Thursday, January 23, 2025

Bab 17 - Penderitaan yang Romantis

 


Usai membasuh wajah dan merapikan rambutnya. Yuna meraih ponsel yang ada di dalam tasnya.

 

“Jangan lupa makan! Pulang kerja jam berapa? Aku jemput kamu.”

 

Yuna tersenyum membaca pesan dari suaminya itu. “Aku nggak nyangka kalau Beruang Kutub itu bisa perhatian juga.”

 

BYUR ...!!!

 

Yuna langsung membuka mulutnya lebar-lebar tanpa bersuara saat seember air dingin tertumpah ke kepalanya.

 

Ia menoleh ke arah wanita yang menyiramnya menggunakan air bekas pel lantai. Kemeja putih Yuna langsung berubah kecokelatan dalam sekejap.

 

“Selamat bersenang-senang!” seru Bellina sambil berlari keluar dan mengunci pintu toilet.

 

“Bellina!? Awas kamu ya!” seru Yuna. Ia melangkah menuju pintu dan menggedor sekuat tenaga. “BUKA PINTUNYA!”

 

Bellina tersenyum dari balik pintu. “Ups ... sorry! Aku udah nyuruh semua karyawan pulang lebih cepat. Nggak akan ada yang dengar dan nolongin kamu. Jadi, jangan buang-buang tenaga! Hahaha.” Ia langsung bergegas pergi meninggalkan Yuna.

 

“Dasar, Perek Sialan!” seru Yuna. Ia bersandar di pintu sambil mengedarkan pandangannya.

 

“Gimana caranya keluar dari sini?” gumam Yuna.

 

Yuna memeluk tubuhnya yang mulai membeku. Bajunya yang basah membuat tubuhnya mulai kedinginan.

 

Yuna segera meraih tas tangan miliknya. Mencari ponsel di dalamnya.

 

“Astaga! Aku lupa!” Ia langsung menoleh ke arah wastafel dan mendapati ponselnya tergeletak di sana. Dengan cepat, ia menyambar ponsel dan menelepon Yeriko.

 

“Halo ...!” sapa Yeriko saat panggilan telepon Yuna tersambung.

 

“Tolong aku ...!” pinta Yuna dengan bibir bergetar.

 

“Kamu kenapa? Di mana sekarang?” tanya Yeriko panik.

 

“Aku terkunci di toilet lantai enam, kantorku ...”

 

“Aku ke sana sekarang!” Yeriko langsung mematikan ponselnya.

 

Yuna terduduk lemas di lantai. Air matanya mulai menetes saat Yeriko mematikan panggilan teleponnya. “Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Maaf, selalu ngerepotin kamu,” bisiknya sambil terisak.

 

Yuna mengedarkan pandangannya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk keluar dari toilet.

 

“Tenang, Yun! Yeriko pasti datang nolongin kamu.” Yuna melipat kedua kakinya ke dada dan memeluk kakinya sendiri. Ia meletakkan dagunya ke atas lutut.

 

Angin yang masuk lewat fentilasi dan bagian bawah pintu kamar mandi menyentuh kulit Yuna dan membuatnya semakin menggigil.

 

Beberapa menit kemudian, terdengar suara langkah kaki dari luar. Tapi Yuna tak lagi bisa merespon dengan baik. Ia terus memeluk tubuhnya sendiri yang kedinginan.

 

“Yun, kamu nggak papa?” tanya Yeriko saat berhasil masuk ke dalam toilet. Ia langsung menghampiri Yuna yang terduduk di lantai.

 

“Dingin,” jawab Yuna dengan bibir bergetar.

 

“Nggak papa. Aku bakal bawa kamu keluar dari sini secepatnya.” Yeriko melepas jas miliknya dan langsung menyelimuti tubuh Yuna yang basah.

 

Tanpa banyak bertanya, Yeriko langsung menggendong Yuna keluar dari toilet.

 

Yeriko melangkah perlahan menuju mobilnya. Hatinya begitu tersayat melihat Yuna yang begitu menyedihkan. Ia menatap wajah Yuna yang masih menahan dingin. “Yun, kenapa bisa kayak gini? Nggak seharusnya aku membiarkan kamu seperti ini,” batin Yeriko.

 

Yeriko memasukkan tubuh Yuna perlahan ke dalam mobil. Setelah memastikan safety belt terpasang dengan baik. Ia bergegas mengitari mobil dan duduk di belakang kemudinya.

 

“Semua bakal baik-baik aja!” Yeriko mengusap rambut Yuna yang basah. Ia mematikan AC mobil dan bergegas melajukan mobilnya.

 

Yuna menyandarkan kepalanya ke kursi.

 

“Hatchiim ...!” Yuna langsung menutup mulutnya. Hidungnya terasa sangat gatal. Ia meraih tisu dan menutup mulutnya rapat-rapat.

 

Yeriko melirik sejenak ke arah Yuna. Ia langsung berhenti di depan salah satu butik yang menjual pakaian mahal.

 

“Tunggu di sini!” pinta Yeriko. Ia bergegas turun dan langsung masuk ke dalam butik.

 

Beberapa menit kemudian, Yeriko kembali masuk ke dalam mobil dan memberikan satu set pakaian untuk Yuna.

 

“Pakai!” pinta Yeriko.

 

“Ini buat aku?” tanya Yuna.

 

Yeriko mengangguk kecil. “Ganti bajumu! Nanti masuk angin!”

 

“Tapi ...”

 

“Kenapa?” tanya Yeriko sambil menyalakan mesin mobilnya.

 

Yuna mengangkat pakaian yang dibelikan Yeriko. “Ini pasti mahal banget. Gimana aku bayarnya ke kamu? Hutangku ke kamu makin banyak dan ...”

 

Yeriko menatap tajam ke arah Yuna.

 

Yuna menggigit bibirnya saat mendapati tatapan tajam dari Yeriko.

 

“Aku nggak pernah bilang kamu berhutang sama aku. Kamu sekarang sudah jadi istriku dan cukup menerima semua yang aku kasih. Nggak perlu memikirkan hal lain!”

 

Yuna tersenyum. “Makasih!”

 

Yeriko tersenyum kecil dan mulai menjalankan mobilnya perlahan.

 

“Apa aku harus ganti di dalam mobil?” tanya Yuna dalam hati. Ia menatap kancing bajunya yang paling atas dan tidak punya kekuatan untuk membukanya.

 

“Yun, cepet ganti bajunya! Mau aku gantiin?”

 

“Eh!?” Yuna menggelengkan kepala. Ia melepas satu per satu kancing bajunya. Kemudian melepas bajunya perlahan.

 

“Jangan ngintip!” seru Yuna sambil menoleh ke arah Yeriko.

 

Yeriko tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya.

 

Yuna juga melepaskan roknya. Hanya menyisakan bra dan celana dalam yang melekat di tubuhnya.

 

Yeriko menarik napas perlahan. Sekalipun sudah menjadi istrinya, Ia belum benar-benar memiliki Yuna seutuhnya. Melihat Yuna yang tidak mengenakan pakaian, membuat jantungnya berdebar lebih kencang.

 

Yuna menarik beberapa tisu dan membersihkan kotoran yang melekat di dadanya.

 

Yuna tersenyum kecil melihat Yeriko yang fokus menatap jalanan dan terus melajukan mobilnya. Ia bergegas mengganti pakaiannya agar suasana tidak semakin membuatnya canggung.

 

“Masih dingin?” tanya Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Pakai jasnya!”

 

Yuna segera meraih jas yang ia letakkan di kursi belakang dan menyelimuti tubuhnya menggunakan jas milik Yeriko.

 

Perlahan, tubuhnya terasa hangat. Ia menyandarkan kepalanya ke kursi dan terlelap.

 

Yeriko tersenyum kecil saat menoleh ke arah Yuna yang sudah tertidur pulas. “Gampang banget tidurnya,” celetuknya sambil mengusap ujung kepala Yuna.

 

Yeriko mempercepat laju mobilnya. Sesampainya di halaman rumah, ia langsung turun dari mobil. Membuka pintu mobil untuk Yuna. Ia melepas safety belt dengan hati-hati dan mengangkat tubuh Yuna.

 

Yuna langsung membuka mata begitu Yeriko menyentuh tubuhnya. “Udah sampai? Aku bisa jalan sendiri, kok.”

 

Yeriko tersenyum. Ia tak menghiraukan ucapan Yuna dan tetap menggendong Yuna masuk ke dalam rumahnya.

 

“Mbak Yuna kenapa?” tanya Bibi War saat membukakan pintu.

 

“Dia kedinginan dan agak meriang. Bibi tolong bikinin sup buat angetin badannya dia!”

 

Bibi War mengangguk dan langsung bergegas menuju dapur.

 

Yeriko menurunkan tubuh Yuna perlahan ke atas sofa.

 

“Kenapa kamu bisa kayak gini?” tanya Yeriko.

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

“Lain kali, harus lebih hati-hati!”

 

Yuna mengangguk.

 

Yeriko tersenyum kecil ke arah Yuna. “Kamu mau makan apa?”

 

“Apa aja.”

 

Yeriko bangkit dan langsung menuju dapur untuk membuat beberapa makanan.

 

“Mas Yeri mau masak?”

 

Yeriko mengangguk. “Bibi udah masak?”

 

“Udah.”

 

“Masak apa?”

 

“Bibi abis goreng udang sama bikin sayur lodeh.”

 

“Hmm ...”

 

“Kenapa, Mas?”

 

“Bibi tahu nggak, apa makanan kesukaan Yuna?”

 

Bibi War menggelengkan kepala. “Kayaknya, semua dia suka. Nggak pernah minta makanan yang lain. Yang penting pedas.”

 

Yeriko menghela napas. “Apa perut kecilnya itu nggak bermasalah? Makan makanan pedas terus.”

 

“Mudahan nggak bermasalah.” Bibi War mengangkat sup jahe yang baru dibuatnya.

 

“Biar aku yang kasih ke Yuna!” pinta Yeriko.

 

Bibi War mengangguk, ia memberikan sup jahe tersebut ke tangan Yeriko.

 

Yeriko tersenyum, ia langsung menerima dan menghampiri Yuna yang duduk di sofa.

 

“Sejak menikah, dia lebih banyak tersenyum,” gumam Bibi War sambil memerhatikan Yeriko yang sedang memberikan sup untuk Yuna.

 

“Minum ini dulu ya!” pinta Yeriko sambil menyodorkan sup jahe ke arah Yuna.

 

“Makasih,” sahut Yuna sambil meraih mangkuk kecil dari tangn Yeriko. “Aw ... panas!”

 

“Biar aku suapin!” Yeriko mengambil kembali mangkuk sup tersebut. Iya mengambil satu sendok dan menyuapi Yuna.

 

Yuna menatap Yeriko lekat. “Dia perhatian banget,” bisiknya dalam hati. “Sebenarnya, dia ganteng, perhatian dan penyayang. Aku beruntung banget punya suami kayak dia,”batinnya.

 

Yeriko terus menyuapi Yuna sampai sup jahe buatan Bibi War habis. “Gimana? Udah enakan?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko tersenyum. Ia meletakkan mangkuk ke atas meja. Kemudian menarik kedua kaki Yuna ke atas pahanya. “Jangan menutupi apa pun dariku! Kalau ada masalah, bicaralah! Aku akan bantu menyelesaikan semua masalahmu.”

 

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala.

 

 

(( Bersambung ... ))

Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Biar author makin semangat nulisnya.

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas