-rapat.
Yeriko melirik sejenak ke arah
Yuna. Ia langsung berhenti di depan salah satu butik yang menjual pakaian
mahal.
“Tunggu di sini!” pinta
Yeriko. Ia bergegas turun dan langsung masuk ke dalam butik.
Beberapa menit kemudian,
Yeriko kembali masuk ke dalam mobil dan memberikan satu set pakaian untuk Yuna.
“Pakai!” pinta Yeriko.
“Ini buat aku?” tanya Yuna.
Yeriko mengangguk kecil.
“Ganti bajumu! Nanti masuk angin!”
“Tapi ...”
“Kenapa?” tanya Yeriko sambil
menyalakan mesin mobilnya.
Yuna mengangkat pakaian yang
dibelikan Yeriko. “Ini pasti mahal banget. Gimana aku bayarnya ke kamu?
Hutangku ke kamu makin banyak dan ...”
Yeriko menatap tajam ke arah
Yuna.
Yuna menggigit bibirnya saat
mendapati tatapan tajam dari Yeriko.
“Aku nggak pernah bilang kamu
berhutang sama aku. Kamu sekarang sudah jadi istriku dan cukup menerima semua
yang aku kasih. Nggak perlu memikirkan hal lain!”
Yuna tersenyum. “Makasih!”
Yeriko tersenyum kecil dan
mulai menjalankan mobilnya perlahan.
“Apa aku harus ganti di dalam
mobil?” tanya Yuna dalam hati. Ia menatap kancing bajunya yang paling atas dan
tidak punya kekuatan untuk membukanya.
“Yun, cepet ganti bajunya! Mau
aku gantiin?”
“Eh!?” Yuna menggelengkan
kepala. Ia melepas satu per satu kancing bajunya. Kemudian melepas bajunya
perlahan.
“Jangan ngintip!” seru Yuna
sambil menoleh ke arah Yeriko.
Yeriko tersenyum kecil sambil
menggelengkan kepalanya.
Yuna juga melepaskan roknya.
Hanya menyisakan bra dan celana dalam yang melekat di tubuhnya.
Yeriko menarik napas perlahan.
Sekalipun sudah menjadi istrinya, Ia belum benar-benar memiliki Yuna seutuhnya.
Melihat Yuna yang tidak mengenakan pakaian, membuat jantungnya berdebar lebih
kencang.
Yuna menarik beberapa tisu dan
membersihkan kotoran yang melekat di dadanya.
Yuna tersenyum kecil melihat
Yeriko yang fokus menatap jalanan dan terus melajukan mobilnya. Ia bergegas
mengganti pakaiannya agar suasana tidak semakin membuatnya canggung.
“Masih dingin?” tanya Yeriko.
Yuna menganggukkan kepala.
“Pakai jasnya!”
Yuna segera meraih jas yang ia
letakkan di kursi belakang dan menyelimuti tubuhnya menggunakan jas milik
Yeriko.
Perlahan, tubuhnya terasa
hangat. Ia menyandarkan kepalanya ke kursi dan terlelap.
Yeriko tersenyum kecil saat
menoleh ke arah Yuna yang sudah tertidur pulas. “Gampang banget tidurnya,”
celetuknya sambil mengusap ujung kepala Yuna.
Yeriko mempercepat laju
mobilnya. Sesampainya di halaman rumah, ia langsung turun dari mobil. Membuka
pintu mobil untuk Yuna. Ia melepas safety belt dengan hati-hati dan mengangkat
tubuh Yuna.
Yuna langsung membuka mata
begitu Yeriko menyentuh tubuhnya. “Udah sampai? Aku bisa jalan sendiri, kok.”
Yeriko tersenyum. Ia tak
menghiraukan ucapan Yuna dan tetap menggendong Yuna masuk ke dalam rumahnya.
“Mbak Yuna kenapa?” tanya Bibi
War saat membukakan pintu.
“Dia kedinginan dan agak
meriang. Bibi tolong bikinin sup buat angetin badannya dia!”
Bibi War mengangguk dan
langsung bergegas menuju dapur.
Yeriko menurunkan tubuh Yuna
perlahan ke atas sofa.
“Kenapa kamu bisa kayak gini?”
tanya Yeriko.
Yuna menggelengkan kepala.
“Lain kali, harus lebih
hati-hati!”
Yuna mengangguk.
Yeriko tersenyum kecil ke arah
Yuna. “Kamu mau makan apa?”
“Apa aja.”
Yeriko bangkit dan langsung
menuju dapur untuk membuat beberapa makanan.
“Mas Yeri mau masak?”
Yeriko mengangguk. “Bibi udah
masak?”
“Udah.”
“Masak apa?”
“Bibi abis goreng udang sama
bikin sayur lodeh.”
“Hmm ...”
“Kenapa, Mas?”
“Bibi tahu nggak, apa makanan
kesukaan Yuna?”
Bibi War menggelengkan kepala.
“Kayaknya, semua dia suka. Nggak pernah minta makanan yang lain. Yang penting
pedas.”
Yeriko menghela napas. “Apa
perut kecilnya itu nggak bermasalah? Makan makanan pedas terus.”
“Mudahan nggak bermasalah.”
Bibi War mengangkat sup jahe yang baru dibuatnya.
“Biar aku yang kasih ke Yuna!”
pinta Yeriko.
Bibi War mengangguk, ia
memberikan sup jahe tersebut ke tangan Yeriko.
Yeriko tersenyum, ia langsung
menerima dan menghampiri Yuna yang duduk di sofa.
“Sejak menikah, dia lebih
banyak tersenyum,” gumam Bibi War sambil memerhatikan Yeriko yang sedang
memberikan sup untuk Yuna.
“Minum ini dulu ya!” pinta
Yeriko sambil menyodorkan sup jahe ke arah Yuna.
“Makasih,” sahut Yuna sambil
meraih mangkuk kecil dari tangn Yeriko. “Aw ... panas!”
“Biar aku suapin!” Yeriko
mengambil kembali mangkuk sup tersebut. Iya mengambil satu sendok dan menyuapi
Yuna.
Yuna menatap Yeriko lekat.
“Dia perhatian banget,” bisiknya dalam hati. “Sebenarnya, dia ganteng,
perhatian dan penyayang. Aku beruntung banget punya suami kayak dia,”batinnya.
Yeriko terus menyuapi Yuna
sampai sup jahe buatan Bibi War habis. “Gimana? Udah enakan?”
Yuna menganggukkan kepala.
Yeriko tersenyum. Ia
meletakkan mangkuk ke atas meja. Kemudian menarik kedua kaki Yuna ke atas
pahanya. “Jangan menutupi apa pun dariku! Kalau ada masalah, bicaralah! Aku
akan bantu menyelesaikan semua masalahmu.”
Yuna tersenyum sambil
menganggukkan kepala.
Jangan malu buat sapa aku di
kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Biar author
makin semangat nulisnya.
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment